“Bisa-bisanya dia menuduhku berzina sebelum menikah, sementara ia justru berselingkuh di belakangku."
Analea berguman pada dirinya sendiri. Seketika dadanya merasakan sesak dan nyeri. Kedua tangan Analea mengepal erat karena geram.Sekian detik kemudian, Analea melangkah mendekati pintu, lalu menggedornya dengan sedikit kasar. Tidak ada jawaban.Cukup lama ia menunggu.Setelah berkali-kali mengetuk, akhirnya pintu itu terbuka dan muncullah seorang wanita.Analea tertegun, merasa tidak asing dengan sosok wanita yang tengah berpenampilan seksi tersebut–atau lebih tepatnya, wanita itu belum mengenakan pakaiannya dengan benar. Wanita itu pernah beberapa kali Analea temui di rumah Hamid sejak ia belum menikah. Dulu, Analea sempat terheran dengan sambutan ibu mertuanya yang selalu hangat setiap wanita itu datang. Jauh berbeda ketika ia yang datang dan selalu disambut dengan dingin."Nandita, Siapa-?”Ketegaran dan sorot dingin yang sejak tadi berusaha ditampilkan oleh Analea serta usahanya untuk tetap berdiri tegak, seketika goyah saat ia mendengar suara sang suami dari dalam rumah. Tatapan wanita itu beralih pada Hamid yang baru saja menampakkan dirinya.Dada Analea makin bergemuruh saat melihat pakaian yang dikenakan suaminya masih berantakan–kemeja pria itu tidak dikancingkan dengan benar dan rambutnya acak-acakan."Analea ... kamu–" Langkah Hamid terhenti begitu saja. Pria itu tak menyangka orang yang mengetuk pintu berkali-kali di pagi buta itu adalalah istrinya sendiri."Kenapa, Mas? Kaget?” Analea sebisa mungkin menyembunyikan getar dalam suaranya saat bertanya. Tatapannya tajam, menghunjam kedua manik mata Hamid yang tampak terkejut. Kedua tangan wanita itu mengepal kuat di samping kiri dan kanan tubuhnya. Ia berusaha menahan diri agar tidak kehilangan kendali dan menjadi histeris demi menuntut penjelasan. “Ternyata kamu lebih paham seperti apa itu berzina. Bagaimana rasanya, Mas?"Hamid sempat terhenyak melihat kehadiran Analea. Namun ia segera tersadar. Pria itu tiba-tiba melangkah maju dan menarik satu lengan Analea dengan kasar menepi ke dinding. Wajahnya memerah karena marah–sekaligus malu."Diam kamu!” bentaknya. Napasnya memburu. Ia tidak terima dengan kata-kata yang dilontarkan Analea. “Semua ini juga gara-gara kamu!"Analea mengerutkan keningnya. "Gara-gara aku?” ulangnya tidak percaya. “Kamu menyalahkan aku atas perselingkuhan kamu ini, Mas?”Mendengar itu Hamid menghempas napas kasar."Andai saja kamu bisa membuatku nyaman, aku tidak akan tergoda wanita lain!” desis Hamid. Ia memojokkan Analea ke dinding. Dalam posisi ini, Analea bisa melihat urat-urat wajah suaminya yang menonjol, menandakan kemarahan pria itu. “Andai saja kamu tidak menipuku, aku pasti tidak akan selingkuh! Toh, aku baru melakukannya satu kali.”Analea mendengus mendengar ucapan suaminya. “Satu kali?” ulangnya. “Mau satu kali atau sepuluh kali, bagaimana aku bisa tahu kebenarannya? Bagaimana bisa aku percaya ucapan Mas Hamid begitu saja?"Mendengar itu, Hamid terdiam. Analea seakan sedang membalikkan posisi mereka, menempatkan Hamid di pihak yang tidak bisa ia percayai."Kamu harus percaya aku, Analea!" Akhirnya, Hamid berkata tegas dengan wajah merah padam. Sementara cengkraman tangannya