"Padahal saat menikah denganku, kamu sudah tidak perawan!”
DEG!Sepasang mata Analea membelalak. Mendengar tuduhan sang suami, hati wanita itu seperti tertusuk ratusan belati."Astaghfirullah, Mas. kenapa Kamu berpikir seperti itu?!” Analea mengelus dadanya yang terasa nyeri. Ia tidak menduga Hamid akan mengatakan menuduhnya seperti itu. “Demi Tuhan, Mas. Aku masih suci! Kamu adalah satu-satunya pria yang mendapatkan kesucianku secara sah.”Ia berusaha meyakinkan suaminya."Tidak perlu bawa-bawa nama Tuhan di hadapanku!” bentak Hamid. “Buktinya, malam itu tidak ada bercak darah di ranjang kita!"Kedua tangan Analea makin menekan dada, menahan rasa nyeri yang luar biasa.. Lagi-lagi ia tak menduga suaminya mengatakan dia tidak perawan karena tidak ada bercak darah di ranjang mereka.Padahal, ia tidak pernah berhubungan badan dengan siapa pun sebelum menikah dengan Hamid.Namun, kini, semua tampak masuk akal. Sejak malam itu, Hamid berubah dingin padanya. Suaminya tersebut tidak pernah mengatakan apa pun dan justru selalu menghindar darinya."Mas Hamid adalah satu-satunya pria yang pernah melakukan hal itu denganku." Analea mencoba kembali meyakinkan suaminya dengan suara bergetar menahan tangis. Sekuat mungkin Analea mencoba untuk tidak menangis di depan suaminya.Namun, suaminya tersebut hanya menatapnya dengan pandangan menghakimi, seakan-akan Analea adalah wanita paling kotor di dunia.“Mas,” Dada Analea makin terasa sesak karena tidak dipercayai oleh pria yang baru saja menjadi suaminya sendiri. “Demi Tu–”"Kamu nggak pantas bawa-bawa nama Tuhan, Analea!”Analea menoleh ke arah suara nyaring yang tiba-tiba muncul dari arah ruang tamu. Ibu mertuanya menatapnya dengan wajah memerah marah, sama sekali tidak tergerak meskipun Analea sudah berurai air mata.“Ibu …,” panggil Analea saat melihat ibu mertuanya, Irma, di depan Hamid.Irma menatap nyalang menantunya itu. “Aku sudah menduga sejak awal kalau kamu memang bukan wanita baik-baik!” sergah wanita itu sembari menudingkan jarinya ke wajah Analea. “Ternyata memang benar pergaulanmu liar, sama seperti ibumu!”“Astaga, Ibu.” Analea terbelalak mendengar hujatan dari mertuanya, ibu pria yang ia cintai. Meskipun ia baru sebentar menjadi menantu Irma, tetapi Analea sudah menganggap wanita itu sebagai orang tuanya sendiri. Namun, wanita ini pulalah yang menghujat asal usul dan ibu yang telah membesarkannya tanpa pamrih. “Ibu saya memang tinggal di area lokalisasi, tetapi beliau wanita baik-baik. Beliau telah merawat saya–”“Halah!” Bu Irma mengibaskan tangannya. “Omong kosong. Memang ya, buah itu tidak jatuh jauh dari pohonnya. Kalau sudah begini, kasihan anakku, nikah sama penipu.”Wanita tua itu kemudian mendengus kasar. Dengan nada ketus, ia melanjutkan, “Benar kata para tetangga, sudah benar anakku nggak mau lagi tidur sama kamu.”Analea tersentak mendengar ungkapan ibu mertuanya.Para tetangga …?Sepasang mata Analea membulat ketika secara otomatis teringat obrolan ibu-ibu tetangga tadi pagi.Apakah … ibu mertuanya ini adalah orang yang telah menyebarkan informasi bahwa ia dan Hamid sudah tidak tidur satu kamar?"Maaf, Bu. Apa ibu mengatakan pada tetangga bahwa kami,” Analea menunjuk dadanya dan kemudian suaminya yang sejak tadi diam, tak bergerak sedikit pun dengan wajah keruh, “tidak tidur satu kamar?"Seketika, Bu Irma tampak gugup. Wanita itu sekilas melirik ke arah Hamid, sebelum kemudian kembali membentak Analea."Dasar menantu kurang ajar! Berani-beraninya kamu menuduhku yang tidak-tidak!"Analea menghapus bekas-bekas air mata di pipinya terlebih dahulu sebelum dengan sopan menyahut, "Bukan begitu maksudku, Bu–”"Pintar ngomong kamu sekarang? Dasar anak pelacur!" bentak Bu Irma sekali lagi. Lalu, pada Hamid, ia berkata, “Lihat istri yang tadinya kamu banggakan itu, Nak. Padahal sudah menipu kamu sampai begini, sekarang malah menuduh ibu yang tidak-tidak.”Bu Irma mengadu pada sang putra, menambahkan bahan bakar ke dalam api.