Malik pikir, Kimberly akan cemberut—seperti yang sudah-sudah, atau menangis dan marah setelah mendengar kata-kata sarkasnya barusan.Akan tetapi, wanita itu justru malah mengerjapkan mata dengan ekspresi polos. Kemudian Kimberly berdiri, melangkah memutari meja dan berdiri tepat di hadapan Malik. Jarak mereka hanya dipisahkan meja kayu berbentuk bundar ukuran sedang.“Apa yang sedang kamu lakukan?” desis Malik saat Kimberly berkacak pinggang di hadapannya.“Kamu bilang, aku lebih berbahaya daripada virus,” timpal Kimberly dengan suara berdengung karena hidungnya tersumbat. “Aku cuma mau buktiin ke kamu, kalau aku ini aman, nggak bawa senjata tajam atau sesuatu yang akan membahayakan kamu. Kamu nggak percaya? Periksa aja sendiri di dalam koperku atau di seluruh tubuhku, kali aja kamu ngira aku nyembunyiin pisau di sini,” ocehnya sembari menunjuk pinggangnya.Tubuhnya hanya dibalut celana hitam ketat dan sweater wool yang juga sama-sama ketat, berwarna merah marun. Lehernya model turtle
Kimberly duduk lagi di sofa, sementara Malik pergi ke luar. Entah ke mana. Pria itu tidak bilang apa-apa sebelum pergi dan hanya mengenakan coat serta membawa payung.“Sepertinya ini benar-benar handphone baru,” gumam Kimberly seraya meneliti ponsel yang diberikan Malik beberapa saat yang lalu.Namun, ada hal yang lebih penting ketimbang menebak-nebak apakah Malik sengaja membeli ponsel ini untuknya atau memang sudah ada sebelumnya, yaitu menelepon orang tuanya di Indonesia.Segera saja Kimberly menyimpan nomor telepon papi dan maminya. Ia semakin yakin ini ponsel baru karena tidak ada nomor kontak sama sekali di dalam daftar kontaknya. Dan handphone itu sudah dibekali layanan internet, aplikasi WhatsApp pun sudah bisa langsung digunakan.Saat akan menelepon nomor sang ayah, Kimberly ragu sejenak, ia tidak mau mengganggu tidur orang tuanya sebab di Jakarta sudah dini hari saat ini.Ia memutuskan mengirim pesan saja, jikalau mereka sudah tidur pun, chat-nya akan terbaca esok hari.[“Se
Entah karena dia terlalu lelah atau karena pengaruh obat, pagi itu Kimberly terbangun pukul sembilan. Terlambat dua jam dari yang sudah ia rencanakan. Ia tidur di sofa, semalaman, sendirian. Namun Kimberly bersyukur ia masih bisa tidur di tempat yang layak, ketimbang di pinggir jalan seperti kemarin malam.Saat ia bangun, ia tidak menemukan sosok Malik di manapun. Dan sepertinya di kamar pun tidak ada, sebab ia tidak melihat sepatu pria itu di rak.“Mungkin dia sedang keluar,” gumamnya sembari menyeret langkahnya ke dapur.Di atas meja ia menemukan omelet yang sudah dingin dan ada sticky notes menempel di meja itu, tepat di samping piring berisi omelet.‘Sarapanmu.’Kimberly tersenyum kecil saat membaca tulisan tangan Malik yang kurang rapi pada notes itu. Lalu menarik kursi untuk ia duduki. Ia menuangkan air putih dari pitcher ke dalam gelas kosong—yang sudah teronggok di tengah-tengah meja.Sebelum kemudian melahap omelet itu meski selera makannya hilang akibat flu yang menyerang. N
