Kaisar berdiri di depan pintu kamar kost Kanaya, memandangi pintu yang tertutup rapat. Di balik pintu itu, gadis yang ia cintai menangis, terluka oleh rahasia yang selama ini ia simpan. Tangannya gemetar, perasaannya berkecamuk antara rasa bersalah dan ketidakmampuan untuk memperbaiki situasi. Permadi masih duduk di ruang tamu kost, wajahnya terlihat tegang dan penuh rasa bersalah. Ia hanya bisa menyaksikan dari jauh, tidak ingin ikut campur lebih jauh ke dalam konflik yang sudah terlalu rumit ini. Meski demikian, ada rasa tanggung jawab yang membebani dirinya sebagai paman Kanaya. Ia merasa, dirinya sebagai saksi dari pernikahan yang tergesa-gesa itu, adalah kesalahannya juga. Kaisar tahu ini semua salahnya. Kesalahannya karena tidak jujur sejak awal, karena tidak mengungkapkan kebenaran kepada Kanaya saat ia seharusnya melakukannya. Namun, ia juga tahu bahwa niatnya selalu untuk melindungi Kanaya. Bagaimana pun, sekarang semua itu tampak tidak berarti lagi. Kebohongan yang terungk
Pagi itu, setelah percakapan panjang yang penuh emosi, suasana kamar kost Kanaya terasa lebih tenang. Permadi memutuskan bahwa waktunya sudah tiba untuk kembali ke Bogor. Sebelum pergi, ia memastikan bahwa Kanaya dan Kaisar sudah saling berbicara, meski ia tahu masalah mereka belum sepenuhnya terselesaikan. Tapi sebagai paman yang peduli, ia percaya bahwa Kaisar akan berusaha keras untuk memperbaiki semuanya. "Naya, Mamang pamit pulang dulu ke Bogor," ujar Permadi sambil menatap keponakannya dengan penuh kasih. "Mamang sudah mempercayakan kamu sama suami kamu. Ingat, Naya, apa pun yang terjadi, Mamang selalu ada buat kamu." Kanaya hanya mengangguk pelan, masih belum sepenuhnya pulih dari emosi yang meluap-luap setelah mengetahui kebenaran tentang pernikahannya. "Terima kasih, Mang," jawabnya singkat, suaranya terdengar lelah tapi penuh ketulusan. Permadi menepuk pundak Kanaya dengan lembut sebelum melangkah keluar dari kost. Sebelum benar-benar pergi, ia sempat melirik Kaisar yang
Kanaya menggeliat, matanya mengerjap beberapa kali. Ia nyaris memekik melihat seorang pria terbaring di sampingnya. Untung saja ia langsung mengingat kejadian semalam. Ya, semalam Kaisar memang tidur satu ranjang dengannya. Mereka saling berhadapan dan saling memandang satu sama lain. Obrolan ringan dan saling menggoda satu sama lain. Hingga entah pukul berapa ia tertidur. Kanaya sempat merasakan usapan-usapan lembut di kepalanya. Nyaman dan mendebarkan. Kanaya bangkit, lalu duduk di tepi tempat tidur, memandangi pemandangan luar yang masih belum terang dari balik jendela kecil kamar kostnya. Pikirannya melayang pada semua yang terjadi tentang kebohongan yang selama ini ia yakini, pernikahan yang selama ini tidak ia sadari, dan sekarang, kehadiran Kaisar di sampingnya yang terus memberi perhatian tulus. "Kamu sudah bangun, Naya?" suara lembut Kaisar mengejutkannya dari lamunan. Ia duduk dan menatap Kanaya yang tampak termenung. Kanaya menoleh cepat dan mengangguk pelan. "Iya, Mas,"
Kaisar masih duduk di tepi tempat tidur, mendekatkan tubuhnya pada Kanaya, Mata mereka bertemu dalam tatapan yang mendalam, ada sesuatu yang berbeda di sana, perasaan yang tak terungkapkan. Kaisar mengulurkan tangannya, menyentuh pipi Kanaya dengan lembut, dan jantung Kanaya berdebar semakin cepat. “Naya …” suara Kaisar serak tapi pelan, nyaris berbisik. “Aku mencintaimu, dan aku ingin kita bisa menjalani pernikahan ini dengan ... sepenuhnya.” Kanaya mengerjap, perasaannya campur aduk antara bingung dan hati yang menghangat. Ia menunduk, tidak sanggup menatap mata Kaisar terlalu lama. “Mas … aku … aku belum siap,” ucapnya dengan suara pelan, nyaris tersendat. Kaisar mengangguk pelan, mencoba memahami. “Aku mengerti, Naya. Aku nggak akan memaksamu. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku ada di sini untukmu, kapan pun kamu siap.” Kanaya mengangkat wajahnya perlahan, menatap Kaisar dengan sedikit rasa bersalah. “Maaf, Mas … aku tahu kita sudah sah sebagai suami istri, tapi … aku masih m