“Bu, bukan begitu,” ucap Analea kemudian. Nada suaranya melembut menghadapi ibu mertuanya yang marah-marah. “Aku tidak menuduh ataupun menyalahkan Ibu. Hanya saja, baiknya hal-hal tersebut disimpan–”“Dengar itu, Hamid!” sergah Bu Irma sembari menunjuk ke wajah Analea. Satu lengannya merangkul lengan Hamid, seakan-akan meneguhkan putranya tersebut atas kelakuan sang istri. “Istrimu–”"Analea!" Teriakan Hamid menghentikan ucapan Bu Irma.Spontan saja Analea menoleh pada suaminya. Ia berharap Hamid akan membelanya.Namun, harapannya hanyalah harapan kosong belaka."Dengar, Analea! Jangan coba-coba kamu melemparkan kesalahan pada ibuku. Apalagi menuduh beliau yang telah membesarkanku seperti itu! Seharusnya kamu sadar dengan dosa yang telah kamu perbuat, bukan malah melemparkannya pada orang lain."Analea terhenyak mendengar ucapan suaminya. Tanpa mampu bicara lagi, wanita itu hanya terpaku meiihat Hamid meraih jaketnya dengan kasar, lalu berjalan menuju pintu keluar. Tatapannya nanar melihat punggung suaminya menghilang di balik pintu.Sementara itu, diam-diam tanpa dilihat siapa pun, Bu Irma tersenyum penuh kemenangan sesaat, sebelum kembali menyalahkan Analea."Nah, kan. Gara-gara kamu, sih! Hamid pergi lagi, tuh!” ucap Bu Irma. “Mau bagaimana lagi, di rumah dibuat tidak betah sama istri sendiri. Yah, semoga saja di luar sana Hamid menemukan wanita baik-baik yang akan mendampinginya nanti."Usai mengatakan itu, Bu Irma pergi meninggalkan Analea begitu saja sementara wanita muda itu tidak punya tenaga untuk sekadar membalas ucapan mertuanya, pun mengejar suaminya yang entah ke mana. Analea hanya sanggup berjalan masuk ke kamar dan menangis sendirian.Entah berapa lama Analea menangis, terdengar nada ponsel Analea, menandakan ada pesan masuk. Wanita cantik itu kemudian menggeliat. Entah pukul berapa ia tertidur setelah semalaman menangis.Area di sampingnya dingin–sama seperti malam-malam sebelumnya karena Hamid enggan tidur bersamanya.Perlahan Analea meraih ponsel di atas meja rias, lalu membuka sebuah pesan dari nomor yang tak dikenal.Seketika napasnya terhenti saat melihat sebuah foto yang dikirim seseorang entah siapa itu padanya."Astaga, Mas Hamid!"Air mata Analea lolos begitu saja melihat foto Hamid bersama seorang wanita cantik memasuki sebuah rumah. Saat itu juga tubuh Analea terasa lemas, apalagi saat membaca pesan yang ia terima bersamaan dengan foto tersebut.[Suamimu menghabiskan malam panas dengan perempuan lain. Jika tidak percaya, kamu bisa pergi ke sini.]Tak berselang lama, sebuah pesan kembali masuk dari nomor yang sama. Mata Analea melebar saat sebuah alamat tertera pada layar ponselnya. Jantungnya berdetak lebih cepat. Napasnya naik turun.Seketika itu juga Analea merapikan penampilannya dan bergegas memesan ojek online untuk membuktikan kebenaran pesan-pesan dari nomor asing tersebut.Ternyata alamat yang ia tuju tidak begitu jauh dari rumahnya. Dalam waktu 15 menit ia sudah sampai di depan sebuah rumah yang persis seperti di foto tadi. Ia terhenyak melihat sepatu suaminya berada di teras rumah bercat biru itu.Seketika darah Analea mendidih.Ia jelas mengenali sepatu itu, sepatu yang Analea berikan saat mereka merayakan ulang tahun sang suami sebelum mereka menikah dan sepatu itu pulalah yang justru mengantarkan suaminya ke rumah perempuan lain dan bermalam di sana.Analea kemudian melangkah ke sebuah jendela yang tirainya tidak tertutup.Betapa terkejutnya ia ketika melihat pemandangan di depan matanya. Pria yang baru tiga minggu ini menjadi suaminya kini tengah tidur berangkulan dengan seorang wanita lain!