Ada yang mau tahu tentang kisah cinta SALMA dan Yuda? Yuk baca juga karya tamat aku yang berjudul : KAYA SETELAH DIUSIR MERTUA
"Maaf, Non Ana. Ada Tuan Fabian di teras." Analea terkejut. Ia pikir Fabian tidak jadi datang. Ia pun hendak bangkit berdiri, namun tiba-tiba Rein menahannya. "Mbak, Fabian dipersilakan langsung gabung di sini saja!" "Baik, Pak." Pelayan itu langsung bergegas kembali ke teras. Tak lama kemudian Fabian muncul dan mengangguk pada semua orang yang ada di ruang makan. Termasuk Raihan yang sedang menatapnya dengan wajah menegang. Analea bangkit berdiri dan menghampiri pria bercambang lebat itu. "Kak Bian ..." "Leaaa ..." Keduanya berdiri saling berhadapan. Tanpa ragu tiba-tiba saja Fabian meraih kepala Analea dan mengecup keningnya. "Kaaak ...!" desis Analea pelan. Ia tidak menyangka Fabian menciumnya di depan kedua orang tuanya juga para tamu. Saat ini wajah Analea bersemu kemerahan serta dadanya berdebar. Fabian sempat melirik pada Raihan yang duduk pada salah satu kursi meja makan. Pria itu masih menatap Fabian dengan tajam. "Ayo Bian, kita makan sama-sama!" ajak Rein sambil
"A,-anaa?" "Ibu? Ya Allah, ibu sekarang kok dagang?" Analea terkejut. Ternyata pedagang es coklat itu adakah mantan ibu mertuanya. Bu Irma tampak kurus dengan raut wajah semakin tua dan terlihat kelelahan. "Iy-iyaaa, Ana. Hamid sekarang gajinya sudah nggak kayak dulu lagi. Kami juga sudah pindah ke kontrakan yang lebih kecil." Analea memandang iba pada Bu Irma, sampai ia lupa bahwa ada Fabian di belakangnya. "Maaf, Bu. Memangnya ... Nandita ..." "Mereka nggak jadi menikah. Nandita mungkin malu punya suami seorang cleaning service. Nandita juga marah, karena ternyata Hamid masih mencintai kamu, Ana. Kembali sama kami, ya, Ana! Maafin ibu selama ini sudah jahat sama kamu. Ana mau, kan, kembali rujuk sama Hamid?" Bu Irma terus memohon sambil menangis dan membungkuk pada Analea. "Ehm ... ehm ...!" Analea terkesiap mendengar suara Fabian berdehem di belakangnya. "Ah ya, Bu, tapi ... maaf. Aku tidak bisa mengabulkan permintaan ibu. Aku ... sebentar lagi akan menikah. Mmm ... ini c
"Apa yang diinginkan Kak Bian? Apa dia menginginkan hal itu di sini sekarang? Astaga, mikir apa aku ini?" Analea terus sibuk dengan sesuatu yang ada di benaknya. Saat ini keduanya saling menatap dengan wajah yang sangat dekat. "Lea cantik. Sangat cantik. Aku ingin ... Lea berjanji untuk tidak pernah meninggalkan aku sampai kapanpun." Jemari Fabian terus menyusuri wajah dan leher Analea. Napas pria itu semakin memburu. Analea tak sanggup lagi berkata-kata. Ia hanya mengangguk menatap netra Fabian. Ia paham dengan apa yang sedang dirasakn pria itu. Analea berusaha untuk tidak terpancing. "Aku janji akan membahagiakan Lea. Aku akan selalu jaga Lea. Termasuk malam ini. Walau saat ini aku ingin sekali memiliki Lea seutuhnya. Tapi, aku tetap harus jaga Lea sampai kita menikah." Analea menghela napas lega yang sejak tadi tertahan. Ia pun tersenyum. "Terima kasih, Kak." Tanpa bicara lagi, tiba-tiba saja Fabian mendaratkan sebuah kecupan pada bibir Analea. Ya, hanya sebuah kecupan. Kare
