[ Bang, calon menantu kita orang kaya ] Sumi mengirim pesan pada Alif dengan foto Fabian dan Ratu yang baru saja ia ambil secara diam-diam. [ Pria itu punya kekasih. Jangan sampai dia menikahi wanita lain ]Sebuah balasan pesan dari Alif membuat Sumi terkejut. Siapa kekasih pria bercambang lebat itu? Seketika ia cemas jika suatu saat Fabian meninggalkan Ratu. Tentu tujuan dia dan Alif akan sulit tercapai. "Bagaimana aku akan hidup kaya raya kalau pria itu meninggalkan Ratu?" Sumi termenung sendiri hingga ada suara yang memanggilnya. "Mbak Sumi, tolong antar Analea ke kamarnya!" Suara Maira mengejutkan Sumi. "Hah? Apa?" Sumi terkejut mendengar nama Analea. Ia merasa tidak asing dengan nama itu. "Ini, Mbak Sumi, antar Ana ke kamarnya!" ulang Maira yang datang bersama Analea. "Oh, ya. Mari, Non Ana, kamarnya yang ini !" Sumi menunjuk kamar yang berada persis di sebelah kamar Ratu. Sebelum masuk ke kamar itu, netra Analea sempat bertemu dengan Fabian yang masih berdiri di depan p
"Siapa wanita itu? Apa dia istri sah Bang Gondrong?" Sumi buru-buru mematikan ponselnya. Ia takut jika benar yang mengangkat panggilannya tadi adalah istri sah Alif, ia akan dicurigai. Alif pun akan marah besar padanya. "Bagaimana caranya agar aku bisa bicara dengan Bang Gondrong?" bathinnya. Tak lama kemudian, sebuah pesan masuk pada layar ponsel Sumi. [ Aku bilang jangan hubungi aku jika di rumah. Lusa temui aku, nanti aku beritahu lokasinya ] Sumi merasa lega, lalu ia menutup ponselnya dan beranjak tidur. Keesokan paginya Analea telah bangun pagi-pagi sekali karena sudah terbiasa. Wanita itu tampak segar karena baru saja mandi dan melaksanakan salat subuh. Ia pun keluar dari kamar dan menemui salah satu pelayan yang berpapasan dengannya. "M-maaf, Mbak. Dapurnya di mana, ya?" "Oh, Non Ana, ya? Lewati lorong itu aja, Non. Dapurnya pintu yang paling belakang." Pelayan itu tampak kagum melihat keramahan Analea yang jauh berbeda dengan Ratu. "Makasih, Mbak!" ucap Analea sebelum
"Hei, siapa kamu?" Ratu memandang pengemudi taksi online itu dengan penuh selidik. Tatapannya tak berhenti pada pria yang perlahan membuka topi dan kacamatanya itu. Ratu mendengkus napas kasar saat tau siapa pria yang ada di depannya sekarang. "Kamu lagi!" semburnya kesal hingga pria itu menyeringai. "Aku tau, kamu tidak pernah suka dengan kehadiranku. Tapi suatu saat, kamu pasti akan membutuhkan pertolongan kami, orang tua kandungmu, Ratu!" ujar pria gondrong yang ternyata adalah Alif. Ia bicara sambil terus menyetir mobil. "Sebenarnya apa sih mau kamu? Dengar, ya! Aku ini anak Mama Maira dan Daddy Rein. Sejak kecil mereka yang merawatku. Aku nggak kenal kalian!" ketus Ratu lagi sambil membuang pandangannya ke jendela. Alif terkekeh. "Aku sengaja menukarmu ketika bayi, agar kamu bisa hidup senang. Seharusnya kamu berterima kasih pada kami, dasar anak keras kepala!" Alif masih terkekeh melirik Ratu dari kaca spion dalam yang ada di depannya. Ia menyadari sifat Ratu sama persis d