“Bisa-bisanya dia menuduhku berzina sebelum menikah, sementara ia justru berselingkuh di belakangku." Analea berguman pada dirinya sendiri. Seketika dadanya merasakan sesak dan nyeri. Kedua tangan Analea mengepal erat karena geram. Sekian detik kemudian, Analea melangkah mendekati pintu, lalu menggedornya dengan sedikit kasar. Tidak ada jawaban. Cukup lama ia menunggu. Setelah berkali-kali mengetuk, akhirnya pintu itu terbuka dan muncullah seorang wanita. Analea tertegun, merasa tidak asing dengan sosok wanita yang tengah berpenampilan seksi tersebut–atau lebih tepatnya, wanita itu belum mengenakan pakaiannya dengan benar. Wanita itu pernah beberapa kali Analea temui di rumah Hamid sejak ia belum menikah. Dulu, Analea sempat terheran dengan sambutan ibu mertuanya yang selalu hangat setiap wanita itu datang. Jauh berbeda ketika ia yang datang dan selalu disambut dengan dingin. "Nandita, Siapa-?” Ketegaran dan sorot dingin yang sejak tadi berusaha ditampilkan oleh Analea serta usa
"Memang dasar perempuan nggak benar!” Analea terdiam saat mendapatkan sorotan tajam dan sinis dari ibu mertuanya. Namun, ia mencoba untuk tetap sopan meskipun sama sekali tidak mendapatkan respons baik dari Bu Irma. "Ibu ... asalamualaikum!" Analea berucap lirih. Ia terpaksa menunda untuk masuk ke kamarnya. Padahal ia sangat ingin merebahkan tubuhnya sejenak. Tubuh Analea terasa lelah setelah menghadapi serentetan kejadian tadi, dan kini, ia pun harus menghadapi bentakan sekaligus tuduhan dari sang ibu mertua. "Ternyata benar apa yang digunjing orang-orang tentang ka–” "Bu ... Aku baru saja melabrak Mas Hamid.” Analea segera menyanggah ucapan Bu Irma yang tampaknya selalu ingin memojokkannya. “Dia semalam tidur dengan perempuan lain, Bu." Meskipun Bu Irma selalu terkesan tidak menyukainya, Analea berpikir bahwa saat wanita paruh baya itu mendengar kelakuan anaknya di luar sana, Bu Irma akan terkejut dan bersimpati pada Analea. Namun, ibu mertuanya itu malah tersenyum sinis– dan
"Ternyata di sini tempat Mas Hamid dan perempuan bernama Nandita itu bekerja." Beberapa hari setelah ia mendapati suaminya tidur dengan perempuan lain, Analea memutuskan untuk keluar rumah–dan kini berdiri di depan sebuah gedung bertingkat bertuliskan PT Bina Sanjaya. Ia telah melakukan sedikit penyelidikan mengenai perempuan yang tidur dengan suaminya tempo hari. Analea bertekad akan menggugat cerai Hamid jika ia tidak bisa membuat pria itu menceraikannya. Salah satu caranya adalah dengan menyewa pengacara dan mengumpulkan bukti perselingkuhan. Namun, untuk melakukannya, ia butuh uang, Oleh karena itu, sejak beberapa hari yang lalu, berbekal pendidikan sarjananya, Analea sibuk mengirim lamaran kerja ke beberapa perusahaan, dan pagi ini PT Bina Sanjaya memanggilnya untuk melakukan wawancara. Ia sama sekali tidak menduga sebelumnya bahwa ternyata suami dan selingkuhannya bekerja di perusahaan yang sama. Begitu banyak kesempatan yang mereka peroleh untuk berhubungan di belakang Anal
"Aku jamin istrimu itu tidak akan diterima di sini." Wanita yang hobi memakai rok mini itu memang memiliki sedikit memiliki kuasa di PT Bina Sanjaya. Ia berniat memanfaatkan jabatannya selaku salah satu manajer untuk membuat Analea sulit diterima di perusahaan tersebut. Hamid mengangguk dengan wajah tak terbaca. Pikirannya masih terus tertuju pada Analea. Wanita yang sebenarnya masih ia cintai. Namun, egonya sebagai laki-laki benar-benar terasa diinjak-injak apabila bersama Analea saat ini. Di sisi lain, Analea telah sampai di ruang tunggu yang terletak di dekat ruang auditorium. Ruang tersebut cukup luas dan diisi oleh puluhan pelamar yang hendak wawancara. Analea mengedarkan pandangannya pada para wanita yang memiliki tujuan sama dengannya. Wanita itu meringis membandingkan penampilan dirinya dengan pelamar lain. Pakaian yang ia kenakan sangat berbeda dari yang lainnya. Bukan karena lebih bagus, melainkan karena modelnya yang terlalu sederhana serta warna yang sedikit mencolok.
