Malam mulai menyelimuti rumah besar itu, namun suasana di ruang makan terasa hangat. Maira baru saja menyajikan hidangan spesialnya untuk makan malam keluarga, sementara Kaisar dan Kanaya duduk dengan perasaan yang sedikit lebih lega. Percakapan hangat mulai terjalin kembali, meskipun masih ada rasa canggung karena pengakuan Kaisar tadi. Setelah beberapa saat menikmati hidangan, Maira akhirnya membuka percakapan dengan nada yang lebih serius dan sedikit bersemangat. “Kaisar, Kanaya, ada sesuatu yang Mama pikirkan. Setelah semua yang kalian sampaikan tadi, Mama dan Daddy merasa ada satu hal yang harus kita lakukan.” Kaisar menatap ibunya dengan rasa penasaran. “Apa itu, Ma?” Maira tersenyum lembut, tapi penuh dengan semangat. “Kami ingin mengadakan acara pernikahan ulang untuk kalian berdua. Pernikahan yang resmi, dengan resepsi besar, seperti yang seharusnya.” Kanaya langsung terdiam, menatap Maira dengan mata membesar, lalu bicara pelan “Pernikahan ulang, Bu?” “Iya, Kanaya,” Mai
Suasana di kantor terasa tegang bagi Kanaya. Sejak kabar tentang kedekatannya dengan Kaisar mulai menyebar, beberapa karyawati senior semakin terang-terangan menunjukkan sikap tidak suka padanya. Mereka berbicara di belakangnya, melontarkan sindiran halus, bahkan terkadang memperlakukannya dengan kurang hormat. Kanaya mencoba bertahan. Ia tahu bahwa gosip akan selalu ada, terutama di lingkungan kerja. Namun, semakin lama, perlakuan beberapa karyawati senior mulai melampaui batas. Mereka tidak hanya berbicara di belakangnya, tetapi mulai mengucapkan kata-kata yang merendahkan langsung di depannya. Hari itu, suasana di kantor semakin memanas. Kanaya sedang berada di pantry untuk membuat teh, ketika beberapa karyawati senior yang biasa mengganggunya masuk. Mereka melihat Kanaya di sana, dan senyum sinis langsung terpancar di wajah mereka. “Hey, lihat siapa yang ada di sini. Asisten pribadi Pak Kaisar,” ucap salah satu dari mereka dengan nada mengejek. “Pasti kamu sekarang merasa palin
Kanaya masih merasakan kecemasan yang mengendap di hatinya, terutama setelah kebenaran tentang pernikahannya dengan Kaisar terbongkar di depan beberapa karyawati. Ia tidak tahu bagaimana kabar itu akan menyebar di kantor, dan reaksi dari orang-orang di sekitarnya masih membuatnya was-was. Saat Kanaya sedang duduk di mejanya, pintu ruangannya tiba-tiba diketuk perlahan. Tampak Risa, sekretaris Kaisar, melangkah masuk dengan senyum hangat di wajahnya. "Kanaya," sapa Risa dengan suara lembut. “Aku dengar dari beberapa orang kalau kamu dan Pak Kaisar ternyata sudah menikah. Apa itu benar?” Kanaya menatap Risa dengan wajah sedikit tegang, tidak tahu harus merespon bagaimana. Namun, melihat senyum tulus dari Risa, ia merasa sedikit lega. “Iya, Mbak Risa, kami ... memang sudah menikah. Maaf kalau kabar ini agak mengejutkan." Risa tersenyum lebih lebar, lalu duduk di kursi di hadapan Kanaya. "Wow, aku nggak menyangka. Tapi jujur saja, aku senang banget dengarnya! Dari awal aku memang mer
Keesokan harinya, Kanaya berjalan masuk ke kantor dengan perasaan yang lebih tenang. Setelah menghabiskan waktu bersama Maira, ia merasa lebih percaya diri untuk menghadapi segala hal yang mungkin datang menghampirinya di tempat kerja. Dukungan dari keluarga Kaisar membuatnya yakin bahwa ia tidak perlu takut lagi dengan sikap-sikap tidak menyenangkan dari para karyawati senior. Namun, ia juga tahu bahwa hari ini mungkin tidak akan mudah. Begitu sampai di pantry untuk membuat teh pagi, Kanaya sudah bisa merasakan tatapan sinis dari beberapa karyawati senior yang sedang duduk di sana. Mereka berbicara pelan di antara mereka, namun suara mereka cukup jelas terdengar oleh Kanaya. “Lihat tuh, dia jalan dengan angkuhnya. Merasa penting karena sudah jadi istri bos, kali,” gumam salah satu karyawati dengan nada sinis. “Iya, sok elegan banget. Padahal, dulunya cuma asisten biasa,” sahut yang lain sambil menatap Kanaya dari ujung kepala sampai kaki. Kanaya menghela napas dalam-dalam, mencob
Dua minggu menjelang resepsi, Kanaya dan Kaisar tengah duduk di dalam mobil yang melaju menuju sebuah butik ternama di Jakarta. Mereka akan melakukan fitting baju untuk resepsi pernikahan mereka. Di samping mereka, Maira duduk dengan penuh semangat, merencanakan setiap detail persiapan acara besar tersebut. “Kalian akan terlihat luar biasa di hari resepsi nanti. Mama sudah memesan gaun dan setelan terbaik dari desainer langganan Mama,” ucap Maira dengan senyum penuh antusias. “Naya, kamu pasti akan terlihat cantik sekali dengan gaun yang sudah mama pilih.” Kanaya tersenyum kecil, meskipun hatinya masih berdebar memikirkan acara besar yang semakin dekat. “Terima kasih, Ma. Naya masih merasa gugup dengan semua persiapan ini.” Kaisar menatap istrinya dengan tatapan lembut. “Tenang saja, Naya. Kita akan menjalani ini bersama. Lagipula, kamu tidak perlu khawatir, kamu akan terlihat sangat cantik. Aku yakin itu.” Maira tertawa kecil melihat keakraban mereka. “Kalian berdua cocok sekali.
