"Jangan macam-macam Ratu!" Maira menaikkan alisnya saat mendengar Ratu mulai meminta sesuatu. Ratu tersenyum sinis pada Maira. "Kenapa memangnya, Ma? Mama pikir semua ini adil buatku? Milikku direbut begitu saja sama perempuan itu. Hatiku sakit, Ma!" Ratu berteriak sambil menepuk-nepuk dadanya. Melihat Ratu berteriak persis di depan Maira,Analea spontan tersulut emosi. "Stop, Ratu! Yang sopan bicara dengan Mama! Asal kamu tau. Aku tidak pernah merebut apapun darimu!" Analea bicara cukup tegas hingga membuat Ratu terkejut. Ia tidak menyangka Analea bisa bicara setegas itu. "Sudah, sudah! Jangan ribut lagi! Ratu, memangnya apa permintaanmu?" Rein mencoba menengahi. Ratu tersenyum penuh kemenangan. Lalu mendekat duduk di samping Rein. "Daad, aku sudah mau mengalah dan diam saja selama ini. Aku hanya ingin minta ... sebagian dari saham Anggada jaya dan Eternal group menjadi milikku." Mendengar permintaan Ratu, spontan Analea dan Maira saling pandang dengan mata membulat.. Sedang
"Kaisar, Ana, usahakan siang ini kalian tidak kemana-mana. Keluarga Om Yuda akan berkunjung ke sini bersama kedua anaknya." Maira tiba-tiba masuk ke ruang kerja Kaisar dimana Analea dan Kaisar sedang berdiskusi tentang pekerjaan. Maira sempat tersenyum melihat kegigihan Analea yang ingin membesarkan perusahaan sang daddy. "Wah, dalam rangka apa Om Yuda dan keluarganya ke sini, Mam? Apa ada hal yang serius?" tanya Kaisar menoleh pada sang mama. "Eh ... itu, Daddy ingin memperkenalkan Ratu pada Raihan. Menurutmu bagaimana?" Maira ikut duduk di samping Analea. "Aku sih setuju aja, Ma. Raihan pria baik walau sering bertingkah konyol. Aku pun belum pernah melihat dia dekat dengan wanita." "Iya, sama seperti kamu. Kerjaaa terus, sampai lupa untuk jatuh cinta," sanggah Maira membuat Kaisar terkekeh."Tenang aja, Ma. Suatu saat nanti aku pasti akan menemukan wanita pilihanku. Pokoknya aku tidak perlu dijodoh-jodohkan seperti Ratu." "Iyaaa, iyaaa," sahut Maira. Analea yang sejak tadi diam
"Maaf, Non Ana. Ada Tuan Fabian di teras." Analea terkejut. Ia pikir Fabian tidak jadi datang. Ia pun hendak bangkit berdiri, namun tiba-tiba Rein menahannya. "Mbak, Fabian dipersilakan langsung gabung di sini saja!" "Baik, Pak." Pelayan itu langsung bergegas kembali ke teras. Tak lama kemudian Fabian muncul dan mengangguk pada semua orang yang ada di ruang makan. Termasuk Raihan yang sedang menatapnya dengan wajah menegang. Analea bangkit berdiri dan menghampiri pria bercambang lebat itu. "Kak Bian ..." "Leaaa ..." Keduanya berdiri saling berhadapan. Tanpa ragu tiba-tiba saja Fabian meraih kepala Analea dan mengecup keningnya. "Kaaak ...!" desis Analea pelan. Ia tidak menyangka Fabian menciumnya di depan kedua orang tuanya juga para tamu. Saat ini wajah Analea bersemu kemerahan serta dadanya berdebar. Fabian sempat melirik pada Raihan yang duduk pada salah satu kursi meja makan. Pria itu masih menatap Fabian dengan tajam. "Ayo Bian, kita makan sama-sama!" ajak Rein sambil
"A,-anaa?" "Ibu? Ya Allah, ibu sekarang kok dagang?" Analea terkejut. Ternyata pedagang es coklat itu adakah mantan ibu mertuanya. Bu Irma tampak kurus dengan raut wajah semakin tua dan terlihat kelelahan. "Iy-iyaaa, Ana. Hamid sekarang gajinya sudah nggak kayak dulu lagi. Kami juga sudah pindah ke kontrakan yang lebih kecil." Analea memandang iba pada Bu Irma, sampai ia lupa bahwa ada Fabian di belakangnya. "Maaf, Bu. Memangnya ... Nandita ..." "Mereka nggak jadi menikah. Nandita mungkin malu punya suami seorang cleaning service. Nandita juga marah, karena ternyata Hamid masih mencintai kamu, Ana. Kembali sama kami, ya, Ana! Maafin ibu selama ini sudah jahat sama kamu. Ana mau, kan, kembali rujuk sama Hamid?" Bu Irma terus memohon sambil menangis dan membungkuk pada Analea. "Ehm ... ehm ...!" Analea terkesiap mendengar suara Fabian berdehem di belakangnya. "Ah ya, Bu, tapi ... maaf. Aku tidak bisa mengabulkan permintaan ibu. Aku ... sebentar lagi akan menikah. Mmm ... ini c