Suasana rumah berubah senyap dalam sekejap ketika sosok wanita berambut bob dan berjaket krem itu hilang di balik pintu yang tertutup.Malik menghela napas lega. Telinganya terasa nyaman dan pikirannya menjadi tenang. Ia memfokuskan kembali seluruh pikirannya kepada laptop di atas meja yang kemudian ia pindahkan ke atas pangkuan.Malik pikir, ia bisa mendapatkan kedamaian setelah ini. Namun ia harus membuang jauh-jauh keinginannya saat ujung matanya menangkap sesuatu di sekeliling sofa.Oh, God. Malik mengerang frustrasi dan mengusap wajahnya kasar.Bagaimana ia bisa duduk tenang sementara ruang tengahnya persis seperti kapal pecah? Wanita itu tidak merapikan barang-barangnya sebelum pergi.“Dia pikir dia sedang di rumahnya sendiri?” desis Malik seraya menaruh laptop ke meja bulat di sampingnya.Dengan kesal dia mendekati sofa, berkacak pinggang memandangi kekacauan di hadapannya itu. Sofanya yang sungguh sangat malang.Wanita itu belum—atau mungkin tidak akan, merapikan selimut yang
“Sebenarnya berapa tahun usiamu? Kenapa mudah sekali percaya pada orang lain seperti anak TK?!” omel Malik sembari berkacak pinggang, menatap puncak kepala Kimberly dengan tajam.Kimberly menunduk dengan wajah ditekuk, ia persis seperti murid yang sedang dimarahi gurunya. “Aku cuma minta tolong dia buat fotoin aku pakai kameraku, tapi dia tiba-tiba foto aku pakai handphone-nya sebelum aku ngasih dia izin,” ujar Kimberly, membela diri. Sementara pria bule tadi sudah pergi setelah diberi ancaman oleh Malik.“Kenapa tidak minta bantuan pada wanita? Apa kamu pikir, di dunia ini cuma ada laki-laki saja?!”“Aku nggak tahu kalau laki-laki tadi itu berbahaya.”“Seharusnya kamu mengantisipasinya dari awal!” omel Malik lagi dengan rahang berkedut. “Tidak semua orang yang terlihat baik itu memang baik. Buktinya laki-laki tadi. Kalau aku tidak datang tepat waktu dan menghapus fotomu dari handphone dia, dia akan menjual fotomu dan tubuhmu akan dinikmati oleh banyak mata para laki-laki buaya! Kamu
“Aku akan makan sandwich terenak di Andorra. Kalau kamu mau, ikuti aku. Kalau tidak mau, ya sudah, pergi jalan-jalan saja sendirian,” ujar Malik, setelah sekian lama Kimberly terdiam mengabaikannya. Kemudian dia berdiri dan melangkah pergi.Sandwich?Kimberly mengelus perutnya sendiri yang sejak tadi terus berbunyi tanpa tahu malu. Membayangkan bentuk sandwich-nya saja cacing di perutnya semakin meronta-ronta, apalagi kalau makan langsung?Tatapan Kimberly beralih dari kamera dalam genggamannya ke arah punggung Malik yang sudah berjalan menjauh darinya. Ia kesal pada lelaki dingin itu, tapi ia juga tidak bisa mengabaikan sandwich—yang katanya terenak di Andorra, begitu saja.“Hei, tunggu!” seru Kimberly seraya mengalungkan kamera ke leher, itu suara pertama yang ia keluarkan sejak tadi. Kimberly bergegas menyusul Malik yang tak menoleh sedikit pun ke belakang.“Sandwich-nya gratis, ‘kan? Kamu akan meneraktirku?” Kimberly bertanya tanpa malu-malu saat ia sudah berjalan di belakang pung
Malik menatap pasrah pada dapurnya yang mulai dikuasai Kimberly. Ditilik dari sifatnya yang kekanakkan, Malik tak yakin Kimberly bisa memasak. Namun, ia tidak bisa mencegah keinginan wanita itu yang sudah bersemangat sejak tadi siang.Malik hanya bisa berharap dan berdo’a, semoga saja wanita itu tidak membuat kekacauan di dapur.Ponsel Malik berdering, ia pun meninggalkan dapur untuk mengangkat panggilan tersebut. Kemudian setelah itu ia berkutat dengan laptop di sofa dekat jendela kaca besar, sambil sesekali memperhatikan lampu-lampu rumah di sekitarnya yang menyala. Cerobong asap dari rumah-rumah itu terlihat mengepul.Ya, cuaca dingin seperti ini memang paling nyaman berdiam diri di depan perapian.Kondisi tubuhnya yang cukup kelelahan setelah menemani Kimberly berkeliling Andorra La Vella dan berputar-putar di supermarket tadi sore, membuat Malik tanpa sadar memejamkan mata dengan laptop tetap di pangkuan.Hingga beberapa menit kemudian, tidurnya terganggu oleh suara teriakan dan
