Kaisar masih duduk di tepi tempat tidur, mendekatkan tubuhnya pada Kanaya, Mata mereka bertemu dalam tatapan yang mendalam, ada sesuatu yang berbeda di sana, perasaan yang tak terungkapkan. Kaisar mengulurkan tangannya, menyentuh pipi Kanaya dengan lembut, dan jantung Kanaya berdebar semakin cepat. “Naya …” suara Kaisar serak tapi pelan, nyaris berbisik. “Aku mencintaimu, dan aku ingin kita bisa menjalani pernikahan ini dengan ... sepenuhnya.” Kanaya mengerjap, perasaannya campur aduk antara bingung dan hati yang menghangat. Ia menunduk, tidak sanggup menatap mata Kaisar terlalu lama. “Mas … aku … aku belum siap,” ucapnya dengan suara pelan, nyaris tersendat. Kaisar mengangguk pelan, mencoba memahami. “Aku mengerti, Naya. Aku nggak akan memaksamu. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku ada di sini untukmu, kapan pun kamu siap.” Kanaya mengangkat wajahnya perlahan, menatap Kaisar dengan sedikit rasa bersalah. “Maaf, Mas … aku tahu kita sudah sah sebagai suami istri, tapi … aku masih m
Kaisar masih berbaring di samping Kanaya, matanya sedikit terbuka, memperhatikan gadis yang masih tertidur dengan wajah damai. Senyumnya muncul tanpa sadar saat menyadari betapa tenangnya Kanaya ketika tidur. Kanaya menggeliat pelan, matanya mulai mengerjap beberapa kali, lalu perlahan membuka. Ia sedikit terkejut mendapati Kaisar yang sudah terjaga dan menatapnya dengan senyum lembut. Seketika, jantungnya berdetak lebih cepat. “Pagi, Naya,” ucap Kaisar, suaranya serak tapi lembut. Tatapannya hangat, penuh kasih. Kanaya tersenyum malu. “Pagi, Mas,” balasnya pelan. Kaisar perlahan menggeser tubuhnya mendekat, menelusuri wajah Kanaya dengan tatapan penuh cinta. “Aku masih nggak percaya kita bisa sampai di sini, Naya. Bisa bangun di sampingmu setiap pagi, rasanya seperti mimpi.” Hembusan napas Kaisar menyapu hangat wajah Kanaya yang langsung memerah. Gadis itu menunduk, merasa jantungnya berdebar semakin kencang. “Mas, jangan bilang yang aneh-aneh,” bisiknya, berusaha menutupi rasa
Kaisar dan Kanaya akhirnya berdiri di depan rumah besar yang mewah, rumah di mana Kaisar tumbuh besar bersama orang tuanya, Maira dan Rein. Kanaya bisa merasakan jantungnya berdebar kencang. Pikirannya dipenuhi oleh berbagai kemungkinan, bagaimana jika mereka tidak menyetujui pernikahan ini? Bagaimana jika mereka kecewa? Kaisar menyadari kecemasan Kanaya. Ia menggenggam tangan istrinya dengan lembut, mencoba memberikan ketenangan. “Tenang, Naya. Mereka akan mengerti. Aku yakin Mama dan Daddy akan menerima kita,” ucapnya sambil menatap Kanaya penuh keyakinan. Kanaya hanya mengangguk pelan, mencoba menenangkan dirinya, meskipun rasa cemas tak sepenuhnya hilang. Begitu mereka memasuki rumah, mereka langsung disambut oleh Maira yang sedang duduk di ruang tamu. Wajah Maira terlihat hangat, namun ada sedikit kekhawatiran di dalamnya. “Kaisar? Kanaya?” sapa Maira dengan senyum kecil. Namun, di balik senyum itu, ada banyak tanya yang jelas terpancar dari matanya. “Kalian berdua kenapa bar
Keheningan di ruang tamu rumah Maira dan Rein terasa begitu mencekam bagi Kaisar dan Kanaya. Mereka berdua duduk berhadapan dengan orang tua Kaisar, menunggu jawaban atas pengakuan yang baru saja mereka sampaikan. Jantung Kanaya berdegup kencang, sementara tangan Kaisar masih menggenggam erat tangannya, memberikan rasa tenang meski hatinya sendiri gelisah. Maira akhirnya berbicara setelah beberapa saat, suaranya masih terdengar pelan, tapi raut kekecewaan masih jelas terlihat. “Kaisar, kami sama sekali nggak menduga hal sebesar ini bisa terjadi. Kamu ... menabrak ayah Kanaya, lalu menikah di rumah sakit tanpa sepengetahuan kami, dan sekarang, kalian datang untuk meminta kami menerima semuanya begitu saja?” Kaisar menunduk. “Ma, aku tahu ini sulit diterima. Aku juga tidak pernah membayangkan semua ini akan terjadi. Tapi aku minta maaf karena menyembunyikan semuanya. Saat itu Aku benar-benar takut Mama dan Daddy tidak bisa menerima situasi ini. Rein, yang sejak tadi hanya diam, akhir
