Share

Bab 2. Tuduhan Kebohongan dan Pengkhianatan

"Padahal saat menikah denganku, kamu sudah tidak perawan!”

DEG!

Sepasang mata Analea membelalak. Mendengar tuduhan sang suami, hati wanita itu seperti tertusuk ratusan belati.

"Astaghfirullah, Mas. kenapa Kamu berpikir seperti itu?!” Analea mengelus dadanya yang terasa nyeri. Ia tidak menduga Hamid akan mengatakan menuduhnya seperti itu. “Demi Tuhan, Mas. Aku masih suci! Kamu adalah satu-satunya pria yang mendapatkan kesucianku secara sah.”

Ia berusaha meyakinkan suaminya.

"Tidak perlu bawa-bawa nama Tuhan di hadapanku!” bentak Hamid. “Buktinya, malam itu tidak ada bercak darah di ranjang kita!"

Kedua tangan Analea makin menekan dada, menahan rasa nyeri yang luar biasa.. Lagi-lagi ia tak menduga suaminya mengatakan dia tidak perawan karena tidak ada bercak darah di ranjang mereka.

Padahal, ia tidak pernah berhubungan badan dengan siapa pun sebelum menikah dengan Hamid.

Namun, kini, semua tampak masuk akal. Sejak malam itu, Hamid berubah dingin padanya. Suaminya tersebut tidak pernah mengatakan apa pun dan justru selalu menghindar darinya.

"Mas Hamid adalah satu-satunya pria yang pernah melakukan hal itu denganku." Analea mencoba kembali meyakinkan suaminya dengan suara bergetar menahan tangis. Sekuat mungkin Analea mencoba untuk tidak menangis di depan suaminya.

Namun, suaminya tersebut hanya menatapnya dengan pandangan menghakimi, seakan-akan Analea adalah wanita paling kotor di dunia.

“Mas,” Dada Analea makin terasa sesak karena tidak dipercayai oleh pria yang baru saja menjadi suaminya sendiri. “Demi Tu–”

"Kamu nggak pantas bawa-bawa nama Tuhan, Analea!”

Analea menoleh ke arah suara nyaring yang tiba-tiba muncul dari arah ruang tamu. Ibu mertuanya menatapnya dengan wajah memerah marah, sama sekali tidak tergerak meskipun Analea sudah berurai air mata.

“Ibu …,” panggil Analea saat melihat ibu mertuanya, Irma, di depan Hamid.

Irma menatap nyalang menantunya itu. “Aku sudah menduga sejak awal kalau kamu memang bukan wanita baik-baik!” sergah wanita itu sembari menudingkan jarinya ke wajah Analea. “Ternyata memang benar pergaulanmu liar, sama seperti ibumu!”

“Astaga, Ibu.” Analea terbelalak mendengar hujatan dari mertuanya, ibu pria yang ia cintai. Meskipun ia baru sebentar menjadi menantu Irma, tetapi Analea sudah menganggap wanita itu sebagai orang tuanya sendiri. Namun, wanita ini pulalah yang menghujat asal usul dan ibu yang telah membesarkannya tanpa pamrih. “Ibu saya memang tinggal di area lokalisasi, tetapi beliau wanita baik-baik. Beliau telah merawat saya–”

“Halah!” Bu Irma mengibaskan tangannya. “Omong kosong. Memang ya, buah itu tidak jatuh jauh dari pohonnya. Kalau sudah begini, kasihan anakku, nikah sama penipu.”

Wanita tua itu kemudian mendengus kasar. Dengan nada ketus, ia melanjutkan, “Benar kata para tetangga, sudah benar anakku nggak mau lagi tidur sama kamu.”

Analea tersentak mendengar ungkapan ibu mertuanya.

Para tetangga …?

Sepasang mata Analea membulat ketika secara otomatis teringat obrolan ibu-ibu tetangga tadi pagi.

Apakah … ibu mertuanya ini adalah orang yang telah menyebarkan informasi bahwa ia dan Hamid sudah tidak tidur satu kamar?

"Maaf, Bu. Apa ibu mengatakan pada tetangga bahwa kami,” Analea menunjuk dadanya dan kemudian suaminya yang sejak tadi diam, tak bergerak sedikit pun dengan wajah keruh, “tidak tidur satu kamar?"

Seketika, Bu Irma tampak gugup. Wanita itu sekilas melirik ke arah Hamid, sebelum kemudian kembali membentak Analea.

"Dasar menantu kurang ajar! Berani-beraninya kamu menuduhku yang tidak-tidak!"

Analea menghapus bekas-bekas air mata di pipinya terlebih dahulu sebelum dengan sopan menyahut, "Bukan begitu maksudku, Bu–”

"Pintar ngomong kamu sekarang? Dasar anak pelacur!" bentak Bu Irma sekali lagi. Lalu, pada Hamid, ia berkata, “Lihat istri yang tadinya kamu banggakan itu, Nak. Padahal sudah menipu kamu sampai begini, sekarang malah menuduh ibu yang tidak-tidak.”

