Kimberly terperangah melihat siapa yang ada di belakangnya. Betapa sempit sekali dunia ini, pikirnya. Tidak memiliki janji tapi pada akhirnya mereka bertemu kembali di tempat ini.“Hey! Kamu yang melemparku barusan?!” seru Kimberly.Alih-alih menjawab, pria berjaket hitam itu malah mengedikkan bahunya cuek. Kedua tangannya tersembunyi di kantong jaket, mata hitamnya menatap Kimberly dengan ekspresi datar.“Tentu saja. Siapa lagi kalau bukan kamu.” Kimberly menjawab pertanyaannya sendiri, matanya menyipit pada Malik. “Kenapa kamu ke sini? Apa tujuan kamu tadi keluar terburu-buru itu karena mau ke sini ya?”Pria itu tak menjawab. Dan Kimberly sudah mulai biasa untuk tidak berharap pertanyaannya akan mendapat jawaban.“Aku nggak sengaja,” ujar Malik pada akhirnya setelah ia duduk di samping Kimberly. “Keperluanku kebetulan ada di dekat sini.”“Kalau nggak disengaja ngapain kamu ke sini?” Kimberly masih menatap Malik, dilihat dari samping seperti ini wajah pria itu terlihat jauh lebih teg
Malik membeku.Ia tahu, seharusnya ia mendorong wanita itu jauh-jauh. Namun tangannya—yang tanpa sengaja memeluk pinggang Kimberly, seakan-akan lumpuh dan sulit menerima perintah dari otaknya untuk melepaskan wanita di atasnya tersebut.Pandangan keduanya bertemu. Rahang Malik berkedut menatap manik hitam Kimberly yang tengah menatapnya dengan tatapan terkejut. Seluruh perhatian Malik tersita habis oleh wanita manja dan aneh itu.Namun, karena sisi manja dan teledornya itulah Malik merasa tidak bisa mengabaikan dan membiarkannya pergi sendirian. Malik sendiri tidak tahu kenapa ia mau repot-repot datang kemari menyusulnya.Hanya saja... Malik tidak suka membayangkan Kimberly yang teledor itu tersesat atau mendapat masalah saat dibiarkan pergi sendiri.“Em... ke-kenapa kamu bisa… jatuh?” gumam Kimberly, masih dengan ekspresi tegangnya.“Apa setiap orang harus punya alasan untuk jatuh?”“Ha?”Tatapan Malik turun dari mata Kimberly ke hidungnya yang tinggi kecil, lalu turun lagi dan berhen
Mata Kimberly mengerjap mendengar pengakuan Malik yang membuatnya tak habis pikir. Entah mengapa, Kimberly justru merasa senang mendengar Malik tidak memiliki kekasih. Namun di sisi lain, ada rasa kecewa ketika tahu ternyata wanita bukan prioritas pria di hadapannya itu.“Semoga saja kelak kamu punya istri yang tabah dan sabar,” ucap Kimberly dramatis seraya mengelus dada.Malik mendengus. “Aku nggak kepikiran untuk menikah.”“Ha?” Mata Kimberly membelalak. “Maksudmu kamu akan melajang seumur hidup? Hey!” Ia memukul lengan Malik tanpa tedeng aling-aling. “Kalau kamu nggak punya istri dan anak, lalu gimana masa tuamu? Masa kamu mau diurus sama motor balapmu itu? Jangan berpikiran pendek, pikirkan juga kebahagiaanmu di masa tua nanti,” cerocos Kimberly tanpa jeda, persis seperti seorang ibu menasehati anaknya.Malik mengerjapkan mata. Ia kemudian melipat tangan di meja, mencondongkan tubuhnya ke depan dan mendekatkan wajah mereka.“A-apa yang kamu lakukan?” Kimberly mendadak tergagap da
“Hm? Besok kamu mau mendaki? Di musim dingin?” Archer memindahkan ponsel dari telinga kiri ke telinga kanan seraya menghela napas resah.Feli yang sedang menata bunga mawar pemberian Archer, ke dalam vas bunga, hanya menoleh pada suaminya itu. Ia sudah tahu lebih dulu tentang rencana Kimberly tersebut saat putrinya itu menelepon tadi sore.Dan Feli sudah bisa memprediksi apa yang akan dikatakan Archer saat ini kepada putri mereka.“Princess, bisa batalkan rencanamu itu? Ayolah… itu Andorra, di musim dingin, kamu mendaki gunung? Astaga! Lama-lama Papi bisa gila di sini, Kim.” Arhcer mengusap wajahnya kasar dan terlihat gelisah.Feli hanya tersenyum dan mengedikkan bahu saat pria itu menatapnya. Lalu terkekeh ketika Archer mengatakan ‘jangan tersenyum’ dengan gerakan mulutnya.“Hanya sebentar? Siapa yang menjamin keselamatanmu di sana?” tanya Archer sembari melepas sepatu. “Pokoknya sekali tidak, tetap tidak. Lakukan hal lain selain mendaki.”“Aku penasaran, kapan dia akan berhenti jadi
