Tadinya hari ini mau libur, tapi ternyata masih bisa ngetik 1 bab hehe....
Kimberly duduk lagi di sofa, sementara Malik pergi ke luar. Entah ke mana. Pria itu tidak bilang apa-apa sebelum pergi dan hanya mengenakan coat serta membawa payung.“Sepertinya ini benar-benar handphone baru,” gumam Kimberly seraya meneliti ponsel yang diberikan Malik beberapa saat yang lalu.Namun, ada hal yang lebih penting ketimbang menebak-nebak apakah Malik sengaja membeli ponsel ini untuknya atau memang sudah ada sebelumnya, yaitu menelepon orang tuanya di Indonesia.Segera saja Kimberly menyimpan nomor telepon papi dan maminya. Ia semakin yakin ini ponsel baru karena tidak ada nomor kontak sama sekali di dalam daftar kontaknya. Dan handphone itu sudah dibekali layanan internet, aplikasi WhatsApp pun sudah bisa langsung digunakan.Saat akan menelepon nomor sang ayah, Kimberly ragu sejenak, ia tidak mau mengganggu tidur orang tuanya sebab di Jakarta sudah dini hari saat ini.Ia memutuskan mengirim pesan saja, jikalau mereka sudah tidur pun, chat-nya akan terbaca esok hari.[“Se
Entah karena dia terlalu lelah atau karena pengaruh obat, pagi itu Kimberly terbangun pukul sembilan. Terlambat dua jam dari yang sudah ia rencanakan. Ia tidur di sofa, semalaman, sendirian. Namun Kimberly bersyukur ia masih bisa tidur di tempat yang layak, ketimbang di pinggir jalan seperti kemarin malam.Saat ia bangun, ia tidak menemukan sosok Malik di manapun. Dan sepertinya di kamar pun tidak ada, sebab ia tidak melihat sepatu pria itu di rak.“Mungkin dia sedang keluar,” gumamnya sembari menyeret langkahnya ke dapur.Di atas meja ia menemukan omelet yang sudah dingin dan ada sticky notes menempel di meja itu, tepat di samping piring berisi omelet.‘Sarapanmu.’Kimberly tersenyum kecil saat membaca tulisan tangan Malik yang kurang rapi pada notes itu. Lalu menarik kursi untuk ia duduki. Ia menuangkan air putih dari pitcher ke dalam gelas kosong—yang sudah teronggok di tengah-tengah meja.Sebelum kemudian melahap omelet itu meski selera makannya hilang akibat flu yang menyerang. N
Suasana rumah berubah senyap dalam sekejap ketika sosok wanita berambut bob dan berjaket krem itu hilang di balik pintu yang tertutup.Malik menghela napas lega. Telinganya terasa nyaman dan pikirannya menjadi tenang. Ia memfokuskan kembali seluruh pikirannya kepada laptop di atas meja yang kemudian ia pindahkan ke atas pangkuan.Malik pikir, ia bisa mendapatkan kedamaian setelah ini. Namun ia harus membuang jauh-jauh keinginannya saat ujung matanya menangkap sesuatu di sekeliling sofa.Oh, God. Malik mengerang frustrasi dan mengusap wajahnya kasar.Bagaimana ia bisa duduk tenang sementara ruang tengahnya persis seperti kapal pecah? Wanita itu tidak merapikan barang-barangnya sebelum pergi.“Dia pikir dia sedang di rumahnya sendiri?” desis Malik seraya menaruh laptop ke meja bulat di sampingnya.Dengan kesal dia mendekati sofa, berkacak pinggang memandangi kekacauan di hadapannya itu. Sofanya yang sungguh sangat malang.Wanita itu belum—atau mungkin tidak akan, merapikan selimut yang
“Sebenarnya berapa tahun usiamu? Kenapa mudah sekali percaya pada orang lain seperti anak TK?!” omel Malik sembari berkacak pinggang, menatap puncak kepala Kimberly dengan tajam.Kimberly menunduk dengan wajah ditekuk, ia persis seperti murid yang sedang dimarahi gurunya. “Aku cuma minta tolong dia buat fotoin aku pakai kameraku, tapi dia tiba-tiba foto aku pakai handphone-nya sebelum aku ngasih dia izin,” ujar Kimberly, membela diri. Sementara pria bule tadi sudah pergi setelah diberi ancaman oleh Malik.“Kenapa tidak minta bantuan pada wanita? Apa kamu pikir, di dunia ini cuma ada laki-laki saja?!”“Aku nggak tahu kalau laki-laki tadi itu berbahaya.”“Seharusnya kamu mengantisipasinya dari awal!” omel Malik lagi dengan rahang berkedut. “Tidak semua orang yang terlihat baik itu memang baik. Buktinya laki-laki tadi. Kalau aku tidak datang tepat waktu dan menghapus fotomu dari handphone dia, dia akan menjual fotomu dan tubuhmu akan dinikmati oleh banyak mata para laki-laki buaya! Kamu
