Bab selanjutnya insyaAllah akan terbit hari ini.
Pagi itu, Kanaya tidak bisa menghilangkan perasaan cemas yang menggantung di benaknya. Telepon dari pamannya, Permadi, terus terngiang-ngiang di kepalanya. Ada sesuatu tentang pernikahannya yang tidak ia ketahui? Tapi apa? Kenapa hal itu begitu penting sehingga pamannya bersikeras membicarakannya secara langsung? Sambil duduk di meja kerjanya, Kanaya mencoba fokus pada pekerjaannya, tetapi pikirannya terus melayang. Bayangan tentang pernikahannya yang misterius dengan pria yang tidak pernah ia temui membuatnya merasa terjebak. Di sisi lain, perasaan yang semakin dalam terhadap Kaisar juga membingungkannya. Bagaimana bisa ia terus merasakan cinta yang tumbuh untuk pria lain sementara ia terikat dengan pernikahan yang tidak pernah ia jalani? Ketika jam makan siang tiba, Kanaya memutuskan untuk duduk di kantin bersama beberapa rekan kerjanya. Mereka bercanda dan berbincang tentang hal-hal ringan, tetapi Kanaya hanya tersenyum tipis dan lebih banyak diam. Pikirannya masih tertuju pada t
Permadi masuk ke dalam dan duduk di sofa sederhana di ruang tamu kecil itu. Kanaya merasa jantungnya berdetak semakin kencang. Suasana di dalam ruangan itu tiba-tiba terasa begitu berat, seolah-olah ada sesuatu yang besar akan terjadi. “Naya, maaf kalau Mamang membuat kamu bingung selama ini,” ucap Permadi, memulai pembicaraan. “Mamang tahu kamu pasti punya banyak pertanyaan tentang pernikahan kamu, dan Mamang merasa ini saatnya kamu tahu kebenarannya.” Kanaya menelan ludah, mencoba menenangkan diri. “Iya, Mang. Aku … aku bingung. Selama ini aku nggak pernah tahu siapa suamiku. Bahkan, aku nggak pernah bertemu dengannya. Tapi kenapa sekarang semua orang bilang ada sesuatu yang harus aku ketahui?” Permadi menghela napas panjang, lalu menatap Kanaya dengan pandangan yang penuh simpati. “Naya, ada alasan kenapa pernikahanmu dilakukan dengan begitu mendadak waktu itu. Kamu masih kuliah di Jakarta, dan ayahmu … dia tahu waktu itu sudah tidak lama lagi. Itulah kenapa dia minta kamu dinik
Kaisar berdiri di depan pintu kamar kost Kanaya, memandangi pintu yang tertutup rapat. Di balik pintu itu, gadis yang ia cintai menangis, terluka oleh rahasia yang selama ini ia simpan. Tangannya gemetar, perasaannya berkecamuk antara rasa bersalah dan ketidakmampuan untuk memperbaiki situasi. Permadi masih duduk di ruang tamu kost, wajahnya terlihat tegang dan penuh rasa bersalah. Ia hanya bisa menyaksikan dari jauh, tidak ingin ikut campur lebih jauh ke dalam konflik yang sudah terlalu rumit ini. Meski demikian, ada rasa tanggung jawab yang membebani dirinya sebagai paman Kanaya. Ia merasa, dirinya sebagai saksi dari pernikahan yang tergesa-gesa itu, adalah kesalahannya juga. Kaisar tahu ini semua salahnya. Kesalahannya karena tidak jujur sejak awal, karena tidak mengungkapkan kebenaran kepada Kanaya saat ia seharusnya melakukannya. Namun, ia juga tahu bahwa niatnya selalu untuk melindungi Kanaya. Bagaimana pun, sekarang semua itu tampak tidak berarti lagi. Kebohongan yang terungk