Bruk! "Argh!" Analea terpekik saat tubuhnya terbentur trotoar, sementara wanita yang ia tolong jatuh di atas tubuhnya. Rasa nyeri seketika ia rasakan pada sikunya yang beradu dengan trotoar. “Nak, kamu tidak apa-apa?” Wanita paruh baya itu segera bangkit dan membantu Analea duduk. "Tidak, Bu. Ibu, Ibu nggak apa-apa.” Analea duduk dan melihat kondisi wanita asing itu tanpa mengecek kondisinya sendiri. “Ada yang sakit?" Tanpa ia sadari orang-orang sekitar mulai berdatangan mengerumuni mereka. "Tidak, Saya tidak apa-apa." Wanita paruh baya berwajah cantik itu berpegangan pada lengan Analea. Analea menyadari tubuh wanita sedikit gemetar akibat insiden yang baru saja terjadi. Meskipun begitu, wajah asing yang tampak sedikit pucat berusaha tersenyum menatap Analea. "Permisi, Bapak, Ibu ...!" Karena ada banyak orang berkerumun di sekitar mereka kemudian, Analea memutuskan untuk membawa wanita itu kembali ke supermarket, jauh dari jalan raya, meski agak terpincang. Baru
Senyum masih terukir di wajah Analea sepanjang jalan ke rumah. Ia tak berhenti bersyukur karena dipertemukan dengan Maira hari ini. Namun, suasana hati Analea yang baik hanya bertahan hingga sesaat sebelum ia berpapasan dengan para tetangganya."Ya ampun, Mbak Ana dari mana? Tumben rapi!" "Dari melamar pekerjaan, Bu." Analea tetap menjawab sopan walau dua tetangganya selalu menatapnya dengan pandangan meremehkan."Memangnya mau kerja di mana, Mbak? Jaga toko?” ucap Bu Siska, salah satu dari tetangganya itu, menggoda Analea yang sehari-hari tampil sebagai ibu rumah tangga. “Oh, atau ... jadi cleaning service gitu?" timpal Bu Monica dengan nada yang sama.Analea membalas, "Kerja apa aja yang penting halal, Bu.""Aduuuh, Mbak. Kenapa nggak di rumah aja sih? Memangnya nyari kerja gampang?" cetus tetangganya lagi."Iya, memangnya bisa?" timpal yang lain.Ana tersenyum tipis. "Namanya usaha, Bu," balasnya. "Daripada jadi beban suami, kan? Ngandelin suami juga nggak baik loh ibu-ibu, kita nggak t
"Kalau ada perempuan dengan penampilan sederhana bernama Analea, bisa langsung diantarkan ke ruangan Presdir!" Wanita dengan blazer merah ternganga. "Cepat kamu kejar perempuan itu!" titah sang resepsionis senior. "Kalau dia sudah pergi, aku tidak mau ikut tanggung jawab ya kalau kena tegur para atasan." "Sekuriti!” Resepsionis itu langsung berlari keluar dari balik meja dengan panik dan setengah berlari ke pintu putar. Suara sepatu heels-nya terdengar nyaring, seperti suaranya. “Tolong hentikan wanita yang baru saja pergi itu, Pak. Itu yang pakai kemeja putih!" Wanita itu tampak cemas. Apakah ia baru saja mengusir tamu untuk Pak Presdir? Aduh, bagaimana nasibnya nanti? Untungnya, Analea belum pergi jauh. Tak lama kemudian, Analea sudah kembali berdiri di depan meja resepsionis. "Saya dipanggil, Mbak?" tanya Analea penuh harap. Ia sama sekali lupa pada perlakuan si resepsionis padanya tadi. "Iya. Mbak, langsung ke atas, ya! Saya antar!" Wajah Analea mendadak berbin