Setelah kejadian malam itu, suasana keesokan harinya terasa begitu canggung. Kimberly lebih banyak diam dan murung, bahkan sejak bangun tidur ia tidak mau bersitatap dengan Malik. Setiap kali melihat pria itu, rasa bersalah semakin terasa menghujam hatinya.Malik pun terlihat masih enggan bicara dengannya. Keduanya saling diam. Namun, pria itu masih mau membuatkan sarapan untuk Kimberly meski mereka tidak makan bersama.Tepat pukul sembilan, Kimberly sudah selesai membersihkan tubuhnya lalu membereskan semua barang-barang yang berserakan di sofa. Membuang kantong plastik bekas makanan ke tempat sampah, memasukkan pakaian bekasnya dan semua barangnya yang ada di sofa itu ke koper, lalu menaruh gelas dan mangkok kotor ke dapur.Sejenak Kimberly tertegun memperhatikan ruangan dapur itu sudah bersih dan rapi, seolah-olah tidak pernah terjadi kekacauan semalam.Ia menghela napas berat, lalu menunduk. “Aku memang nggak bisa apa-apa,” gumamnya. Kemudian menyalakan keran air dan mencuci gelas
Setelah hampir empat jam mengasuh putra dan putrinya, Malik akhirnya bisa bernapas lega saat bertemu lagi dengan Kimberly. Raut muka istrinya itu tampak lebih cerah dan ceria. Sepertinya Kimberly sudah tidak badmood lagi gara-gara Malik berfoto dengan Yoana tadi.“Gimana anak-anak? Mereka rewel nggak?” Kimberly mengambil alih anak perempuan berpipi chubby dari pangkuan Malik.“Rewel sih nggak, tapi yah… cukup membuatku berkeringat.” Malik tersenyum dan mengedikkan bahu.Kimberly mengamati suaminya sesaat, lalu tertawa karena penampilan pria itu tampak acak-acakan. Ia mengecup pipi Malik dan berkata, “Terima kasih udah kasih aku waktu buat me time.”Malik mengerjap dan memegangi pipinya sambil bergumam, “Kita harus pulang sekarang, Sayang.”“Kenapa? Kan belum beli susu buat Timur di supermarket.”“Malam ini kita titipin anak-anak di Mami sama Papi aja, ya? Besok kita ambil lagi mereka pagi sebelum aku—Oke oke! Nggak jadi, aku cuma bercanda,” ralat Malik dengan cepat saat Kimberly mencub
Empat tahun kemudian.“Eh? Bukannya dia mantan pembalap itu, ‘kan?”“Iya, Jeng, yang kemarin ramai dibahas sama hampir semua orang tua murid itu, Jeng.”“Anaknya beneran sekolah di sini?”“Iya.”“Yang bener? OMG! Kita bakalan ketemu dia terus dong! Ganteng banget ya Tuhan.”“Itu kalau setiap hari dia antar jemput anaknya.”“Eh! Emang setiap hari tauk! Kalian berdua aja yang baru lihat. Pagi dan siang dia selalu antar jemput.”“Duh, suami idaman banget sih…. Beruntung banget yang jadi istri dia. Udah ganteng, kaya, perhatian sama anak, lagi. Ya Tuhan, mau yang begini satu aja, please.”Malik menghela napas berat. Ia tidak bermaksud menguping pembicaraan tiga atau empat wanita—entah yang pastinya berapa orang karena Malik tidak begitu memperhatikan—yang sedang membicarakan dirinya, tapi suara mereka terlalu jelas di telinga Malik, sehingga mau tidak mau ia harus mendengarkan dirinya menjadi bahan gosip ibu-ibu.Sudah satu minggu Timur masuk sekolah ke playgroup. Setiap hari Malik selalu