Pagi itu, setelah percakapan panjang yang penuh emosi, suasana kamar kost Kanaya terasa lebih tenang. Permadi memutuskan bahwa waktunya sudah tiba untuk kembali ke Bogor. Sebelum pergi, ia memastikan bahwa Kanaya dan Kaisar sudah saling berbicara, meski ia tahu masalah mereka belum sepenuhnya terselesaikan. Tapi sebagai paman yang peduli, ia percaya bahwa Kaisar akan berusaha keras untuk memperbaiki semuanya. "Naya, Mamang pamit pulang dulu ke Bogor," ujar Permadi sambil menatap keponakannya dengan penuh kasih. "Mamang sudah mempercayakan kamu sama suami kamu. Ingat, Naya, apa pun yang terjadi, Mamang selalu ada buat kamu." Kanaya hanya mengangguk pelan, masih belum sepenuhnya pulih dari emosi yang meluap-luap setelah mengetahui kebenaran tentang pernikahannya. "Terima kasih, Mang," jawabnya singkat, suaranya terdengar lelah tapi penuh ketulusan. Permadi menepuk pundak Kanaya dengan lembut sebelum melangkah keluar dari kost. Sebelum benar-benar pergi, ia sempat melirik Kaisar yang
Kanaya menggeliat, matanya mengerjap beberapa kali. Ia nyaris memekik melihat seorang pria terbaring di sampingnya. Untung saja ia langsung mengingat kejadian semalam. Ya, semalam Kaisar memang tidur satu ranjang dengannya. Mereka saling berhadapan dan saling memandang satu sama lain. Obrolan ringan dan saling menggoda satu sama lain. Hingga entah pukul berapa ia tertidur. Kanaya sempat merasakan usapan-usapan lembut di kepalanya. Nyaman dan mendebarkan. Kanaya bangkit, lalu duduk di tepi tempat tidur, memandangi pemandangan luar yang masih belum terang dari balik jendela kecil kamar kostnya. Pikirannya melayang pada semua yang terjadi tentang kebohongan yang selama ini ia yakini, pernikahan yang selama ini tidak ia sadari, dan sekarang, kehadiran Kaisar di sampingnya yang terus memberi perhatian tulus. "Kamu sudah bangun, Naya?" suara lembut Kaisar mengejutkannya dari lamunan. Ia duduk dan menatap Kanaya yang tampak termenung. Kanaya menoleh cepat dan mengangguk pelan. "Iya, Mas,"
Kaisar masih duduk di tepi tempat tidur, mendekatkan tubuhnya pada Kanaya, Mata mereka bertemu dalam tatapan yang mendalam, ada sesuatu yang berbeda di sana, perasaan yang tak terungkapkan. Kaisar mengulurkan tangannya, menyentuh pipi Kanaya dengan lembut, dan jantung Kanaya berdebar semakin cepat. “Naya …” suara Kaisar serak tapi pelan, nyaris berbisik. “Aku mencintaimu, dan aku ingin kita bisa menjalani pernikahan ini dengan ... sepenuhnya.” Kanaya mengerjap, perasaannya campur aduk antara bingung dan hati yang menghangat. Ia menunduk, tidak sanggup menatap mata Kaisar terlalu lama. “Mas … aku … aku belum siap,” ucapnya dengan suara pelan, nyaris tersendat. Kaisar mengangguk pelan, mencoba memahami. “Aku mengerti, Naya. Aku nggak akan memaksamu. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku ada di sini untukmu, kapan pun kamu siap.” Kanaya mengangkat wajahnya perlahan, menatap Kaisar dengan sedikit rasa bersalah. “Maaf, Mas … aku tahu kita sudah sah sebagai suami istri, tapi … aku masih m
Kaisar masih berbaring di samping Kanaya, matanya sedikit terbuka, memperhatikan gadis yang masih tertidur dengan wajah damai. Senyumnya muncul tanpa sadar saat menyadari betapa tenangnya Kanaya ketika tidur. Kanaya menggeliat pelan, matanya mulai mengerjap beberapa kali, lalu perlahan membuka. Ia sedikit terkejut mendapati Kaisar yang sudah terjaga dan menatapnya dengan senyum lembut. Seketika, jantungnya berdetak lebih cepat. “Pagi, Naya,” ucap Kaisar, suaranya serak tapi lembut. Tatapannya hangat, penuh kasih. Kanaya tersenyum malu. “Pagi, Mas,” balasnya pelan. Kaisar perlahan menggeser tubuhnya mendekat, menelusuri wajah Kanaya dengan tatapan penuh cinta. “Aku masih nggak percaya kita bisa sampai di sini, Naya. Bisa bangun di sampingmu setiap pagi, rasanya seperti mimpi.” Hembusan napas Kaisar menyapu hangat wajah Kanaya yang langsung memerah. Gadis itu menunduk, merasa jantungnya berdebar semakin kencang. “Mas, jangan bilang yang aneh-aneh,” bisiknya, berusaha menutupi rasa