"Pagi, Non Ana!" Beberapa pelayan yang sudah terjaga menyapa Analea yang baru saja selesai salat subuh. Ia berjalan ke dapur bersih dan membuat secangkir teh hangat. "Pagi, semua!" balas Analea sambil tersenyum. Para pelayan itu kagum melihat Analea yang jarang merepotkan para pelayan. wanita itu selalu melakukan apapun sendiri tanpa menyuruh ini dan itu pada pelayan. Seperti pagi ini, ia memilih ke dapur sendiri dan membuat minuman untuknya, dari pada menghubungi koki lewat telepon meja lalu meminta dibawakan minum ke kamar. "Ada yang bisa kami kerjakan, Non?"tanya salah satu pelayan. "Hmmm ... Ratu biasanya bangun jam berapa, Mbak?" tanya Analea sambil meneguk teh hangat. Wanita cantik memakai piyama berwarna nude itu duduk di salah satu kursi. Kali ini rambutnya ia biarkan tergerai. "Wah, kalau Non Ratu bangunnya siang, Non. Kecuali kalau dia mau pergi, baru deh bangun pagi-pagi." Analea mengangguk-angguk. "Hari libur begini, sebaiknya aku manfaatkan untuk bisa lebih deka
"Mana serangganya? Aku mau lihat!" Ratu melihat tangan Analea yang ternyata tidak memegang apapun. "Maaf, Ratu. Serangganya barusan terbang. Yang penting sekarang udah aman." "Halaah! Ada-ada saja! Ya sudah, aku mau kembali ke kamar aja. Bisa-bisa kulitku rusak kalau lama-lama di sini." Analea hanya diam membiarkan Ratu berbalik arah dan berjalan cepat masuk kembali ke dalam rumah. Baginya tak masalah Ratu meninggalkannya. Yang terpenting baginya ia sudah berhasil mendapatkan beberapa helai rambut Ratu dan Sumi. Kini ia bisa melanjutkan dengan melakukan test untuk membuktikan siapakah ibu kandung Ratu. "Om Elkan. Ya. Om Elkan pasti bisa membantuku untuk hal ini," pikir Analea. Sejurus kemudian wanita itu bergegas melangkah menuju kamarnya. Setelah membersihkan diri, wanita itu berencana hendak menghubungi Fabian untuk membicarakan rencananya ini. Sementara di kamarnya, Ratu yang kembali merebahkan tubuhnya di sofa, dihampiri oleh Sumi. Wanita paruh baya itu memang sudah terbiasa
"Tapi, Dad, semua orang tau, kalau aku nggak ada bakat kerja di kantoran. Mana mungkin aku bisa ikut mengelola perusahaan." Lagi-lagi Ratu membantah. Sorot matanya tajam memandang Analea yang justru tampak sangat tenang. Hal itu membuat Ratu semakin meradang. "Kamu itu bukan tidak ada bakat. Tapi tidak ada kemauan!" tegas Maira. Mendengar Maira yang malah menyudutkannya, emosi Ratu semakin tersulut. "Mama selalu nggak pernah bisa ngertiin aku. Aku di sini memang bukan anak kandung mama. Sejak awal bukan aku yang minta berada dalam keluarga ini. Lagian apa susahnya sih ngertiin aku sedikit aja." "Sudah, sudah! Maaf, Ratu. Keputusan Daddy sudah bulat. Kamu bisa pikirkan tawaran Daddy tadi." Rein menengahi Ratu yang mulai tak bisa mengendalikan emosi. Wanita itu memasang wajah tak bersahabat. "Selanjutnya kita pikirkan untuk masa depan kalian bertiga. Analea telah menemukan pasangan hidupnya. Sedangkan Ratu akan Daddy jodohkan dengan Raihan. Tapi keputusan tetap pada kalian berdua.