"Apaa? Sumi belum mati? Kamu tau dari mana?" tanya Begenk ragu. Namun cara bicaranya sudah tidak sekeras tadi. Melihat Fabian yang ternyata bisa lebih menyeramkan, membuat ketiga preman itu berpikir dua kali untuk bersikap kasar seperti awal mereka datang. Fabian kembali menyeringai dan memandang ketiga preman itu dengan tatapan merendahkan. Sejak awal ia sudah muak dengan sikap para preman tua itu yang sok jagoan. Apalagi pakaian yang mereka kenakan tidak pantas dengan usia mereka yang mungkin sudah mencapai 50 tahun. Dengan kedua tangan berada dalam saku celananya, Fabian bangkit dari kursinya dan berdiri mendekat dengan salah satu pria yang bernama Begenk. "Aku bisa tau segalanya. Dengan banyak uang, apapun bisa aku lakukan," jawab Fabian dengan ekspresi dinginnya. Hingga membuat ketiga preman itu tak lagi berkutik, terutama Begenk yang mulai gemetar karena hanya berjarak satu langkah dari Fabian. Namun demi menagih uangnya, Begenk memberanikan diri untuk bertanya lebih jauh pad
Ratu agak terkejut melihat Analea yang mulai berani menantangnya. Ia pun kembali mengalihkan pandangannya pada Rein dan Maira. "Dad, Mam, aku nggak betah di rumah nggak ada kalian. Aku mau di sini aja!" Ratu duduk di samping ranjang Rein sambil mengusap lengan pria itu. "Ya sudah. Terserah kamu saja," sahut Rein pasrah. Ia pikir akan percuma berdebat dengan Ratu yang keras kepala. "Makasih, Dad!" Ratu mencium kedua pipi sang Daddy dengan hangat. "Makasih, Mom!" Ratu juga memeluk dan mencium kedua pipi Maira. "Kamu bisa istirahat di ranjang itu, Sayang!" ucap Maira sambil memeriksa luka di kepala Ratu. Ratu menoleh pada sebuah ranjang yang ada di sisi lain di kamar itu. Ia tersenyum, ternyata Maira dan Rein masih menyayanginya dan tidak berubah. Di saat bersamaan, Kaisar dan Analea bangkit berdiri dan bersiap untuk pamit. "Dad, Mom, aku dan Analea berangkat ke kantor!" pamit Kaisar. Pria itu melangkah menuju pintu keluar. Sementara Analea berjalan menghampiri Rein dan Maira, la
"Untung sajaaa ... " Analea menghempas napas lega setelah taksi yang ia naiki tadi pergi. "Kamu harus jelaskan sesuatu padaku, Ana!" ujar Kaisar penasaran. Saat ini mereka masih berdiri di depan sebuah restoran cepat saji yang cukup ramai. "Atau kamu memang benar-benar lapar dan ingin makan?" tanya Kaisar lagi dengan dahi berkerut. Analea menggeleng. "Sebenarnya aku tidak beneran lapar, Kak. Aku hanyaaa ..." "Stop! Jangan bicara di sini. Cepat pesan taksi online saja." Kaisar mulai merasa tidak nyaman berada di tempat umum yang cukup ramai itu. Ia sangat ingin segera pergi dari tempat itu. Pria tampan berpenampilan klimis dalam balutan jas mahal itu juga menjadi pusat perhatian orang-orang yang melewatinya. Hal itu semakin membuatnya tak leluasa untuk bergerak. "Kak, taksi onlinenya datang." Analea bergegas membawa Kaisar menghampiri taksi online yang sudah ia pesan, kemudian mereka buru-buru naik. Mobil pun melaju ke arah PT Bina Sanjaya. "Oke, lanjutkan pembicaraanmu tadi!" K
Analea terus memikirkan ucapan Fabian hingga pada saat pertemuan masih berjalan. Sejujurnya Analea sangat bahagia ketika mendengar Fabian ingin menikahinya dalam waktu dekat. Tetapi ia khawatir Ratu tidak akan tinggal diam dan melakukan sesuatu yang membahayakan. Dalam ruang meeting itu, beruntung ada Joshua, asisten pribadi Fabian yang ikut bergabung hingga ada seseorang yang bisa Analea ajak berdiskusi, agar ia bisa melupakan kata-kata Fabian tadi meski hanya sejenak. Tatapan lekat dan begitu dalam dari Fabian terus Analea rasakan selama mereka berada di ruang meeting. Wanita itu beberapa kali menunduk salah tingkah. Fabian seakan tidak peduli dengan Kaisar dan Joshua yang juga berada di ruangan itu. Pembicaraan yang tidak terlalu formal diantara dua perusahaan itu diselingi dengan beberapa hidangan yang cukup mengenyangkan. Fabian sempat bertanya pada Analea apakah kekasihnya itu sudah makan siang. Karena Analea menjawab jujur bahwa ia memang belum sempat makan siang, Fabian mem
