"Untung sajaaa ... " Analea menghempas napas lega setelah taksi yang ia naiki tadi pergi. "Kamu harus jelaskan sesuatu padaku, Ana!" ujar Kaisar penasaran. Saat ini mereka masih berdiri di depan sebuah restoran cepat saji yang cukup ramai. "Atau kamu memang benar-benar lapar dan ingin makan?" tanya Kaisar lagi dengan dahi berkerut. Analea menggeleng. "Sebenarnya aku tidak beneran lapar, Kak. Aku hanyaaa ..." "Stop! Jangan bicara di sini. Cepat pesan taksi online saja." Kaisar mulai merasa tidak nyaman berada di tempat umum yang cukup ramai itu. Ia sangat ingin segera pergi dari tempat itu. Pria tampan berpenampilan klimis dalam balutan jas mahal itu juga menjadi pusat perhatian orang-orang yang melewatinya. Hal itu semakin membuatnya tak leluasa untuk bergerak. "Kak, taksi onlinenya datang." Analea bergegas membawa Kaisar menghampiri taksi online yang sudah ia pesan, kemudian mereka buru-buru naik. Mobil pun melaju ke arah PT Bina Sanjaya. "Oke, lanjutkan pembicaraanmu tadi!" K
Analea terus memikirkan ucapan Fabian hingga pada saat pertemuan masih berjalan. Sejujurnya Analea sangat bahagia ketika mendengar Fabian ingin menikahinya dalam waktu dekat. Tetapi ia khawatir Ratu tidak akan tinggal diam dan melakukan sesuatu yang membahayakan. Dalam ruang meeting itu, beruntung ada Joshua, asisten pribadi Fabian yang ikut bergabung hingga ada seseorang yang bisa Analea ajak berdiskusi, agar ia bisa melupakan kata-kata Fabian tadi meski hanya sejenak. Tatapan lekat dan begitu dalam dari Fabian terus Analea rasakan selama mereka berada di ruang meeting. Wanita itu beberapa kali menunduk salah tingkah. Fabian seakan tidak peduli dengan Kaisar dan Joshua yang juga berada di ruangan itu. Pembicaraan yang tidak terlalu formal diantara dua perusahaan itu diselingi dengan beberapa hidangan yang cukup mengenyangkan. Fabian sempat bertanya pada Analea apakah kekasihnya itu sudah makan siang. Karena Analea menjawab jujur bahwa ia memang belum sempat makan siang, Fabian mem
"Cepat! Keluar kamu sekarang juga!" Tatapan tajam sedikit melotot dari netra Fabian membuat lutut Hamid tak berhenti gemetar. Perlahan pria yang kini tampak lebih kurus itu berbalik arah dan bergegas keluar dari ruangan itu. Seketika itu juga Emily masuk dengan wajah bingung. A-ada apa? Apa Office Boy itu berbuat kesalahan, Pak Fabian?" "Ya, dia masuk tanpa ada aba-aba dariku," geram Fabian, lalu kembali menduduki sofa.. Emily mengulum senyum. Ia sudah menduga apa yang telah terjadi. "Hei, kenapa kamu tersenyum?" tanya Fabian dengan alis terangkat. Namun pria itu memang tidak pernah bisa marah pada pada Emily. "Tidak apa-apa, Pak Fabian. Oh ya, ini sudah terlalu sore. Apa saya sudah boleh pulang?" tanya Emily lagi. Kali ini ia melirik pada Analea yang duduk pada sofa yang berbeda. "Ya, pulanglah! Saya dan Lea juga akan pulang sebentar lagi." Fabian kembali bangkit lalu meraih dua minuman kaleng yang ada di meja. Ia memberikan satu minuman itu pada Analea. "Minumlah, Lea! Sete
"T-tidak, Kak! Aku tidak pantas memiliki mobil mewah ini," desis Analea sambil menggeleng. Tanpa ia sadari kakinya bergerak mundur beberapa langkah. Kedua tangan Fabian meraih bahunya hingga langkah Analea terhenti. Wanita itu tersadar dan menoleh pada Fabian. "Kenapa, Lea? Tolong jangan ditolak. Itu membuatku kecewa dan merasa tidak dihargai." Tatapan lekat dan tegas, namun tersirat ada rasa kecewa di dalamnya, jelas tampak dari manik hitam legam milik Fabian. "B-bukan begitu, Kak. Ini ... terlalu mewah untukku. Lagipula ... aku sudah lama nggak nyetir mobil. Apalagi mobil mahal seperti ini. Nggak berani, Kak." Analea buru-buru memberi alasan yang tepat pada Fabian. Sesekali ia meringis memandang mobil mewah itu. Mobil yang sama sekali tidak sepadan dengan dirinya. "Yang penting Lea bisa nyetir, kan?" tegas Fabian memastikan. Analea mengangguk. "Dulu, demi mencari uang untuk biaya kuliah, beberapa kali aku kerja jadi driver taksi online dengan setoran uang sewa mobil setiap har
