Begitu Kai masuk ke dalam rumah, ia tidak menemukan siapa pun. Ruang tengah yang biasanya dihuni Kristal yang jadwalnya tiap weekend adalah menonton film chick flick bergantian dengan CNN, kini kosong.
Lelaki itu memutuskan untuk naik ke lantai dua. Mungkin Kristal masih di dalam kamarnya.
“Ta,” panggil Kai sembari mengetuk pintu kamar Kristal. “Ta, udah bangun?”
Kai mengetuk dan memanggil Kristal beberapa kali, namun tetap tidak ada jawaban. Khawatir kalau Kristal sakit hingga tidak sanggup bangun dari ranjang—karena ia melihat sendiri bagaimana lesunya Kristal kemarin—Kai pun masuk ke kamar Kristal.
Aroma green tea yang menenangkan langsung dapat ia rasakan begitu memasuki kamar dengan dinding berwarna violet tersebut.
“Kamu di mana, sih, Ta? Kayak ramai banget gitu.”Kristal memejamkan mata sambil meringis. “Lagi di mall,” jawabnya asal. Padahal ia baru saja mengambil kopernya di conveyor belt.Tubuhnya yang kecil dan seringnya tidak kuat mengangkat kopernya untuk menaruh di kabin pesawat, membuat Kristal lebih sering membeli bagasi lebih agar hanya tinggal mengambil di conveyor belt.“Oh, gitu.” Mamanya, Julia, percaya saja dengan kata-katanya. “Kamu udah lama, deh, nggak main ke rumah, Mama kangen, tahu.”“Oh, iya juga, ya.” Kristal tertawa kecil mendengar komentar mamanya. “Ya udah, hari ini aku ke rumah, ya.”“Sama Kai juga, kan?” tanya Julia penuh harap.
“Duh, akhirnya anak Mama dateng juga!”Kristal sudah merentangkan tangannya untuk memeluk Julia, namun perempuan paruh baya itu malah memeluk Kai dengan antusias.“Lho, yang anak Mama kan aku,” sungut Kristal kesal.Julia yang berhasil menjahili putrinya, segera melepas pelukannya pada Kai yang tertawa karena tingkahnya dan beralih pada putri tunggalnya itu.“Duh, gitu aja ngambek,” gumam Julia dalam pelukannya. Setelahnya, ia merangkul pinggang Kristal dan mengarahkannya ke ruang keluarga.“Kamu bawa, kan, donat Mama?”“Bawa, itu di Kai.”Julia langsung menghentikan langkahnya dan menepuk lengan Kristal hingga Kristal mengaduh.
“Nona Kristal ke Bali, Tuan.”“Ke rumah sahabatnya, Renjana?”Rangga mengangguk. Menjadi asisten Kai berarti nyaris tidak ada hari libur. Hari ini salah satunya. Sabtu pagi ia sudah diminta Kai mencari tahu ke mana istrinya pergi.Kai mengangguk paham. “I see.” Lelaki itu pun duduk di sofa ruang tengah. “Baiklah, kalau begitu kamu bisa pulang. Maaf mengganggu waktu liburmu.”“Bukan masalah.” Akhir-akhir ini ia sudah terbiasa dengan sikap Kai yang aneh semenjak patah hati.Rangga pun berlalu meninggalkan Kai sendiri di ruang tengah. Walaupun sebenarnya ia heran kenapa Kai tidak menyuruhnya mencari orang agar menjemput Kristal atau memesankan tiket untuknya menyusul ke sana.
“Kenapa, sih? Ditinggal istri?”Kai mendelik tidak suka atas pertanyaan tersebut. “Just shut up, will you?”Vito Kataraga justru tertawa puas sampai memukul permukaan meja kayu Lucky Cat yang malam Minggu seperti ini ramai luar biasa.Waiting list di kafe bergaya industrial di kawasan Plaza Festival, Kuningan, tersebut benar-benar gila, namun sepadan dengan ambience yang didapatkan mereka untuk menghabiskan malam Minggu ini.“Giliran ditinggal istri, baru aku dicariin. Persis ban serep,” canda Vito lagi pada sahabatnya yang tengah menyesap Machiato-nya.“Kamu sendiri yang ngajak ke sini,” tukas Kai tidak mau kalah.Dua jam yang lalu, Vito yang masih melajang dan
“Jam berapa pesawat Kristal sampai di Soekarno-Hatta?”“Jam tiga sore, Tuan.”“Oke.”“Apa Tuan mau menjemput Nona Kristal?”Kai berpikir selama beberapa saat dan memutuskan kalau Rangga tidak perlu tahu kali ini. “We’ll see.”Setelah mengakhiri panggilan tersebut, Kai menatap ke sekeliling kamar Kristal. Pagi ini setelah sarapan, Kai memutuskan untuk mampir lagi di kamar beraroma green tea tersebut untuk membuka tirainya agar sinar matahari dapat masuk.Kai tidak langsung keluar, lelaki itu malah mengitari kamar Kristal. Melihat foto-foto yang dipajang, juga tidak sengaja melihat koleksi lipstik Kristal yang ia tidak mengerti di mana perbedaannya selain
“Kamu bawain aku pie susu nggak?”“Nggak!” jawab Kristal dengan ketus. Dari sekian banyak hal yang harus mereka bicarakan, kenapa juga Kai harus membahas pie susu?!“Padahal aku suka pie susu.” Kai cemberut sembari memutar setir mmobilnya dengan lihai.Kristal yang melihatnya membelalakkan mata. Seorang Kai cemberut karena ia bilang ia tidak bawa piesusu?Kai benar-benar tidak adil. Dia bisa bersikap kejam pada Kristal tapi bisa seimut ini dan membuat Kristal harus kuat-kuat menahan dirinya, agar tidak mencium laki-laki itu lebih dulu.Perempuan itu menghela napas sambil mengalihkan pandangannya ke jendela. Hari sudah malam saat mereka pulang dari kediaman orangtua Kristal di Kelapa Gading.
“Tuhkan bener, liburan bikin kamu nambah happy!”Kristal menggeleng pelan mendengar analisis ngasal Jean. “Ya, ya, ya, anggap aja begitu.”“Beda sih ya yang liburannya sambil honeymoon.”“Honeymoon apaan?” bantah Kristal langsung.Jean tertawa melihat Kristal yang sewot. “Santai dong, Bu, ngegas banget.”Kristal hanya mendengus dan membiarkan Jean menikmati kotak pie susu berisi seratus bungkus itu untuk dirinya sendiri.Bicara tentang pie susu, Kristal jadi ingat bagaimana semalam Kai seperti melihat malaikat saat ia menyodorkan sekotak pie susu untuknya. Kristal tentu saja tidak lupa kalau Kai sangat menyukai kue itu sejak
[FH-UI. Kristal. Semester 4.]Hafi tahu ia nekat, tapi ia hanya… penasaran. Oke, ia tahu keinginannya naik Commuter Line sampai di UI adalah hal yang mungkin terdengar konyol. Tapi ia memang benar-benar penasaran.“Udah kayak copet,” komentar Kristal meluluhlantakkan euforia yang dirasakan Hafi.“Sialan!”“Duh!” Kristal merengut sambil menatap Hafi dengan tajam.Saat ini mereka sedang menikmati hidangan seafood murah meriah yang ada di Tenda Biru, deretan warung tenda yang ada di belakang stasiun Pondok Cina dan menyajikan makanan yang sangat murah tapi enak. Hingga mahasiswa dari Universitas Gunadarma pun sering makan di sini juga.“Gila, kwetiaunya enak banget,