“Sayang! Gimana kondisi kamu? Apanya yang sakit?!” tanya Malik dengan raut muka menegang sambil berlari menghampiri ranjang yang ditempati Kimberly. “Perut aku sakit… pinggang aku juga panas.” Kimberly meringis kesakitan. Namun ada yang berubah dalam sorot matanya, ia seolah-olah merasa lega dan aman setelah melihat kedatangan suaminya. Malik merundukan badan, memeluk Kimberly dan mengecup keningnya berkali-kali. Ia berbisik, “Sabar, ya. Maaf aku terlambat.” “Bau!” Malik terkejut saat Kimberly mendorong dadanya. “Eh? Kenapa? Siapa yang bau?” “Kamu,” jawab Kimberly seraya menggigit bibir bawah, menahan rasa sakit yang kembali menyerang dan rasanya tak tertahankan. “Kamu bau debu.” “Ah, ini….” Malik menggaruk tengkuk dan menghidu tubuhnya sendiri. “Barusan aku naik motor, Sayang. Soalnya di jalan macet banget, nggak mungkin bisa sampai dengan cepat kalau aku tetap pakai mobil,” jelasnya sambil menggenggam tangan sang istri. “Apa perlu aku ganti baju dulu? Tapi aku nggak bawa baju c
7 bulan kemudian.“Kakak, jangan lupakan aku. Aku juga adik kamu, adik yang paling ganteng!”“Diam!” Kimberly menjauhkan wajah Ernest dari hadapannya. “Kamu ngehalangin pemandangan aku tahu nggak?”Ernest cemberut.Kemudian Kimberly tersenyum lebar pada bayi berusia 4 bulan yang baru saja membuka mata, di atas kasur yang ia dan Ernest duduki.“Selamat siang Cheryl! Adiknya Kakak yang paling cantik! Nyenyak banget tidurnya ya?” goda Kimberly dengan nada bicara khas anak-anak.Cheryl tersenyum. Dia berguling sendiri hingga tengkurap.“Ugh! Jangan percaya sama kelembutan kakak kita, Dek, aslinya dia itu cerewet dan galak. Kamu kalau sudah besar nanti pasti jadi bahan omelan dia—auwh!” Ernest tiba-tiba mengaduh saat Kimberly menjewer telinganya.“Diam,” bisik Kimberly dengan kesal. “Jangan meracuni otak bayi dengan omongan kamu yang negatif itu ya!”“Aku ‘kan bicara apa adanya,” gumam Ernest sembari mengusap-usap telinga.Kimberly mendelik pada Ernest, lalu kembali tersenyum lebar pada Ch
“Gimana perasaan kamu?” bisik Malik seraya mengelus pipi Kimberly dengan lembut.Kimberly terdiam. Harusnya ia yang bertanya seperti itu kepada Malik.Detik berikutnya, Kimberly tersenyum lebar, tangannya mengusap-usap perut dan berseru riang, “Anak kita sepertinya senang banget, Babe! Dia bikin perasaan aku jadi makin bahagia setelah lihat kamu ngendarain motor balap barusan!”“Benarkah?” Malik ikut tersenyum lebar.Kimberly mengangguk cepat. Ia langsung melompat ke pelukan Malik, melingkarkan tangan di leher pria yang masih memakai baju balapan yang dulu sering dia pakai. Malik terlihat tampan sekali dengan baju itu, mengingatkan Kimberly akan kebersamaan mereka sebelum menikah.“Terima kasih, ya! Aku jadi rindu nonton kamu balapan.” Kimberly terkekeh, suaranya terdengar teredam karena bibirnya terbenang di pundak Malik. “Kalau kamu? Gimana perasaan kamu sekarang?”“Perasaanku?” ulang Malik.“Hm-hm. Apa barusan bisa mengobati kerinduan kamu sama balapan?”“Iya.” Malik bergumam dan m
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 23.25 waktu Andorra. Kimberly merebahkan tubuhnya di kasur berseprai abu tua. Matanya menatap plafon putih dengan penerangan lampu warm white.Mereka baru saja tiba di Andorra pukul 18.30 waktu setempat. Perjalanan ini atas inisiatif Kimberly yang mengidam ingin tidur di kamar Malik, di rumahnya yang ada di Andorra. Setelah mendengar keinginan istrinya, Malik langsung memesan tiket pesawat.“Ternyata begini rasanya ada di kamar kamu.” Kimberly terkekeh dan melirik Malik yang baru saja selesai memindahkan semua pakaian mereka dari koper ke dalam lemari.Tadi Kimberly berniat membantu, tapi Malik melarangnya dan malah menyuruhnya untuk istirahat.“Gimana rasanya? Aneh?” Malik melepas kaos putihnya dan menghampiri ranjang.“Nyaman banget!” Kimberly meringis, ia mengangkat kedua tangan ke atas untuk menyambut Malik yang baru saja menaiki ranjang dan memeluknya. Tangan Kimberly mengalung di leher Malik.Ia sempat menahan napas dengan jantung berdebar-deb