"Apa yang diinginkan Kak Bian? Apa dia menginginkan hal itu di sini sekarang? Astaga, mikir apa aku ini?" Analea terus sibuk dengan sesuatu yang ada di benaknya. Saat ini keduanya saling menatap dengan wajah yang sangat dekat. "Lea cantik. Sangat cantik. Aku ingin ... Lea berjanji untuk tidak pernah meninggalkan aku sampai kapanpun." Jemari Fabian terus menyusuri wajah dan leher Analea. Napas pria itu semakin memburu. Analea tak sanggup lagi berkata-kata. Ia hanya mengangguk menatap netra Fabian. Ia paham dengan apa yang sedang dirasakn pria itu. Analea berusaha untuk tidak terpancing. "Aku janji akan membahagiakan Lea. Aku akan selalu jaga Lea. Termasuk malam ini. Walau saat ini aku ingin sekali memiliki Lea seutuhnya. Tapi, aku tetap harus jaga Lea sampai kita menikah." Analea menghela napas lega yang sejak tadi tertahan. Ia pun tersenyum. "Terima kasih, Kak." Tanpa bicara lagi, tiba-tiba saja Fabian mendaratkan sebuah kecupan pada bibir Analea. Ya, hanya sebuah kecupan. Kare
"Pagi, Non Ana!" Beberapa pelayan yang sudah terjaga menyapa Analea yang baru saja selesai salat subuh. Ia berjalan ke dapur bersih dan membuat secangkir teh hangat. "Pagi, semua!" balas Analea sambil tersenyum. Para pelayan itu kagum melihat Analea yang jarang merepotkan para pelayan. wanita itu selalu melakukan apapun sendiri tanpa menyuruh ini dan itu pada pelayan. Seperti pagi ini, ia memilih ke dapur sendiri dan membuat minuman untuknya, dari pada menghubungi koki lewat telepon meja lalu meminta dibawakan minum ke kamar. "Ada yang bisa kami kerjakan, Non?"tanya salah satu pelayan. "Hmmm ... Ratu biasanya bangun jam berapa, Mbak?" tanya Analea sambil meneguk teh hangat. Wanita cantik memakai piyama berwarna nude itu duduk di salah satu kursi. Kali ini rambutnya ia biarkan tergerai. "Wah, kalau Non Ratu bangunnya siang, Non. Kecuali kalau dia mau pergi, baru deh bangun pagi-pagi." Analea mengangguk-angguk. "Hari libur begini, sebaiknya aku manfaatkan untuk bisa lebih deka
"Mana serangganya? Aku mau lihat!" Ratu melihat tangan Analea yang ternyata tidak memegang apapun. "Maaf, Ratu. Serangganya barusan terbang. Yang penting sekarang udah aman." "Halaah! Ada-ada saja! Ya sudah, aku mau kembali ke kamar aja. Bisa-bisa kulitku rusak kalau lama-lama di sini." Analea hanya diam membiarkan Ratu berbalik arah dan berjalan cepat masuk kembali ke dalam rumah. Baginya tak masalah Ratu meninggalkannya. Yang terpenting baginya ia sudah berhasil mendapatkan beberapa helai rambut Ratu dan Sumi. Kini ia bisa melanjutkan dengan melakukan test untuk membuktikan siapakah ibu kandung Ratu. "Om Elkan. Ya. Om Elkan pasti bisa membantuku untuk hal ini," pikir Analea. Sejurus kemudian wanita itu bergegas melangkah menuju kamarnya. Setelah membersihkan diri, wanita itu berencana hendak menghubungi Fabian untuk membicarakan rencananya ini. Sementara di kamarnya, Ratu yang kembali merebahkan tubuhnya di sofa, dihampiri oleh Sumi. Wanita paruh baya itu memang sudah terbiasa
"Tapi, Dad, semua orang tau, kalau aku nggak ada bakat kerja di kantoran. Mana mungkin aku bisa ikut mengelola perusahaan." Lagi-lagi Ratu membantah. Sorot matanya tajam memandang Analea yang justru tampak sangat tenang. Hal itu membuat Ratu semakin meradang. "Kamu itu bukan tidak ada bakat. Tapi tidak ada kemauan!" tegas Maira. Mendengar Maira yang malah menyudutkannya, emosi Ratu semakin tersulut. "Mama selalu nggak pernah bisa ngertiin aku. Aku di sini memang bukan anak kandung mama. Sejak awal bukan aku yang minta berada dalam keluarga ini. Lagian apa susahnya sih ngertiin aku sedikit aja." "Sudah, sudah! Maaf, Ratu. Keputusan Daddy sudah bulat. Kamu bisa pikirkan tawaran Daddy tadi." Rein menengahi Ratu yang mulai tak bisa mengendalikan emosi. Wanita itu memasang wajah tak bersahabat. "Selanjutnya kita pikirkan untuk masa depan kalian bertiga. Analea telah menemukan pasangan hidupnya. Sedangkan Ratu akan Daddy jodohkan dengan Raihan. Tapi keputusan tetap pada kalian berdua.