Malik menghela napas kecewa seraya menatap ke area pintu masuk pemeriksaan dengan nanar. Jika Kimberly sudah masuk ke sana, wanita itu tak akan bisa keluar lagi, pikirnya. Sambil menahan rasa kecewa dan penyesalannya yang begitu dalam, Malik membalikkan badan. Tepat saat ia akan berjalan, seseorang tiba-tiba menabraknya dari arah samping, yang membuat tubuh Malik nyaris terhuyung.Malik mengumpat pelan. “Maaf. Saya tidak sengaja karena sedang terburu-buru.” Seketika Malik membeku mendengar suara wanita yang menabraknya barusan, berbicara dalam bahasa Inggris. Suara itu sangat ia kenali. Malik menoleh, matanya seketika membulat. “Malik, kamu… di sini?” gumam wanita itu yang sama-sama tampak terkejut melihat Malik. “Aku nggak salah lihat, ‘kan?” “Kenapa belum masuk?” Suara Malik terdengar dingin, rahangnya berkedut tanpa melepaskan tatapannya dari Kimberly.“Huh? I-itu… tadi aku udah mau masuk ke sana,” jawab Kimberly sedikit tergagap seraya menunjuk area pemeriksaan. “Tapi ada bar
“Mami! Papi!” pekik Kimberly saat melihat orang tuanya sudah menunggu di pintu keluar gate kedatangan. Ia tertawa bahagia, lalu menyeret kopernya, berlari menghampiri mereka kemudian menghambur ke pelukan ibunya terlebih dulu.“Mami, aku kangen sekali sama Mami.” Kimberly meneteskan air matanya sembari memeluk erat sang ibu, itu tangisan bahagia karena tak percaya bisa melihat kembali wajah orang tuanya.“Mami lebih kangen ke kamu, Sayang.” Feli mengusap-usap belakang kepala putrinya itu. “Syukurlah, akhirnya Mami bisa tidur nyenyak lagi, melihat kamu ada di depan mata bikin Mami lega.”Kimberly tertawa kecil. Setelah puas memeluk ibunya, ia bergantian masuk ke pelukan ayahnya yang selalu membuatnya merasa aman. Archer tampak menghela napas lega, ia mengecup puncak kepala Kimberly bertubi-tubi. Ketegangan di wajahnya seketika mengendur.“Ingat, Princess, Papi nggak akan memberimu izin lagi pergi traveling sendirian setelah ini.”“Papi….” Bibir Kimberly seketika merengut. “Kok gitu? Ak
“Ish! Kenapa nggak enak?” Kening Kimberly mengernyit ketika merasakan rasa aneh pada makanan yang tadi pagi ia masak sendiri. Padahal ia sudah mengikuti instruksi dari ibunya, tapi ia tidak sempat mencicipi karena terburu-buru harus pergi ke kantor. Dan ternyata rasa makanannya benar-benar buruk! Kimberly lantas membuang makanan itu sebelum perutnya dibuat mual. Kemudian ia pergi ke kantin perusahaan dan membeli makan siangnya di sana. Tiga minggu terakhir ini, hidupnya berubah cukup drastis setelah ia pulang dari Andorra. Ya, saat ini sudah tiga minggu berlalu sejak ia tiba di Indonesia.Kimberly selalu belajar memasak dari ibunya hampir setiap hari, sayangnya sampai saat ini hanya nasi goreng dan omelet saja yang sudah ia kuasai. Selebihnya masih memiliki rasa yang aneh. Ia juga mulai membiasakan diri merapikan kamar tanpa bantuan pelayan.Semua ia lakukan karena ingin menjadi wanita dewasa yang benar-benar dewasa. Apa yang ia alami di rumah Malik, yang membuat pria itu marah kep
“Iya, ini aku,” kata Malik sembari melepas maskernya.Mata Kimberly mengerjap kala menatap wajah tegas berkulit sedikit kecoklatan di hadapannya itu. Wajah yang selama berminggu-minggu ini selalu memenuhi pikirannya, yang terkadang membuatnya kehilangan fokus.Bibir Malik yang tipis menyunggingkan senyuman kecil. "Apa kabar?" tanyanya seraya mengusap lembut pipi Kimberly."Ba-baik. Se-seperti yang... kamu lihat."Malik terkekeh. "Sejak kapan kamu yang cerewet berubah jadi gugup begini?"Pipi Kimberly seketika terasa panas, ia menunduk untuk menyembunyikan pipinya yang memerah dari Malik. Namun, jemari pria itu mengangkat dagunya hingga mata mereka bersitatap kembali.“Senang bisa bertemu kamu lagi, Kimberly,” lanjut Malik, "kamu merindukanku?""Ng-nggak!" dusta Kimberly, "aku... aku nggak...." Kimberly berdehem untuk menormalkan suaranya yang mendadak terdengar aneh. "Maksudku... ya aku… juga senang bertemu kamu lagi.” Kimberly merasakan jantungnya memompa dengan cepat. Sampai-sampai