Malam mulai menyelimuti rumah besar itu, namun suasana di ruang makan terasa hangat. Maira baru saja menyajikan hidangan spesialnya untuk makan malam keluarga, sementara Kaisar dan Kanaya duduk dengan perasaan yang sedikit lebih lega. Percakapan hangat mulai terjalin kembali, meskipun masih ada rasa canggung karena pengakuan Kaisar tadi. Setelah beberapa saat menikmati hidangan, Maira akhirnya membuka percakapan dengan nada yang lebih serius dan sedikit bersemangat. “Kaisar, Kanaya, ada sesuatu yang Mama pikirkan. Setelah semua yang kalian sampaikan tadi, Mama dan Daddy merasa ada satu hal yang harus kita lakukan.” Kaisar menatap ibunya dengan rasa penasaran. “Apa itu, Ma?” Maira tersenyum lembut, tapi penuh dengan semangat. “Kami ingin mengadakan acara pernikahan ulang untuk kalian berdua. Pernikahan yang resmi, dengan resepsi besar, seperti yang seharusnya.” Kanaya langsung terdiam, menatap Maira dengan mata membesar, lalu bicara pelan “Pernikahan ulang, Bu?” “Iya, Kanaya,” Mai
Suasana di kantor terasa tegang bagi Kanaya. Sejak kabar tentang kedekatannya dengan Kaisar mulai menyebar, beberapa karyawati senior semakin terang-terangan menunjukkan sikap tidak suka padanya. Mereka berbicara di belakangnya, melontarkan sindiran halus, bahkan terkadang memperlakukannya dengan kurang hormat. Kanaya mencoba bertahan. Ia tahu bahwa gosip akan selalu ada, terutama di lingkungan kerja. Namun, semakin lama, perlakuan beberapa karyawati senior mulai melampaui batas. Mereka tidak hanya berbicara di belakangnya, tetapi mulai mengucapkan kata-kata yang merendahkan langsung di depannya. Hari itu, suasana di kantor semakin memanas. Kanaya sedang berada di pantry untuk membuat teh, ketika beberapa karyawati senior yang biasa mengganggunya masuk. Mereka melihat Kanaya di sana, dan senyum sinis langsung terpancar di wajah mereka. “Hey, lihat siapa yang ada di sini. Asisten pribadi Pak Kaisar,” ucap salah satu dari mereka dengan nada mengejek. “Pasti kamu sekarang merasa palin
Kanaya masih merasakan kecemasan yang mengendap di hatinya, terutama setelah kebenaran tentang pernikahannya dengan Kaisar terbongkar di depan beberapa karyawati. Ia tidak tahu bagaimana kabar itu akan menyebar di kantor, dan reaksi dari orang-orang di sekitarnya masih membuatnya was-was. Saat Kanaya sedang duduk di mejanya, pintu ruangannya tiba-tiba diketuk perlahan. Tampak Risa, sekretaris Kaisar, melangkah masuk dengan senyum hangat di wajahnya. "Kanaya," sapa Risa dengan suara lembut. “Aku dengar dari beberapa orang kalau kamu dan Pak Kaisar ternyata sudah menikah. Apa itu benar?” Kanaya menatap Risa dengan wajah sedikit tegang, tidak tahu harus merespon bagaimana. Namun, melihat senyum tulus dari Risa, ia merasa sedikit lega. “Iya, Mbak Risa, kami ... memang sudah menikah. Maaf kalau kabar ini agak mengejutkan." Risa tersenyum lebih lebar, lalu duduk di kursi di hadapan Kanaya. "Wow, aku nggak menyangka. Tapi jujur saja, aku senang banget dengarnya! Dari awal aku memang mer
Keesokan harinya, Kanaya berjalan masuk ke kantor dengan perasaan yang lebih tenang. Setelah menghabiskan waktu bersama Maira, ia merasa lebih percaya diri untuk menghadapi segala hal yang mungkin datang menghampirinya di tempat kerja. Dukungan dari keluarga Kaisar membuatnya yakin bahwa ia tidak perlu takut lagi dengan sikap-sikap tidak menyenangkan dari para karyawati senior. Namun, ia juga tahu bahwa hari ini mungkin tidak akan mudah. Begitu sampai di pantry untuk membuat teh pagi, Kanaya sudah bisa merasakan tatapan sinis dari beberapa karyawati senior yang sedang duduk di sana. Mereka berbicara pelan di antara mereka, namun suara mereka cukup jelas terdengar oleh Kanaya. “Lihat tuh, dia jalan dengan angkuhnya. Merasa penting karena sudah jadi istri bos, kali,” gumam salah satu karyawati dengan nada sinis. “Iya, sok elegan banget. Padahal, dulunya cuma asisten biasa,” sahut yang lain sambil menatap Kanaya dari ujung kepala sampai kaki. Kanaya menghela napas dalam-dalam, mencob