"Memang dasar perempuan nggak benar!”
Analea terdiam saat mendapatkan sorotan tajam dan sinis dari ibu mertuanya. Namun, ia mencoba untuk tetap sopan meskipun sama sekali tidak mendapatkan respons baik dari Bu Irma."Ibu ... asalamualaikum!" Analea berucap lirih.Ia terpaksa menunda untuk masuk ke kamarnya. Padahal ia sangat ingin merebahkan tubuhnya sejenak.Tubuh Analea terasa lelah setelah menghadapi serentetan kejadian tadi, dan kini, ia pun harus menghadapi bentakan sekaligus tuduhan dari sang ibu mertua."Ternyata benar apa yang digunjing orang-orang tentang ka–”"Bu ... Aku baru saja melabrak Mas Hamid.” Analea segera menyanggah ucapan Bu Irma yang tampaknya selalu ingin memojokkannya. “Dia semalam tidur dengan perempuan lain, Bu."Meskipun Bu Irma selalu terkesan tidak menyukainya, Analea berpikir bahwa saat wanita paruh baya itu mendengar kelakuan anaknya di luar sana, Bu Irma akan terkejut dan bersimpati pada Analea.Namun, ibu mertuanya itu malah tersenyum sinis– dan Analea lah yang terkejut dengan apa yang diucapkan wanita itu setelahnya."Ya, jelas saja putraku itu mencari wanita lain. Semua ini juga gara-gara kamu.”Analea terkejut. “Ibu tahu?”“Tahu atau enggak, Ibu paham kenapa Hamid begitu,” sahut Bu Irma. “Lagi pula, Hamid pasti tidak puas dan kecewa sama kamu yang sudah tidak gadis lagi ketika dia nikahi. Belum lagi masa lalumu yang kotor itu.”Analea menghela napas, terdengar lelah. Sudah berkali-kali ia membela diri, tetapi tidak ada yang percaya padanya. Meskipun, ya, ia tahu bahwa ia sempat tinggal di area lokalisasi dan itu akan mempengaruhi pandangan orang-orang terhadap dirinya, ia tidak menyangka semua akan jadi seperti ini.Apalagi karena suaminya dulu tidak mempermasalahkan masa lalunya tersebut.Kini usai serentetan kejadian yang ia alami, Analea merasa terlampau lelah dan tidak sanggup lagi berusaha meyakinkan orang-orang tentang dirinya.Ia bahkan tidak tahu entah sampai kapan ia akan menerima semua tuduhan dan hinaan ini, kapan mereka akan bosan menudingnya dengan kabar-kabar yang tidak benar.Karena itu, akhirnya Analea berkata:"Ya Bu. Aku akan mengajukan cerai pada Mas–”"Siapa bilang aku akan menceraikanmu!?"Ucapan Analea barusan tiba-tiba mendapat sanggahan dari arah pintu masuk. Hamid muncul dan langsung berdiri di hadapan Analea.Bu Irma yang sempat senang saat mendengar kata cerai dari bibir Analea, seketika cemberut mendengar bantahan dari Hamid. Wanita paruh baya itu mendekat dan berdiri di sebelah putranya."Kenapa, Hamid? Memangnya kamu nggak malu mendengar omongan tetangga?" Bu Irma berusaha mengompori putranya."Tidak, Bu,” sahut Hamid tegas. “Aku tidak mau bercerai dengan Ana.”Analea memandang sang suami yang tengah menatapnya. Sesaat kemudian Hamid melanjutkan ucapannya, "Setelah apa yang ia perbuat, aku tidak akan melepaskannya begitu saja, Bu."Ucapan Hamid yang penuh penekanan membuat sepasang mata Analea terbelalak. Tubuh wanita itu melemas seketika."Mas." Analea merasa sudah lelah menghadapi sikap Hamid padanya. Pria itu sungguh sangat berbeda dengan sosok yang dikenalnya sebelum menikah. "Mas Hamid, kalau Mas memang nggak percaya sama aku, apa gunanya pernikahan ini kita lanjutkan?"Sekuat mungkin Analea menahan jatuhnya air mata yang telah menggantung di kedua sudut matanya.Hamid menoleh pada Analea dan menatap istrinya itu dengan tajam."Dengar, Ana. Ini bukan masalah kepercayaan.” ucap Hamid. Tatapan matanya menggelap. “Tapi, kamu tidak akan mendapatkan apa yang kamu mau dengan mudah. Setelah membuatku menikahimu, tentu saja aku tidak akan melepaskanmu begitu saja. Aku akan terus menahanmu agar tetap bersamaku!"Sudah tidak ada air mata di wajah Analea, meskipun sepasang matanya tampak sembab. Yang tersisa adalah raut wajah lelah dan kekecewaan di sana–serta benih kemarahan karena diperlakukan secara semena-mena.