Sinar matahari yang mengintip di celah-celah tirai membuat tidur Archer terganggu. Keningnya mengernyit. Feli yang sedang tertidur nyenyak dalam pelukannya adalah pemandangan pertama yang ia lihat begitu membuka mata.Bukan di kasur mereka tidur. Melainkan di atas sofa panjang, tempat yang sempit itu membuat tubuh keduanya saling melekat erat selama tidur.Keduanya baru sama-sama terlelap pukul tiga dini hari, setelah semalaman menemani Ernest yang melek, bangun, melek lagi dan bangun lagi.Archer mengulum senyum seraya memperhatikan wajah cantik sang istri yang tampak kelelahan. Gairah yang menggebu-gebu membuat Archer tak bisa menahan diri lagi, setiap kali Ernest tidur Archer tidak membiarkan Feli menganggur. Mumpung mood wanitanya itu sedang baik, sebab jika mood-nya buruk Archer tak yakin Feli mau disentuh olehnya."Sunshine," bisik Archer seraya mengelus lembut pipi Feli.Feli tidak menjawab, dengkuran halusnya masih terdengar teratur. Karena tidak ingin mengganggu tidur sang is
“Lain kali kunci pintu dan lakukan di tempat yang jauh dari jangkauan anak-anak.”Archer terkejut kala mendengar suara sang ayah mertua, yang tiba-tiba duduk di sunbed sebelahnya.Yang membuat Archer makin terkejut adalah ucapan Nicko tersebut, seolah-olah menjurus pada satu hal yang tabu.“Maksud Papa?” tanya Archer dengan mata menyipit. “Papa sengaja masuk ke kamar Feli?”Nicko mendengus mendengarnya. “Kimmy bangun semalam, dia mencari kalian berdua lalu keluar kamar dan ketemu Papa. Papa bawa dia masuk lagi ke kamar kalian, tapi di kamar mandi berisik sekali,” sindir Nicko, yang membuat Archer seketika diserang rasa malu dan canggung.Archer mengusap tengkuk, ia seakan kehabisan stok kata-kata untuk mengelak ucapan sang ayah mertua. Telinganya memerah menahan malu.“Lain kali pastikan pintu terkunci dan jauh dari jangkauan telinga anak-anak.” Nicko merebahkan diri dan mengenakan kacamata hitam.Kali ini Archer menggaruk tengkuknya yang tak gatal sama sekali. Ia berharap bisa menghi
"Damn! Apa yang sedang anak itu lakukan?!” desis Archer dengan mata membulat tajam.Seketika Feli menoleh ke arahnya dengan penuh tanya. “Kenapa sih, Yang?”“Aku harus memberitahu anak itu supaya jangan mendekati Kimmy.”Feli mengikuti arah pandang sang suami. Barulah saat itu ia mengerti apa yang membuat Archer belingsatan. Ada anak laki-laki yang tengah memberikan permen lolipop kepada Kimberly. Kedua anak itu mengobrol sampai tertawa-tawa. Kemudian saling kejar mengejar.Dengan sigap Feli menahan dada Archer agar mengurungkan niatnya untuk melangkah. “Mau ngapain?”“Ngajak Kimmy pulang.”“Biarin aja sebentar lagi, biar dia main dulu, Sayang.”“Main sama laki-laki?” Mata Archer memicing ke arah Feli.“Anak laki-laki,” ralat Feli seraya memutar bola matanya malas. “Lagian kenapa kamu harus marah, hem? Mereka lagi main.”“Memberi hadiah dan berjalan sambil pegangan tangan. Apa itu main yang diwajarkan?” ujar Archer dengan tatapan tak suka saat melirik anak laki-laki yang sekarang seda
“Mami, Kakak penjual risol itu dirawat di sini?”“Iya, Sayang. Namanya Malik, ya. Panggil dia Kak Malik. Jangan Kakak Penjual Risol.”Kimberly mengangguk. “Semoga aku nggak lupa ya, Mi.”Feli terkekeh mendengarnya, lantas didorongnya pintu ruang rawat inap VIP di hadapan. Bik Ijah menyambut kedatangan mereka tapi Feli tidak melihat Malik di ruangan itu.“Maliknya ke mana, Bik?”“Lagi di kamar mandi, Nyonya.”Feli mengangguk mengerti, ia menyerahkan parsel buah di tangannya kepada wanita paruh baya itu. “Bik, tolong bersihin dan kupasin buahnya, ya.”“Bibik! Aku mau apel!” seru Kimberly sambil naik ke atas sofa.“Siap, Non.” Bik Ijah tersenyum, mengacungkan ibu jarinya pada Kimberly. “Mau semua apelnya Bibik kupasin?”“Iya!” Kimberly mengangguk. “Semua apelnya buat aku.”“Lho, untuk Kak Maliknya mana dong?” Feli ikut duduk di samping putrinya.“Eh, iya. Itu buahnya untuk Kak Malik ya, Mi? Aku ‘kan banyak di rumah, ya. Kak Malik nggak punya, kasihan,” keluhnya dengan nada setengah meren