“Kamu kehujanan! Pakai saja sama kamu.”“Jangan mikirin aku.” Malik merangkul bahu Kimberly, lantas ia mengajak berlari perempuan itu untuk mencari tempat meneduh.Mereka berhenti di bawah sebuah pohon, tapi pohon itu tidak benar-benar melindungi Malik dari air hujan yang semakin deras.Kimberly menatap Malik sembari menggigit bibir bawah, merasa tak enak hati kala melihat tubuh pria itu sudah basah kuyup. Sedangkan dirinya tidak begitu basah karena terlindungi jaket kulit yang waterproof dan kedodoran.“Kenapa kamu selalu melindungiku? Sedangkan kamu sendiri juga butuh perlindungan.”Mendengar ucapan Kimberly yang nyaris teredam suara hujan, Malik pun menoleh dan mengunci tatapan perempuan itu. “Karena kamu memang harus dilindungi.”“Aku bisa melindungi diri sendiri,” ujar Kimberly dengan bibir mengerucut.“Setelah apa yang terjadi di Andorra?” Satu sudut bibir Malik terangkat. “Kalau kamu bisa melindungi dirimu sendiri, tasmu nggak akan hilang.”“Itu cuma kebetulan aja.”“Kebetulan
Mata Kimberly membelalak, wajahnya terjerembab ke dada Malik yang bidang dan keras. “Apa yang kamu lakukan?” desisnya dengan gugup.“Hmmm….” Malik hanya menjawab dengan gumaman.Kimberly tak berani mendongak, ia takut jika ia mendongak dan mata mereka bersitatap maka jantungnya akan melompat keluar dari dadanya.Namun Malik tidak bersuara lagi dan tangannya tidak melakukan apa-apa selain menggenggam tangan Kimberly. Menyadari hal itu, Kimberly pun memberanikan diri mendongakkan kepala. Seketika ia tercenung.“Jadi sejak tadi kamu cuma ngigau?” tanya Kimberly saat melihat Malik terlelap dengan damai, napasnya terdengar teratur, tapi keringat dingin memenuhi pelipisnya.Kimberly pun turun dan mengatur detak jantungnya supaya kembali normal. Kemudian mencari-cari sesuatu yang bisa dijadikan alat untuk mengompres. Ia membuka buffet, tapi tidak menemukan yang ia cari di sana, isinya hanya perlengkapan motor yang tidak Kimberly ketahui apa fungsinya.“Rumahnya kelihatan sangat bersih,” guma
Kimberly tampak terkejut kala mendengar suara Malik, ia menoleh dan menyengir lebar. “Jangan marah!” pekiknya, “aku cuma pinjam dapur kamu sebentar doang, kok. Aku janji nggak bakal berantakan seperti waktu itu.”“Kamu masak sup?”Kimberly mengangguk cepat, menatap Malik yang sedang melihat isi panci. “Sengaja aku bikin sup buat makan siang kita berdua karena di gugel direkomendasiinnya itu. Terus aku lihat di sini nggak ada makanan, jadi… ya! ini hasilnya.” Ia menunjuk isi panci sembari tersenyum lebar, merasa bangga karena ia bisa memasak sup yang hampir matang itu dengan tampilan yang menggiurkan.“Dari mana kamu dapat semua bahan-bahannya? Aku nggak punya semua itu.”Malik mendekati Kimberly, yang membuat Kimberly menunduk dan mendadak gugup ketika wajahnya nyaris menempel di dada pria itu. “Di… su-super market, ta-tadi aku… belanja dulu,” jawabnya tergagap, jantungnya berdebar kencang karena ia pikir Malik akan memeluknya.Cklek!Malik mematikan kompor. “Supnya bisa overcook,” ka
Kimberly merasa begitu khawatir melihat Malik yang muntah-muntah di kamar mandi. Ia menunggu di ambang pintu yang terbuka, ingin masuk tapi kakinya ragu-ragu untuk melangkah. Tak berapa lama Malik menghampirinya dengan wajah pucat. Kimberly segera merangkul lengan pria itu dan membawanya ke sofa. “Aku antar kamu ke dokter sekarang ya,” ujar Kimberly, menatap Malik dengan raut muka khawatir. Malik menggeleng. “Nggak perlu. Cuma flu dan mual saja, nggak perlu terlalu dianggap serius,” katanya seraya memijat pelipis. Padahal sebelum memakan sup itu ia tidak merasa mual. Meski begitu, ia tidak menyalahkan Kimberly yang sudah bersusah payah mau memasak untuknya. “Tetap saja walaupun cuma flu dan mual, kamu harus diperiksa.” “Aku bilang nggak perlu.” Malik berkata lembut dan menggenggam tangan Kimberly. “Punya minyak angin atau kayu putih? Kayaknya kalau pakai itu mualnya akan berhenti.” “Punya! Tadi aku beli sekalian di apotek. Tunggu sebentar.” Kimberly meraih tasnya dan mengeluark