semakin menyakiti Analea.Analea tersenyum getir. “Kenapa? Padahal sendirinya kamu tidak percaya padaku,” ucap wanita itu. Suaranya terdengar parau. “Kamu justru menuduhku yang tidak-tidak."Hamid tak menjawab. Pria itu masih berdiri terpaku di depan Analea yang perlahan mencoba melepaskan diri dari cengkraman tangan suaminya.Setelah berhasil melepaskan diri, Analea mendorong Hamid mundur dan mengambil beberapa langkah menjauh sebelum kemudian menarik napas panjang. Ia mencoba untuk menghalau rasa sakit yang begitu dalam.Kemudian wanita itu berkata, "Jika di antara kita sangat sulit untuk saling percaya, untuk apa lagi pernikahan ini dipertahankan, Mas? Lebih baik ... kita berpisah."Sejak tadi, wanita yang dipanggil Nandita oleh Hamid tadi memandang sepasang suami istri itu dengan santai. Tubuhnya bersandar pada tepi pintu dengan kedua tangannya dilipat di depan dada. Mendengar ucapan Analea, wanita itu diam-diam tersenyum penuh kemenangan.“Jangan mempermainkanku, Analea!”Meskipun sempat tertegun saat menyaksikan istrinya berlalu begitu saja usai mengatakan sesuatu yang tidak pernah ia duga sama sekali, Hamid merasa egonya seperti diinjak-injak oleh Analea.Amarah Hamid pun seakan meledak. Ia yang sejak tadi menjaga volume suaranya karena khawatir akan didengar oleh warga sekitar, kini sudah tidak peduli lagi.“Jika kita akan cerai, harusnya Aku yang menalakmu, karena sudah bohongi Aku! Lebih baik Kamu coba ngaca dulu dan pikirkan kesalahan yang telah kamu lakukan padaku!”Analea memejamkan matanya sesaat dan menghela napas. Sedetik kenudian ia meneruskan langkahnya meninggalkan Hamid. Namun, kata-kata pria itu masih saja terus berdengung di telinganya.Wanita itu mengayunkan kakinya tanpa arah. Di kepalanya terus terlintas bayangan Hamid dan perempuan selingkuhannya. Kejadian yang baru saja ia alami membuatnya tak mampu berkonsentrasi dengan baik. Hingga saat tiba di jalan besar, sebuah mobil mewah nyaris saja menyerempet tubuhnya.“Aaah!”Suara rem berdecit terdengar keras di pagi yang masih sepi itu.Analea jatuh dengan posisi terduduk di tepi jalan. Setelah beberapa detik, baru ia merasakan sakit akibat benturan aspal. Hal itu membuat Analea spontan meloloskan tangisan, sesuatu yang ia tahan sejak tadi."Mbak ... Mbak nggak apa-apa, kan?" Sopir dari mobil yang tadi hampir menabraknya turun dan menghampiri Analea. Namun, wanita itu tak menghiraukan dan justru malah terus menangis. Sang sopir kebingungan. “Mbak?”Suara tangisan Analea tampaknya mengganggu sesosok pria yang ada di kursi belakang mobil mewah tersebut.Tidak sabar, pria asing itu memutuskan untuk turun dan langsung disuguhi sebuah pemandangan di mana seorang wanita yang tidak ia kenal tengah terduduk di pinggir jalan sambil menangis. Wajah wanita tersebut tampak sembab, pakaian bawahnya sedikit kotor lantaran terjatuh.Pandangan pria dalam balutan jas mahal warna biru itu tiba-tiba bertemu dengan sepasang mata yang sudah basah milik Analea . Dilihatnya, wanita itu perlahan berdiri sembari meminta maaf."M-maaf ..., maafkan saya!"Dengan suara serak, Analea meminta maaf pada sopir dan sosok pria asing di hadapannya dengan wajah tertunduk, Ia berusaha menyembunyikan wajahnya yang sembab.Hening. Tidak ada