"Heh! Dasar perempuan murahan! Kurang ajar!" Mendengar suara yang sangat ia kenali, Analea spontan mundur hendak menjauh dari Fabian. Namun pria itu justru menahan tubuhnya agar Analea tetap berada di dekatnya. "Ratu ...!" lirih Analea tak enak hati. Bagaimanapun juga Fabian masih ada ikatan pertunangan dengan Ratu. Hingga ia mengabaikan kata-kata kasar dari mulut Ratu yang menghinanya barusan "Jaga bicaramu, Ratu! Lea bukan perempuan murahan seperti yang sering kamu sebut!" Fabian bicara pelan namun cukup tegas dan penuh penekanan. "Kak Biaan ..." Analea semakin cemas dan mencoba menegur Fabian. "Apaa?" Ratu melotot seakan tidak percaya dengan apa yang ia dengar barusan. Fabian membela Analea. Netra Ratu tajam menatap Analea. Raut wajah wanita itu penuh amarah dan kebencian. "Hebat kamu, ya! Kamu sudah berhasil merebut semuanya dariku. Kamu sudah merebut Mama dan Daddy, sekarang kamu juga merebut hati tunanganku!" Ratu bicara dengan berapi-api hingga dadanya naik turun. "Tida
"Kami berencana akan menikahkan kamu dan Fabian secepatnya." Analea terdiam sejenak setelah mendengar ucapan Maira. Wanita itu menghela napas sesaat, lalu kembali bicara. "Lalu ... bagaimana dengan Ratu, Ma? Dia pasti tidak terima." Analea khawatir Ratu akan nekad berbuat yang membahayakan. "Kamu tenang saja. Soal Ratu adalah urusan Mama dan Daddy. Sekarang istirahat dan tidurlah!" Maira bangkit berdiri. Wanita yang saat ini sedang memakai hijab instan model bergo itu mencium kening Analea sebelum meninggalkan kamar itu. "Selamat tidur, Sayang!" "Makasih, Ma!" Analea masih termenung setelah Maira keluar dari kamarnya. Hatinya selalu terharu setiap Maira atau Rein memperlakukannya dengan manis. Seperti yang baru saja Maira lakukan, ciuman di kening Analea membuat hati wanita berambut gelombang itu menghangat dan berbunga-bunga. Dulu, tidak pernah terlintas sedikitpun di pikirannya, kalau ia adalah anak dari keluarga kaya dan terhormat. Pemilik perusahaan properti Eternal Group. P
"Cantik ...." "Maaf ...?" tanya Analea dengan kening berkerut setelah mendengar Raihan bergumam pelan. "Ah, iyaa, maksudku ... kamu ... wanita paling cantik yang pernah aku temui." Tanpa ragu Raihan bicara blak-blakan pada Analea. "Anda berlebihan." Analea hanya tersenyum tipis menanggapi sikap Raihan yang terlalu terus terang. Sementara Kaisar terkekeh melihat kelakuan Raihan. Pria itu sudah sangat paham dengan sifat Raihan yang merupakan sahabatnya dari kecil. "Mari kita ke ruanganku saja!" Kaisar kembali keluar dari ruangan itu diikuti oleh Raihan dan. Analea. "Bagaimana kabarnya Om Yuda dan Tante Salma?" tanya Kaisar sambil melangkah di samping Raihan. "Bunda sehat. Ayah masih terus kontrol berkala setiap enam bulan." sahut Raihan yang kini langkahnya sejajar dengan Kaisar. Setelah masuk ke ruang Presdir, Kaisar dan Analea duduk di kursi kebesaran mereka masing-masing di ruangan besar itu. Sedangkan Raihan duduk tepat di hadapan Kaisar. Namun netranya tak berpindah pada Ana
"Sudah ...! Hentikan, Maira ...!" Rein menekan dadanya yang kembali merasa sakit. "Terus aja salahkan aku, Ma! Belain aja terus anak mama yang murahan itu!" Setelah Maira diam, kini Ratu yang bicara semakin keras. "Astaga Ratu ...!" Maira semakin geram. Namun perhatiannya kini kembali pada Rein. Ia khawatir kesehatan suaminya itu kembali menurun. "Asal mama tau, anak kandung mama itu dicerai oleh mantan suaminya karena sudah nggak perawan lagi. Perempuan gang mangkal itu semua murahan dan nggak ada yang perawan. Kak Bian nggak mungkin nikah sama dia, Ma. Dia pasti udah jebak Kak Bian." "DIAAAM, RATU!" Rein kembali berteriak dengan tangan yang masih memegang dadanya. Wajahnya terlihat sangat marah. Namun sesekali ia meringis menahan sakit. Maira telah berada di sampingnya untuk menenangkan suaminya itu. "Apa yang aku bilang ini kenyataan, Dad! Aku bisa bawa mantan suaminya itu ke sini." Ratu masih terus mencoba meyakinkan Rein dan Maira, tanpa peduli dengan kondisi Rein yang kesa