“Kamu kehujanan! Pakai saja sama kamu.”“Jangan mikirin aku.” Malik merangkul bahu Kimberly, lantas ia mengajak berlari perempuan itu untuk mencari tempat meneduh.Mereka berhenti di bawah sebuah pohon, tapi pohon itu tidak benar-benar melindungi Malik dari air hujan yang semakin deras.Kimberly menatap Malik sembari menggigit bibir bawah, merasa tak enak hati kala melihat tubuh pria itu sudah basah kuyup. Sedangkan dirinya tidak begitu basah karena terlindungi jaket kulit yang waterproof dan kedodoran.“Kenapa kamu selalu melindungiku? Sedangkan kamu sendiri juga butuh perlindungan.”Mendengar ucapan Kimberly yang nyaris teredam suara hujan, Malik pun menoleh dan mengunci tatapan perempuan itu. “Karena kamu memang harus dilindungi.”“Aku bisa melindungi diri sendiri,” ujar Kimberly dengan bibir mengerucut.“Setelah apa yang terjadi di Andorra?” Satu sudut bibir Malik terangkat. “Kalau kamu bisa melindungi dirimu sendiri, tasmu nggak akan hilang.”“Itu cuma kebetulan aja.”“Kebetulan
Mata Kimberly membelalak, wajahnya terjerembab ke dada Malik yang bidang dan keras. “Apa yang kamu lakukan?” desisnya dengan gugup.“Hmmm….” Malik hanya menjawab dengan gumaman.Kimberly tak berani mendongak, ia takut jika ia mendongak dan mata mereka bersitatap maka jantungnya akan melompat keluar dari dadanya.Namun Malik tidak bersuara lagi dan tangannya tidak melakukan apa-apa selain menggenggam tangan Kimberly. Menyadari hal itu, Kimberly pun memberanikan diri mendongakkan kepala. Seketika ia tercenung.“Jadi sejak tadi kamu cuma ngigau?” tanya Kimberly saat melihat Malik terlelap dengan damai, napasnya terdengar teratur, tapi keringat dingin memenuhi pelipisnya.Kimberly pun turun dan mengatur detak jantungnya supaya kembali normal. Kemudian mencari-cari sesuatu yang bisa dijadikan alat untuk mengompres. Ia membuka buffet, tapi tidak menemukan yang ia cari di sana, isinya hanya perlengkapan motor yang tidak Kimberly ketahui apa fungsinya.“Rumahnya kelihatan sangat bersih,” guma
Kimberly tampak terkejut kala mendengar suara Malik, ia menoleh dan menyengir lebar. “Jangan marah!” pekiknya, “aku cuma pinjam dapur kamu sebentar doang, kok. Aku janji nggak bakal berantakan seperti waktu itu.”“Kamu masak sup?”Kimberly mengangguk cepat, menatap Malik yang sedang melihat isi panci. “Sengaja aku bikin sup buat makan siang kita berdua karena di gugel direkomendasiinnya itu. Terus aku lihat di sini nggak ada makanan, jadi… ya! ini hasilnya.” Ia menunjuk isi panci sembari tersenyum lebar, merasa bangga karena ia bisa memasak sup yang hampir matang itu dengan tampilan yang menggiurkan.“Dari mana kamu dapat semua bahan-bahannya? Aku nggak punya semua itu.”Malik mendekati Kimberly, yang membuat Kimberly menunduk dan mendadak gugup ketika wajahnya nyaris menempel di dada pria itu. “Di… su-super market, ta-tadi aku… belanja dulu,” jawabnya tergagap, jantungnya berdebar kencang karena ia pikir Malik akan memeluknya.Cklek!Malik mematikan kompor. “Supnya bisa overcook,” ka
Kimberly merasa begitu khawatir melihat Malik yang muntah-muntah di kamar mandi. Ia menunggu di ambang pintu yang terbuka, ingin masuk tapi kakinya ragu-ragu untuk melangkah. Tak berapa lama Malik menghampirinya dengan wajah pucat. Kimberly segera merangkul lengan pria itu dan membawanya ke sofa. “Aku antar kamu ke dokter sekarang ya,” ujar Kimberly, menatap Malik dengan raut muka khawatir. Malik menggeleng. “Nggak perlu. Cuma flu dan mual saja, nggak perlu terlalu dianggap serius,” katanya seraya memijat pelipis. Padahal sebelum memakan sup itu ia tidak merasa mual. Meski begitu, ia tidak menyalahkan Kimberly yang sudah bersusah payah mau memasak untuknya. “Tetap saja walaupun cuma flu dan mual, kamu harus diperiksa.” “Aku bilang nggak perlu.” Malik berkata lembut dan menggenggam tangan Kimberly. “Punya minyak angin atau kayu putih? Kayaknya kalau pakai itu mualnya akan berhenti.” “Punya! Tadi aku beli sekalian di apotek. Tunggu sebentar.” Kimberly meraih tasnya dan mengeluark