"Lima belas juta!?" batin Analea tak percaya. Ia melihat angka tersebut untuk waktu yang cukup lama hingga akhirnya Kaisar bertanya."Ada masalah?""Eh--" Analea mengangkat wajahnya. "Oh, ini, Pak. Gaji saya ...."Kaisar mengangguk. "Apakah kurang?""Bukan begitu, Pak," sahut Analea buru-buru. "Justru, bukankah saya hanya intern? Apakah lima belas juta tidak terlalu banyak untuk saya?"Kaisar menegakkan punggungnya. Matanya masih saja tertuju pada Analea. "Saya rasa nominal tersebut tidak tinggi untuk orang yang telah menolong mama saya," ucapnya kemudian. "Lagi pula, saya meyakini kamu berpotensi untuk berkembang di sini, Analea.""Selain itu," imbuh Kaisar. "Tugas-tugas kamu saat mendampingi saya tidak akan mudah. Saya rasa itu nominal yang masuk akal."Analea mendengarkan dengan saksama penjelasan dari pria di hadapannya tersebut, sebelum kemudian mengangguk."Terima kasih, Pak Kaisar," ucapnya penuh syukur. Setelah menghadapi permasalahan rumah tangganya, akhirnya Analea bertemu dengan ora
"Mengundang Raka? Apa itu perlu?" tanya Rein datar. Maira menghela napas panjang." Sayang, kita harus minta maaf pada Raka dan Kayla karena pernikahan Kaisar kemarin. Aku dengar, dia kecewa." Rein mendengkus kesal. "Bisa-bisanya dia kecewa. Seharusnya dia bisa memilih mana yang harus diprioritaskan. Lagipula, cuma gara-gara dia tidak bisa hadir, semua acara yang sudah direncanakan harus diubah begitu saja?" "Tapi dia papa kandung Kaisar, Rein!" bantah Maira. "Oh, jadi menurutmu Raka lebih berhak memutuskan semuanya daripada aku? Mengapa kamu tidak pernah mengerti, Kaisar itu lebih dari sekedar anak sambung untukku. Kami sudah bersama sejak dia baru bisa berjalan. Kamu pikir kemana Raka selama ini? Bisa-bisanya dia merasa sebagai ayah kandung yang harus diprioritaskan." Bicara Rein mulai meninggi. Hal ini membuat Maira menjadi panik. Ia tidak ingin Rein tiba-tiba sakit di hari bahagia ini. "Ya, Sayang. Sudah, ya. Maafkan aku," ucap Maira lembut. Ia langsung memeluk suaminya
Analea dan Fabian baru saja kembali dari rumah sakit setelah kelahiran anak pertama mereka. Maira dan Rein menyambut mereka dengan penuh antusias, sementara Fabian terlihat sangat hati-hati saat menggendong bayi mereka yang masih mungil. "Selamat datang kembali di rumah, sayang," ucap Maira sambil tersenyum hangat. Ia memeluk Analea dengan lembut. "Kamu luar biasa, Analea. Sekarang kamu sudah menjadi seorang ibu!" Maira membawa anak dan menantunya ke ruang tamu. Analea, meski terlihat lelah, tersenyum lebar. "Terima kasih, Ma. Rasanya aku masih nggak percaya akhirnya bayi kecil ini ada di sini," ujarnya sambil memandangi bayi perempuannya yang sedang tidur nyenyak di pelukan Fabian. Saat ini mereka sudah berada di ruang tamu rumah mewah itu. Rein yang berdiri di sebelah Maira tampak tersenyum bangga. "Ini cucu pertama kami. Rasanya seperti mimpi melihat kalian pulang dengan bayi mungil yang cantik," ucapnya sambil menepuk pelan bahu Fabian. Fabian tersenyum lega. "Kami juga merasa
Setelah tiga hari berada di hotel, pagi itu Kaisar dan Kanaya memutuskan untuk sarapan di restoran hotel sebelum melanjutkan rencana liburan singkat mereka. Meski tubuh sedikit lelah setelah melewati malam-malam yang panjang, kebahagiaan terus terpancar dari keduanya. "Maafin aku, Sayang. Aku belum sempat membawamu berlibur ke luar kota atau ke luar negeri. Rencananya setelah proyek terakhir ini selesai, aku akan mengajakmu ke suatu tempat yang indah dan tentunya cukup jauh." Kanaya tersenyum haru."Nggak