"Siapa wanita itu? Apa dia istri sah Bang Gondrong?" Sumi buru-buru mematikan ponselnya. Ia takut jika benar yang mengangkat panggilannya tadi adalah istri sah Alif, ia akan dicurigai. Alif pun akan marah besar padanya. "Bagaimana caranya agar aku bisa bicara dengan Bang Gondrong?" bathinnya. Tak lama kemudian, sebuah pesan masuk pada layar ponsel Sumi. [ Aku bilang jangan hubungi aku jika di rumah. Lusa temui aku, nanti aku beritahu lokasinya ] Sumi merasa lega, lalu ia menutup ponselnya dan beranjak tidur. Keesokan paginya Analea telah bangun pagi-pagi sekali karena sudah terbiasa. Wanita itu tampak segar karena baru saja mandi dan melaksanakan salat subuh. Ia pun keluar dari kamar dan menemui salah satu pelayan yang berpapasan dengannya. "M-maaf, Mbak. Dapurnya di mana, ya?" "Oh, Non Ana, ya? Lewati lorong itu aja, Non. Dapurnya pintu yang paling belakang." Pelayan itu tampak kagum melihat keramahan Analea yang jauh berbeda dengan Ratu. "Makasih, Mbak!" ucap Analea sebelum
"Hei, siapa kamu?" Ratu memandang pengemudi taksi online itu dengan penuh selidik. Tatapannya tak berhenti pada pria yang perlahan membuka topi dan kacamatanya itu. Ratu mendengkus napas kasar saat tau siapa pria yang ada di depannya sekarang. "Kamu lagi!" semburnya kesal hingga pria itu menyeringai. "Aku tau, kamu tidak pernah suka dengan kehadiranku. Tapi suatu saat, kamu pasti akan membutuhkan pertolongan kami, orang tua kandungmu, Ratu!" ujar pria gondrong yang ternyata adalah Alif. Ia bicara sambil terus menyetir mobil. "Sebenarnya apa sih mau kamu? Dengar, ya! Aku ini anak Mama Maira dan Daddy Rein. Sejak kecil mereka yang merawatku. Aku nggak kenal kalian!" ketus Ratu lagi sambil membuang pandangannya ke jendela. Alif terkekeh. "Aku sengaja menukarmu ketika bayi, agar kamu bisa hidup senang. Seharusnya kamu berterima kasih pada kami, dasar anak keras kepala!" Alif masih terkekeh melirik Ratu dari kaca spion dalam yang ada di depannya. Ia menyadari sifat Ratu sama persis d
"Apaa? Sumi belum mati? Kamu tau dari mana?" tanya Begenk ragu. Namun cara bicaranya sudah tidak sekeras tadi. Melihat Fabian yang ternyata bisa lebih menyeramkan, membuat ketiga preman itu berpikir dua kali untuk bersikap kasar seperti awal mereka datang. Fabian kembali menyeringai dan memandang ketiga preman itu dengan tatapan merendahkan. Sejak awal ia sudah muak dengan sikap para preman tua itu yang sok jagoan. Apalagi pakaian yang mereka kenakan tidak pantas dengan usia mereka yang mungkin sudah mencapai 50 tahun. Dengan kedua tangan berada dalam saku celananya, Fabian bangkit dari kursinya dan berdiri mendekat dengan salah satu pria yang bernama Begenk. "Aku bisa tau segalanya. Dengan banyak uang, apapun bisa aku lakukan," jawab Fabian dengan ekspresi dinginnya. Hingga membuat ketiga preman itu tak lagi berkutik, terutama Begenk yang mulai gemetar karena hanya berjarak satu langkah dari Fabian. Namun demi menagih uangnya, Begenk memberanikan diri untuk bertanya lebih jauh pad
Ratu agak terkejut melihat Analea yang mulai berani menantangnya. Ia pun kembali mengalihkan pandangannya pada Rein dan Maira. "Dad, Mam, aku nggak betah di rumah nggak ada kalian. Aku mau di sini aja!" Ratu duduk di samping ranjang Rein sambil mengusap lengan pria itu. "Ya sudah. Terserah kamu saja," sahut Rein pasrah. Ia pikir akan percuma berdebat dengan Ratu yang keras kepala. "Makasih, Dad!" Ratu mencium kedua pipi sang Daddy dengan hangat. "Makasih, Mom!" Ratu juga memeluk dan mencium kedua pipi Maira. "Kamu bisa istirahat di ranjang itu, Sayang!" ucap Maira sambil memeriksa luka di kepala Ratu. Ratu menoleh pada sebuah ranjang yang ada di sisi lain di kamar itu. Ia tersenyum, ternyata Maira dan Rein masih menyayanginya dan tidak berubah. Di saat bersamaan, Kaisar dan Analea bangkit berdiri dan bersiap untuk pamit. "Dad, Mom, aku dan Analea berangkat ke kantor!" pamit Kaisar. Pria itu melangkah menuju pintu keluar. Sementara Analea berjalan menghampiri Rein dan Maira, la
