"Eh, dengar-dengar si Hamid habis nikah sama istrinya itu jadi jarang pulang ya?”
Langkah Analea terhenti saat mendengar nama suaminya disebut ketika ia ingin keluar membeli sayur. Wanita sederhana berusia 24 tahun yang mengenakan daster murahan itu terpaku di balik pintu. Rambut panjangnya yang hitam ia selipkan di balik telinga, ingin mempertajam pendengaran tentang obrolan itu."Beneran, Mbak?” Suara lain menyahut. “Tapi nggak heran sih. Aku malah dengar kalau istrinya Hamid itu anak pelacur!" Dada Analea semakin sesak mendengar kalimat yang keluar dari mulut para tetangganya itu. Tubuhnya yang tadi tegak, seketika lemas."Ih, kalau ibunya pelacur, jangan-jangan anaknya nggak perawan lagi."Terdengar suara tawa mengejek dari beberapa tetangga lain yang sedang memilih sayuran."Wah, kalau gitu kasian Hamid, dong. Dapat istri udah nggak perawan. Duh, mana anaknya Bu Irma itu gantengnya selangit, kerja kantoran pula. Sayang banget malah nikah sama pelacur." "Waduh! Jangan-jangan si Hamid jarang pulang karena punya istrinya udah gak rapet," cetus seorang ibu-ibu."Oh! Jangan-jangan si Hamid jarang pulang karena sudah punya wanita lain di luar sana," timpal tetangga lainnya, kembali berasumsi.Tubuh Analea semakin menegang. Tidak hanya menghina ibu angkat yang telah membesarkan dirinya, para tetangga itu juga menjadikan urusan rumah tangga Analea sebagai bahan gunjingan. Di depan rumahnya, pula!Namun, Analea tidak mungkin marah dan membuat keributan di depan rumah mertuanya ini. Apalagi ia baru tiga minggu tinggal di rumah itu sebagai menantu.Baru saja, Analea hendak membuka pintu, kembali terdengar suara salah satu tetangganya bicara sedikit pelan, tapi tetap terdengar jelas olehnya."Sssttt ... denger-denger nih, katanya mereka tidurnya udah nggak satu kamar, loh!" Betapa terkejutnya Analea mendengar ucapan tetanggaanya itu."Bagaimana bisa …?" gumam Analea, tidak menyangka. Meskipun kabar tersebut benar, tetapi hal itu tidak seharusnya diketahui oleh para tetangga di sekitar rumahnya.Sedetik kemudian, wanita berhidung mancung itu menarik napas panjang seraya memejamkan netra bulatnya, menenangkan diri.Setelah tenang, Analea membuka mata dan melanjutkan langkahnya, menghampiri para tetangga yang sejak tadi sibuk membicarakannya."Selamat pagi, Ibu-Ibu!" sapa Analea dengan senyum manisnya. Para tetangga yang tadi membicarakannya spontan terdiam dan terkejut. Ada yang saling colek, ada pula yang saling mencibir dengan lirikan sinis ke arah Analea. Wanita berwajah oval itu pura-pura tidak tahu. Ia tetap berusaha fokus memilih belanjaannya."Eeh ..., Mbak Ana. Tumben belanja. Biasanya Bu Irma yang belanja dan masak."Analea hanya membalas dengan senyuman pertanyaan seorang ibu yang berdiri di sebelahnya. Ada serenteng gelang emas di pergelangan tangan kanannya, terpampang saat ibu itu meraih satu papan tempe di hadapan Analea.“Iya, Ibu lagi ada urusan, jadi saya yang gantikan,” jawab Analea singkat, membuat para ibu-ibu mengangguk-anggukan kepala penuh arti."Ngomong-ngomong, Mas Hamidnya ke mana, Mbak?” Kali ini ibu-ibu di depan Analea bertanya saat Analea hendak membayar belanjaan. Nadanya terdengar menyindir. Tampaknya, ibu-ibu satu inilah yang menjadi pemimpin perkumpulan gosip ini. “Kok jarang kelihatan, sih? Padahal pengantin baru, loh!" "Harusnya tuh, ya. Pengantin baru itu ke mana-mana berdua. Bulan madu, kek. Ini kok yang lakinya malah jarang di rumah." lanjut ibu itu lagi dengan senyuman sinis.Mendengar ucapan itu, para tetangga yang lainnya menoleh pada Analea yang masih saja tersenyum."Suami saya kerja, Bu,” jawab wanita berkulit putih tersebut sembari mengambil belanjaannya. Ia mencoba tetap tampak tenang, meskipun hatinya sudah merasa sangat tidak nyaman. “Maaf Ibu-ibu, Saya sudah selesai. Pamit masuk dulu!" Analea mengangguk ramah, kemudian bergegas masuk ke dalam rumah dengan dada bergemuruh. Air mata telah membendung di kedua kelopak matanya, tetapi alih-alih meloloskan emosinya meskipun tidak ada orang di rumah, wanita itu memilih untuk memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam.