"T-tidak, Kak! Aku tidak pantas memiliki mobil mewah ini," desis Analea sambil menggeleng. Tanpa ia sadari kakinya bergerak mundur beberapa langkah. Kedua tangan Fabian meraih bahunya hingga langkah Analea terhenti. Wanita itu tersadar dan menoleh pada Fabian. "Kenapa, Lea? Tolong jangan ditolak. Itu membuatku kecewa dan merasa tidak dihargai." Tatapan lekat dan tegas, namun tersirat ada rasa kecewa di dalamnya, jelas tampak dari manik hitam legam milik Fabian. "B-bukan begitu, Kak. Ini ... terlalu mewah untukku. Lagipula ... aku sudah lama nggak nyetir mobil. Apalagi mobil mahal seperti ini. Nggak berani, Kak." Analea buru-buru memberi alasan yang tepat pada Fabian. Sesekali ia meringis memandang mobil mewah itu. Mobil yang sama sekali tidak sepadan dengan dirinya. "Yang penting Lea bisa nyetir, kan?" tegas Fabian memastikan. Analea mengangguk. "Dulu, demi mencari uang untuk biaya kuliah, beberapa kali aku kerja jadi driver taksi online dengan setoran uang sewa mobil setiap har
"Heh! Dasar perempuan murahan! Kurang ajar!" Mendengar suara yang sangat ia kenali, Analea spontan mundur hendak menjauh dari Fabian. Namun pria itu justru menahan tubuhnya agar Analea tetap berada di dekatnya. "Ratu ...!" lirih Analea tak enak hati. Bagaimanapun juga Fabian masih ada ikatan pertunangan dengan Ratu. Hingga ia mengabaikan kata-kata kasar dari mulut Ratu yang menghinanya barusan "Jaga bicaramu, Ratu! Lea bukan perempuan murahan seperti yang sering kamu sebut!" Fabian bicara pelan namun cukup tegas dan penuh penekanan. "Kak Biaan ..." Analea semakin cemas dan mencoba menegur Fabian. "Apaa?" Ratu melotot seakan tidak percaya dengan apa yang ia dengar barusan. Fabian membela Analea. Netra Ratu tajam menatap Analea. Raut wajah wanita itu penuh amarah dan kebencian. "Hebat kamu, ya! Kamu sudah berhasil merebut semuanya dariku. Kamu sudah merebut Mama dan Daddy, sekarang kamu juga merebut hati tunanganku!" Ratu bicara dengan berapi-api hingga dadanya naik turun. "Tida
"Kami berencana akan menikahkan kamu dan Fabian secepatnya." Analea terdiam sejenak setelah mendengar ucapan Maira. Wanita itu menghela napas sesaat, lalu kembali bicara. "Lalu ... bagaimana dengan Ratu, Ma? Dia pasti tidak terima." Analea khawatir Ratu akan nekad berbuat yang membahayakan. "Kamu tenang saja. Soal Ratu adalah urusan Mama dan Daddy. Sekarang istirahat dan tidurlah!" Maira bangkit berdiri. Wanita yang saat ini sedang memakai hijab instan model bergo itu mencium kening Analea sebelum meninggalkan kamar itu. "Selamat tidur, Sayang!" "Makasih, Ma!" Analea masih termenung setelah Maira keluar dari kamarnya. Hatinya selalu terharu setiap Maira atau Rein memperlakukannya dengan manis. Seperti yang baru saja Maira lakukan, ciuman di kening Analea membuat hati wanita berambut gelombang itu menghangat dan berbunga-bunga. Dulu, tidak pernah terlintas sedikitpun di pikirannya, kalau ia adalah anak dari keluarga kaya dan terhormat. Pemilik perusahaan properti Eternal Group. P
"Cantik ...." "Maaf ...?" tanya Analea dengan kening berkerut setelah mendengar Raihan bergumam pelan. "Ah, iyaa, maksudku ... kamu ... wanita paling cantik yang pernah aku temui." Tanpa ragu Raihan bicara blak-blakan pada Analea. "Anda berlebihan." Analea hanya tersenyum tipis menanggapi sikap Raihan yang terlalu terus terang. Sementara Kaisar terkekeh melihat kelakuan Raihan. Pria itu sudah sangat paham dengan sifat Raihan yang merupakan sahabatnya dari kecil. "Mari kita ke ruanganku saja!" Kaisar kembali keluar dari ruangan itu diikuti oleh Raihan dan. Analea. "Bagaimana kabarnya Om Yuda dan Tante Salma?" tanya Kaisar sambil melangkah di samping Raihan. "Bunda sehat. Ayah masih terus kontrol berkala setiap enam bulan." sahut Raihan yang kini langkahnya sejajar dengan Kaisar. Setelah masuk ke ruang Presdir, Kaisar dan Analea duduk di kursi kebesaran mereka masing-masing di ruangan besar itu. Sedangkan Raihan duduk tepat di hadapan Kaisar. Namun netranya tak berpindah pada Ana