“Aku akan makan sandwich terenak di Andorra. Kalau kamu mau, ikuti aku. Kalau tidak mau, ya sudah, pergi jalan-jalan saja sendirian,” ujar Malik, setelah sekian lama Kimberly terdiam mengabaikannya. Kemudian dia berdiri dan melangkah pergi.Sandwich?Kimberly mengelus perutnya sendiri yang sejak tadi terus berbunyi tanpa tahu malu. Membayangkan bentuk sandwich-nya saja cacing di perutnya semakin meronta-ronta, apalagi kalau makan langsung?Tatapan Kimberly beralih dari kamera dalam genggamannya ke arah punggung Malik yang sudah berjalan menjauh darinya. Ia kesal pada lelaki dingin itu, tapi ia juga tidak bisa mengabaikan sandwich—yang katanya terenak di Andorra, begitu saja.“Hei, tunggu!” seru Kimberly seraya mengalungkan kamera ke leher, itu suara pertama yang ia keluarkan sejak tadi. Kimberly bergegas menyusul Malik yang tak menoleh sedikit pun ke belakang.“Sandwich-nya gratis, ‘kan? Kamu akan meneraktirku?” Kimberly bertanya tanpa malu-malu saat ia sudah berjalan di belakang pung
Malik menatap pasrah pada dapurnya yang mulai dikuasai Kimberly. Ditilik dari sifatnya yang kekanakkan, Malik tak yakin Kimberly bisa memasak. Namun, ia tidak bisa mencegah keinginan wanita itu yang sudah bersemangat sejak tadi siang.Malik hanya bisa berharap dan berdo’a, semoga saja wanita itu tidak membuat kekacauan di dapur.Ponsel Malik berdering, ia pun meninggalkan dapur untuk mengangkat panggilan tersebut. Kemudian setelah itu ia berkutat dengan laptop di sofa dekat jendela kaca besar, sambil sesekali memperhatikan lampu-lampu rumah di sekitarnya yang menyala. Cerobong asap dari rumah-rumah itu terlihat mengepul.Ya, cuaca dingin seperti ini memang paling nyaman berdiam diri di depan perapian.Kondisi tubuhnya yang cukup kelelahan setelah menemani Kimberly berkeliling Andorra La Vella dan berputar-putar di supermarket tadi sore, membuat Malik tanpa sadar memejamkan mata dengan laptop tetap di pangkuan.Hingga beberapa menit kemudian, tidurnya terganggu oleh suara teriakan dan
Setelah kejadian malam itu, suasana keesokan harinya terasa begitu canggung. Kimberly lebih banyak diam dan murung, bahkan sejak bangun tidur ia tidak mau bersitatap dengan Malik. Setiap kali melihat pria itu, rasa bersalah semakin terasa menghujam hatinya.Malik pun terlihat masih enggan bicara dengannya. Keduanya saling diam. Namun, pria itu masih mau membuatkan sarapan untuk Kimberly meski mereka tidak makan bersama.Tepat pukul sembilan, Kimberly sudah selesai membersihkan tubuhnya lalu membereskan semua barang-barang yang berserakan di sofa. Membuang kantong plastik bekas makanan ke tempat sampah, memasukkan pakaian bekasnya dan semua barangnya yang ada di sofa itu ke koper, lalu menaruh gelas dan mangkok kotor ke dapur.Sejenak Kimberly tertegun memperhatikan ruangan dapur itu sudah bersih dan rapi, seolah-olah tidak pernah terjadi kekacauan semalam.Ia menghela napas berat, lalu menunduk. “Aku memang nggak bisa apa-apa,” gumamnya. Kemudian menyalakan keran air dan mencuci gelas
Kimberly terperangah melihat siapa yang ada di belakangnya. Betapa sempit sekali dunia ini, pikirnya. Tidak memiliki janji tapi pada akhirnya mereka bertemu kembali di tempat ini.“Hey! Kamu yang melemparku barusan?!” seru Kimberly.Alih-alih menjawab, pria berjaket hitam itu malah mengedikkan bahunya cuek. Kedua tangannya tersembunyi di kantong jaket, mata hitamnya menatap Kimberly dengan ekspresi datar.“Tentu saja. Siapa lagi kalau bukan kamu.” Kimberly menjawab pertanyaannya sendiri, matanya menyipit pada Malik. “Kenapa kamu ke sini? Apa tujuan kamu tadi keluar terburu-buru itu karena mau ke sini ya?”Pria itu tak menjawab. Dan Kimberly sudah mulai biasa untuk tidak berharap pertanyaannya akan mendapat jawaban.“Aku nggak sengaja,” ujar Malik pada akhirnya setelah ia duduk di samping Kimberly. “Keperluanku kebetulan ada di dekat sini.”“Kalau nggak disengaja ngapain kamu ke sini?” Kimberly masih menatap Malik, dilihat dari samping seperti ini wajah pria itu terlihat jauh lebih teg