Setelah tiga hari berada di hotel, pagi itu Kaisar dan Kanaya memutuskan untuk sarapan di restoran hotel sebelum melanjutkan rencana liburan singkat mereka. Meski tubuh sedikit lelah setelah melewati malam-malam yang panjang, kebahagiaan terus terpancar dari keduanya. "Maafin aku, Sayang. Aku belum sempat membawamu berlibur ke luar kota atau ke luar negeri. Rencananya setelah proyek terakhir ini selesai, aku akan mengajakmu ke suatu tempat yang indah dan tentunya cukup jauh." Kanaya tersenyum haru."Nggak apa-apa, Mas. Selama Mas ada di dekatku, bagiku di mana aja nggak masalah. Liburan di hotel ini pun sudah bikin aku bahagia. Pokoknya asal kita selalu bersama." Kanaya menatap Kaisar dengan lekat. Mendapatkan tatapan yang berbeda dari istrinya, Kaisar jadi berdebar dan salah tingkah." Aku suka kamu tidak lagi malu-malu, Sayang." Kaisar menjawil hidung mancung Kanaya. Keduanya tertawa kecil penuh kebahagiaan. Di saat sedang menikmati momen santai itu, tiba-tiba seorang pelayan men
Analea dan Fabian baru saja kembali dari rumah sakit setelah kelahiran anak pertama mereka. Maira dan Rein menyambut mereka dengan penuh antusias, sementara Fabian terlihat sangat hati-hati saat menggendong bayi mereka yang masih mungil. "Selamat datang kembali di rumah, sayang," ucap Maira sambil tersenyum hangat. Ia memeluk Analea dengan lembut. "Kamu luar biasa, Analea. Sekarang kamu sudah menjadi seorang ibu!" Maira membawa anak dan menantunya ke ruang tamu. Analea, meski terlihat lelah, tersenyum lebar. "Terima kasih, Ma. Rasanya aku masih nggak percaya akhirnya bayi kecil ini ada di sini," ujarnya sambil memandangi bayi perempuannya yang sedang tidur nyenyak di pelukan Fabian. Saat ini mereka sudah berada di ruang tamu rumah mewah itu. Rein yang berdiri di sebelah Maira tampak tersenyum bangga. "Ini cucu pertama kami. Rasanya seperti mimpi melihat kalian pulang dengan bayi mungil yang cantik," ucapnya sambil menepuk pelan bahu Fabian. Fabian tersenyum lega. "Kami juga merasa
"Mengundang Raka? Apa itu perlu?" tanya Rein datar. Maira menghela napas panjang." Sayang, kita harus minta maaf pada Raka dan Kayla karena pernikahan Kaisar kemarin. Aku dengar, dia kecewa." Rein mendengkus kesal. "Bisa-bisanya dia kecewa. Seharusnya dia bisa memilih mana yang harus diprioritaskan. Lagipula, cuma gara-gara dia tidak bisa hadir, semua acara yang sudah direncanakan harus diubah begitu saja?" "Tapi dia papa kandung Kaisar, Rein!" bantah Maira. "Oh, jadi menurutmu Raka lebih berhak memutuskan semuanya daripada aku? Mengapa kamu tidak pernah mengerti, Kaisar itu lebih dari sekedar anak sambung untukku. Kami sudah bersama sejak dia baru bisa berjalan. Kamu pikir kemana Raka selama ini? Bisa-bisanya dia merasa sebagai ayah kandung yang harus diprioritaskan." Bicara Rein mulai meninggi. Hal ini membuat Maira menjadi panik. Ia tidak ingin Rein tiba-tiba sakit di hari bahagia ini. "Ya, Sayang. Sudah, ya. Maafkan aku," ucap Maira lembut. Ia langsung memeluk suaminya
"Eh, dengar-dengar si Hamid habis nikah sama istrinya itu jadi jarang pulang ya?”Langkah Analea terhenti saat mendengar nama suaminya disebut ketika ia ingin keluar membeli sayur. Wanita sederhana berusia 24 tahun yang mengenakan daster murahan itu terpaku di balik pintu. Rambut panjangnya yang hitam ia selipkan di balik telinga, ingin mempertajam pendengaran tentang obrolan itu."Beneran, Mbak?” Suara lain menyahut. “Tapi nggak heran sih. Aku malah dengar kalau istrinya Hamid itu anak pelacur!" Dada Analea semakin sesak mendengar kalimat yang keluar dari mulut para tetangganya itu. Tubuhnya yang tadi tegak, seketika lemas."Ih, kalau ibunya pelacur, jangan-jangan anaknya nggak perawan lagi."Terdengar suara tawa mengejek dari beberapa tetangga lain yang sedang memilih sayuran."Wah, kalau gitu kasian Hamid, dong. Dapat istri udah nggak perawan. Duh, mana anaknya Bu Irma itu gantengnya selangit, kerja kantoran pula. Sayang banget malah nikah sama pelacur." "Waduh! Jangan-jangan si