“Tunggu! tunggu! Mami nggak salah dengar, ‘kan? Kamu… hamil?”Kimberly mengangguk cepat berkali-kali sembari tersenyum lebar.Feli tercengang. Ia dan Archer saling tatap satu sama lain dengan tatapan terkejut. Lalu detik berikutnya keduanya sama-sama menghela napas lega dan tertawa.“Ya Tuhan, terima kasih… Mami senang sekali dengarnya, Sayang!” ucap Feli dengan mata berbinar-binar dan memeluk Kimberly. “Pantas saja akhir-akhir ini Mami ngerasa ada yang berbeda sama kamu.”“Oh ya? Mami bisa ngelihat perubahan aku? Kok aku nggak?”“Mami ini ibu kamu, Kim. Selama dua puluh satu tahun tinggal bareng-bareng, masa Mami nggak bisa menyadari sesuatu yang berbeda sama kamu?” Feli terkekeh kecil, tangannya menepuk-nepuk punggung Kimberly. Ekspresi wajahnya terlihat cerah, secerah langit siang ini di luar sana. Walau air matanya tampak menggenang, tapi itu adalah tangis kebahagiaan.“Mami kok nangis?” tanya Kimberly sesaat setelah pelukannya terlepas. Ia cemberut seraya menangkup pipi sang ibu.
Gimana kalau sekarang Malik sedang mencari kesenangan di luar karena keadaan di rumah tidak membuatnya nyaman?Satu pertanyaan itu tiba-tiba membuat Kimberly menegakkan punggung. Wajahnya menegang. Air matanya seakan tak ingin berhenti mengalir saat membayangkan Malik melampiaskan kekesalannya dengan menghabiskan waktu bersama wanita lain.“Kamu jahat!” Kimberly menangis sambil membenamkan wajah di atas lutut. “Kamu main pergi begitu aja tanpa memikirkan perasaanku!”Setelah cukup lama menangis sendirian hingga ruangan kamarnya berubah gelap karena sudah memasuki malam, Kimberly akhirnya mandi supaya pikirannya lebih jernih.Dua puluh menit kemudian, ia sudah berganti pakaian dan tubuhnya terasa segar, tapi pikirannya tetap saja kacau. Kimberly mencoba menghubungi Malik lagi, tapi berakhir sia-sia.“Non Kimmy, mau makan malam, Non? Makanannya sudah siap di meja,” ujar Bik Nining yang menghampiri kamar Kimberly.Kimberly menggeleng lesu. “Aku nggak lapar, Bik. Nanti saja makannya.”“No
“Sayang, aku pulang!”Mendengar seruan Malik, secara spontan Kimberly terbangun dan menaruh remote di meja. Lalu ia bergegas menyongsong Malik ke pintu utama dengan langkah-langkah cepat.“Kamu bawa nasi lemaknya?” tanya Kimberly dengan mata berbinar-binar.“Bawa dong. Nih!”Kimberly tersenyum lebar saat Malik menunjukkan bingkisan di tangannya. Ia langsung merebut bingkisan tersebut. “Terima kasih!” serunya, ceria.Tepat saat Malik akan mengecup bibir Kimberly—sesuatu yang selalu Malik lakukan setiap kali pulang ke rumah, Kimberly tiba-tiba melesat pergi, membuat bibir Malik tidak punya tempat untuk berlabuh.“Hey! Kenapa pergi begitu aja?” protes Malik, yang tak ditanggapi Kimberly. Malik hanya menghela napas pasrah, lalu melangkah masuk mengikuti sang istri.Kimberly terlihat sedang menghidu aroma nasi lemak yang masih terbungkus. Malik tersenyum, lalu mengambil piring bersih dan menaruhnya di meja.“Ini pasti kerjaan kamu nih, Mama kamu senang banget cuma dapat nasi lemak doang,”