Bab 26: Kedatangan yang Tak Terduga Rumah besar dan mewah milik Maira dan Rein dipenuhi dengan aktivitas sejak pagi itu. Persiapan resepsi pernikahan Kanaya dan Kaisar yang akan digelar malam ini tengah berlangsung dengan penuh semangat. Maira berkeliling memastikan semua detail dipersiapkan dengan sempurna, sementara Kaisar dan Kanaya membantu semampu mereka. Analea dan Ratu pun ikut membantu Maira. “Kaisar, nanti jangan lupa ke ruang ganti untuk cek lagi setelan jasnya, ya,” ujar Maira sambil memeriksa daftar tamu undangan. Meski mereka memakai jasa WO, Maira tak ingin ada hal sekecil apapun yang terlewat. “Iya, Ma,” jawab Kaisar sambil tersenyum, lalu beralih ke Kanaya yang tampak sibuk dengan telepon genggamnya, memastikan tamu dari pihaknya juga sudah menerima undangan. Ia juga menyiapkan transportasi untuk para keluarganya dari Bogor.Setelah kembali dari ruang ganti, Kaisar kembali menemani Kanaya yang masih mendata para tamunya di ruang tamu. Mereka yang sedang duduk di sof
Kaisar memutar tubuhnya hendak memanggil Kanaya. Di tengah kebingungannya, ia ingin segera memperkenalkan Kanaya pada Intan dan memastikan bahwa tidak ada salah paham yang terjadi. Namun, begitu ia melihat sekeliling, ia tidak menemukan Kanaya di sana. "Kanaya?" panggilnya, memandang ke berbagai arah. Tidak ada jawaban. Kaisar mulai merasa panik. Ia mencoba mencari ke ruangan lain, berharap menemukan Kanaya sedang sibuk dengan sesuatu. Tapi setelah mencari ke dapur, ruang tengah, bahkan ke ruang persiapan, Kanaya tetap tidak terlihat. Kaisar semakin gelisah. "Kemana dia pergi?" gumamnya pelan, sambil mencoba menelepon Kanaya. Namun, tidak ada jawaban dari panggilan itu. Perasaannya mulai tak karuan, seolah ada yang menindih dadanya. Di tengah kegelisahannya, Kaisar melihat Maira dan Rein mendekat. Wajah Maira tampak khawatir, sementara Rein berusaha tetap tenang. “Ada apa, Kaisar? Kenapa wajahmu tegang begitu?” tanya Maira dengan nada cemas. Kaisar menghela napas, mencoba menaha
Setelah beberapa saat mencari, Kaisar akhirnya melihatnya. Di sana, di depan makam ayahnya, Kanaya duduk sambil memeluk lututnya. Tubuhnya tampak gemetar, sementara isak tangisnya terdengar pelan di antara keheningan. Kaisar berjalan mendekat dengan hati-hati, tidak ingin mengejutkan istrinya yang sedang larut dalam kesedihan. “Naya ...,” panggilnya pelan, suaranya penuh rasa bersalah. Tapi rasa sayang itu terasa makin mendalam. Kanaya tersentak. Gadis itu terdiam sejenak, sebelum menoleh ke arah suara itu. Matanya yang bengkak menunjukkan betapa berat beban yang ia rasakan saat ini. "Mas ... kenapa menyusulku? Kenapa Mas tinggalin Intan di sana?" Suara Kanaya terdengar parau. Sisa air mata masih membasahi wajah manisnya. Kaisar perlahan lebih mendekat. Ia berlutut di samping Kanaya, menatap mata Kanaya dengan penuh penyesalan. “Naya, aku minta maaf. Aku benar-benar tidak bermaksud membuatmu terluka. Intan muncul tiba-tiba, dan aku terlalu terkejut hingga tidak tau harus melakukan