Kaisar dan Kanaya akhirnya berdiri di depan rumah besar yang mewah, rumah di mana Kaisar tumbuh besar bersama orang tuanya, Maira dan Rein. Kanaya bisa merasakan jantungnya berdebar kencang. Pikirannya dipenuhi oleh berbagai kemungkinan, bagaimana jika mereka tidak menyetujui pernikahan ini? Bagaimana jika mereka kecewa? Kaisar menyadari kecemasan Kanaya. Ia menggenggam tangan istrinya dengan lembut, mencoba memberikan ketenangan. “Tenang, Naya. Mereka akan mengerti. Aku yakin Mama dan Daddy akan menerima kita,” ucapnya sambil menatap Kanaya penuh keyakinan. Kanaya hanya mengangguk pelan, mencoba menenangkan dirinya, meskipun rasa cemas tak sepenuhnya hilang. Begitu mereka memasuki rumah, mereka langsung disambut oleh Maira yang sedang duduk di ruang tamu. Wajah Maira terlihat hangat, namun ada sedikit kekhawatiran di dalamnya. “Kaisar? Kanaya?” sapa Maira dengan senyum kecil. Namun, di balik senyum itu, ada banyak tanya yang jelas terpancar dari matanya. “Kalian berdua kenapa bar
"Mengundang Raka? Apa itu perlu?" tanya Rein datar. Maira menghela napas panjang." Sayang, kita harus minta maaf pada Raka dan Kayla karena pernikahan Kaisar kemarin. Aku dengar, dia kecewa." Rein mendengkus kesal. "Bisa-bisanya dia kecewa. Seharusnya dia bisa memilih mana yang harus diprioritaskan. Lagipula, cuma gara-gara dia tidak bisa hadir, semua acara yang sudah direncanakan harus diubah begitu saja?" "Tapi dia papa kandung Kaisar, Rein!" bantah Maira. "Oh, jadi menurutmu Raka lebih berhak memutuskan semuanya daripada aku? Mengapa kamu tidak pernah mengerti, Kaisar itu lebih dari sekedar anak sambung untukku. Kami sudah bersama sejak dia baru bisa berjalan. Kamu pikir kemana Raka selama ini? Bisa-bisanya dia merasa sebagai ayah kandung yang harus diprioritaskan." Bicara Rein mulai meninggi. Hal ini membuat Maira menjadi panik. Ia tidak ingin Rein tiba-tiba sakit di hari bahagia ini. "Ya, Sayang. Sudah, ya. Maafkan aku," ucap Maira lembut. Ia langsung memeluk suaminya
Analea dan Fabian baru saja kembali dari rumah sakit setelah kelahiran anak pertama mereka. Maira dan Rein menyambut mereka dengan penuh antusias, sementara Fabian terlihat sangat hati-hati saat menggendong bayi mereka yang masih mungil. "Selamat datang kembali di rumah, sayang," ucap Maira sambil tersenyum hangat. Ia memeluk Analea dengan lembut. "Kamu luar biasa, Analea. Sekarang kamu sudah menjadi seorang ibu!" Maira membawa anak dan menantunya ke ruang tamu. Analea, meski terlihat lelah, tersenyum lebar. "Terima kasih, Ma. Rasanya aku masih nggak percaya akhirnya bayi kecil ini ada di sini," ujarnya sambil memandangi bayi perempuannya yang sedang tidur nyenyak di pelukan Fabian. Saat ini mereka sudah berada di ruang tamu rumah mewah itu. Rein yang berdiri di sebelah Maira tampak tersenyum bangga. "Ini cucu pertama kami. Rasanya seperti mimpi melihat kalian pulang dengan bayi mungil yang cantik," ucapnya sambil menepuk pelan bahu Fabian. Fabian tersenyum lega. "Kami juga merasa
