“Aku akan makan sandwich terenak di Andorra. Kalau kamu mau, ikuti aku. Kalau tidak mau, ya sudah, pergi jalan-jalan saja sendirian,” ujar Malik, setelah sekian lama Kimberly terdiam mengabaikannya. Kemudian dia berdiri dan melangkah pergi.Sandwich?Kimberly mengelus perutnya sendiri yang sejak tadi terus berbunyi tanpa tahu malu. Membayangkan bentuk sandwich-nya saja cacing di perutnya semakin meronta-ronta, apalagi kalau makan langsung?Tatapan Kimberly beralih dari kamera dalam genggamannya ke arah punggung Malik yang sudah berjalan menjauh darinya. Ia kesal pada lelaki dingin itu, tapi ia juga tidak bisa mengabaikan sandwich—yang katanya terenak di Andorra, begitu saja.“Hei, tunggu!” seru Kimberly seraya mengalungkan kamera ke leher, itu suara pertama yang ia keluarkan sejak tadi. Kimberly bergegas menyusul Malik yang tak menoleh sedikit pun ke belakang.“Sandwich-nya gratis, ‘kan? Kamu akan meneraktirku?” Kimberly bertanya tanpa malu-malu saat ia sudah berjalan di belakang pung
Malik menatap pasrah pada dapurnya yang mulai dikuasai Kimberly. Ditilik dari sifatnya yang kekanakkan, Malik tak yakin Kimberly bisa memasak. Namun, ia tidak bisa mencegah keinginan wanita itu yang sudah bersemangat sejak tadi siang.Malik hanya bisa berharap dan berdo’a, semoga saja wanita itu tidak membuat kekacauan di dapur.Ponsel Malik berdering, ia pun meninggalkan dapur untuk mengangkat panggilan tersebut. Kemudian setelah itu ia berkutat dengan laptop di sofa dekat jendela kaca besar, sambil sesekali memperhatikan lampu-lampu rumah di sekitarnya yang menyala. Cerobong asap dari rumah-rumah itu terlihat mengepul.Ya, cuaca dingin seperti ini memang paling nyaman berdiam diri di depan perapian.Kondisi tubuhnya yang cukup kelelahan setelah menemani Kimberly berkeliling Andorra La Vella dan berputar-putar di supermarket tadi sore, membuat Malik tanpa sadar memejamkan mata dengan laptop tetap di pangkuan.Hingga beberapa menit kemudian, tidurnya terganggu oleh suara teriakan dan
Setelah kejadian malam itu, suasana keesokan harinya terasa begitu canggung. Kimberly lebih banyak diam dan murung, bahkan sejak bangun tidur ia tidak mau bersitatap dengan Malik. Setiap kali melihat pria itu, rasa bersalah semakin terasa menghujam hatinya.Malik pun terlihat masih enggan bicara dengannya. Keduanya saling diam. Namun, pria itu masih mau membuatkan sarapan untuk Kimberly meski mereka tidak makan bersama.Tepat pukul sembilan, Kimberly sudah selesai membersihkan tubuhnya lalu membereskan semua barang-barang yang berserakan di sofa. Membuang kantong plastik bekas makanan ke tempat sampah, memasukkan pakaian bekasnya dan semua barangnya yang ada di sofa itu ke koper, lalu menaruh gelas dan mangkok kotor ke dapur.Sejenak Kimberly tertegun memperhatikan ruangan dapur itu sudah bersih dan rapi, seolah-olah tidak pernah terjadi kekacauan semalam.Ia menghela napas berat, lalu menunduk. “Aku memang nggak bisa apa-apa,” gumamnya. Kemudian menyalakan keran air dan mencuci gelas
Kimberly terperangah melihat siapa yang ada di belakangnya. Betapa sempit sekali dunia ini, pikirnya. Tidak memiliki janji tapi pada akhirnya mereka bertemu kembali di tempat ini.“Hey! Kamu yang melemparku barusan?!” seru Kimberly.Alih-alih menjawab, pria berjaket hitam itu malah mengedikkan bahunya cuek. Kedua tangannya tersembunyi di kantong jaket, mata hitamnya menatap Kimberly dengan ekspresi datar.“Tentu saja. Siapa lagi kalau bukan kamu.” Kimberly menjawab pertanyaannya sendiri, matanya menyipit pada Malik. “Kenapa kamu ke sini? Apa tujuan kamu tadi keluar terburu-buru itu karena mau ke sini ya?”Pria itu tak menjawab. Dan Kimberly sudah mulai biasa untuk tidak berharap pertanyaannya akan mendapat jawaban.“Aku nggak sengaja,” ujar Malik pada akhirnya setelah ia duduk di samping Kimberly. “Keperluanku kebetulan ada di dekat sini.”“Kalau nggak disengaja ngapain kamu ke sini?” Kimberly masih menatap Malik, dilihat dari samping seperti ini wajah pria itu terlihat jauh lebih teg
