“Hm? Besok kamu mau mendaki? Di musim dingin?” Archer memindahkan ponsel dari telinga kiri ke telinga kanan seraya menghela napas resah.Feli yang sedang menata bunga mawar pemberian Archer, ke dalam vas bunga, hanya menoleh pada suaminya itu. Ia sudah tahu lebih dulu tentang rencana Kimberly tersebut saat putrinya itu menelepon tadi sore.Dan Feli sudah bisa memprediksi apa yang akan dikatakan Archer saat ini kepada putri mereka.“Princess, bisa batalkan rencanamu itu? Ayolah… itu Andorra, di musim dingin, kamu mendaki gunung? Astaga! Lama-lama Papi bisa gila di sini, Kim.” Arhcer mengusap wajahnya kasar dan terlihat gelisah.Feli hanya tersenyum dan mengedikkan bahu saat pria itu menatapnya. Lalu terkekeh ketika Archer mengatakan ‘jangan tersenyum’ dengan gerakan mulutnya.“Hanya sebentar? Siapa yang menjamin keselamatanmu di sana?” tanya Archer sembari melepas sepatu. “Pokoknya sekali tidak, tetap tidak. Lakukan hal lain selain mendaki.”“Aku penasaran, kapan dia akan berhenti jadi
Kimberly terperangah.Ia benar-benar tak menyangka bahwa Malik akan menepati janjinya yang diucapkan kemarin saat bermain ski. Hari ini pria itu datang ke hotel tempatnya menginap, menunggu di lobi dan mengantar Kimberly untuk mengurusi paspor.Eric tidak ikut. Sebab Kimberly tidak memberitahu Eric pukul berapa dia akan berangkat. Ia hanya pergi bersama Malik dan Nancy.Mengurus paspornya saja butuh waktu hampir seharian. Ia baru selesai ketika waktu sudah menjelang sore. Sepanjang perjalanan menggunakan mobil Malik, pria itu tidak banyak bicara, sikapnya dingin dan datar seperti biasanya. Malik mengantar Kimberly dan Nancy ke hotel setelah makan malam bersama-sama.“Jangan lupa besok pakai baju yang hangat tapi fleksibel, gunakan juga sepatu yang nggak licin,” ujar Malik sebelum mematikan mesin mobil.“Apa kita akan menginap di atas gunung?!” tanya Kimberly, antusias.“Aku nggak mau ngambil resiko besar, kamu akan jadi boneka salju kalau sampai menginap.” Malik tersenyum sinis seraya
“Kamu suka sama dia?”Eric yang tiba-tiba duduk di sampingnya, membuat Kimberly buru-buru mengusap air matanya yang sejak tadi enggan berhenti. Ia sedikit membuang muka ke arah lain agar Eric tidak melihat matanya yang pasti masih basah. Sialnya, Kimberly malah melihat Malik yang sedang menatapnya, di kejauhan. Pria itu lalu membuang muka dan mengarahkan lensa kameranya ke arah lain.“Jadi benar, kamu menyukai pembalap itu?” ulang Eric lagi.“Jangan asal ngomong, Ric. Aku nggak mungkin suka sama laki-laki seperti dia,” tegas Kimberly. Namun sedetik kemudian ia meragukan kata-katanya sendiri.“Baguslah.” Eric tersenyum miring. “Aku nggak akan biarin kamu suka sama laki-laki manapun selain aku. Kamu milikku, Kim.”Sontak Kimberly menoleh, matanya mendelik tajam. “Maaf? Apa aku nggak salah dengar?”Bahu Eric terangkat. “Kamu lupa ya? Kita itu sudah dijodohkan, kamu akan jadi istriku.”“Du-lu!” tegas Kimberly penuh penekanan. Ia tidak suka sikap Eric yang terlalu percaya diri. “Dulu iya,
Kimberly hanya sedang ingin sendirian tanpa diganggu siapapun, apalagi Eric. Kakinya terus melangkah melewati jalan setapak yang menurun, sesekali ia menendang butiran salju. Matanya menerawang, seolah-olah sudah kehilangan semangat.Ia tidak mengerti kenapa perasaannya mendadak seperti ini. Di keluarga dan di kalangan teman-temannya, Kimberly memang terkenal dengan sifatnya yang moody, tapi perasaannya saat ini bukan perasaan yang sering ia rasakan ketika 'moody-nya' kambuh.Yang jelas, ia tidak suka saat melihat Malik tertawa lepas dengan Nancy seperti tadi. Itu membuat Kimberly merasa telah menjadi wanita yang tidak berguna, yang membuat orang lain tidak nyaman saat berdekatan dengannya. Malik, contohnya.Kimberly menghela napas berat, ia memutuskan untuk berbelok, menginjak tanah yang ditutupi salju tebal. Sepatunya tenggelam ke dalam salju tersebut. Tiba-tiba saja ia tertawa sendiri, karena menginjakkan kaki di atas salju terasa begitu menyenangkan.Kimberly terus berjalan sambil