Setelah tiga hari berada di hotel, pagi itu Kaisar dan Kanaya memutuskan untuk sarapan di restoran hotel sebelum melanjutkan rencana liburan singkat mereka. Meski tubuh sedikit lelah setelah melewati malam-malam yang panjang, kebahagiaan terus terpancar dari keduanya. "Maafin aku, Sayang. Aku belum sempat membawamu berlibur ke luar kota atau ke luar negeri. Rencananya setelah proyek terakhir ini selesai, aku akan mengajakmu ke suatu tempat yang indah dan tentunya cukup jauh." Kanaya tersenyum haru."Nggak apa-apa, Mas. Selama Mas ada di dekatku, bagiku di mana aja nggak masalah. Liburan di hotel ini pun sudah bikin aku bahagia. Pokoknya asal kita selalu bersama." Kanaya menatap Kaisar dengan lekat. Mendapatkan tatapan yang berbeda dari istrinya, Kaisar jadi berdebar dan salah tingkah." Aku suka kamu tidak lagi malu-malu, Sayang." Kaisar menjawil hidung mancung Kanaya. Keduanya tertawa kecil penuh kebahagiaan. Di saat sedang menikmati momen santai itu, tiba-tiba seorang pelayan men
“Ini dari Mama,” ucap Kaisar pelan sambil mengangkat telepon. “Halo, Ma?” Suara Maira terdengar penuh semangat di ujung telepon. “Kaisar! Kamu di mana? Analea sudah melahirkan!” Kaisar langsung terkejut. “Apa? Analea sudah melahirkan? Sekarang, Ma?” “Iya! Kami sudah di rumah sakit sekarang. Ayo cepat ke sini, Kaisar. Kalian harus segera datang,” jawab Maira dengan penuh kegembiraan. Kaisar menoleh ke arah Kanaya yang sudah berdiri di belakangnya. “Analea sudah melahirkan, Naya. Kita harus ke rumah sakit sekarang.” Mata Kanaya langsung berbinar. “Beneran, Mas? Ya ampun, aku harus segera siap-siap!” Kaisar tersenyum melihat antusiasme istrinya. “Iya, beneran. Ayo cepat kita berangkat.” Tanpa menunggu lama, setelah membersihkan diri dan berpakaian, Kanaya segera mengambil tas kecilnya, sementara Kaisar sudah siap di depan pintu. Mereka berdua keluar kamar dan menuju lobi hotel dengan cepat. Di perjalanan, Kanaya tampak begitu bersemangat. “Aku masih nggak nyangka, Mas. Kak Analea
“Naya, ini malam yang kita tunggu-tunggu,” bisik Kaisar sambil menatap istrinya dengan penuh cinta. Kaisar membuka pintu kamar dengan perlahan, lalu mengajak Kanaya masuk. Kamar itu dihiasi dengan bunga-bunga mawar yang wangi dan lilin-lilin kecil yang menambah suasana romantis. Kaisar menggenggam tangan Kanaya, lalu menuntunnya untuk duduk di tepi ranjang. Kanaya tersenyum kecil, meskipun wajahnya masih terlihat sedikit gugup. “Iya, Mas. Aku masih nggak percaya ini benar-benar terjadi.” Kaisar mengusap pipi Kanaya dengan lembut, lalu mengecupnya pelan. “Kamu nggak perlu takut. Aku akan selalu ada untukmu, sekarang dan selamanya.” Kanaya merasakan debaran di dadanya semakin kencang. “Terima kasih sudah mau menjagaku, Mas. Aku juga merasa sangat bahagia malam ini.” Mereka berdua saling menatap, merasakan betapa dalam cinta yang kini mengikat mereka. "Naya ...," bisik Kaisar. Ia menggeser tubuhnya hingga nyaris tak berjarak lagi dengan Kanaya. Satu tangannya mengusap lembut bibir
Malam itu, hotel mewah tempat resepsi berlangsung dipenuhi oleh tamu-tamu dari berbagai kalangan. Lampu kristal yang bergemerlapan menambah kemewahan suasana, sementara karpet merah yang terbentang menyambut setiap tamu yang datang. Kaisar dan Kanaya sudah siap di belakang panggung, menanti giliran mereka untuk memasuki ballroom utama sebagai pasangan suami istri yang resmi. “Kamu siap, Naya?” tanya Kaisar dengan senyum lembut, sambil menggenggam tangan istrinya yang sedikit gemetar. Kanaya mengangguk pelan, meski hatinya masih berdebar-debar. “Aku siap, Mas,” jawabnya. Di ballroom utama, para tamu sudah mulai berkumpul. Banyak wajah yang familiar hadir. Para karyawan yang mengenal Kanaya dan Kaisar datang mengenakan pakaian terbaik mereka. Beberapa dari mereka tampak saling berbicara pelan, masih terkejut dengan kabar bahwa asisten pribadi bos besar mereka ternyata adalah istrinya sendiri. “Aku nggak nyangka banget, ternyata Kanaya benar-benar istri Pak Kaisar,” bisik salah satu