“Tidak. Itu hanya gosip biasa,” gumamnya pada dirinya sendiri. “Itu biasa terjadi.”Setelah berhasil menenangkan diri, Analea melangkah ke dapur dan mulai memilah bahan belanjaan untuk dimasak hari ini. Akan tetapi, tidak dapat ditahan, ucapan-ucapan para tetangganya tadi terngiang di kepala.Sebenarnya Analea memang menyadari. Sejak menikah tiga minggu yang lalu, sikap Hamid padanya sangat jauh berbeda dibanding masa mereka pacaran. Hamid kini lebih dingin padanya. Suaminya itu juga kerap kali pulang larut malam.Selama ini Analea berusaha berpikir positif saja. Mungkin suaminya itu sedang banyak pekerjaan di kantor. Namun, setelah mendengar obrolan tetangganya tadi, Analea sempat menduga-duga sesuatu yang tidak ia harapkan.Apa benar Hamid punya wanita lain? Apa benar Hamid mempermasalahkan asal usul Analea? Akan tetapi, bukankah sejak awal ia tahu asal Analea dari mana? Yang paling utama dan paling mengganggu adalah … dari mana para tetangga itu tahu kalau mereka tidak tidur di kamar yang sama?! Wajah Analea mendadak pucat. Rasa khawatir yang amat besar pada pernikahannya mulai menyelimuti hatinya."Mas, Aku mau bicara, boleh?" Malam harinya, Analea menghampiri Hamid saat suaminya itu selesai membersihkan diri."Aku capek. Mau tidur," sahut Hamid dingin tanpa menoleh pada sang istri . Pria bertubuh gempal itu meraih kaos dan celana pendek yang sudah disediakan oleh Analea di tepi ranjang, lalu memakainya.Analea merasa dadanya penuh sesak melihat sikap suaminya tersebut."Tapi ini penting, Mas. Aku merasa sikap Mas padaku berubah. Kenapa, Mas?" Ekspresi Hamid seketika menggelap. "Sudah aku bilang aku capek!" sentaknya. Suara pria berumur 27 tahun itu semakin meninggi. "Tapi, Mas–""Berisik! Aku mau tidur di kamar tamu aja!" bentak Hamid pada Analea. Ia membuka pintu kamar dan hendak keluar. "Tunggu, Mas!” Analea menggenggam lengan Hamid. ”Dengarkan aku dulu. Aku mendengar kabar tidak enak dari tetangga kita. Mereka bilang pernikahan kita bermasalah karena kita tidak akur." Langkah Hamid terhenti di ambang pintu. Wajahnya menyeringai. Tatapannya sinis memandang wanita yang belum genap satu bulan ia nikahi."Asap tidak akan muncul jika tidak ada api!" ucap Hamid ketus. Ia kibaskan tangan Analea dan berkacak pinggang. Tatapannya makin tajam pada iris mata Analea. Napasnya mulai naik turun."Maksud Mas apa?" Wajah Analea tampak bingung. "Halah! Jangan pura-pura nggak ngerti kamu!” Hamid mendengus, kemudian menudingkan jarinya ke depan wajah sang istri. "Kamu telah membohongiku selama ini!” bentak Hamid geram. Pria berambut keriting itu menunjuk wajah Analea yang tampak nyaris menangis. “Dengan wajah sok polosmu itu kamu berbohong kalau kamu masih suci! Padahal saat menikah denganku, kamu sudah tidak perawan!”"Padahal saat menikah denganku, kamu sudah tidak perawan!”DEG!Sepasang mata Analea membelalak. Mendengar tuduhan sang suami, hati wanita itu seperti tertusuk ratusan belati."Astaghfirullah, Mas. kenapa Kamu berpikir seperti itu?!” Analea mengelus dadanya yang terasa nyeri. Ia tidak menduga Hamid akan mengatakan menuduhnya seperti itu. “Demi Tuhan, Mas. Aku masih suci! Kamu adalah satu-satunya pria yang mendapatkan kesucianku secara sah.” Ia berusaha meyakinkan suaminya. "Tidak perlu bawa-bawa nama Tuhan di hadapanku!” bentak Hamid. “Buktinya, malam itu tidak ada bercak darah di ranjang kita!" Kedua tangan Analea makin menekan dada, menahan rasa nyeri yang luar biasa.. Lagi-lagi ia tak menduga suaminya mengatakan dia tidak perawan karena tidak ada bercak darah di ranjang mereka. Padahal, ia tidak pernah berhubungan badan dengan siapa pun sebelum menikah dengan Hamid. Namun, kini, semua tampak masuk akal. Sejak malam itu, Hamid berubah dingin padanya. Suaminya tersebut tidak per