apa-apa, Mas. Selama Mas ada di dekatku, bagiku di mana aja nggak masalah. Liburan di hotel ini pun sudah bikin aku bahagia. Pokoknya asal kita selalu bersama." Kanaya menatap Kaisar dengan lekat. Mendapatkan tatapan yang berbeda dari istrinya, Kaisar jadi berdebar dan salah tingkah." Aku suka kamu tidak lagi malu-malu, Sayang." Kaisar menjawil hidung mancung Kanaya. Keduanya tertawa kecil penuh kebahagiaan. Di saat sedang menikmati momen santai itu, tiba-tiba seorang pelayan men
“Ini dari Mama,” ucap Kaisar pelan sambil mengangkat telepon. “Halo, Ma?” Suara Maira terdengar penuh semangat di ujung telepon. “Kaisar! Kamu di mana? Analea sudah melahirkan!” Kaisar langsung terkejut. “Apa? Analea sudah melahirkan? Sekarang, Ma?” “Iya! Kami sudah di rumah sakit sekarang. Ayo cepat ke sini, Kaisar. Kalian harus segera datang,” jawab Maira dengan penuh kegembiraan. Kaisar menoleh ke arah Kanaya yang sudah berdiri di belakangnya. “Analea sudah melahirkan, Naya. Kita harus ke rumah sakit sekarang.” Mata Kanaya langsung berbinar. “Beneran, Mas? Ya ampun, aku harus segera siap-siap!” Kaisar tersenyum melihat antusiasme istrinya. “Iya, beneran. Ayo cepat kita berangkat.” Tanpa menunggu lama, setelah membersihkan diri dan berpakaian, Kanaya segera mengambil tas kecilnya, sementara Kaisar sudah siap di depan pintu. Mereka berdua keluar kamar dan menuju lobi hotel dengan cepat. Di perjalanan, Kanaya tampak begitu bersemangat. “Aku masih nggak nyangka, Mas. Kak Analea
“Naya, ini malam yang kita tunggu-tunggu,” bisik Kaisar sambil menatap istrinya dengan penuh cinta. Kaisar membuka pintu kamar dengan perlahan, lalu mengajak Kanaya masuk. Kamar itu dihiasi dengan bunga-bunga mawar yang wangi dan lilin-lilin kecil yang menambah suasana romantis. Kaisar menggenggam tangan Kanaya, lalu menuntunnya untuk duduk di tepi ranjang. Kanaya tersenyum kecil, meskipun wajahnya masih terlihat sedikit gugup. “Iya, Mas. Aku masih nggak percaya ini benar-benar terjadi.” Kaisar mengusap pipi Kanaya dengan lembut, lalu mengecupnya pelan. “Kamu nggak perlu takut. Aku akan selalu ada untukmu, sekarang dan selamanya.” Kanaya merasakan debaran di dadanya semakin kencang. “Terima kasih sudah mau menjagaku, Mas. Aku juga merasa sangat bahagia malam ini.” Mereka berdua saling menatap, merasakan betapa dalam cinta yang kini mengikat mereka. "Naya ...," bisik Kaisar. Ia menggeser tubuhnya hingga nyaris tak berjarak lagi dengan Kanaya. Satu tangannya mengusap lembut bibir
Malam itu, hotel mewah tempat resepsi berlangsung dipenuhi oleh tamu-tamu dari berbagai kalangan. Lampu kristal yang bergemerlapan menambah kemewahan suasana, sementara karpet merah yang terbentang menyambut setiap tamu yang datang. Kaisar dan Kanaya sudah siap di belakang panggung, menanti giliran mereka untuk memasuki ballroom utama sebagai pasangan suami istri yang resmi. “Kamu siap, Naya?” tanya Kaisar dengan senyum lembut, sambil menggenggam tangan istrinya yang sedikit gemetar. Kanaya mengangguk pelan, meski hatinya masih berdebar-debar. “Aku siap, Mas,” jawabnya. Di ballroom utama, para tamu sudah mulai berkumpul. Banyak wajah yang familiar hadir. Para karyawan yang mengenal Kanaya dan Kaisar datang mengenakan pakaian terbaik mereka. Beberapa dari mereka tampak saling berbicara pelan, masih terkejut dengan kabar bahwa asisten pribadi bos besar mereka ternyata adalah istrinya sendiri. “Aku nggak nyangka banget, ternyata Kanaya benar-benar istri Pak Kaisar,” bisik salah satu