Setelah menghabiskan jahe hangatnya, Malik kembali ke sofa. Ia hanya menghela napas berat melihat sikap Kimberly yang sudah kumat jika dia merajuk.“Gimana pekerjaanmu?” Malik membuka percakapan di antara mereka.“Baik,” jawab Kimberly singkat. Ia duduk di single sofa sembari memainkan ponsel.Malik memandangi Kimberly dan terdiam sebentar. “Besok hari Senin. Kebanyakan orang nggak suka sama hari Senin karena harus kembali sibuk dengan segudang aktifitas di kantor. Gimana denganmu?”“Biasa aja tuh!”Helaan napas Malik terasa berat menghadapi tanggapan ketus itu, tapi ia tidak menyerah dan kembali bicara, “Kaki dan tanganku pegal-pegal, bisa tolong pijitin?”Kimberly mendelik, tapi ia tidak menolak. Ia menaruh ponsel dan duduk di samping pria itu, lalu memijat lengannya dengan malas-malasan. Malik mengulum senyum tanpa bicara apapun lagi.“Bisa tolong ambilkan aku minum? Aku haus,” pinta Malik beberapa menit kemudian.Kimberly membuang napas kasar. "Manja banget sih," ketusnya sambil b
Kimberly tercenung. Ia tidak tahu hubungan apa yang Malik dan wanita itu miliki. Namun, ucapan wanita itu barusan membuat Kimberly merasa tidak diinginkan kehadirannya di sini.Ia menghela napas panjang. Kemudian kembali ke ruang tengah dengan wajah keruh. Setelah berpikir selama beberapa saat, ia memutuskan untuk pulang saja, lalu ia meraih tasnya.“Mau ke mana?”Suara bariton Malik membuat Kimberly menoleh, lalu berdiri. “Aku harus pulang sekarang.”“Kenapa buru-buru?”“Em… aku… kebetulan ada perlu.”Alis Malik terangkat, mata hitamnya menatap Kimberly dengan lekat. “Temani aku makan malam dulu. Nanti aku antar kamu pulang.”“Nggak usah!” Kimberly menarik tangannya yang baru saja Malik genggam. Ia membuang muka saat Malik menatapnya penuh kebingungan. “Lebih baik aku pulang saja, sepertinya kehadiranku di sini mengganggu acara kalian berdua.”“Kalian?” ulang Malik dengan kening berkerut. “Ah. Maksudmu aku dan adikku?”“Ya?!” Secara spontan Kimberly menoleh pada Malik. “A-adik?”Malik
“Alamat rumah kamu di mana?”“Hah?!”“Rumah kamu di mana?” ulang Malik dengan suara lebih tinggi supaya terdengar Kimberly di belakangnya.Kimberly mengalihkan perhatiannya dari gedung-gedung tinggi yang dihiasi lampu, ke arah depan. Ia berpikir sejenak, lalu menyebutkan alamat apartemen miliknya alih-alih rumah orang tuanya.Ya, Kimberly memiliki satu unit apartemen yang ia beli dengan uangnya sendiri. Namun jarang sekali ia tempati karena ayahnya tidak mengizinkan dirinya tinggal sendirian.Malik mengangguk, ia menepikan motor ke pinggir jalan untuk mengecek map digital. Pria itu tersenyum kecil. “Apartemenmu ada di kawasan elit.”Kimberly terkejut, ia lupa dengan hal itu. “Em… itu… sebenarnya aku menempati aset perusahaan,” dustanya, “gajiku sendiri mana bisa beli apartemen semewah itu.” Ia lantas tertawa untuk menyamarkan rasa gugupnya.Tatapan Malik beralih dari layar ponsel ke arah Kimberly, menatapnya dengan tatapan curiga. “Aset… perusahaan?”“Jangan salah paham!” sanggah Kimb
Kimberly menutup pintu dengan terburu-buru lalu bersandar di daun pintu itu sambil memegangi dadanya yang berdebar kencang. Sampai-sampai Kimberly khawatir, jika tidak dipegangi jantungnya akan melompat keluar dari dadanya.Kakinya masih terasa lemas, pipinya semakin panas dan merasa banyak kupu-kupu beterbangan di perutnya.“Astaga… bisa gila aku lama-lama begini,” gumamnya sambil berlari ke kamar dan menatap pantulan dirinya di cermin.Ugh! Rona merah di pipinya jelas sekali terlihat, dan lipstik di bibirnya berantakan.Pantas saja tadi Malik bilang, "Aku pernah dengar, katanya ada jenis lipstik waterproof ya? Mungkin lain kali kamu harus pakai yang waterproof," kata pria itu sembari memandangi bibirnya.Saat itu Kimberly tidak mengerti, tapi sekarang ia paham maksud ucapan Malik. Itu membuatnya jadi salah tingkah dan malu sendiri.Kimberly duduk di tepian ranjang sambil mengipasi pipinya menggunakan tangan. Kemudian merapikan lipstiknya.Pada saat yang sama, ponselnya berdenting, i