Bu Irma mengadu pada sang putra, menambahkan bahan bakar ke dalam api.

“Bu, bukan begitu,” ucap Analea kemudian. Nada suaranya melembut menghadapi ibu mertuanya yang marah-marah. “Aku tidak menuduh ataupun menyalahkan Ibu. Hanya saja, baiknya hal-hal tersebut disimpan–”

“Dengar itu, Hamid!” sergah Bu Irma sembari menunjuk ke wajah Analea. Satu lengannya merangkul lengan Hamid, seakan-akan meneguhkan putranya tersebut atas kelakuan sang istri. “Istrimu–”

"Analea!" Teriakan Hamid menghentikan ucapan Bu Irma.

Spontan saja Analea menoleh pada suaminya. Ia berharap Hamid akan membelanya.

Namun, harapannya hanyalah harapan kosong belaka.

"Dengar, Analea! Jangan coba-coba kamu melemparkan kesalahan pada ibuku. Apalagi menuduh beliau yang telah membesarkanku seperti itu! Seharusnya kamu sadar dengan dosa yang telah kamu perbuat, bukan malah melemparkannya pada orang lain."

Analea terhenyak mendengar ucapan suaminya. Tanpa mampu bicara lagi, wanita itu hanya terpaku meiihat Hamid meraih jaketnya dengan kasar, lalu berjalan menuju pintu keluar. Tatapannya nanar melihat punggung suaminya menghilang di balik pintu.

Sementara itu, diam-diam tanpa dilihat siapa pun, Bu Irma tersenyum penuh kemenangan sesaat, sebelum kembali menyalahkan Analea.

"Nah, kan. Gara-gara kamu, sih! Hamid pergi lagi, tuh!” ucap Bu Irma. “Mau bagaimana lagi, di rumah dibuat tidak betah sama istri sendiri. Yah, semoga saja di luar sana Hamid menemukan wanita baik-baik yang akan mendampinginya nanti."

Usai mengatakan itu, Bu Irma pergi meninggalkan Analea begitu saja sementara wanita muda itu tidak punya tenaga untuk sekadar membalas ucapan mertuanya, pun mengejar suaminya yang entah ke mana. Analea hanya sanggup berjalan masuk ke kamar dan menangis sendirian.

Entah berapa lama Analea menangis, terdengar nada ponsel Analea, menandakan ada pesan masuk. Wanita cantik itu kemudian menggeliat. Entah pukul berapa ia tertidur setelah semalaman menangis.

Area di sampingnya dingin–sama seperti malam-malam sebelumnya karena Hamid enggan tidur bersamanya.

Perlahan Analea meraih ponsel di atas meja rias, lalu membuka sebuah pesan dari nomor yang tak dikenal.

Seketika napasnya terhenti saat melihat sebuah foto yang dikirim seseorang entah siapa itu padanya.

"Astaga, Mas Hamid!"

Air mata Analea lolos begitu saja melihat foto Hamid bersama seorang wanita cantik memasuki sebuah rumah. Saat itu juga tubuh Analea terasa lemas, apalagi saat membaca pesan yang ia terima bersamaan dengan foto tersebut.

[Suamimu menghabiskan malam panas dengan perempuan lain. Jika tidak percaya, kamu bisa pergi ke sini.]

Tak berselang lama, sebuah pesan kembali masuk dari nomor yang sama. Mata Analea melebar saat sebuah alamat tertera pada layar ponselnya. Jantungnya berdetak lebih cepat. Napasnya naik turun.

Seketika itu juga Analea merapikan penampilannya dan bergegas memesan ojek online untuk membuktikan kebenaran pesan-pesan dari nomor asing tersebut.

Ternyata alamat yang ia tuju tidak begitu jauh dari rumahnya. Dalam waktu 15 menit ia sudah sampai di depan sebuah rumah yang persis seperti di foto tadi. Ia terhenyak melihat sepatu suaminya berada di teras rumah bercat biru itu.

Seketika darah Analea mendidih.

Ia jelas mengenali sepatu itu, sepatu yang Analea berikan saat mereka merayakan ulang tahun sang suami sebelum mereka menikah dan sepatu itu pulalah yang justru mengantarkan suaminya ke rumah perempuan lain dan bermalam di sana.

Analea kemudian melangkah ke sebuah jendela yang tirainya tidak tertutup.

Betapa terkejutnya ia ketika melihat pemandangan di depan matanya. Pria yang baru tiga minggu ini menjadi suaminya kini tengah tidur berangkulan dengan seorang wanita lain!

Komen (15)
goodnovel comment avatar
Heri eko Sasongko
hmm sangat menarik ceritanya ada misteri di dlm rumah tangga
goodnovel comment avatar
mayank shinee
sudahlah,akhiri saja pernikahan itu mencari ridho Allah SWT jika saling menyakiti untuk apa?
goodnovel comment avatar
Vina Rangkas
suka banget dengan cerita nya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status