“Bisa-bisanya dia menuduhku berzina sebelum menikah, sementara ia justru berselingkuh di belakangku." Analea berguman pada dirinya sendiri. Seketika dadanya merasakan sesak dan nyeri. Kedua tangan Analea mengepal erat karena geram. Sekian detik kemudian, Analea melangkah mendekati pintu, lalu menggedornya dengan sedikit kasar. Tidak ada jawaban. Cukup lama ia menunggu. Setelah berkali-kali mengetuk, akhirnya pintu itu terbuka dan muncullah seorang wanita. Analea tertegun, merasa tidak asing dengan sosok wanita yang tengah berpenampilan seksi tersebut–atau lebih tepatnya, wanita itu belum mengenakan pakaiannya dengan benar. Wanita itu pernah beberapa kali Analea temui di rumah Hamid sejak ia belum menikah. Dulu, Analea sempat terheran dengan sambutan ibu mertuanya yang selalu hangat setiap wanita itu datang. Jauh berbeda ketika ia yang datang dan selalu disambut dengan dingin. "Nandita, Siapa-?” Ketegaran dan sorot dingin yang sejak tadi berusaha ditampilkan oleh Analea serta usa
"Memang dasar perempuan nggak benar!” Analea terdiam saat mendapatkan sorotan tajam dan sinis dari ibu mertuanya. Namun, ia mencoba untuk tetap sopan meskipun sama sekali tidak mendapatkan respons baik dari Bu Irma. "Ibu ... asalamualaikum!" Analea berucap lirih. Ia terpaksa menunda untuk masuk ke kamarnya. Padahal ia sangat ingin merebahkan tubuhnya sejenak. Tubuh Analea terasa lelah setelah menghadapi serentetan kejadian tadi, dan kini, ia pun harus menghadapi bentakan sekaligus tuduhan dari sang ibu mertua. "Ternyata benar apa yang digunjing orang-orang tentang ka–” "Bu ... Aku baru saja melabrak Mas Hamid.” Analea segera menyanggah ucapan Bu Irma yang tampaknya selalu ingin memojokkannya. “Dia semalam tidur dengan perempuan lain, Bu." Meskipun Bu Irma selalu terkesan tidak menyukainya, Analea berpikir bahwa saat wanita paruh baya itu mendengar kelakuan anaknya di luar sana, Bu Irma akan terkejut dan bersimpati pada Analea. Namun, ibu mertuanya itu malah tersenyum sinis– dan
"Ternyata di sini tempat Mas Hamid dan perempuan bernama Nandita itu bekerja." Beberapa hari setelah ia mendapati suaminya tidur dengan perempuan lain, Analea memutuskan untuk keluar rumah–dan kini berdiri di depan sebuah gedung bertingkat bertuliskan PT Bina Sanjaya. Ia telah melakukan sedikit penyelidikan mengenai perempuan yang tidur dengan suaminya tempo hari. Analea bertekad akan menggugat cerai Hamid jika ia tidak bisa membuat pria itu menceraikannya. Salah satu caranya adalah dengan menyewa pengacara dan mengumpulkan bukti perselingkuhan. Namun, untuk melakukannya, ia butuh uang, Oleh karena itu, sejak beberapa hari yang lalu, berbekal pendidikan sarjananya, Analea sibuk mengirim lamaran kerja ke beberapa perusahaan, dan pagi ini PT Bina Sanjaya memanggilnya untuk melakukan wawancara. Ia sama sekali tidak menduga sebelumnya bahwa ternyata suami dan selingkuhannya bekerja di perusahaan yang sama. Begitu banyak kesempatan yang mereka peroleh untuk berhubungan di belakang Anal
"Aku jamin istrimu itu tidak akan diterima di sini." Wanita yang hobi memakai rok mini itu memang memiliki sedikit memiliki kuasa di PT Bina Sanjaya. Ia berniat memanfaatkan jabatannya selaku salah satu manajer untuk membuat Analea sulit diterima di perusahaan tersebut. Hamid mengangguk dengan wajah tak terbaca. Pikirannya masih terus tertuju pada Analea. Wanita yang sebenarnya masih ia cintai. Namun, egonya sebagai laki-laki benar-benar terasa diinjak-injak apabila bersama Analea saat ini. Di sisi lain, Analea telah sampai di ruang tunggu yang terletak di dekat ruang auditorium. Ruang tersebut cukup luas dan diisi oleh puluhan pelamar yang hendak wawancara. Analea mengedarkan pandangannya pada para wanita yang memiliki tujuan sama dengannya. Wanita itu meringis membandingkan penampilan dirinya dengan pelamar lain. Pakaian yang ia kenakan sangat berbeda dari yang lainnya. Bukan karena lebih bagus, melainkan karena modelnya yang terlalu sederhana serta warna yang sedikit mencolok.