Kaisar masih berbaring di samping Kanaya, matanya sedikit terbuka, memperhatikan gadis yang masih tertidur dengan wajah damai. Senyumnya muncul tanpa sadar saat menyadari betapa tenangnya Kanaya ketika tidur. Kanaya menggeliat pelan, matanya mulai mengerjap beberapa kali, lalu perlahan membuka. Ia sedikit terkejut mendapati Kaisar yang sudah terjaga dan menatapnya dengan senyum lembut. Seketika, jantungnya berdetak lebih cepat. “Pagi, Naya,” ucap Kaisar, suaranya serak tapi lembut. Tatapannya hangat, penuh kasih. Kanaya tersenyum malu. “Pagi, Mas,” balasnya pelan. Kaisar perlahan menggeser tubuhnya mendekat, menelusuri wajah Kanaya dengan tatapan penuh cinta. “Aku masih nggak percaya kita bisa sampai di sini, Naya. Bisa bangun di sampingmu setiap pagi, rasanya seperti mimpi.” Hembusan napas Kaisar menyapu hangat wajah Kanaya yang langsung memerah. Gadis itu menunduk, merasa jantungnya berdebar semakin kencang. “Mas, jangan bilang yang aneh-aneh,” bisiknya, berusaha menutupi rasa
Kaisar dan Kanaya akhirnya berdiri di depan rumah besar yang mewah, rumah di mana Kaisar tumbuh besar bersama orang tuanya, Maira dan Rein. Kanaya bisa merasakan jantungnya berdebar kencang. Pikirannya dipenuhi oleh berbagai kemungkinan, bagaimana jika mereka tidak menyetujui pernikahan ini? Bagaimana jika mereka kecewa? Kaisar menyadari kecemasan Kanaya. Ia menggenggam tangan istrinya dengan lembut, mencoba memberikan ketenangan. “Tenang, Naya. Mereka akan mengerti. Aku yakin Mama dan Daddy akan menerima kita,” ucapnya sambil menatap Kanaya penuh keyakinan. Kanaya hanya mengangguk pelan, mencoba menenangkan dirinya, meskipun rasa cemas tak sepenuhnya hilang. Begitu mereka memasuki rumah, mereka langsung disambut oleh Maira yang sedang duduk di ruang tamu. Wajah Maira terlihat hangat, namun ada sedikit kekhawatiran di dalamnya. “Kaisar? Kanaya?” sapa Maira dengan senyum kecil. Namun, di balik senyum itu, ada banyak tanya yang jelas terpancar dari matanya. “Kalian berdua kenapa bar
Keheningan di ruang tamu rumah Maira dan Rein terasa begitu mencekam bagi Kaisar dan Kanaya. Mereka berdua duduk berhadapan dengan orang tua Kaisar, menunggu jawaban atas pengakuan yang baru saja mereka sampaikan. Jantung Kanaya berdegup kencang, sementara tangan Kaisar masih menggenggam erat tangannya, memberikan rasa tenang meski hatinya sendiri gelisah. Maira akhirnya berbicara setelah beberapa saat, suaranya masih terdengar pelan, tapi raut kekecewaan masih jelas terlihat. “Kaisar, kami sama sekali nggak menduga hal sebesar ini bisa terjadi. Kamu ... menabrak ayah Kanaya, lalu menikah di rumah sakit tanpa sepengetahuan kami, dan sekarang, kalian datang untuk meminta kami menerima semuanya begitu saja?” Kaisar menunduk. “Ma, aku tahu ini sulit diterima. Aku juga tidak pernah membayangkan semua ini akan terjadi. Tapi aku minta maaf karena menyembunyikan semuanya. Saat itu Aku benar-benar takut Mama dan Daddy tidak bisa menerima situasi ini. Rein, yang sejak tadi hanya diam, akhir
Malam mulai menyelimuti rumah besar itu, namun suasana di ruang makan terasa hangat. Maira baru saja menyajikan hidangan spesialnya untuk makan malam keluarga, sementara Kaisar dan Kanaya duduk dengan perasaan yang sedikit lebih lega. Percakapan hangat mulai terjalin kembali, meskipun masih ada rasa canggung karena pengakuan Kaisar tadi. Setelah beberapa saat menikmati hidangan, Maira akhirnya membuka percakapan dengan nada yang lebih serius dan sedikit bersemangat. “Kaisar, Kanaya, ada sesuatu yang Mama pikirkan. Setelah semua yang kalian sampaikan tadi, Mama dan Daddy merasa ada satu hal yang harus kita lakukan.” Kaisar menatap ibunya dengan rasa penasaran. “Apa itu, Ma?” Maira tersenyum lembut, tapi penuh dengan semangat. “Kami ingin mengadakan acara pernikahan ulang untuk kalian berdua. Pernikahan yang resmi, dengan resepsi besar, seperti yang seharusnya.” Kanaya langsung terdiam, menatap Maira dengan mata membesar, lalu bicara pelan “Pernikahan ulang, Bu?” “Iya, Kanaya,” Mai