"Kalian boleh memperlakukan aku seperti ini. Tapi aku tidak akan pernah pergi dari rumah ini sebelum mendapatkan apa yang aku inginkan!"Ratu bicara pada dirinya sendiri. Beberapa menit ia berpikir bagaimana caranya agar ia bisa keluar dengan membawa salah satu mobil yang ada di bagasi. Namun akhirnya ia menyerah dan berteriak. "Sumi ...! Sini cepat!" Sumi yang sejak tadi ada di ruang tamu memperhatikan gerak gerik Ratu, bergegas menghampiri wanita yang hobi memakai pakaian agak terbuka itu. "Iya, Non." "Buruan pesankan aku taksi!" Ratu duduk pada kursi dengan kaki menyilang sambil menunggu taksi. "Non, taksinya sudah ada di depan gerbang." "Hah? Kok cepat sekali?" Ratu memandang Sumi dengan heran. "Iy-iyaaa, Non." Sumi seketika menunduk dan tak berani menatap Ratu. "Awas ya, kalau kamu bohong! Saya pecat kamu!" bentak Ratu dengan mata mendelik. Kemudian ia berdiri, meraih tas selempangnya, lalu berjalan menuju pintu gerbang. "Non ..." Seorang security buru-buru membuka pint
"Apa maksud kamu? Jangan terus-terusan bilang kalau kalian ini orang tuaku. Aku nggak sudi! Sampai kapanpun orang tuaku adalah Daddy Rein dan Mama Maira." sembur Ratu hingga membuat Sumi terhenyak. Wanita paruh baya itu menghirup napas dalam-dalam. Dadanya terasa sesak dan penuh. Embun mulai menggantung di kedua kelopak matanya. Akhirnya Sumi tak sanggup menahan perih yang baru saja ditorehkan oleh Ratu. Ia pun terisak dengan air mata yang berjatuhan. "Nangis lagi. Dasar cengeng!" Ratu melotot sambil berkacak pinggang. "Non Ratu sampai hati ..." Sumi memutar tubuhnya lalu pergi meninggalkan Ratu sendirian. Ratu hanya diam memandang punggung Sumi yang bergetar naik turun. Tanpa sadar, cukup lama ia terpaku hingga tubuh Sumi hilang dari pandangannya. Setelahnya, Ratu tiba-tiba terduduk di sofa dengan wajah sedikit murung. Sumi melangkah terburu-buru menuju kamarnya, hingga ia tak sengaja menabrak seseorang. "Awww ...!" "M-maaf, maaf saya nggak sengaja!" Sumi menunduk ketakutan
"Mengundang Raka? Apa itu perlu?" tanya Rein datar. Maira menghela napas panjang." Sayang, kita harus minta maaf pada Raka dan Kayla karena pernikahan Kaisar kemarin. Aku dengar, dia kecewa." Rein mendengkus kesal. "Bisa-bisanya dia kecewa. Seharusnya dia bisa memilih mana yang harus diprioritaskan. Lagipula, cuma gara-gara dia tidak bisa hadir, semua acara yang sudah direncanakan harus diubah begitu saja?" "Tapi dia papa kandung Kaisar, Rein!" bantah Maira. "Oh, jadi menurutmu Raka lebih berhak memutuskan semuanya daripada aku? Mengapa kamu tidak pernah mengerti, Kaisar itu lebih dari sekedar anak sambung untukku. Kami sudah bersama sejak dia baru bisa berjalan. Kamu pikir kemana Raka selama ini? Bisa-bisanya dia merasa sebagai ayah kandung yang harus diprioritaskan." Bicara Rein mulai meninggi. Hal ini membuat Maira menjadi panik. Ia tidak ingin Rein tiba-tiba sakit di hari bahagia ini. "Ya, Sayang. Sudah, ya. Maafkan aku," ucap Maira lembut. Ia langsung memeluk suaminya
Analea dan Fabian baru saja kembali dari rumah sakit setelah kelahiran anak pertama mereka. Maira dan Rein menyambut mereka dengan penuh antusias, sementara Fabian terlihat sangat hati-hati saat menggendong bayi mereka yang masih mungil. "Selamat datang kembali di rumah, sayang," ucap Maira sambil tersenyum hangat. Ia memeluk Analea dengan lembut. "Kamu luar biasa, Analea. Sekarang kamu sudah menjadi seorang ibu!" Maira membawa anak dan menantunya ke ruang tamu. Analea, meski terlihat lelah, tersenyum lebar. "Terima kasih, Ma. Rasanya aku masih nggak percaya akhirnya bayi kecil ini ada di sini," ujarnya sambil memandangi bayi perempuannya yang sedang tidur nyenyak di pelukan Fabian. Saat ini mereka sudah berada di ruang tamu rumah mewah itu. Rein yang berdiri di sebelah Maira tampak tersenyum bangga. "Ini cucu pertama kami. Rasanya seperti mimpi melihat kalian pulang dengan bayi mungil yang cantik," ucapnya sambil menepuk pelan bahu Fabian. Fabian tersenyum lega. "Kami juga merasa