"Cepat! Keluar kamu sekarang juga!" Tatapan tajam sedikit melotot dari netra Fabian membuat lutut Hamid tak berhenti gemetar. Perlahan pria yang kini tampak lebih kurus itu berbalik arah dan bergegas keluar dari ruangan itu. Seketika itu juga Emily masuk dengan wajah bingung. A-ada apa? Apa Office Boy itu berbuat kesalahan, Pak Fabian?" "Ya, dia masuk tanpa ada aba-aba dariku," geram Fabian, lalu kembali menduduki sofa.. Emily mengulum senyum. Ia sudah menduga apa yang telah terjadi. "Hei, kenapa kamu tersenyum?" tanya Fabian dengan alis terangkat. Namun pria itu memang tidak pernah bisa marah pada pada Emily. "Tidak apa-apa, Pak Fabian. Oh ya, ini sudah terlalu sore. Apa saya sudah boleh pulang?" tanya Emily lagi. Kali ini ia melirik pada Analea yang duduk pada sofa yang berbeda. "Ya, pulanglah! Saya dan Lea juga akan pulang sebentar lagi." Fabian kembali bangkit lalu meraih dua minuman kaleng yang ada di meja. Ia memberikan satu minuman itu pada Analea. "Minumlah, Lea! Sete
"Mengundang Raka? Apa itu perlu?" tanya Rein datar. Maira menghela napas panjang." Sayang, kita harus minta maaf pada Raka dan Kayla karena pernikahan Kaisar kemarin. Aku dengar, dia kecewa." Rein mendengkus kesal. "Bisa-bisanya dia kecewa. Seharusnya dia bisa memilih mana yang harus diprioritaskan. Lagipula, cuma gara-gara dia tidak bisa hadir, semua acara yang sudah direncanakan harus diubah begitu saja?" "Tapi dia papa kandung Kaisar, Rein!" bantah Maira. "Oh, jadi menurutmu Raka lebih berhak memutuskan semuanya daripada aku? Mengapa kamu tidak pernah mengerti, Kaisar itu lebih dari sekedar anak sambung untukku. Kami sudah bersama sejak dia baru bisa berjalan. Kamu pikir kemana Raka selama ini? Bisa-bisanya dia merasa sebagai ayah kandung yang harus diprioritaskan." Bicara Rein mulai meninggi. Hal ini membuat Maira menjadi panik. Ia tidak ingin Rein tiba-tiba sakit di hari bahagia ini. "Ya, Sayang. Sudah, ya. Maafkan aku," ucap Maira lembut. Ia langsung memeluk suaminya
Analea dan Fabian baru saja kembali dari rumah sakit setelah kelahiran anak pertama mereka. Maira dan Rein menyambut mereka dengan penuh antusias, sementara Fabian terlihat sangat hati-hati saat menggendong bayi mereka yang masih mungil. "Selamat datang kembali di rumah, sayang," ucap Maira sambil tersenyum hangat. Ia memeluk Analea dengan lembut. "Kamu luar biasa, Analea. Sekarang kamu sudah menjadi seorang ibu!" Maira membawa anak dan menantunya ke ruang tamu. Analea, meski terlihat lelah, tersenyum lebar. "Terima kasih, Ma. Rasanya aku masih nggak percaya akhirnya bayi kecil ini ada di sini," ujarnya sambil memandangi bayi perempuannya yang sedang tidur nyenyak di pelukan Fabian. Saat ini mereka sudah berada di ruang tamu rumah mewah itu. Rein yang berdiri di sebelah Maira tampak tersenyum bangga. "Ini cucu pertama kami. Rasanya seperti mimpi melihat kalian pulang dengan bayi mungil yang cantik," ucapnya sambil menepuk pelan bahu Fabian. Fabian tersenyum lega. "Kami juga merasa