tanggapan dari sopir maupun pria berjas di hadapannya selama beberapa waktu, sementara air mata Analea terus berjatuhan.Sebuah sapu tangan berwarna abu-abu tiba-tiba disodorkan pada Analea."Tenangkan dirimu." Suara bariton pria pemilik mobil itu terdengar jernih saat berucap, membuat Analea mencoba menghentikan tangisnya dan menerima sapu tangan tersebut untuk mengusap air matanya. “Mari saya antar ke rumah sakit terdekat.”Analea spontan menggeleng."T-tidak perlu. S-saya tidak apa-apa," sahut Analea sedikit gugup. Ia menunduk makin dalam. “Sekali lagi, maafkan kecerobohan saya.”"Hmm ...”Analea tetap menunduk, menanti tanggapan lebih lanjut dari pria di hadapannya. Namun, wanita itu tidak mendengar pria itu kembali bersuara. Baru ketika Analea mendongak untuk melihat wajah dingin tersebut, pria itu berkata, “Pak, panggilkan taksi untuk Nona ini."Sepasang mata Analea melebar, apalagi saat sang sopir mengangguk dan bergegas menyetop taksi yang kebetulan lewat."T-tidak usah, Tuan," tolak Analea. Namun, tidak dihiraukan.Usai mendapatkan taksi, Analea dibantu masuk ke dalam mobil tersebut oleh sopir. Sedangkan Pria yang tampaknya berusia akhir tiga puluhan tersebut merogoh sesuatu dari balik jasnya, lalu menyodorkan sejumlah uang pada sopir taksi."Ini adalah bentuk tanggung jawab saya," ujar pria tersebut sambil melirik pada Analea yang baru saja duduk di kursi penumpang bagian belakang. Lalu, pada sopir taksi ia berkata, “Antarkan Nona ini sampai rumahnya.”Analea hanya mengangguk samar. Tanpa ia sadari, satu tangannya masih menggenggam erat saputangan pria itu.***"Loh, ternyata Mbak Ana? Dari mana? Kok pulang pagi?"Baru saja Analea turun dari mobil, suara familiar ibu-ibu tetangganya langsung menyapa. Rupanya sudah ada segerombolan ibu-ibu di depan rumahnya, mengelilingi gerobak sayur.Merasa terlalu lelah, Analea hanya menanggapinya dengan senyuman tipis.Namun, seperti tidak memedulikan kelelahan Analea, ibu-ibu yang lainnya justru menimpali, "Tumben beda, pakaiannya rapi banget! Habis ketemu siapa sih?"Suara centil ibu-ibu itu mengundang cekikikan dari para ibu lain. Namun, Analea mengabaikan mereka. Ia berusaha tidak memikirkan gunjingan apa yang akan mereka ucapkan dan masuk ke dalam rumah.Namun, baru saja membuka pintu, terdengar suara bentakan dari Bu Irma."Dari mana saja!? Bagus ya, suami tidak di rumah malah keluyuran malam-malam! Memang dasar perempuan nggak benar!""Memang dasar perempuan nggak benar!” Analea terdiam saat mendapatkan sorotan tajam dan sinis dari ibu mertuanya. Namun, ia mencoba untuk tetap sopan meskipun sama sekali tidak mendapatkan respons baik dari Bu Irma. "Ibu ... asalamualaikum!" Analea berucap lirih. Ia terpaksa menunda untuk masuk ke kamarnya. Padahal ia sangat ingin merebahkan tubuhnya sejenak. Tubuh Analea terasa lelah setelah menghadapi serentetan kejadian tadi, dan kini, ia pun harus menghadapi bentakan sekaligus tuduhan dari sang ibu mertua. "Ternyata benar apa yang digunjing orang-orang tentang ka–” "Bu ... Aku baru saja melabrak Mas Hamid.” Analea segera menyanggah ucapan Bu Irma yang tampaknya selalu ingin memojokkannya. “Dia semalam tidur dengan perempuan lain, Bu." Meskipun Bu Irma selalu terkesan tidak menyukainya, Analea berpikir bahwa saat wanita paruh baya itu mendengar kelakuan anaknya di luar sana, Bu Irma akan terkejut dan bersimpati pada Analea. Namun, ibu mertuanya itu malah tersenyum sinis– dan
