Kimberly menggigit bibir bawah dengan perasaan cemas.Rasanya, ia ingin kabur saja dari rumah Malik, tapi sepasang kakinya seolah-olah enggan digerakkan untuk berbalik ke arah pintu. Ia justru malah mengikuti Malik berjalan ke ruang tengah.“Kalau berbuat macam-macam aku bakal teriak,” ancam Kimberly.“Silahkan,” jawab Malik santai. “Rumahku cukup kedap suara, Kim. Dan unit di kiri kananku itu kosong, yang di depan juga penghuninya sedang pergi selama beberapa bulan kalau kata satpam.”Mata jernih Kimberly seketika membelalak, mulutnya terbuka untuk berbicara sesuatu, tapi mengatup lagi.Ia semakin cemas dan takut, apalagi saat kini Malik melepas kemejanya, disusul dengan kaos putihnya, yang membuat pria itu terlihat topless. Seakan-akan ingin memamerkan dadanya yang padat dan keras, perut sixpack, dan bisep di kedua lengannya pada Kimberly.“Mau minum apa?” tanya Malik, “aku punya jus mangga, teh manis, kopi dan air putih.”Jemari Kimberly meremas sling bag-nya sambil tak berhenti me
“Kenapa anak Papi kelihatan melamun terus dari kemarin? Lagi patah hati?”Kimberly mengalihkan tatapannya dari layar televisi—yang tengah menayangkan balapan mobil Formula Satu, ke arah ayahnya yang baru duduk di sebelah.“Lagi ngosongin pikiran, Pi. Kan katanya melamun itu bagus biar otak kita istirahat sebentar,” celetuk Kimberly dengan asal. Padahal sejak kemarin ia terus memikirkan percakapannya dengan Malik di rumahnya kala itu.“Kalau lagi patah hati, bilang sama Papi, Papi sudah gatal ingin mengacaukan hidup seseorang,” canda Archer, yang jika Kimberly benar-benar patah hati oleh seorang lelaki maka ucapannya barusan akan menjadi serius.“Jangan kejam-kejam banget jadi orang, Pi. Nanti Papi kena karmanya, lho.” Kimberly terkekeh. Kepalanya bersandar di bahu bidang Archer yang selalu membuatnya nyaman.“Demi anak Papi, Papi rela kena karma.”“Astaga… sudah tua tapi Papi makin pintar ngegombal ya.”Mata hazel Kimberly dan Archer bertemu, lalu keduanya sama-sama tertawa meski tida
Malik Cowok Kulkas: Tempat kerja kamu ada di Jakarta Selatan, kan? Kebetulan aku lagi ada di sini, mau ketemu?Malik Cowok Kulkas: Aku jemput ke kantor kamu, ya?Malik Cowok Kulkas: Aku… merindukanmu.“Aaaah!”Kimberly sontak memekik terkejut begitu membaca pesan terakhir Malik. Sampai-sampai ia nyaris terjatuh dari kursinya saking kaget.Dia merindukanku?Kimberly membatin sambil melongo pada layar ponsel. Jantungnya seketika berdegup kencang, ribuan kupu-kupu terasa beterbangan di perutnya.Dengan jemari bergetar ia membalas pesan Malik. Kimberly meminta agar mereka bertemu di dekat sebuah toko roti dengan alasan ingin membeli roti dulu di sana. Kimberly belum memberitahu Malik bahwa perusahaan tempatnya bekerja adalah Tiger Corp.Tepat pukul tiga, Kimberly bergegas merapikan mejanya dan meja sang CEO yang kebetulan pemiliknya sedang keluar sejak siang tadi bersama Vicky. Jadi Kimberly tak usah repot-repot izin pada ayahnya itu.Sore itu Kimberly memilih menumpangi taksi dan meminta
Malik memandangi cincin putih berpermata satu yang sedang ia pegang dengan ibu jari dan jari telunjuk.Bibirnya mengulas senyum kecil, ia penasaran akan seperti apa reaksi Kimberly nanti setelah ia memberikan cincin ini kepadanya?Namun sampai saat ini Malik belum menemukan waktu yang tepat.Hanya saja ia merasa tak bisa menunda terlalu lama. Dua minggu lagi ia akan kembali ke Andorra. Dan sebelum itu, ia harus mengatakan perasaannya yang sesungguhnya kepada Kimberly, terlepas dari Kimberly akan menerimanya atau tidak.“Cincin buat siapa? Kimberly?”Pertanyaan Arsya yang baru saja duduk di hadapannya membuat Malik seketika mendongak dan tersenyum pada adiknya itu.“Gimana menurutmu? Cantik?” tanya Malik, hanya untuk memastikan cincin pilihannya tidak salah dan benar-benar disukai wanita.Arsya tersenyum, mengamati cincin di tangan Malik sebentar, lalu mengangguk. “Cantik dan mewah,” pujinya, “aku yakin Kimberly akan suka.”Tidak perlu pusing memikirkan untuk siapa cincin itu, Arsya bi