Setelah tiga hari berada di hotel, pagi itu Kaisar dan Kanaya memutuskan untuk sarapan di restoran hotel sebelum melanjutkan rencana liburan singkat mereka. Meski tubuh sedikit lelah setelah melewati malam-malam yang panjang, kebahagiaan terus terpancar dari keduanya. "Maafin aku, Sayang. Aku belum sempat membawamu berlibur ke luar kota atau ke luar negeri. Rencananya setelah proyek terakhir ini selesai, aku akan mengajakmu ke suatu tempat yang indah dan tentunya cukup jauh." Kanaya tersenyum haru."Nggak apa-apa, Mas. Selama Mas ada di dekatku, bagiku di mana aja nggak masalah. Liburan di hotel ini pun sudah bikin aku bahagia. Pokoknya asal kita selalu bersama." Kanaya menatap Kaisar dengan lekat. Mendapatkan tatapan yang berbeda dari istrinya, Kaisar jadi berdebar dan salah tingkah." Aku suka kamu tidak lagi malu-malu, Sayang." Kaisar menjawil hidung mancung Kanaya. Keduanya tertawa kecil penuh kebahagiaan. Di saat sedang menikmati momen santai itu, tiba-tiba seorang pelayan men
“Ini dari Mama,” ucap Kaisar pelan sambil mengangkat telepon. “Halo, Ma?” Suara Maira terdengar penuh semangat di ujung telepon. “Kaisar! Kamu di mana? Analea sudah melahirkan!” Kaisar langsung terkejut. “Apa? Analea sudah melahirkan? Sekarang, Ma?” “Iya! Kami sudah di rumah sakit sekarang. Ayo cepat ke sini, Kaisar. Kalian harus segera datang,” jawab Maira dengan penuh kegembiraan. Kaisar menoleh ke arah Kanaya yang sudah berdiri di belakangnya. “Analea sudah melahirkan, Naya. Kita harus ke rumah sakit sekarang.” Mata Kanaya langsung berbinar. “Beneran, Mas? Ya ampun, aku harus segera siap-siap!” Kaisar tersenyum melihat antusiasme istrinya. “Iya, beneran. Ayo cepat kita berangkat.” Tanpa menunggu lama, setelah membersihkan diri dan berpakaian, Kanaya segera mengambil tas kecilnya, sementara Kaisar sudah siap di depan pintu. Mereka berdua keluar kamar dan menuju lobi hotel dengan cepat. Di perjalanan, Kanaya tampak begitu bersemangat. “Aku masih nggak nyangka, Mas. Kak Analea
“Naya, ini malam yang kita tunggu-tunggu,” bisik Kaisar sambil menatap istrinya dengan penuh cinta. Kaisar membuka pintu kamar dengan perlahan, lalu mengajak Kanaya masuk. Kamar itu dihiasi dengan bunga-bunga mawar yang wangi dan lilin-lilin kecil yang menambah suasana romantis. Kaisar menggenggam tangan Kanaya, lalu menuntunnya untuk duduk di tepi ranjang. Kanaya tersenyum kecil, meskipun wajahnya masih terlihat sedikit gugup. “Iya, Mas. Aku masih nggak percaya ini benar-benar terjadi.” Kaisar mengusap pipi Kanaya dengan lembut, lalu mengecupnya pelan. “Kamu nggak perlu takut. Aku akan selalu ada untukmu, sekarang dan selamanya.” Kanaya merasakan debaran di dadanya semakin kencang. “Terima kasih sudah mau menjagaku, Mas. Aku juga merasa sangat bahagia malam ini.” Mereka berdua saling menatap, merasakan betapa dalam cinta yang kini mengikat mereka. "Naya ...," bisik Kaisar. Ia menggeser tubuhnya hingga nyaris tak berjarak lagi dengan Kanaya. Satu tangannya mengusap lembut bibir
Malam itu, hotel mewah tempat resepsi berlangsung dipenuhi oleh tamu-tamu dari berbagai kalangan. Lampu kristal yang bergemerlapan menambah kemewahan suasana, sementara karpet merah yang terbentang menyambut setiap tamu yang datang. Kaisar dan Kanaya sudah siap di belakang panggung, menanti giliran mereka untuk memasuki ballroom utama sebagai pasangan suami istri yang resmi. “Kamu siap, Naya?” tanya Kaisar dengan senyum lembut, sambil menggenggam tangan istrinya yang sedikit gemetar. Kanaya mengangguk pelan, meski hatinya masih berdebar-debar. “Aku siap, Mas,” jawabnya. Di ballroom utama, para tamu sudah mulai berkumpul. Banyak wajah yang familiar hadir. Para karyawan yang mengenal Kanaya dan Kaisar datang mengenakan pakaian terbaik mereka. Beberapa dari mereka tampak saling berbicara pelan, masih terkejut dengan kabar bahwa asisten pribadi bos besar mereka ternyata adalah istrinya sendiri. “Aku nggak nyangka banget, ternyata Kanaya benar-benar istri Pak Kaisar,” bisik salah satu