"Untung sajaaa ... " Analea menghempas napas lega setelah taksi yang ia naiki tadi pergi. "Kamu harus jelaskan sesuatu padaku, Ana!" ujar Kaisar penasaran. Saat ini mereka masih berdiri di depan sebuah restoran cepat saji yang cukup ramai. "Atau kamu memang benar-benar lapar dan ingin makan?" tanya Kaisar lagi dengan dahi berkerut. Analea menggeleng. "Sebenarnya aku tidak beneran lapar, Kak. Aku hanyaaa ..." "Stop! Jangan bicara di sini. Cepat pesan taksi online saja." Kaisar mulai merasa tidak nyaman berada di tempat umum yang cukup ramai itu. Ia sangat ingin segera pergi dari tempat itu. Pria tampan berpenampilan klimis dalam balutan jas mahal itu juga menjadi pusat perhatian orang-orang yang melewatinya. Hal itu semakin membuatnya tak leluasa untuk bergerak. "Kak, taksi onlinenya datang." Analea bergegas membawa Kaisar menghampiri taksi online yang sudah ia pesan, kemudian mereka buru-buru naik. Mobil pun melaju ke arah PT Bina Sanjaya. "Oke, lanjutkan pembicaraanmu tadi!" K
Analea terus memikirkan ucapan Fabian hingga pada saat pertemuan masih berjalan. Sejujurnya Analea sangat bahagia ketika mendengar Fabian ingin menikahinya dalam waktu dekat. Tetapi ia khawatir Ratu tidak akan tinggal diam dan melakukan sesuatu yang membahayakan. Dalam ruang meeting itu, beruntung ada Joshua, asisten pribadi Fabian yang ikut bergabung hingga ada seseorang yang bisa Analea ajak berdiskusi, agar ia bisa melupakan kata-kata Fabian tadi meski hanya sejenak. Tatapan lekat dan begitu dalam dari Fabian terus Analea rasakan selama mereka berada di ruang meeting. Wanita itu beberapa kali menunduk salah tingkah. Fabian seakan tidak peduli dengan Kaisar dan Joshua yang juga berada di ruangan itu. Pembicaraan yang tidak terlalu formal diantara dua perusahaan itu diselingi dengan beberapa hidangan yang cukup mengenyangkan. Fabian sempat bertanya pada Analea apakah kekasihnya itu sudah makan siang. Karena Analea menjawab jujur bahwa ia memang belum sempat makan siang, Fabian mem
"Cepat! Keluar kamu sekarang juga!" Tatapan tajam sedikit melotot dari netra Fabian membuat lutut Hamid tak berhenti gemetar. Perlahan pria yang kini tampak lebih kurus itu berbalik arah dan bergegas keluar dari ruangan itu. Seketika itu juga Emily masuk dengan wajah bingung. A-ada apa? Apa Office Boy itu berbuat kesalahan, Pak Fabian?" "Ya, dia masuk tanpa ada aba-aba dariku," geram Fabian, lalu kembali menduduki sofa.. Emily mengulum senyum. Ia sudah menduga apa yang telah terjadi. "Hei, kenapa kamu tersenyum?" tanya Fabian dengan alis terangkat. Namun pria itu memang tidak pernah bisa marah pada pada Emily. "Tidak apa-apa, Pak Fabian. Oh ya, ini sudah terlalu sore. Apa saya sudah boleh pulang?" tanya Emily lagi. Kali ini ia melirik pada Analea yang duduk pada sofa yang berbeda. "Ya, pulanglah! Saya dan Lea juga akan pulang sebentar lagi." Fabian kembali bangkit lalu meraih dua minuman kaleng yang ada di meja. Ia memberikan satu minuman itu pada Analea. "Minumlah, Lea! Sete
"T-tidak, Kak! Aku tidak pantas memiliki mobil mewah ini," desis Analea sambil menggeleng. Tanpa ia sadari kakinya bergerak mundur beberapa langkah. Kedua tangan Fabian meraih bahunya hingga langkah Analea terhenti. Wanita itu tersadar dan menoleh pada Fabian. "Kenapa, Lea? Tolong jangan ditolak. Itu membuatku kecewa dan merasa tidak dihargai." Tatapan lekat dan tegas, namun tersirat ada rasa kecewa di dalamnya, jelas tampak dari manik hitam legam milik Fabian. "B-bukan begitu, Kak. Ini ... terlalu mewah untukku. Lagipula ... aku sudah lama nggak nyetir mobil. Apalagi mobil mahal seperti ini. Nggak berani, Kak." Analea buru-buru memberi alasan yang tepat pada Fabian. Sesekali ia meringis memandang mobil mewah itu. Mobil yang sama sekali tidak sepadan dengan dirinya. "Yang penting Lea bisa nyetir, kan?" tegas Fabian memastikan. Analea mengangguk. "Dulu, demi mencari uang untuk biaya kuliah, beberapa kali aku kerja jadi driver taksi online dengan setoran uang sewa mobil setiap har