"Ternyata di sini tempat Mas Hamid dan perempuan bernama Nandita itu bekerja." Beberapa hari setelah ia mendapati suaminya tidur dengan perempuan lain, Analea memutuskan untuk keluar rumah–dan kini berdiri di depan sebuah gedung bertingkat bertuliskan PT Bina Sanjaya. Ia telah melakukan sedikit penyelidikan mengenai perempuan yang tidur dengan suaminya tempo hari. Analea bertekad akan menggugat cerai Hamid jika ia tidak bisa membuat pria itu menceraikannya. Salah satu caranya adalah dengan menyewa pengacara dan mengumpulkan bukti perselingkuhan. Namun, untuk melakukannya, ia butuh uang, Oleh karena itu, sejak beberapa hari yang lalu, berbekal pendidikan sarjananya, Analea sibuk mengirim lamaran kerja ke beberapa perusahaan, dan pagi ini PT Bina Sanjaya memanggilnya untuk melakukan wawancara. Ia sama sekali tidak menduga sebelumnya bahwa ternyata suami dan selingkuhannya bekerja di perusahaan yang sama. Begitu banyak kesempatan yang mereka peroleh untuk berhubungan di belakang Anal
"Aku jamin istrimu itu tidak akan diterima di sini." Wanita yang hobi memakai rok mini itu memang memiliki sedikit memiliki kuasa di PT Bina Sanjaya. Ia berniat memanfaatkan jabatannya selaku salah satu manajer untuk membuat Analea sulit diterima di perusahaan tersebut. Hamid mengangguk dengan wajah tak terbaca. Pikirannya masih terus tertuju pada Analea. Wanita yang sebenarnya masih ia cintai. Namun, egonya sebagai laki-laki benar-benar terasa diinjak-injak apabila bersama Analea saat ini. Di sisi lain, Analea telah sampai di ruang tunggu yang terletak di dekat ruang auditorium. Ruang tersebut cukup luas dan diisi oleh puluhan pelamar yang hendak wawancara. Analea mengedarkan pandangannya pada para wanita yang memiliki tujuan sama dengannya. Wanita itu meringis membandingkan penampilan dirinya dengan pelamar lain. Pakaian yang ia kenakan sangat berbeda dari yang lainnya. Bukan karena lebih bagus, melainkan karena modelnya yang terlalu sederhana serta warna yang sedikit mencolok.
Bruk! "Argh!" Analea terpekik saat tubuhnya terbentur trotoar, sementara wanita yang ia tolong jatuh di atas tubuhnya. Rasa nyeri seketika ia rasakan pada sikunya yang beradu dengan trotoar. “Nak, kamu tidak apa-apa?” Wanita paruh baya itu segera bangkit dan membantu Analea duduk. "Tidak, Bu. Ibu, Ibu nggak apa-apa.” Analea duduk dan melihat kondisi wanita asing itu tanpa mengecek kondisinya sendiri. “Ada yang sakit?" Tanpa ia sadari orang-orang sekitar mulai berdatangan mengerumuni mereka. "Tidak, Saya tidak apa-apa." Wanita paruh baya berwajah cantik itu berpegangan pada lengan Analea. Analea menyadari tubuh wanita sedikit gemetar akibat insiden yang baru saja terjadi. Meskipun begitu, wajah asing yang tampak sedikit pucat berusaha tersenyum menatap Analea. "Permisi, Bapak, Ibu ...!" Karena ada banyak orang berkerumun di sekitar mereka kemudian, Analea memutuskan untuk membawa wanita itu kembali ke supermarket, jauh dari jalan raya, meski agak terpincang. Baru