“Kalau aku masih istrimu, kamu tidak bisa menemui wanita tadi dengan bebas,” ucap Analea. “Aku bahkan bisa saja menyebarkan perselingkuhan Mas dan wanita itu, hingga ke kantor jika aku mau."Mendengar ancaman Analea, Hamid spontan mendengus."Coba saja kalau bisa. Lagian memangnya Kamu punya bukti? Nggak, kan?" Hamid membalas.Analea terdiam. Ia memang tidak mengambil potret saat suaminya tidur dengan wanita itu–ataupun saat ia mendapati mereka tidak berpakaian pantas di kediaman si wanita. Yang Analea punya hanyalah foto saat keduanya memasuki rumah, yang ia dapatkan dari nomor tidak dikenal tadi.Bukti itu tentunya tidak kuat dan bisa dibantah begitu saja oleh semua pihak."Lagian siapa yang bakal percaya dengan omongan kamu?” lanjut Hamid, terdengar meremehkan di telinga Analea.Benar. Apa yang dikatakan oleh Hamid semuanya benar.Jika Analea menyebarkan perselingkuhan suaminya sekalipun, semua orang sudah pasti berpihak pada Hamid, mengingat tidak ada siapa pun yang percaya dia di sini.Namun, Analea tidak mengiyakan ataupun memberikan konfirmasi bahwa ia setuju dengan kata-kata suaminya. Ia hanya diam dan memasang ekspresi tidak terbaca, membuat senyum di wajah Hamid perlahan menghilang dan meragukan ucapannya sendiri.Sebelum Analea akhirnya masuk ke kamarnya, ia berucap pelan, “Terserah Mas. Keputusanku sudah bulat untuk bercerai.”“Ana! Jangan keras kepala!” bentak Hamid. Namun, Analea tidak lagi menoleh ke suaminya hingga pria itu menjatuhkan diri di atas sofa ruang tamu. Hamid mengusap wajahnya yang tampak lelah. Dalam hati, ia bergumam, “Sial, kenapa pernikahan kita jadi seperti ini, Ana?”"Ternyata di sini tempat Mas Hamid dan perempuan bernama Nandita itu bekerja." Beberapa hari setelah ia mendapati suaminya tidur dengan perempuan lain, Analea memutuskan untuk keluar rumah–dan kini berdiri di depan sebuah gedung bertingkat bertuliskan PT Bina Sanjaya. Ia telah melakukan sedikit penyelidikan mengenai perempuan yang tidur dengan suaminya tempo hari. Analea bertekad akan menggugat cerai Hamid jika ia tidak bisa membuat pria itu menceraikannya. Salah satu caranya adalah dengan menyewa pengacara dan mengumpulkan bukti perselingkuhan. Namun, untuk melakukannya, ia butuh uang, Oleh karena itu, sejak beberapa hari yang lalu, berbekal pendidikan sarjananya, Analea sibuk mengirim lamaran kerja ke beberapa perusahaan, dan pagi ini PT Bina Sanjaya memanggilnya untuk melakukan wawancara. Ia sama sekali tidak menduga sebelumnya bahwa ternyata suami dan selingkuhannya bekerja di perusahaan yang sama. Begitu banyak kesempatan yang mereka peroleh untuk berhubungan di belakang Anal
"Aku jamin istrimu itu tidak akan diterima di sini." Wanita yang hobi memakai rok mini itu memang memiliki sedikit memiliki kuasa di PT Bina Sanjaya. Ia berniat memanfaatkan jabatannya selaku salah satu manajer untuk membuat Analea sulit diterima di perusahaan tersebut. Hamid mengangguk dengan wajah tak terbaca. Pikirannya masih terus tertuju pada Analea. Wanita yang sebenarnya masih ia cintai. Namun, egonya sebagai laki-laki benar-benar terasa diinjak-injak apabila bersama Analea saat ini. Di sisi lain, Analea telah sampai di ruang tunggu yang terletak di dekat ruang auditorium. Ruang tersebut cukup luas dan diisi oleh puluhan pelamar yang hendak wawancara. Analea mengedarkan pandangannya pada para wanita yang memiliki tujuan sama dengannya. Wanita itu meringis membandingkan penampilan dirinya dengan pelamar lain. Pakaian yang ia kenakan sangat berbeda dari yang lainnya. Bukan karena lebih bagus, melainkan karena modelnya yang terlalu sederhana serta warna yang sedikit mencolok.