Kimberly tertegun.Tak hanya Kimberly saja yang terkejut, tetapi Nancy dan Eric pun sama-sama terkejut melihat sikap Malik tersebut. Tangan Eric mengepal.“Kimberly biar aku yang gendong, kamu bawa saja tasmu!” desis Eric dengan tatapan tak suka.“Biar kutebak, kamu belum pernah membawa tas carrier seberat tiga puluh kilo sebelumnya. Apa aku benar?” tanya Malik lengkap dengan ekspresi datarnya.Eric hanya mendengus, tanpa mengelak sedikit pun. Setiap kali mendaki—yang sangat jarang sekali ia lakukan, selalu asisten pribadinya yang membawa perlengkapannya.Satu sudut bibir Malik terangkat. “Kalau begitu jangan harap bisa membawa dia ke bawah dengan selamat. Berat tubuhnya pasti lebih berat dari tas carrier itu,” cibir Malik seraya mendengus. Kemudian ia menoleh ke belakang, ke arah Kimberly. “Cepat naik.”“Tapi… ke-kenapa aku harus… naik?” gumam Kimberly dengan mata mengerjap.“Karena kalau tidak, kemungkinan besar kita baru akan sampai hotel tengah malam, karena harus menunggumu yang
“Shit!”Malik mengumpat, konsentrasinya buyar lagi untuk ke sekian kali. Terpaksa ia menepikan motor ke pinggir lalu mematikan mesinnya. Seseorang menghampirinya sembari menghela napas berat.“Ada apa denganmu hari ini? Kenapa performamu kacau sekali?” tanya Felife—coach asal Spanyol yang sudah melatih Malik selama dua musim.Malik menaikkan kaca helm, menatap laki-laki di hadapannya seraya menggeleng samar. “Tidak apa-apa. Aku hanya kurang tidur,” elaknya, padahal selama ia memacu motor balapnya di sirkuit, selalu terlintas wajah seorang wanita—yang akhir-akhir ini selalu mengacaukan pikiran dan hatinya.“Akan aku ulangi lagi.” Malik hendak menyalakan mesin motor, tapi Felife segera menahan.“Tidak perlu, sudah cukup untuk hari ini. Lebih baik kau pulihkan saja kondisimu.” Felife geleng-geleng kepala. “Kau tahu? Selama aku melatihmu, ini pertama kalinya rekormu buruk. Jangan sampai hal seperti ini terus terjadi atau kau akan kehilangan kesempatan di musim berikutnya.” Felife memberi
Malik menghela napas kecewa seraya menatap ke area pintu masuk pemeriksaan dengan nanar. Jika Kimberly sudah masuk ke sana, wanita itu tak akan bisa keluar lagi, pikirnya. Sambil menahan rasa kecewa dan penyesalannya yang begitu dalam, Malik membalikkan badan. Tepat saat ia akan berjalan, seseorang tiba-tiba menabraknya dari arah samping, yang membuat tubuh Malik nyaris terhuyung.Malik mengumpat pelan. “Maaf. Saya tidak sengaja karena sedang terburu-buru.” Seketika Malik membeku mendengar suara wanita yang menabraknya barusan, berbicara dalam bahasa Inggris. Suara itu sangat ia kenali. Malik menoleh, matanya seketika membulat. “Malik, kamu… di sini?” gumam wanita itu yang sama-sama tampak terkejut melihat Malik. “Aku nggak salah lihat, ‘kan?” “Kenapa belum masuk?” Suara Malik terdengar dingin, rahangnya berkedut tanpa melepaskan tatapannya dari Kimberly.“Huh? I-itu… tadi aku udah mau masuk ke sana,” jawab Kimberly sedikit tergagap seraya menunjuk area pemeriksaan. “Tapi ada bar
“Mami! Papi!” pekik Kimberly saat melihat orang tuanya sudah menunggu di pintu keluar gate kedatangan. Ia tertawa bahagia, lalu menyeret kopernya, berlari menghampiri mereka kemudian menghambur ke pelukan ibunya terlebih dulu.“Mami, aku kangen sekali sama Mami.” Kimberly meneteskan air matanya sembari memeluk erat sang ibu, itu tangisan bahagia karena tak percaya bisa melihat kembali wajah orang tuanya.“Mami lebih kangen ke kamu, Sayang.” Feli mengusap-usap belakang kepala putrinya itu. “Syukurlah, akhirnya Mami bisa tidur nyenyak lagi, melihat kamu ada di depan mata bikin Mami lega.”Kimberly tertawa kecil. Setelah puas memeluk ibunya, ia bergantian masuk ke pelukan ayahnya yang selalu membuatnya merasa aman. Archer tampak menghela napas lega, ia mengecup puncak kepala Kimberly bertubi-tubi. Ketegangan di wajahnya seketika mengendur.“Ingat, Princess, Papi nggak akan memberimu izin lagi pergi traveling sendirian setelah ini.”“Papi….” Bibir Kimberly seketika merengut. “Kok gitu? Ak