Senyum masih terukir di wajah Analea sepanjang jalan ke rumah. Ia tak berhenti bersyukur karena dipertemukan dengan Maira hari ini. Namun, suasana hati Analea yang baik hanya bertahan hingga sesaat sebelum ia berpapasan dengan para tetangganya."Ya ampun, Mbak Ana dari mana? Tumben rapi!" "Dari melamar pekerjaan, Bu." Analea tetap menjawab sopan walau dua tetangganya selalu menatapnya dengan pandangan meremehkan."Memangnya mau kerja di mana, Mbak? Jaga toko?” ucap Bu Siska, salah satu dari tetangganya itu, menggoda Analea yang sehari-hari tampil sebagai ibu rumah tangga. “Oh, atau ... jadi cleaning service gitu?" timpal Bu Monica dengan nada yang sama.Analea membalas, "Kerja apa aja yang penting halal, Bu.""Aduuuh, Mbak. Kenapa nggak di rumah aja sih? Memangnya nyari kerja gampang?" cetus tetangganya lagi."Iya, memangnya bisa?" timpal yang lain.Ana tersenyum tipis. "Namanya usaha, Bu," balasnya. "Daripada jadi beban suami, kan? Ngandelin suami juga nggak baik loh ibu-ibu, kita nggak t
"Kalau ada perempuan dengan penampilan sederhana bernama Analea, bisa langsung diantarkan ke ruangan Presdir!" Wanita dengan blazer merah ternganga. "Cepat kamu kejar perempuan itu!" titah sang resepsionis senior. "Kalau dia sudah pergi, aku tidak mau ikut tanggung jawab ya kalau kena tegur para atasan." "Sekuriti!” Resepsionis itu langsung berlari keluar dari balik meja dengan panik dan setengah berlari ke pintu putar. Suara sepatu heels-nya terdengar nyaring, seperti suaranya. “Tolong hentikan wanita yang baru saja pergi itu, Pak. Itu yang pakai kemeja putih!" Wanita itu tampak cemas. Apakah ia baru saja mengusir tamu untuk Pak Presdir? Aduh, bagaimana nasibnya nanti? Untungnya, Analea belum pergi jauh. Tak lama kemudian, Analea sudah kembali berdiri di depan meja resepsionis. "Saya dipanggil, Mbak?" tanya Analea penuh harap. Ia sama sekali lupa pada perlakuan si resepsionis padanya tadi. "Iya. Mbak, langsung ke atas, ya! Saya antar!" Wajah Analea mendadak berbin
"Lima belas juta!?" batin Analea tak percaya. Ia melihat angka tersebut untuk waktu yang cukup lama hingga akhirnya Kaisar bertanya."Ada masalah?""Eh--" Analea mengangkat wajahnya. "Oh, ini, Pak. Gaji saya ...."Kaisar mengangguk. "Apakah kurang?""Bukan begitu, Pak," sahut Analea buru-buru. "Justru, bukankah saya hanya intern? Apakah lima belas juta tidak terlalu banyak untuk saya?"Kaisar menegakkan punggungnya. Matanya masih saja tertuju pada Analea. "Saya rasa nominal tersebut tidak tinggi untuk orang yang telah menolong mama saya," ucapnya kemudian. "Lagi pula, saya meyakini kamu berpotensi untuk berkembang di sini, Analea.""Selain itu," imbuh Kaisar. "Tugas-tugas kamu saat mendampingi saya tidak akan mudah. Saya rasa itu nominal yang masuk akal."Analea mendengarkan dengan saksama penjelasan dari pria di hadapannya tersebut, sebelum kemudian mengangguk."Terima kasih, Pak Kaisar," ucapnya penuh syukur. Setelah menghadapi permasalahan rumah tangganya, akhirnya Analea bertemu dengan ora
