“Papi, apa kita akan pulang ke rumah kita lagi?”“Hm-hm! Rumah kita sepi kayak kuburan saat kamu dan mamimu nggak ada.”“Ih takut! Jadi sekarang banyak hantunya?”Archer terkekeh. “Nggak ada. Hantu-hantu itu nggak berani datang ke rumah kalau ada anak secantik kamu, Sayang.”Tawa renyah Kimberly terdengar berderai-derai.Tanpa sadar, kedua sudut bibir Feli terangkat samar mendengarnya. Beberapa minggu terakhir ini, anak itu terlihat sedikit murung, apa lagi setelah mendengar kalau calon adiknya sudah meninggal dunia. Kimberly seolah merasakan kesedihan yang dialami ibunya.“Kenapa? Ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?”Feli terhenyak ketika merasakan sapuan lembut di pipinya, yang membuatnya seketika keluar dari lamunannya.“Nggak.” Feli menggeleng, sedikit menjauhkan wajahnya dari tangan Archer. “Nggak apa-apa kok. Oh iya, kita bisa pulang pakai mobilku aja.”Archer melirik mobil merah Feli yang terparkir di halaman mansion megah sang mertua. Ditraktir dan difasilitasi perempuan bu
“Tubuhku lengket. Kita mandi bareng,” bisik Archer, parau, di sela-sela pagutannya sembari mendorong tubuh Feli perlahan-lahan menuju pintu kamar mandi.Namun, baru saja tangan Archer akan mendorong pintu itu, ponsel di saku celananya terdengar berdering diiringi getaran, yang membuat Feli secara spontan melepaskan tautan bibir mereka.“Shit!” umpat Archer sembari merogoh saku celananya. Ia sempat melirik Feli sejenak sambil berkata, “Tunggu di situ. Jangan ke mana-mana.”Feli tak menolak, juga tidak mengiakan. Ia hanya berusaha menormalkan napasnya yang sempat memburu. Lalu menatap tangannya yang Archer genggam dengan erat, seolah-olah pria itu tak mau melepasnya pergi.“Kenapa nggak diangkat?” tanya Feli datar, saat Archer mengabaikan panggilan tersebut.“Dari nomor nggak dikenal. Nggak penting.”Archer menaruh benda tipis itu di rak yang teronggok tak jauh darinya berdiri. Lalu menarik pinggang Feli hingga tubuh wanita itu membentur perutnya. Satu sudut bibir Archer terangkat, jema
Feli terkejut ketika mendapati dirinya bangun dalam kondisi memakai pakaian tidur. Padahal seingatnya, semalam ia tidur di kamar Kimberly dan masih mengenakan pakaian formalnya.“Apa dia yang gantiin aku baju?” gumam Feli sembari menoleh ke samping. Namun ia tidak menemukan Archer di sebelahnya.“Aargh! Memalukan!”Feli mengusap mukanya dengan kedua telapak tangan. Membayangkan tubuhnya naked di hadapan Archer, dalam posisi terlelap, benar-benar membuatnya malu dan jengkel dalam waktu bersamaan. Padahal jika memang benar begitu, itu bukan pertama kalinya ia telanjang di depan suaminya.Sambil menelan rasa malunya, Feli pun turun dari ranjang dan masuk ke kamar Kimberly untuk mengecek anak itu yang ternyata masih terlelap. Ia kembali ke kamarnya dan memasuki kamar mandi.Dua puluh menit kemudian Feli turun ke lantai satu setelah membersihkan tubuh dan berganti pakaian. Ia tertegun begitu tiba di ruang makan dan melihat makanan sudah terhidang di atas meja. Harum masakan tercium begitu
‘Niatku cerita karena nggak mau ada yang aku tutup-tutupi lagi darimu. Apalagi masalah wanita itu. Aku nggak mau ujung-ujungnya kamu salah paham.’Feli menghela napas panjang ketika ucapan Archer kembali terngiang-ngiang. Dia bersedekap dada sembari bersandar pada punggung kursi. Pandangannya tak lepas dari bangunan-bangunan tinggi yang dilewati di samping kiri.‘Apa aku harus percaya pada ucapannya?’ batin Feli dengan tatapan kosong. ‘Kenapa aku merasa… kalau dia melakukan itu untuk mencari muka di depanku?’Feli tersenyum kecil. Ia merasa dirinya terlalu percaya diri sampai menganggap Archer sedang mencari muka di hadapannya. Padahal belum tentu dia satu-satunya wanita yang ada di hati Archer. Mengingat selama ini Archer dan Belvina selalu bersama-sama, tak mungkin jika tidak ada perasaan yang tersisa di hatinya.“Kenapa senyum-senyum sendiri?”Pertanyaan bernada lembut tersebut dan sesuatu yang hangat yang tiba-tiba menangkup tangannya, membuat lamunan Fe