Setelah beberapa saat mencari, Kaisar akhirnya melihatnya. Di sana, di depan makam ayahnya, Kanaya duduk sambil memeluk lututnya. Tubuhnya tampak gemetar, sementara isak tangisnya terdengar pelan di antara keheningan. Kaisar berjalan mendekat dengan hati-hati, tidak ingin mengejutkan istrinya yang sedang larut dalam kesedihan. “Naya ...,” panggilnya pelan, suaranya penuh rasa bersalah. Tapi rasa sayang itu terasa makin mendalam. Kanaya tersentak. Gadis itu terdiam sejenak, sebelum menoleh ke arah suara itu. Matanya yang bengkak menunjukkan betapa berat beban yang ia rasakan saat ini. "Mas ... kenapa menyusulku? Kenapa Mas tinggalin Intan di sana?" Suara Kanaya terdengar parau. Sisa air mata masih membasahi wajah manisnya. Kaisar perlahan lebih mendekat. Ia berlutut di samping Kanaya, menatap mata Kanaya dengan penuh penyesalan. “Naya, aku minta maaf. Aku benar-benar tidak bermaksud membuatmu terluka. Intan muncul tiba-tiba, dan aku terlalu terkejut hingga tidak tau harus melakukan
Kaisar memutar tubuhnya hendak memanggil Kanaya. Di tengah kebingungannya, ia ingin segera memperkenalkan Kanaya pada Intan dan memastikan bahwa tidak ada salah paham yang terjadi. Namun, begitu ia melihat sekeliling, ia tidak menemukan Kanaya di sana. "Kanaya?" panggilnya, memandang ke berbagai arah. Tidak ada jawaban. Kaisar mulai merasa panik. Ia mencoba mencari ke ruangan lain, berharap menemukan Kanaya sedang sibuk dengan sesuatu. Tapi setelah mencari ke dapur, ruang tengah, bahkan ke ruang persiapan, Kanaya tetap tidak terlihat. Kaisar semakin gelisah. "Kemana dia pergi?" gumamnya pelan, sambil mencoba menelepon Kanaya. Namun, tidak ada jawaban dari panggilan itu. Perasaannya mulai tak karuan, seolah ada yang menindih dadanya. Di tengah kegelisahannya, Kaisar melihat Maira dan Rein mendekat. Wajah Maira tampak khawatir, sementara Rein berusaha tetap tenang. “Ada apa, Kaisar? Kenapa wajahmu tegang begitu?” tanya Maira dengan nada cemas. Kaisar menghela napas, mencoba menaha
Bab 26: Kedatangan yang Tak Terduga Rumah besar dan mewah milik Maira dan Rein dipenuhi dengan aktivitas sejak pagi itu. Persiapan resepsi pernikahan Kanaya dan Kaisar yang akan digelar malam ini tengah berlangsung dengan penuh semangat. Maira berkeliling memastikan semua detail dipersiapkan dengan sempurna, sementara Kaisar dan Kanaya membantu semampu mereka. Analea dan Ratu pun ikut membantu Maira. “Kaisar, nanti jangan lupa ke ruang ganti untuk cek lagi setelan jasnya, ya,” ujar Maira sambil memeriksa daftar tamu undangan. Meski mereka memakai jasa WO, Maira tak ingin ada hal sekecil apapun yang terlewat. “Iya, Ma,” jawab Kaisar sambil tersenyum, lalu beralih ke Kanaya yang tampak sibuk dengan telepon genggamnya, memastikan tamu dari pihaknya juga sudah menerima undangan. Ia juga menyiapkan transportasi untuk para keluarganya dari Bogor.Setelah kembali dari ruang ganti, Kaisar kembali menemani Kanaya yang masih mendata para tamunya di ruang tamu. Mereka yang sedang duduk di sof