Setelah tiga hari berada di hotel, pagi itu Kaisar dan Kanaya memutuskan untuk sarapan di restoran hotel sebelum melanjutkan rencana liburan singkat mereka. Meski tubuh sedikit lelah setelah melewati malam-malam yang panjang, kebahagiaan terus terpancar dari keduanya. "Maafin aku, Sayang. Aku belum sempat membawamu berlibur ke luar kota atau ke luar negeri. Rencananya setelah proyek terakhir ini selesai, aku akan mengajakmu ke suatu tempat yang indah dan tentunya cukup jauh." Kanaya tersenyum haru."Nggak apa-apa, Mas. Selama Mas ada di dekatku, bagiku di mana aja nggak masalah. Liburan di hotel ini pun sudah bikin aku bahagia. Pokoknya asal kita selalu bersama." Kanaya menatap Kaisar dengan lekat. Mendapatkan tatapan yang berbeda dari istrinya, Kaisar jadi berdebar dan salah tingkah." Aku suka kamu tidak lagi malu-malu, Sayang." Kaisar menjawil hidung mancung Kanaya. Keduanya tertawa kecil penuh kebahagiaan. Di saat sedang menikmati momen santai itu, tiba-tiba seorang pelayan men
“Ini dari Mama,” ucap Kaisar pelan sambil mengangkat telepon. “Halo, Ma?” Suara Maira terdengar penuh semangat di ujung telepon. “Kaisar! Kamu di mana? Analea sudah melahirkan!” Kaisar langsung terkejut. “Apa? Analea sudah melahirkan? Sekarang, Ma?” “Iya! Kami sudah di rumah sakit sekarang. Ayo cepat ke sini, Kaisar. Kalian harus segera datang,” jawab Maira dengan penuh kegembiraan. Kaisar menoleh ke arah Kanaya yang sudah berdiri di belakangnya. “Analea sudah melahirkan, Naya. Kita harus ke rumah sakit sekarang.” Mata Kanaya langsung berbinar. “Beneran, Mas? Ya ampun, aku harus segera siap-siap!” Kaisar tersenyum melihat antusiasme istrinya. “Iya, beneran. Ayo cepat kita berangkat.” Tanpa menunggu lama, setelah membersihkan diri dan berpakaian, Kanaya segera mengambil tas kecilnya, sementara Kaisar sudah siap di depan pintu. Mereka berdua keluar kamar dan menuju lobi hotel dengan cepat. Di perjalanan, Kanaya tampak begitu bersemangat. “Aku masih nggak nyangka, Mas. Kak Analea
“Naya, ini malam yang kita tunggu-tunggu,” bisik Kaisar sambil menatap istrinya dengan penuh cinta. Kaisar membuka pintu kamar dengan perlahan, lalu mengajak Kanaya masuk. Kamar itu dihiasi dengan bunga-bunga mawar yang wangi dan lilin-lilin kecil yang menambah suasana romantis. Kaisar menggenggam tangan Kanaya, lalu menuntunnya untuk duduk di tepi ranjang. Kanaya tersenyum kecil, meskipun wajahnya masih terlihat sedikit gugup. “Iya, Mas. Aku masih nggak percaya ini benar-benar terjadi.” Kaisar mengusap pipi Kanaya dengan lembut, lalu mengecupnya pelan. “Kamu nggak perlu takut. Aku akan selalu ada untukmu, sekarang dan selamanya.” Kanaya merasakan debaran di dadanya semakin kencang. “Terima kasih sudah mau menjagaku, Mas. Aku juga merasa sangat bahagia malam ini.” Mereka berdua saling menatap, merasakan betapa dalam cinta yang kini mengikat mereka. "Naya ...," bisik Kaisar. Ia menggeser tubuhnya hingga nyaris tak berjarak lagi dengan Kanaya. Satu tangannya mengusap lembut bibir