"Selamat pagi, Mbak!"Sebelum pukul delapan pagi, Analea sudah tiba di depan Eternal Group. Langkah kakinya penuh semangat sembari menyapa setiap orang yang ia jumpai dengan senyum ramah dan anggukan kepala.Analea juga menyapa resepsionis yang kemarin sempat mengusirnya. Namun, wanita di balik meja itu tidak membalas sapaannya dan justru mematut riasannya di depan cermin tangan.Walau penampilan tidak modis seperti karyawati lainnya, Analea tetap berusaha untuk meyakinkan hatinya agar bisa percaya diri untuk bekerja di Eternal Group.Pagi ini Analea langsung pergi ke lantai kantor presiden direktur. Ia mengingat-ingat lantai dan ruangan yang kemarin ia datangi, karena kali ini ia tidak didampingi oleh resepsionis.Akan tetapi, saat Analea tiba di mejanya, Risa--rekan seniornya yang telah menjabat sebagai sekretaris Kaisar selama dua tahun, masih belum datang. Meja Risa kosong, sementara pintu ruangan Kaisar tertutup rapat. Di lantai itu memang tidak banyak karyawan, tetapi ada cukup
"Mengundang Raka? Apa itu perlu?" tanya Rein datar. Maira menghela napas panjang." Sayang, kita harus minta maaf pada Raka dan Kayla karena pernikahan Kaisar kemarin. Aku dengar, dia kecewa." Rein mendengkus kesal. "Bisa-bisanya dia kecewa. Seharusnya dia bisa memilih mana yang harus diprioritaskan. Lagipula, cuma gara-gara dia tidak bisa hadir, semua acara yang sudah direncanakan harus diubah begitu saja?" "Tapi dia papa kandung Kaisar, Rein!" bantah Maira. "Oh, jadi menurutmu Raka lebih berhak memutuskan semuanya daripada aku? Mengapa kamu tidak pernah mengerti, Kaisar itu lebih dari sekedar anak sambung untukku. Kami sudah bersama sejak dia baru bisa berjalan. Kamu pikir kemana Raka selama ini? Bisa-bisanya dia merasa sebagai ayah kandung yang harus diprioritaskan." Bicara Rein mulai meninggi. Hal ini membuat Maira menjadi panik. Ia tidak ingin Rein tiba-tiba sakit di hari bahagia ini. "Ya, Sayang. Sudah, ya. Maafkan aku," ucap Maira lembut. Ia langsung memeluk suaminya
Analea dan Fabian baru saja kembali dari rumah sakit setelah kelahiran anak pertama mereka. Maira dan Rein menyambut mereka dengan penuh antusias, sementara Fabian terlihat sangat hati-hati saat menggendong bayi mereka yang masih mungil. "Selamat datang kembali di rumah, sayang," ucap Maira sambil tersenyum hangat. Ia memeluk Analea dengan lembut. "Kamu luar biasa, Analea. Sekarang kamu sudah menjadi seorang ibu!" Maira membawa anak dan menantunya ke ruang tamu. Analea, meski terlihat lelah, tersenyum lebar. "Terima kasih, Ma. Rasanya aku masih nggak percaya akhirnya bayi kecil ini ada di sini," ujarnya sambil memandangi bayi perempuannya yang sedang tidur nyenyak di pelukan Fabian. Saat ini mereka sudah berada di ruang tamu rumah mewah itu. Rein yang berdiri di sebelah Maira tampak tersenyum bangga. "Ini cucu pertama kami. Rasanya seperti mimpi melihat kalian pulang dengan bayi mungil yang cantik," ucapnya sambil menepuk pelan bahu Fabian. Fabian tersenyum lega. "Kami juga merasa
Setelah tiga hari berada di hotel, pagi itu Kaisar dan Kanaya memutuskan untuk sarapan di restoran hotel sebelum melanjutkan rencana liburan singkat mereka. Meski tubuh sedikit lelah setelah melewati malam-malam yang panjang, kebahagiaan terus terpancar dari keduanya. "Maafin aku, Sayang. Aku belum sempat membawamu berlibur ke luar kota atau ke luar negeri. Rencananya setelah proyek terakhir ini selesai, aku akan mengajakmu ke suatu tempat yang indah dan tentunya cukup jauh." Kanaya tersenyum haru."Nggak apa-apa, Mas. Selama Mas ada di dekatku, bagiku di mana aja nggak masalah. Liburan di hotel ini pun sudah bikin aku bahagia. Pokoknya asal kita selalu bersama." Kanaya menatap Kaisar dengan lekat. Mendapatkan tatapan yang berbeda dari istrinya, Kaisar jadi berdebar dan salah tingkah." Aku suka kamu tidak lagi malu-malu, Sayang." Kaisar menjawil hidung mancung Kanaya. Keduanya tertawa kecil penuh kebahagiaan. Di saat sedang menikmati momen santai itu, tiba-tiba seorang pelayan men