Kimberly terperangah.Ia benar-benar tak menyangka bahwa Malik akan menepati janjinya yang diucapkan kemarin saat bermain ski. Hari ini pria itu datang ke hotel tempatnya menginap, menunggu di lobi dan mengantar Kimberly untuk mengurusi paspor.Eric tidak ikut. Sebab Kimberly tidak memberitahu Eric pukul berapa dia akan berangkat. Ia hanya pergi bersama Malik dan Nancy.Mengurus paspornya saja butuh waktu hampir seharian. Ia baru selesai ketika waktu sudah menjelang sore. Sepanjang perjalanan menggunakan mobil Malik, pria itu tidak banyak bicara, sikapnya dingin dan datar seperti biasanya. Malik mengantar Kimberly dan Nancy ke hotel setelah makan malam bersama-sama.“Jangan lupa besok pakai baju yang hangat tapi fleksibel, gunakan juga sepatu yang nggak licin,” ujar Malik sebelum mematikan mesin mobil.“Apa kita akan menginap di atas gunung?!” tanya Kimberly, antusias.“Aku nggak mau ngambil resiko besar, kamu akan jadi boneka salju kalau sampai menginap.” Malik tersenyum sinis seraya
“Kamu suka sama dia?”Eric yang tiba-tiba duduk di sampingnya, membuat Kimberly buru-buru mengusap air matanya yang sejak tadi enggan berhenti. Ia sedikit membuang muka ke arah lain agar Eric tidak melihat matanya yang pasti masih basah. Sialnya, Kimberly malah melihat Malik yang sedang menatapnya, di kejauhan. Pria itu lalu membuang muka dan mengarahkan lensa kameranya ke arah lain.“Jadi benar, kamu menyukai pembalap itu?” ulang Eric lagi.“Jangan asal ngomong, Ric. Aku nggak mungkin suka sama laki-laki seperti dia,” tegas Kimberly. Namun sedetik kemudian ia meragukan kata-katanya sendiri.“Baguslah.” Eric tersenyum miring. “Aku nggak akan biarin kamu suka sama laki-laki manapun selain aku. Kamu milikku, Kim.”Sontak Kimberly menoleh, matanya mendelik tajam. “Maaf? Apa aku nggak salah dengar?”Bahu Eric terangkat. “Kamu lupa ya? Kita itu sudah dijodohkan, kamu akan jadi istriku.”“Du-lu!” tegas Kimberly penuh penekanan. Ia tidak suka sikap Eric yang terlalu percaya diri. “Dulu iya,
Kimberly hanya sedang ingin sendirian tanpa diganggu siapapun, apalagi Eric. Kakinya terus melangkah melewati jalan setapak yang menurun, sesekali ia menendang butiran salju. Matanya menerawang, seolah-olah sudah kehilangan semangat.Ia tidak mengerti kenapa perasaannya mendadak seperti ini. Di keluarga dan di kalangan teman-temannya, Kimberly memang terkenal dengan sifatnya yang moody, tapi perasaannya saat ini bukan perasaan yang sering ia rasakan ketika 'moody-nya' kambuh.Yang jelas, ia tidak suka saat melihat Malik tertawa lepas dengan Nancy seperti tadi. Itu membuat Kimberly merasa telah menjadi wanita yang tidak berguna, yang membuat orang lain tidak nyaman saat berdekatan dengannya. Malik, contohnya.Kimberly menghela napas berat, ia memutuskan untuk berbelok, menginjak tanah yang ditutupi salju tebal. Sepatunya tenggelam ke dalam salju tersebut. Tiba-tiba saja ia tertawa sendiri, karena menginjakkan kaki di atas salju terasa begitu menyenangkan.Kimberly terus berjalan sambil
Kimberly tertegun.Tak hanya Kimberly saja yang terkejut, tetapi Nancy dan Eric pun sama-sama terkejut melihat sikap Malik tersebut. Tangan Eric mengepal.“Kimberly biar aku yang gendong, kamu bawa saja tasmu!” desis Eric dengan tatapan tak suka.“Biar kutebak, kamu belum pernah membawa tas carrier seberat tiga puluh kilo sebelumnya. Apa aku benar?” tanya Malik lengkap dengan ekspresi datarnya.Eric hanya mendengus, tanpa mengelak sedikit pun. Setiap kali mendaki—yang sangat jarang sekali ia lakukan, selalu asisten pribadinya yang membawa perlengkapannya.Satu sudut bibir Malik terangkat. “Kalau begitu jangan harap bisa membawa dia ke bawah dengan selamat. Berat tubuhnya pasti lebih berat dari tas carrier itu,” cibir Malik seraya mendengus. Kemudian ia menoleh ke belakang, ke arah Kimberly. “Cepat naik.”“Tapi… ke-kenapa aku harus… naik?” gumam Kimberly dengan mata mengerjap.“Karena kalau tidak, kemungkinan besar kita baru akan sampai hotel tengah malam, karena harus menunggumu yang