Bruk! "Argh!" Analea terpekik saat tubuhnya terbentur trotoar, sementara wanita yang ia tolong jatuh di atas tubuhnya. Rasa nyeri seketika ia rasakan pada sikunya yang beradu dengan trotoar. “Nak, kamu tidak apa-apa?” Wanita paruh baya itu segera bangkit dan membantu Analea duduk. "Tidak, Bu. Ibu, Ibu nggak apa-apa.” Analea duduk dan melihat kondisi wanita asing itu tanpa mengecek kondisinya sendiri. “Ada yang sakit?" Tanpa ia sadari orang-orang sekitar mulai berdatangan mengerumuni mereka. "Tidak, Saya tidak apa-apa." Wanita paruh baya berwajah cantik itu berpegangan pada lengan Analea. Analea menyadari tubuh wanita sedikit gemetar akibat insiden yang baru saja terjadi. Meskipun begitu, wajah asing yang tampak sedikit pucat berusaha tersenyum menatap Analea. "Permisi, Bapak, Ibu ...!" Karena ada banyak orang berkerumun di sekitar mereka kemudian, Analea memutuskan untuk membawa wanita itu kembali ke supermarket, jauh dari jalan raya, meski agak terpincang. Baru
Senyum masih terukir di wajah Analea sepanjang jalan ke rumah. Ia tak berhenti bersyukur karena dipertemukan dengan Maira hari ini. Namun, suasana hati Analea yang baik hanya bertahan hingga sesaat sebelum ia berpapasan dengan para tetangganya."Ya ampun, Mbak Ana dari mana? Tumben rapi!" "Dari melamar pekerjaan, Bu." Analea tetap menjawab sopan walau dua tetangganya selalu menatapnya dengan pandangan meremehkan."Memangnya mau kerja di mana, Mbak? Jaga toko?” ucap Bu Siska, salah satu dari tetangganya itu, menggoda Analea yang sehari-hari tampil sebagai ibu rumah tangga. “Oh, atau ... jadi cleaning service gitu?" timpal Bu Monica dengan nada yang sama.Analea membalas, "Kerja apa aja yang penting halal, Bu.""Aduuuh, Mbak. Kenapa nggak di rumah aja sih? Memangnya nyari kerja gampang?" cetus tetangganya lagi."Iya, memangnya bisa?" timpal yang lain.Ana tersenyum tipis. "Namanya usaha, Bu," balasnya. "Daripada jadi beban suami, kan? Ngandelin suami juga nggak baik loh ibu-ibu, kita nggak t
"Kalau ada perempuan dengan penampilan sederhana bernama Analea, bisa langsung diantarkan ke ruangan Presdir!" Wanita dengan blazer merah ternganga. "Cepat kamu kejar perempuan itu!" titah sang resepsionis senior. "Kalau dia sudah pergi, aku tidak mau ikut tanggung jawab ya kalau kena tegur para atasan." "Sekuriti!” Resepsionis itu langsung berlari keluar dari balik meja dengan panik dan setengah berlari ke pintu putar. Suara sepatu heels-nya terdengar nyaring, seperti suaranya. “Tolong hentikan wanita yang baru saja pergi itu, Pak. Itu yang pakai kemeja putih!" Wanita itu tampak cemas. Apakah ia baru saja mengusir tamu untuk Pak Presdir? Aduh, bagaimana nasibnya nanti? Untungnya, Analea belum pergi jauh. Tak lama kemudian, Analea sudah kembali berdiri di depan meja resepsionis. "Saya dipanggil, Mbak?" tanya Analea penuh harap. Ia sama sekali lupa pada perlakuan si resepsionis padanya tadi. "Iya. Mbak, langsung ke atas, ya! Saya antar!" Wajah Analea mendadak berbin