“Ini dari Mama,” ucap Kaisar pelan sambil mengangkat telepon. “Halo, Ma?” Suara Maira terdengar penuh semangat di ujung telepon. “Kaisar! Kamu di mana? Analea sudah melahirkan!” Kaisar langsung terkejut. “Apa? Analea sudah melahirkan? Sekarang, Ma?” “Iya! Kami sudah di rumah sakit sekarang. Ayo cepat ke sini, Kaisar. Kalian harus segera datang,” jawab Maira dengan penuh kegembiraan. Kaisar menoleh ke arah Kanaya yang sudah berdiri di belakangnya. “Analea sudah melahirkan, Naya. Kita harus ke rumah sakit sekarang.” Mata Kanaya langsung berbinar. “Beneran, Mas? Ya ampun, aku harus segera siap-siap!” Kaisar tersenyum melihat antusiasme istrinya. “Iya, beneran. Ayo cepat kita berangkat.” Tanpa menunggu lama, setelah membersihkan diri dan berpakaian, Kanaya segera mengambil tas kecilnya, sementara Kaisar sudah siap di depan pintu. Mereka berdua keluar kamar dan menuju lobi hotel dengan cepat. Di perjalanan, Kanaya tampak begitu bersemangat. “Aku masih nggak nyangka, Mas. Kak Analea
“Naya, ini malam yang kita tunggu-tunggu,” bisik Kaisar sambil menatap istrinya dengan penuh cinta. Kaisar membuka pintu kamar dengan perlahan, lalu mengajak Kanaya masuk. Kamar itu dihiasi dengan bunga-bunga mawar yang wangi dan lilin-lilin kecil yang menambah suasana romantis. Kaisar menggenggam tangan Kanaya, lalu menuntunnya untuk duduk di tepi ranjang. Kanaya tersenyum kecil, meskipun wajahnya masih terlihat sedikit gugup. “Iya, Mas. Aku masih nggak percaya ini benar-benar terjadi.” Kaisar mengusap pipi Kanaya dengan lembut, lalu mengecupnya pelan. “Kamu nggak perlu takut. Aku akan selalu ada untukmu, sekarang dan selamanya.” Kanaya merasakan debaran di dadanya semakin kencang. “Terima kasih sudah mau menjagaku, Mas. Aku juga merasa sangat bahagia malam ini.” Mereka berdua saling menatap, merasakan betapa dalam cinta yang kini mengikat mereka. "Naya ...," bisik Kaisar. Ia menggeser tubuhnya hingga nyaris tak berjarak lagi dengan Kanaya. Satu tangannya mengusap lembut bibir
Malam itu, hotel mewah tempat resepsi berlangsung dipenuhi oleh tamu-tamu dari berbagai kalangan. Lampu kristal yang bergemerlapan menambah kemewahan suasana, sementara karpet merah yang terbentang menyambut setiap tamu yang datang. Kaisar dan Kanaya sudah siap di belakang panggung, menanti giliran mereka untuk memasuki ballroom utama sebagai pasangan suami istri yang resmi. “Kamu siap, Naya?” tanya Kaisar dengan senyum lembut, sambil menggenggam tangan istrinya yang sedikit gemetar. Kanaya mengangguk pelan, meski hatinya masih berdebar-debar. “Aku siap, Mas,” jawabnya. Di ballroom utama, para tamu sudah mulai berkumpul. Banyak wajah yang familiar hadir. Para karyawan yang mengenal Kanaya dan Kaisar datang mengenakan pakaian terbaik mereka. Beberapa dari mereka tampak saling berbicara pelan, masih terkejut dengan kabar bahwa asisten pribadi bos besar mereka ternyata adalah istrinya sendiri. “Aku nggak nyangka banget, ternyata Kanaya benar-benar istri Pak Kaisar,” bisik salah satu