Bruk! "Argh!" Analea terpekik saat tubuhnya terbentur trotoar, sementara wanita yang ia tolong jatuh di atas tubuhnya. Rasa nyeri seketika ia rasakan pada sikunya yang beradu dengan trotoar. “Nak, kamu tidak apa-apa?” Wanita paruh baya itu segera bangkit dan membantu Analea duduk. "Tidak, Bu. Ibu, Ibu nggak apa-apa.” Analea duduk dan melihat kondisi wanita asing itu tanpa mengecek kondisinya sendiri. “Ada yang sakit?" Tanpa ia sadari orang-orang sekitar mulai berdatangan mengerumuni mereka. "Tidak, Saya tidak apa-apa." Wanita paruh baya berwajah cantik itu berpegangan pada lengan Analea. Analea menyadari tubuh wanita sedikit gemetar akibat insiden yang baru saja terjadi. Meskipun begitu, wajah asing yang tampak sedikit pucat berusaha tersenyum menatap Analea. "Permisi, Bapak, Ibu ...!" Karena ada banyak orang berkerumun di sekitar mereka kemudian, Analea memutuskan untuk membawa wanita itu kembali ke supermarket, jauh dari jalan raya, meski agak terpincang. Baru
Senyum masih terukir di wajah Analea sepanjang jalan ke rumah. Ia tak berhenti bersyukur karena dipertemukan dengan Maira hari ini. Namun, suasana hati Analea yang baik hanya bertahan hingga sesaat sebelum ia berpapasan dengan para tetangganya."Ya ampun, Mbak Ana dari mana? Tumben rapi!" "Dari melamar pekerjaan, Bu." Analea tetap menjawab sopan walau dua tetangganya selalu menatapnya dengan pandangan meremehkan."Memangnya mau kerja di mana, Mbak? Jaga toko?” ucap Bu Siska, salah satu dari tetangganya itu, menggoda Analea yang sehari-hari tampil sebagai ibu rumah tangga. “Oh, atau ... jadi cleaning service gitu?" timpal Bu Monica dengan nada yang sama.Analea membalas, "Kerja apa aja yang penting halal, Bu.""Aduuuh, Mbak. Kenapa nggak di rumah aja sih? Memangnya nyari kerja gampang?" cetus tetangganya lagi."Iya, memangnya bisa?" timpal yang lain.Ana tersenyum tipis. "Namanya usaha, Bu," balasnya. "Daripada jadi beban suami, kan? Ngandelin suami juga nggak baik loh ibu-ibu, kita nggak t
"Kalau ada perempuan dengan penampilan sederhana bernama Analea, bisa langsung diantarkan ke ruangan Presdir!" Wanita dengan blazer merah ternganga. "Cepat kamu kejar perempuan itu!" titah sang resepsionis senior. "Kalau dia sudah pergi, aku tidak mau ikut tanggung jawab ya kalau kena tegur para atasan." "Sekuriti!” Resepsionis itu langsung berlari keluar dari balik meja dengan panik dan setengah berlari ke pintu putar. Suara sepatu heels-nya terdengar nyaring, seperti suaranya. “Tolong hentikan wanita yang baru saja pergi itu, Pak. Itu yang pakai kemeja putih!" Wanita itu tampak cemas. Apakah ia baru saja mengusir tamu untuk Pak Presdir? Aduh, bagaimana nasibnya nanti? Untungnya, Analea belum pergi jauh. Tak lama kemudian, Analea sudah kembali berdiri di depan meja resepsionis. "Saya dipanggil, Mbak?" tanya Analea penuh harap. Ia sama sekali lupa pada perlakuan si resepsionis padanya tadi. "Iya. Mbak, langsung ke atas, ya! Saya antar!" Wajah Analea mendadak berbin