"Lima belas juta!?" batin Analea tak percaya. Ia melihat angka tersebut untuk waktu yang cukup lama hingga akhirnya Kaisar bertanya."Ada masalah?""Eh--" Analea mengangkat wajahnya. "Oh, ini, Pak. Gaji saya ...."Kaisar mengangguk. "Apakah kurang?""Bukan begitu, Pak," sahut Analea buru-buru. "Justru, bukankah saya hanya intern? Apakah lima belas juta tidak terlalu banyak untuk saya?"Kaisar menegakkan punggungnya. Matanya masih saja tertuju pada Analea. "Saya rasa nominal tersebut tidak tinggi untuk orang yang telah menolong mama saya," ucapnya kemudian. "Lagi pula, saya meyakini kamu berpotensi untuk berkembang di sini, Analea.""Selain itu," imbuh Kaisar. "Tugas-tugas kamu saat mendampingi saya tidak akan mudah. Saya rasa itu nominal yang masuk akal."Analea mendengarkan dengan saksama penjelasan dari pria di hadapannya tersebut, sebelum kemudian mengangguk."Terima kasih, Pak Kaisar," ucapnya penuh syukur. Setelah menghadapi permasalahan rumah tangganya, akhirnya Analea bertemu dengan ora
"Selamat pagi, Mbak!"Sebelum pukul delapan pagi, Analea sudah tiba di depan Eternal Group. Langkah kakinya penuh semangat sembari menyapa setiap orang yang ia jumpai dengan senyum ramah dan anggukan kepala.Analea juga menyapa resepsionis yang kemarin sempat mengusirnya. Namun, wanita di balik meja itu tidak membalas sapaannya dan justru mematut riasannya di depan cermin tangan.Walau penampilan tidak modis seperti karyawati lainnya, Analea tetap berusaha untuk meyakinkan hatinya agar bisa percaya diri untuk bekerja di Eternal Group.Pagi ini Analea langsung pergi ke lantai kantor presiden direktur. Ia mengingat-ingat lantai dan ruangan yang kemarin ia datangi, karena kali ini ia tidak didampingi oleh resepsionis.Akan tetapi, saat Analea tiba di mejanya, Risa--rekan seniornya yang telah menjabat sebagai sekretaris Kaisar selama dua tahun, masih belum datang. Meja Risa kosong, sementara pintu ruangan Kaisar tertutup rapat. Di lantai itu memang tidak banyak karyawan, tetapi ada cukup
"Sebenarnya siapa Analea ini?"Sang ibu tampak berkaca-kaca. Ia menatap putra sulungnya dan balas menggenggam tangan Kaisar dengan erat."Pak Kaisar?"Ingatan Kaisar terputus saat Analea kembali memanggilnya. Wanita tersebut tampak bingung lantaran pertanyaannya tidak kunjung dijawab."Ah, maaf. Bagaimana?" Kaisar kembali tersenyum.“Apa hari ini Bu Maira datang ke kantor?" tanya Analea kembali. "Saya belum mengucapkan terima kasih pada beliau."Atasannya tersebut sempat terdiam selama beberapa detik dan hal tersebut membuat Analea ragu untuk kembali bertanya. Meskipun, ia akhirnya tetap mengulang pertanyaannya karena ia yakin bahwa tidak ada salahnya bertanya demikian.Toh, memang, Analea harus kembali berterima kasih kepada Maira."Mama dan dad saya sudah jarang ke kantor. Mereka datang hanya jika ada rapat direksi atau hal yang sangat penting,” jawab Kaisar akhirnya. “Nanti ucapan terima kasih kamu akan saya sampaikan pada mama saya ya."Analea mengangguk. "Terima kasih banyak, Pak