Setelah beberapa saat mencari, Kaisar akhirnya melihatnya. Di sana, di depan makam ayahnya, Kanaya duduk sambil memeluk lututnya. Tubuhnya tampak gemetar, sementara isak tangisnya terdengar pelan di antara keheningan. Kaisar berjalan mendekat dengan hati-hati, tidak ingin mengejutkan istrinya yang sedang larut dalam kesedihan. “Naya ...,” panggilnya pelan, suaranya penuh rasa bersalah. Tapi rasa sayang itu terasa makin mendalam. Kanaya tersentak. Gadis itu terdiam sejenak, sebelum menoleh ke arah suara itu. Matanya yang bengkak menunjukkan betapa berat beban yang ia rasakan saat ini. "Mas ... kenapa menyusulku? Kenapa Mas tinggalin Intan di sana?" Suara Kanaya terdengar parau. Sisa air mata masih membasahi wajah manisnya. Kaisar perlahan lebih mendekat. Ia berlutut di samping Kanaya, menatap mata Kanaya dengan penuh penyesalan. “Naya, aku minta maaf. Aku benar-benar tidak bermaksud membuatmu terluka. Intan muncul tiba-tiba, dan aku terlalu terkejut hingga tidak tau harus melakukan
Kaisar memutar tubuhnya hendak memanggil Kanaya. Di tengah kebingungannya, ia ingin segera memperkenalkan Kanaya pada Intan dan memastikan bahwa tidak ada salah paham yang terjadi. Namun, begitu ia melihat sekeliling, ia tidak menemukan Kanaya di sana. "Kanaya?" panggilnya, memandang ke berbagai arah. Tidak ada jawaban. Kaisar mulai merasa panik. Ia mencoba mencari ke ruangan lain, berharap menemukan Kanaya sedang sibuk dengan sesuatu. Tapi setelah mencari ke dapur, ruang tengah, bahkan ke ruang persiapan, Kanaya tetap tidak terlihat. Kaisar semakin gelisah. "Kemana dia pergi?" gumamnya pelan, sambil mencoba menelepon Kanaya. Namun, tidak ada jawaban dari panggilan itu. Perasaannya mulai tak karuan, seolah ada yang menindih dadanya. Di tengah kegelisahannya, Kaisar melihat Maira dan Rein mendekat. Wajah Maira tampak khawatir, sementara Rein berusaha tetap tenang. “Ada apa, Kaisar? Kenapa wajahmu tegang begitu?” tanya Maira dengan nada cemas. Kaisar menghela napas, mencoba menaha
Bab 26: Kedatangan yang Tak Terduga Rumah besar dan mewah milik Maira dan Rein dipenuhi dengan aktivitas sejak pagi itu. Persiapan resepsi pernikahan Kanaya dan Kaisar yang akan digelar malam ini tengah berlangsung dengan penuh semangat. Maira berkeliling memastikan semua detail dipersiapkan dengan sempurna, sementara Kaisar dan Kanaya membantu semampu mereka. Analea dan Ratu pun ikut membantu Maira. “Kaisar, nanti jangan lupa ke ruang ganti untuk cek lagi setelan jasnya, ya,” ujar Maira sambil memeriksa daftar tamu undangan. Meski mereka memakai jasa WO, Maira tak ingin ada hal sekecil apapun yang terlewat. “Iya, Ma,” jawab Kaisar sambil tersenyum, lalu beralih ke Kanaya yang tampak sibuk dengan telepon genggamnya, memastikan tamu dari pihaknya juga sudah menerima undangan. Ia juga menyiapkan transportasi untuk para keluarganya dari Bogor.Setelah kembali dari ruang ganti, Kaisar kembali menemani Kanaya yang masih mendata para tamunya di ruang tamu. Mereka yang sedang duduk di sof