“Shit!”Archer melemparkan nampan ke atas meja dengan kasar. Matanya lantas terpejam sembari memijat kedua pelipisnya dengan satu tangan. Sedangkan tangan yang lain berkacak pinggang.“Bos, sakit?” tanya Erra penasaran. “Dari tadi kelihatan em… sedikit kurang fokus.”Archer membuka kelopak matanya dan menatap Erra dengan kening berkerut. “Benarkah? Aku terlihat seperti itu?”“Hm-hm. Padahal biasanya Bos nggak pernah meleng kalau lagi kerja.” Erra memasukkan roti pesanan pelanggan ke dalam pemanas. “Kalau dirasa lagi sakit, lebih baik istirahat. Dari awal kita launching Bos nggak pernah istirahat selama di sini.”Helaan napas Archer terasa berat. Ia bukan sedang sakit. Namun pikirannya terasa sangat kacau sejak tadi pagi. Ia selalu terbayang Feli yang saat ini sedang bertemu dengan Rafi.Hanya berdua di ruangannya?Shit!Lagi-lagi Archer mengumpat. Kali ini melontarkannya di dalam hati karena ada pelanggan yang melakukan pembayaran di kasir. Ia harus menjaga image.Membayangkan Feli me
Feli menggigit bibir bawahnya sembari mondar-mandir di teras rumah. Sesekali ia menatap gerbang yang tertutup dan berharap pintu itu terbuka, lalu menampilkan seseorang yang sedang ia tunggu.Namun, sampai waktu menunjukkan pukul sepuluh malam, gerbang itu tak bergerak sama sekali. Archer tak kunjung pulang.Feli kemudian duduk di sofa ruang keluarga. ‘Apa dia benar-benar marah padaku?’ batin Feli sembari menggigiti ujung ibu jarinya dengan perasaan tak karuan.Sejak kejadian tadi siang di butik, Archer hanya menghubunginya satu kali. Yaitu saat pria itu meminta izin akan pulang telat.Ini hari kerja, seharusnya jam sembilan café sudah tutup, pikir Feli. Tapi kenapa sampai jam sepuluh dia belum juga pulang?Jujur, Feli masih merasa bersalah. Ia berpikir, alasan kenapa sampai saat ini Archer belum pulang karena masih marah dan kecewa kepadanya.Feli menghela napas berat. Lalu tiba-tiba terdiam.Tunggu. Kenapa ia harus merasa bersalah dan mengkhawatirkan pria itu?Bukankah apa yang Arch
Feli memeriksa CV para pelamar satu persatu. Ia sedang kekurangan karyawan untuk ditempatkan di bagian gudang.“Bagaimana, Bu? Ada yang sesuai dengan kriteria kita?” Dania setia berdiri di hadapan Feli, ia bersiap menghubungi pelamar yang Feli pilih.Feli menghela napas panjang, ia berpikir cukup lama sembari mengusap-usap dagu. Kemudian menutup semua CV tersebut. “Aku punya rencana lain. Lagi pula, tanpa satu karyawan untuk saat ini bagian gudang nggak keteteran, ‘kan?”“Jadi perekrutannya ditunda dulu?”“Iya.”Feli meraih scrunchie dan hendak mengikat rambutnya. Namun, ucapan Archer tempo hari yang melarangnya untuk mengikat rambut, terngiang-ngiang, membuat Feli seketika mengurungkan niatnya.“Alasan konyol macam apa itu? Nggak mau berbagi leher?” gumamnya sembari mendengus pelan.“Ya? Ada masalah, Bu?”Feli mengerjap, ia baru sadar kalau Dania masih ada di hadapannya. “Nggak. Gak apa-apa,” kilahnya, “sekarang aku mau pergi ke rumah sakit. Kamu tolong periksa email yang masuk, kalau
Hari-hari berlalu seperti biasanya. Perubahan sikap Archer cukup signifikan dari hari ke hari, membuat Feli merasa bahwa Archer yang empat tahun tinggal bersamanya dan Archer yang sekarang, adalah dua pria yang berbeda.Pria itu selalu menjadi pemandangan pertama di kala Feli membuka mata setiap pagi. Menjadi koki yang memasak di pagi dan malam hari di sela-sela kesibukannya. Jika tidak sempat pulang, Archer akan mengirim makanan ke rumah yang ia buat di café.Hari ini adalah tepat tiga bulan berlalu sejak saat itu, saat di mana Feli membuat keputusan yang menurut Archer sangat gila.“Kenapa kamu mau membebaskan wanita, yang selama ini bersamaku untuk menghancurkan hidupmu, hem?” desah Archer sembari menaruh bingkai foto Feli ke tempat semula—meja kerjanya.Archer khawatir, dengan bebasnya Belvina, wanita itu akan kembali berniat menghancurkan keluarganya. Belvina sudah bebas satu setengah bulan yang lalu. Sampai saat ini Archer tak tahu bagaimana kabarnya. Dan memang ia tidak ingin t