"Padahal saat menikah denganku, kamu sudah tidak perawan!”DEG!Sepasang mata Analea membelalak. Mendengar tuduhan sang suami, hati wanita itu seperti tertusuk ratusan belati."Astaghfirullah, Mas. kenapa Kamu berpikir seperti itu?!” Analea mengelus dadanya yang terasa nyeri. Ia tidak menduga Hamid akan mengatakan menuduhnya seperti itu. “Demi Tuhan, Mas. Aku masih suci! Kamu adalah satu-satunya pria yang mendapatkan kesucianku secara sah.” Ia berusaha meyakinkan suaminya. "Tidak perlu bawa-bawa nama Tuhan di hadapanku!” bentak Hamid. “Buktinya, malam itu tidak ada bercak darah di ranjang kita!" Kedua tangan Analea makin menekan dada, menahan rasa nyeri yang luar biasa.. Lagi-lagi ia tak menduga suaminya mengatakan dia tidak perawan karena tidak ada bercak darah di ranjang mereka. Padahal, ia tidak pernah berhubungan badan dengan siapa pun sebelum menikah dengan Hamid. Namun, kini, semua tampak masuk akal. Sejak malam itu, Hamid berubah dingin padanya. Suaminya tersebut tidak per
“Bisa-bisanya dia menuduhku berzina sebelum menikah, sementara ia justru berselingkuh di belakangku." Analea berguman pada dirinya sendiri. Seketika dadanya merasakan sesak dan nyeri. Kedua tangan Analea mengepal erat karena geram. Sekian detik kemudian, Analea melangkah mendekati pintu, lalu menggedornya dengan sedikit kasar. Tidak ada jawaban. Cukup lama ia menunggu. Setelah berkali-kali mengetuk, akhirnya pintu itu terbuka dan muncullah seorang wanita. Analea tertegun, merasa tidak asing dengan sosok wanita yang tengah berpenampilan seksi tersebut–atau lebih tepatnya, wanita itu belum mengenakan pakaiannya dengan benar. Wanita itu pernah beberapa kali Analea temui di rumah Hamid sejak ia belum menikah. Dulu, Analea sempat terheran dengan sambutan ibu mertuanya yang selalu hangat setiap wanita itu datang. Jauh berbeda ketika ia yang datang dan selalu disambut dengan dingin. "Nandita, Siapa-?” Ketegaran dan sorot dingin yang sejak tadi berusaha ditampilkan oleh Analea serta usa
"Memang dasar perempuan nggak benar!” Analea terdiam saat mendapatkan sorotan tajam dan sinis dari ibu mertuanya. Namun, ia mencoba untuk tetap sopan meskipun sama sekali tidak mendapatkan respons baik dari Bu Irma. "Ibu ... asalamualaikum!" Analea berucap lirih. Ia terpaksa menunda untuk masuk ke kamarnya. Padahal ia sangat ingin merebahkan tubuhnya sejenak. Tubuh Analea terasa lelah setelah menghadapi serentetan kejadian tadi, dan kini, ia pun harus menghadapi bentakan sekaligus tuduhan dari sang ibu mertua. "Ternyata benar apa yang digunjing orang-orang tentang ka–” "Bu ... Aku baru saja melabrak Mas Hamid.” Analea segera menyanggah ucapan Bu Irma yang tampaknya selalu ingin memojokkannya. “Dia semalam tidur dengan perempuan lain, Bu." Meskipun Bu Irma selalu terkesan tidak menyukainya, Analea berpikir bahwa saat wanita paruh baya itu mendengar kelakuan anaknya di luar sana, Bu Irma akan terkejut dan bersimpati pada Analea. Namun, ibu mertuanya itu malah tersenyum sinis– dan
"Ternyata di sini tempat Mas Hamid dan perempuan bernama Nandita itu bekerja." Beberapa hari setelah ia mendapati suaminya tidur dengan perempuan lain, Analea memutuskan untuk keluar rumah–dan kini berdiri di depan sebuah gedung bertingkat bertuliskan PT Bina Sanjaya. Ia telah melakukan sedikit penyelidikan mengenai perempuan yang tidur dengan suaminya tempo hari. Analea bertekad akan menggugat cerai Hamid jika ia tidak bisa membuat pria itu menceraikannya. Salah satu caranya adalah dengan menyewa pengacara dan mengumpulkan bukti perselingkuhan. Namun, untuk melakukannya, ia butuh uang, Oleh karena itu, sejak beberapa hari yang lalu, berbekal pendidikan sarjananya, Analea sibuk mengirim lamaran kerja ke beberapa perusahaan, dan pagi ini PT Bina Sanjaya memanggilnya untuk melakukan wawancara. Ia sama sekali tidak menduga sebelumnya bahwa ternyata suami dan selingkuhannya bekerja di perusahaan yang sama. Begitu banyak kesempatan yang mereka peroleh untuk berhubungan di belakang Anal