“Halo? Malik, kenapa diam aja? Atau emang teleponnya nggak ada suaranya?” tanya Kimberly saat ia tak kunjung mendengar suara Malik di ujung sana.“Iya, aku dengar.”Kimberly mengurungkan niatnya untuk menutup sambungan telepon—karena ia pikir sedang ada gangguan, tatkala Malik akhirnya bersuara.“Kalau dengar kenapa diam aja dari tadi?” gerutu Kimberly sembari menyuruh sopir agar keluar dari mobil, yang baru saja berhenti di depan rumah orang tuanya.“Nggak apa-apa, cuma sedang meresapi suara kamu yang bikin aku… semakin rindu.”Ya Tuhan… pipi Kimberly seketika berubah merah seolah-olah aliran darah mengalir deras ke wajahnya itu.Ia mengulum senyum, menunduk malu meski Malik tak ada di hadapannya. Entah ke mana perginya kata-kata dingin dan pedas yang dulu sering Malik lontarkan kepadanya. Kini mulutnya berubah menjadi semanis madu.“Jangan bikin anak orang jadi ge-er, Malik. Kalau aku masuk ICU karena sesak napas, gimana coba?” kelakar Kimberly.Malik tertawa kecil. “Gampang, kok. N
“Apa yang harus aku lakukan?” gumam Kimberly seraya menutupi wajahnya dengan bantal.“Nggak ada cara lain lagi selain kamu ngaku, Kim.” Deby menatap cemas pada sahabatnya yang sejak datang ke rumahnya, terus murung dan bengong seperti orang kesambet. “Itu satu-satunya cara supaya nanti Malik nggak marah ke kamu. Kalau kamu jelasin semuanya, aku yakin dia bakal ngerti kok.”Kimberly memejamkan mata di bawah bantal, membiarkan rongga dadanya yang sudah sesak, kini semakin sesak karena kurangnya pasokan oksigen.“Kamu yakin dia nggak bakal marah, By?” Suara Kimberly terdengar teredam.“Yakin sembilan puluh persen,” jawab Deby, yang sebenarnya keyakinannya itu fifty-fifty karena Kimberly sudah membohongi Malik terlalu jauh. Namun tak mungkin Deby menakut-nakuti Kimberly mengenai keyakinannya itu. “Jangan ditunda-tunda lagi, Kim. Lagian kenapa sih kamu nggak jujur aja sama dia dari awal? Ya minimal mata kamu nggak usah ditutupi gitu pake softlens hitam di depan Malik.”Kimberly melepaskan
Kimberly duduk memeluk lutut, bersandar pada pintu kamarnya sambil menggigit bibir bawah dengan perasaan tak karuan.Setelah Malik melepaskan jabatan tangannya tiga puluh menit yang lalu, Kimberly langsung bergegas masuk ke kamar dan mengurung diri. Ia tak sanggup berlama-lama ada di dekat Malik.Dadanya terasa sesak, Kimberly tidak bisa membaca apakah Malik marah kepadanya atau tidak.Namun, tatapan tajam yang sempat Malik layangkan kepadanya membuat Kimberly merasa yakin jika pria itu marah.Kimberly membenamkan wajahnya di atas lutut, matanya berkaca-kaca.Andai saja bisa, ia ingin berharap bahwa ini hanyalah mimpi. Lalu ia akan terbangun dalam situasi seperti semula—di mana Malik belum tahu siapa dirinya, biar Kimberly yang memberitahu mengenai kebohongannya. Dengan begitu semuanya tidak akan menjadi serumit sekarang.Sayang, nasi sudah menjadi bubur. Kimberly hanya bisa berharap pria itu mau mendengarkan penjelasan darinya, nanti.“Sayang, sudah mandinya, Nak? Kita makan dulu yuk
Malam itu Kimberly tidak bisa memejamkan mata. Ia gelisah, berguling ke kiri dan kanan seolah tak menemukan kenyamanan dalam tidurnya.Ia juga sudah berusaha menghubungi nomor telepon Malik berulang kali, tapi panggilannya dialihkan. Pesannya hanya centang satu. Ketakutan Kimberly semakin menyeruak di dalam hatinya, ia takut Malik marah dan kecewa hingga pria itu tidak mau memaafkannya.Kimberly menghabiskan malam itu dengan melamun sendirian sambil bersandar pada headboard ranjang. Hingga pukul tiga dini hari akhirnya matanya mau terpejam dan ia terlelap. Lalu alarm memaksanya bangun pukul delapan pagi, tapi Kimberly kehilangan semangat untuk menjalani akhir pekannya.Tiba-tiba Kimberly ingat bahwa ia memiliki janji bertemu dengan Malik di sebuah café pagi ini—yang ia rencanakan kemarin siang di telepon bersama Malik, akhirnya Kimberly terpaksa menyeret langkahnya ke kamar mandi dengan gontai.Tubuhnya terasa jauh lebih segar setelah mandi. Ia sarapan bersama orang tua dan adiknya. B