Malik membeku.Ia tahu, seharusnya ia mendorong wanita itu jauh-jauh. Namun tangannya—yang tanpa sengaja memeluk pinggang Kimberly, seakan-akan lumpuh dan sulit menerima perintah dari otaknya untuk melepaskan wanita di atasnya tersebut.Pandangan keduanya bertemu. Rahang Malik berkedut menatap manik hitam Kimberly yang tengah menatapnya dengan tatapan terkejut. Seluruh perhatian Malik tersita habis oleh wanita manja dan aneh itu.Namun, karena sisi manja dan teledornya itulah Malik merasa tidak bisa mengabaikan dan membiarkannya pergi sendirian. Malik sendiri tidak tahu kenapa ia mau repot-repot datang kemari menyusulnya.Hanya saja... Malik tidak suka membayangkan Kimberly yang teledor itu tersesat atau mendapat masalah saat dibiarkan pergi sendiri.“Em... ke-kenapa kamu bisa… jatuh?” gumam Kimberly, masih dengan ekspresi tegangnya.“Apa setiap orang harus punya alasan untuk jatuh?”“Ha?”Tatapan Malik turun dari mata Kimberly ke hidungnya yang tinggi kecil, lalu turun lagi dan berhen
Mata Kimberly mengerjap mendengar pengakuan Malik yang membuatnya tak habis pikir. Entah mengapa, Kimberly justru merasa senang mendengar Malik tidak memiliki kekasih. Namun di sisi lain, ada rasa kecewa ketika tahu ternyata wanita bukan prioritas pria di hadapannya itu.“Semoga saja kelak kamu punya istri yang tabah dan sabar,” ucap Kimberly dramatis seraya mengelus dada.Malik mendengus. “Aku nggak kepikiran untuk menikah.”“Ha?” Mata Kimberly membelalak. “Maksudmu kamu akan melajang seumur hidup? Hey!” Ia memukul lengan Malik tanpa tedeng aling-aling. “Kalau kamu nggak punya istri dan anak, lalu gimana masa tuamu? Masa kamu mau diurus sama motor balapmu itu? Jangan berpikiran pendek, pikirkan juga kebahagiaanmu di masa tua nanti,” cerocos Kimberly tanpa jeda, persis seperti seorang ibu menasehati anaknya.Malik mengerjapkan mata. Ia kemudian melipat tangan di meja, mencondongkan tubuhnya ke depan dan mendekatkan wajah mereka.“A-apa yang kamu lakukan?” Kimberly mendadak tergagap da
“Hm? Besok kamu mau mendaki? Di musim dingin?” Archer memindahkan ponsel dari telinga kiri ke telinga kanan seraya menghela napas resah.Feli yang sedang menata bunga mawar pemberian Archer, ke dalam vas bunga, hanya menoleh pada suaminya itu. Ia sudah tahu lebih dulu tentang rencana Kimberly tersebut saat putrinya itu menelepon tadi sore.Dan Feli sudah bisa memprediksi apa yang akan dikatakan Archer saat ini kepada putri mereka.“Princess, bisa batalkan rencanamu itu? Ayolah… itu Andorra, di musim dingin, kamu mendaki gunung? Astaga! Lama-lama Papi bisa gila di sini, Kim.” Arhcer mengusap wajahnya kasar dan terlihat gelisah.Feli hanya tersenyum dan mengedikkan bahu saat pria itu menatapnya. Lalu terkekeh ketika Archer mengatakan ‘jangan tersenyum’ dengan gerakan mulutnya.“Hanya sebentar? Siapa yang menjamin keselamatanmu di sana?” tanya Archer sembari melepas sepatu. “Pokoknya sekali tidak, tetap tidak. Lakukan hal lain selain mendaki.”“Aku penasaran, kapan dia akan berhenti jadi
Kimberly terperangah.Ia benar-benar tak menyangka bahwa Malik akan menepati janjinya yang diucapkan kemarin saat bermain ski. Hari ini pria itu datang ke hotel tempatnya menginap, menunggu di lobi dan mengantar Kimberly untuk mengurusi paspor.Eric tidak ikut. Sebab Kimberly tidak memberitahu Eric pukul berapa dia akan berangkat. Ia hanya pergi bersama Malik dan Nancy.Mengurus paspornya saja butuh waktu hampir seharian. Ia baru selesai ketika waktu sudah menjelang sore. Sepanjang perjalanan menggunakan mobil Malik, pria itu tidak banyak bicara, sikapnya dingin dan datar seperti biasanya. Malik mengantar Kimberly dan Nancy ke hotel setelah makan malam bersama-sama.“Jangan lupa besok pakai baju yang hangat tapi fleksibel, gunakan juga sepatu yang nggak licin,” ujar Malik sebelum mematikan mesin mobil.“Apa kita akan menginap di atas gunung?!” tanya Kimberly, antusias.“Aku nggak mau ngambil resiko besar, kamu akan jadi boneka salju kalau sampai menginap.” Malik tersenyum sinis seraya