Setelah beberapa saat mencari, Kaisar akhirnya melihatnya. Di sana, di depan makam ayahnya, Kanaya duduk sambil memeluk lututnya. Tubuhnya tampak gemetar, sementara isak tangisnya terdengar pelan di antara keheningan. Kaisar berjalan mendekat dengan hati-hati, tidak ingin mengejutkan istrinya yang sedang larut dalam kesedihan. “Naya ...,” panggilnya pelan, suaranya penuh rasa bersalah. Tapi rasa sayang itu terasa makin mendalam. Kanaya tersentak. Gadis itu terdiam sejenak, sebelum menoleh ke arah suara itu. Matanya yang bengkak menunjukkan betapa berat beban yang ia rasakan saat ini. "Mas ... kenapa menyusulku? Kenapa Mas tinggalin Intan di sana?" Suara Kanaya terdengar parau. Sisa air mata masih membasahi wajah manisnya. Kaisar perlahan lebih mendekat. Ia berlutut di samping Kanaya, menatap mata Kanaya dengan penuh penyesalan. “Naya, aku minta maaf. Aku benar-benar tidak bermaksud membuatmu terluka. Intan muncul tiba-tiba, dan aku terlalu terkejut hingga tidak tau harus melakukan
Kaisar memutar tubuhnya hendak memanggil Kanaya. Di tengah kebingungannya, ia ingin segera memperkenalkan Kanaya pada Intan dan memastikan bahwa tidak ada salah paham yang terjadi. Namun, begitu ia melihat sekeliling, ia tidak menemukan Kanaya di sana. "Kanaya?" panggilnya, memandang ke berbagai arah. Tidak ada jawaban. Kaisar mulai merasa panik. Ia mencoba mencari ke ruangan lain, berharap menemukan Kanaya sedang sibuk dengan sesuatu. Tapi setelah mencari ke dapur, ruang tengah, bahkan ke ruang persiapan, Kanaya tetap tidak terlihat. Kaisar semakin gelisah. "Kemana dia pergi?" gumamnya pelan, sambil mencoba menelepon Kanaya. Namun, tidak ada jawaban dari panggilan itu. Perasaannya mulai tak karuan, seolah ada yang menindih dadanya. Di tengah kegelisahannya, Kaisar melihat Maira dan Rein mendekat. Wajah Maira tampak khawatir, sementara Rein berusaha tetap tenang. “Ada apa, Kaisar? Kenapa wajahmu tegang begitu?” tanya Maira dengan nada cemas. Kaisar menghela napas, mencoba menaha
Bab 26: Kedatangan yang Tak Terduga Rumah besar dan mewah milik Maira dan Rein dipenuhi dengan aktivitas sejak pagi itu. Persiapan resepsi pernikahan Kanaya dan Kaisar yang akan digelar malam ini tengah berlangsung dengan penuh semangat. Maira berkeliling memastikan semua detail dipersiapkan dengan sempurna, sementara Kaisar dan Kanaya membantu semampu mereka. Analea dan Ratu pun ikut membantu Maira. “Kaisar, nanti jangan lupa ke ruang ganti untuk cek lagi setelan jasnya, ya,” ujar Maira sambil memeriksa daftar tamu undangan. Meski mereka memakai jasa WO, Maira tak ingin ada hal sekecil apapun yang terlewat. “Iya, Ma,” jawab Kaisar sambil tersenyum, lalu beralih ke Kanaya yang tampak sibuk dengan telepon genggamnya, memastikan tamu dari pihaknya juga sudah menerima undangan. Ia juga menyiapkan transportasi untuk para keluarganya dari Bogor.Setelah kembali dari ruang ganti, Kaisar kembali menemani Kanaya yang masih mendata para tamunya di ruang tamu. Mereka yang sedang duduk di sof