"Sudah ...! Hentikan, Maira ...!" Rein menekan dadanya yang kembali merasa sakit. "Terus aja salahkan aku, Ma! Belain aja terus anak mama yang murahan itu!" Setelah Maira diam, kini Ratu yang bicara semakin keras. "Astaga Ratu ...!" Maira semakin geram. Namun perhatiannya kini kembali pada Rein. Ia khawatir kesehatan suaminya itu kembali menurun. "Asal mama tau, anak kandung mama itu dicerai oleh mantan suaminya karena sudah nggak perawan lagi. Perempuan gang mangkal itu semua murahan dan nggak ada yang perawan. Kak Bian nggak mungkin nikah sama dia, Ma. Dia pasti udah jebak Kak Bian." "DIAAAM, RATU!" Rein kembali berteriak dengan tangan yang masih memegang dadanya. Wajahnya terlihat sangat marah. Namun sesekali ia meringis menahan sakit. Maira telah berada di sampingnya untuk menenangkan suaminya itu. "Apa yang aku bilang ini kenyataan, Dad! Aku bisa bawa mantan suaminya itu ke sini." Ratu masih terus mencoba meyakinkan Rein dan Maira, tanpa peduli dengan kondisi Rein yang kesa
"Lama banget sih, kamu!" "Maaf, Bang. Tadi di rumah mau ada acara, jadi aku bantu-bantu dulu." Sumi bergegas mempercepat langkahnya ketika mendengar teriakan Alif. "Mana buruan, kamu bawa, kan, uangnya?" Alif menarik tangan Sumi ke sesuatu tempat. Keduanya saat ini berada di sebuah pasar malam tak jauh dari rumah Maira. Alif membawa Sumi ke belakang pasar yang sepi. Satu jam sebelumnya, Alif menghubungi Sumi karena ia sedang butuh uang. Ia tidak berani mendatangi Sumi di sekitar wilayah rumah Maira. Selain ia takut dikenali Maira dan Rein, Alif juga takut jika bertemu Bang Begenk. Sejak penagih hutang itu datang menemui Sumi, Alif tidak lagi sering- sering menampakkan wajahnya. Apalagi di sekitar gang mangkal. "Cuma ada segini, Bang." Melihat uang yang diberikan Sumi tidak sesuai dengan yang ia minta, wajah Alif langsung memerah karena kesal. "Masa cuma segini? Yang benar aja, dong! Kamu kan kerja di rumah orang kaya. Pasti gaji kamu besar. Heh, Sumi! Jangan main-main kamu sam
"Non Ratu, ngapain di sini? Kenapa nggak istirahat aja di kamar?" Ratu menoleh, lalu ia menatap kesal pada salah seorang asisten rumah tangga yang berada di belakangnya. "Nggak usah ikut campur urusanku. Sana pergi! Cuma pembantu aja berani nyuruh-nyuruh aku!" sentak Ratu dengan suara meninggi. "M-maafkan saya, Non. Tapi ... Non Ratu bukannya ... sedang sakit? Bu Maira bilang Non Ratu besok jadwalnya kontrol ke rumah sakit. Jadi ... sebaiknya tidur lebih awal." Asisten rumah tangga itu bicara hati-hati. "Halaaah. Berisik, lo. Sana pergi! Ganggu aja," sembur Ratu dengan mata mendelik. Asisten rumah tangga itu akhirnya bergegas pergi sebelum Ratu kembali membentaknya. Tak lama kemudian Ratu melihat semua yang ada di ruang keluarga itu bangkit berdiri, lalu berjalan menuju Teras. Mereka berjalan masih sambil bicara dan tertawa hingga Fabian membawa orang tuanya masuk ke dalam mobil. Saat Maira, Rein dan Analea kembali masuk ke dalam rumah, Ratu buru-buru menghindar dengan berjalan
"Kenapa diam? Sebaiknya Mbak Sumi terus terang saja. Tadi pergi kemana? Ketemu siapa?" Analea terus mencecar Sumi. Ia menelisik wajah wanita paruh baya itu dengaan teliti. Analea melihat kegelisahan pada raut wajah Sumi. Beberapa menit yang lalu Fabian mengirim sebuah video dari orang kepercayaannya pada Analea. Dalam video itu Ana melihat Sumi ditampar oleh seorang pria gondrong yang belakangan ini sangat mencurigakan. Setelah melihat video itu, Analea semakin yakin bahwa pria itu ada kaitannya dengan tertukarnya ia dan Ratu. "Be-benar, Non. Saya nggak bohong. Saya ketemu ... abang saya di pasar." Sumi kembali menunduk menyembunyikan wajahnya. "Abang?" Analea mengerutkan keningnya. Sumi mengangguk samar lalu membuang pandangannya. "Semakin mencurigakan ...," pikir Analea. Kemudian wanita dengan rambut dikuncir satu itu berdiri dan berjalan menuju pintu. "Ya sudah. Aku tidur dulu, Mbak. Jangan lupa bereskan mejanya." "Iya, Non." Keesokan harinya Rein yang sudah merasa lebih s