Malam itu, hotel mewah tempat resepsi berlangsung dipenuhi oleh tamu-tamu dari berbagai kalangan. Lampu kristal yang bergemerlapan menambah kemewahan suasana, sementara karpet merah yang terbentang menyambut setiap tamu yang datang. Kaisar dan Kanaya sudah siap di belakang panggung, menanti giliran mereka untuk memasuki ballroom utama sebagai pasangan suami istri yang resmi. “Kamu siap, Naya?” tanya Kaisar dengan senyum lembut, sambil menggenggam tangan istrinya yang sedikit gemetar. Kanaya mengangguk pelan, meski hatinya masih berdebar-debar. “Aku siap, Mas,” jawabnya. Di ballroom utama, para tamu sudah mulai berkumpul. Banyak wajah yang familiar hadir. Para karyawan yang mengenal Kanaya dan Kaisar datang mengenakan pakaian terbaik mereka. Beberapa dari mereka tampak saling berbicara pelan, masih terkejut dengan kabar bahwa asisten pribadi bos besar mereka ternyata adalah istrinya sendiri. “Aku nggak nyangka banget, ternyata Kanaya benar-benar istri Pak Kaisar,” bisik salah satu
Setelah beberapa saat mencari, Kaisar akhirnya melihatnya. Di sana, di depan makam ayahnya, Kanaya duduk sambil memeluk lututnya. Tubuhnya tampak gemetar, sementara isak tangisnya terdengar pelan di antara keheningan. Kaisar berjalan mendekat dengan hati-hati, tidak ingin mengejutkan istrinya yang sedang larut dalam kesedihan. “Naya ...,” panggilnya pelan, suaranya penuh rasa bersalah. Tapi rasa sayang itu terasa makin mendalam. Kanaya tersentak. Gadis itu terdiam sejenak, sebelum menoleh ke arah suara itu. Matanya yang bengkak menunjukkan betapa berat beban yang ia rasakan saat ini. "Mas ... kenapa menyusulku? Kenapa Mas tinggalin Intan di sana?" Suara Kanaya terdengar parau. Sisa air mata masih membasahi wajah manisnya. Kaisar perlahan lebih mendekat. Ia berlutut di samping Kanaya, menatap mata Kanaya dengan penuh penyesalan. “Naya, aku minta maaf. Aku benar-benar tidak bermaksud membuatmu terluka. Intan muncul tiba-tiba, dan aku terlalu terkejut hingga tidak tau harus melakukan
Kaisar memutar tubuhnya hendak memanggil Kanaya. Di tengah kebingungannya, ia ingin segera memperkenalkan Kanaya pada Intan dan memastikan bahwa tidak ada salah paham yang terjadi. Namun, begitu ia melihat sekeliling, ia tidak menemukan Kanaya di sana. "Kanaya?" panggilnya, memandang ke berbagai arah. Tidak ada jawaban. Kaisar mulai merasa panik. Ia mencoba mencari ke ruangan lain, berharap menemukan Kanaya sedang sibuk dengan sesuatu. Tapi setelah mencari ke dapur, ruang tengah, bahkan ke ruang persiapan, Kanaya tetap tidak terlihat. Kaisar semakin gelisah. "Kemana dia pergi?" gumamnya pelan, sambil mencoba menelepon Kanaya. Namun, tidak ada jawaban dari panggilan itu. Perasaannya mulai tak karuan, seolah ada yang menindih dadanya. Di tengah kegelisahannya, Kaisar melihat Maira dan Rein mendekat. Wajah Maira tampak khawatir, sementara Rein berusaha tetap tenang. “Ada apa, Kaisar? Kenapa wajahmu tegang begitu?” tanya Maira dengan nada cemas. Kaisar menghela napas, mencoba menaha
Bab 26: Kedatangan yang Tak Terduga Rumah besar dan mewah milik Maira dan Rein dipenuhi dengan aktivitas sejak pagi itu. Persiapan resepsi pernikahan Kanaya dan Kaisar yang akan digelar malam ini tengah berlangsung dengan penuh semangat. Maira berkeliling memastikan semua detail dipersiapkan dengan sempurna, sementara Kaisar dan Kanaya membantu semampu mereka. Analea dan Ratu pun ikut membantu Maira. “Kaisar, nanti jangan lupa ke ruang ganti untuk cek lagi setelan jasnya, ya,” ujar Maira sambil memeriksa daftar tamu undangan. Meski mereka memakai jasa WO, Maira tak ingin ada hal sekecil apapun yang terlewat. “Iya, Ma,” jawab Kaisar sambil tersenyum, lalu beralih ke Kanaya yang tampak sibuk dengan telepon genggamnya, memastikan tamu dari pihaknya juga sudah menerima undangan. Ia juga menyiapkan transportasi untuk para keluarganya dari Bogor.Setelah kembali dari ruang ganti, Kaisar kembali menemani Kanaya yang masih mendata para tamunya di ruang tamu. Mereka yang sedang duduk di sof