Setelah beberapa saat mencari, Kaisar akhirnya melihatnya. Di sana, di depan makam ayahnya, Kanaya duduk sambil memeluk lututnya. Tubuhnya tampak gemetar, sementara isak tangisnya terdengar pelan di antara keheningan. Kaisar berjalan mendekat dengan hati-hati, tidak ingin mengejutkan istrinya yang sedang larut dalam kesedihan. “Naya ...,” panggilnya pelan, suaranya penuh rasa bersalah. Tapi rasa sayang itu terasa makin mendalam. Kanaya tersentak. Gadis itu terdiam sejenak, sebelum menoleh ke arah suara itu. Matanya yang bengkak menunjukkan betapa berat beban yang ia rasakan saat ini. "Mas ... kenapa menyusulku? Kenapa Mas tinggalin Intan di sana?" Suara Kanaya terdengar parau. Sisa air mata masih membasahi wajah manisnya. Kaisar perlahan lebih mendekat. Ia berlutut di samping Kanaya, menatap mata Kanaya dengan penuh penyesalan. “Naya, aku minta maaf. Aku benar-benar tidak bermaksud membuatmu terluka. Intan muncul tiba-tiba, dan aku terlalu terkejut hingga tidak tau harus melakukan
Kaisar memutar tubuhnya hendak memanggil Kanaya. Di tengah kebingungannya, ia ingin segera memperkenalkan Kanaya pada Intan dan memastikan bahwa tidak ada salah paham yang terjadi. Namun, begitu ia melihat sekeliling, ia tidak menemukan Kanaya di sana. "Kanaya?" panggilnya, memandang ke berbagai arah. Tidak ada jawaban. Kaisar mulai merasa panik. Ia mencoba mencari ke ruangan lain, berharap menemukan Kanaya sedang sibuk dengan sesuatu. Tapi setelah mencari ke dapur, ruang tengah, bahkan ke ruang persiapan, Kanaya tetap tidak terlihat. Kaisar semakin gelisah. "Kemana dia pergi?" gumamnya pelan, sambil mencoba menelepon Kanaya. Namun, tidak ada jawaban dari panggilan itu. Perasaannya mulai tak karuan, seolah ada yang menindih dadanya. Di tengah kegelisahannya, Kaisar melihat Maira dan Rein mendekat. Wajah Maira tampak khawatir, sementara Rein berusaha tetap tenang. “Ada apa, Kaisar? Kenapa wajahmu tegang begitu?” tanya Maira dengan nada cemas. Kaisar menghela napas, mencoba menaha
Bab 26: Kedatangan yang Tak Terduga Rumah besar dan mewah milik Maira dan Rein dipenuhi dengan aktivitas sejak pagi itu. Persiapan resepsi pernikahan Kanaya dan Kaisar yang akan digelar malam ini tengah berlangsung dengan penuh semangat. Maira berkeliling memastikan semua detail dipersiapkan dengan sempurna, sementara Kaisar dan Kanaya membantu semampu mereka. Analea dan Ratu pun ikut membantu Maira. “Kaisar, nanti jangan lupa ke ruang ganti untuk cek lagi setelan jasnya, ya,” ujar Maira sambil memeriksa daftar tamu undangan. Meski mereka memakai jasa WO, Maira tak ingin ada hal sekecil apapun yang terlewat. “Iya, Ma,” jawab Kaisar sambil tersenyum, lalu beralih ke Kanaya yang tampak sibuk dengan telepon genggamnya, memastikan tamu dari pihaknya juga sudah menerima undangan. Ia juga menyiapkan transportasi untuk para keluarganya dari Bogor.Setelah kembali dari ruang ganti, Kaisar kembali menemani Kanaya yang masih mendata para tamunya di ruang tamu. Mereka yang sedang duduk di sof