Share

Bab 4. Sebuah Penyesalan

"Memang dasar perempuan nggak benar!”

Analea terdiam saat mendapatkan sorotan tajam dan sinis dari ibu mertuanya. Namun, ia mencoba untuk tetap sopan meskipun sama sekali tidak mendapatkan respons baik dari Bu Irma.

"Ibu ... asalamualaikum!" Analea berucap lirih.

Ia terpaksa menunda untuk masuk ke kamarnya. Padahal ia sangat ingin merebahkan tubuhnya sejenak.

Tubuh Analea terasa lelah setelah menghadapi serentetan kejadian tadi, dan kini, ia pun harus menghadapi bentakan sekaligus tuduhan dari sang ibu mertua.

"Ternyata benar apa yang digunjing orang-orang tentang ka–”

"Bu ... Aku baru saja melabrak Mas Hamid.” Analea segera menyanggah ucapan Bu Irma yang tampaknya selalu ingin memojokkannya. “Dia semalam tidur dengan perempuan lain, Bu."

Meskipun Bu Irma selalu terkesan tidak menyukainya, Analea berpikir bahwa saat wanita paruh baya itu mendengar kelakuan anaknya di luar sana, Bu Irma akan terkejut dan bersimpati pada Analea.

Namun, ibu mertuanya itu malah tersenyum sinis– dan Analea lah yang terkejut dengan apa yang diucapkan wanita itu setelahnya.

"Ya, jelas saja putraku itu mencari wanita lain. Semua ini juga gara-gara kamu.”

Analea terkejut. “Ibu tahu?”

“Tahu atau enggak, Ibu paham kenapa Hamid begitu,” sahut Bu Irma. “Lagi pula, Hamid pasti tidak puas dan kecewa sama kamu yang sudah tidak gadis lagi ketika dia nikahi. Belum lagi masa lalumu yang kotor itu.”

Analea menghela napas, terdengar lelah. Sudah berkali-kali ia membela diri, tetapi tidak ada yang percaya padanya. Meskipun, ya, ia tahu bahwa ia sempat tinggal di area lokalisasi dan itu akan mempengaruhi pandangan orang-orang terhadap dirinya, ia tidak menyangka semua akan jadi seperti ini.

Apalagi karena suaminya dulu tidak mempermasalahkan masa lalunya tersebut.

Kini usai serentetan kejadian yang ia alami, Analea merasa  terlampau lelah dan tidak sanggup lagi berusaha meyakinkan orang-orang tentang dirinya.

Ia bahkan tidak tahu entah sampai kapan ia akan menerima semua tuduhan dan hinaan ini, kapan mereka akan bosan menudingnya dengan kabar-kabar yang tidak benar.

Karena itu, akhirnya Analea berkata:

"Ya Bu. Aku akan mengajukan cerai pada Mas–”

"Siapa bilang aku akan menceraikanmu!?"

Ucapan Analea barusan tiba-tiba mendapat sanggahan dari arah pintu masuk. Hamid muncul dan langsung berdiri di hadapan Analea.

Bu Irma yang sempat senang saat mendengar kata cerai dari bibir Analea, seketika cemberut mendengar bantahan dari Hamid. Wanita paruh baya itu mendekat dan berdiri di sebelah putranya.

"Kenapa, Hamid? Memangnya kamu nggak malu mendengar omongan tetangga?" Bu Irma berusaha mengompori putranya.

"Tidak, Bu,” sahut Hamid tegas. “Aku tidak mau bercerai dengan Ana.”

Analea memandang sang suami yang tengah menatapnya. Sesaat kemudian Hamid melanjutkan ucapannya, "Setelah apa yang ia perbuat, aku tidak akan melepaskannya begitu saja, Bu."

Ucapan Hamid yang penuh penekanan membuat sepasang mata Analea terbelalak. Tubuh wanita itu melemas seketika.

"Mas." Analea merasa sudah lelah menghadapi sikap Hamid padanya. Pria itu sungguh sangat berbeda dengan sosok yang dikenalnya sebelum menikah. "Mas Hamid, kalau Mas memang nggak percaya sama aku, apa gunanya pernikahan ini kita lanjutkan?"

Sekuat mungkin Analea menahan jatuhnya air mata yang telah menggantung di kedua sudut matanya.

Hamid menoleh pada Analea dan menatap istrinya itu dengan tajam.

"Dengar, Ana. Ini bukan masalah kepercayaan.” ucap Hamid. Tatapan matanya menggelap. “Tapi, kamu tidak akan mendapatkan apa yang kamu mau dengan mudah. Setelah membuatku menikahimu, tentu saja aku tidak akan melepaskanmu begitu saja. Aku akan terus menahanmu agar tetap bersamaku!"

Sudah tidak ada air mata di wajah Analea, meskipun sepasang matanya tampak sembab. Yang tersisa adalah raut wajah lelah dan kekecewaan di sana–serta benih kemarahan karena diperlakukan secara semena-mena.

“Kalau aku masih istrimu, kamu tidak bisa menemui wanita tadi dengan bebas,” ucap Analea. “Aku bahkan bisa saja menyebarkan perselingkuhan Mas dan wanita itu, hingga ke kantor jika aku mau."

Mendengar ancaman Analea, Hamid spontan mendengus.

"Coba saja kalau bisa. Lagian memangnya Kamu punya bukti? Nggak, kan?" Hamid membalas.

Analea terdiam. Ia memang tidak mengambil potret saat suaminya tidur dengan wanita itu–ataupun saat ia mendapati mereka tidak berpakaian pantas di kediaman si wanita. Yang Analea punya hanyalah foto saat keduanya memasuki rumah, yang ia dapatkan dari nomor tidak dikenal tadi.

Bukti itu tentunya tidak kuat dan bisa dibantah begitu saja oleh semua pihak.

"Lagian siapa yang bakal percaya dengan omongan kamu?” lanjut Hamid, terdengar meremehkan di telinga Analea.

Benar. Apa yang dikatakan oleh Hamid semuanya benar.

Jika Analea menyebarkan perselingkuhan suaminya sekalipun, semua orang sudah pasti berpihak pada Hamid, mengingat tidak ada siapa pun yang percaya dia di sini.

Namun, Analea tidak mengiyakan ataupun memberikan konfirmasi bahwa ia setuju dengan kata-kata suaminya. Ia hanya diam dan memasang ekspresi tidak terbaca, membuat senyum di wajah Hamid perlahan menghilang dan meragukan ucapannya sendiri.

Sebelum Analea akhirnya masuk ke kamarnya, ia berucap pelan, “Terserah Mas. Keputusanku sudah bulat untuk bercerai.”

“Ana! Jangan keras kepala!” bentak Hamid. Namun, Analea tidak lagi menoleh ke suaminya hingga pria itu menjatuhkan diri di atas sofa ruang tamu. Hamid mengusap wajahnya yang tampak lelah. Dalam hati, ia bergumam, “Sial, kenapa pernikahan kita jadi seperti ini, Ana?”

Komen (8)
goodnovel comment avatar
Heri eko Sasongko
masih butuh lanjutan ceritanya masih samar tuuannya
goodnovel comment avatar
Fajri Fajri
ggjhhhhjkii
goodnovel comment avatar
Lusianna Barus
semoga perceraian itu sah dn semoga perselingkuhan hamid diketahui orang lain
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status