Setelah berbincang cukup lama, Feli akhirnya menyuruh Malik agar rebahan di kasur dan istirahat. Feli melihat sorot mata Malik tampak lelah tapi anak itu tidak mengeluh dan tetap mendengarkan serta menanggapi celotehan Kimberly yang tanpa titik koma. Padahal baru dua kali bertemu, tapi Kimberly sudah mau cerita panjang lebar dengan Malik. Kimberly yang bawel dan Malik yang tipe pendengar, mereka terlihat cocok sebagai teman atau saudara, pikir Feli. Yang tentu saja jika pemandangan itu dilihat Archer, maka ekspresi suaminya itu akan langsung mengeras. “Tante, boleh aku ketemu Om Archer?” Feli mengangguk seraya menarik selimut hingga menutupi dada Malik. “Om Archer memang akan menemui kamu, tapi gantian dengan Tante. Sekarang Om lagi jagain Ernest.” Malik mengangguk mengerti. “Ada sesuatu yang mau kamu bicarain ke suami Tante?” Sekali lagi Malik mengangguk. “Aku… mau ceritain apa yang sempat Om Archer minta waktu itu.” Feli paham, Malik sudah bersedia menceritakan mengenai kehid
Malam itu langit tampak cerah. Feli tersenyum lebar seraya memandangi kerlap-kerlip dari puluhan kunang-kunang yang beterbangan di hadapannya. “Kenapa bisa ada kunang-kunang di sini?” gumamnya, tangannya ingin menangkap kunang-kunang itu tapi dia urungkan. Kasihan. Biarkan kunang-kunang terbang dengan bebas, sesuai takdir hidupnya. “Gimana? Kamu suka?” “Astaga…!” pekik Feli saat sebuah lengan kekar tiba-tiba memeluk perutnya dari belakang, ditambah lagi suaranya yang dalam dan berat, membuat Feli sempat berpikir bahwa lelaki itu adalah penjahat atau pencuri yang menyusup ke dalam rumah. Namun, dengan cepat Feli mengenali aroma tubuh sang suami yang begitu harum memabukkan. Suaminya itu baru saja pulang ke rumah dan tadi siang dia sempat izin akan pulang telat untuk mengurus masalah panti asuhan itu. “Kebiasaan deh, ngagetin!” desis Feli dengan galak. “Jadi gimana? Suka nggak kunang-kunangnya? Kamu belum jawab pertanyaanku.” Feli sedikit menggeliat ketika merasakan sesuatu yang
Hari ini adalah hari diputuskannya hukuman untuk Eden di pengadilan atas kejahatan yang dia lakukan. Namun, baik Feli maupun Archer, keduanya sama-sama tidak datang ke pengadilan dan memilih menunggu kabar dari Vicky.Mereka berdua pergi ke rumah sakit untuk menjemput Malik yang sudah dibolehkan pulang oleh dokter. Bik Ijah membantu merapikan barang-barang yang akan dibawa pulang.“Aku sudah boleh pulang, Tante?” tanya Malik dengan wajah ceria setelah dokter meninggalkan ruangan tersebut.Feli mengangguk. “Iya, kondisi kamu sudah mulai pulih dan boleh pulang,” jawabnya lembut.Keceriaan di wajah Malik seketika hilang, dia menunduk, iris mata hitamnya tampak sendu seraya menatap selimut di hadapannya. Malik tidak punya tujuan untuk pulang. Kalau boleh, dia ingin menginap di rumah sakit saja lebih lama lagi sembari memikirkan ke mana ia harus pulang dan pekerjaan apa yang bisa menghasilkan uang untuk anak seusianya.Feli yang menyadari perubahan raut muka Malik pun segera memeluk anak i
“Oh My God!!!”Bik Ijah terkesiap sambil berseru menirukan gaya orang Barat saat sedang terkejut. Kantong kresek berisi baju kotor Malik di tangannya terlempar keluar pintu. Matanya membelalak melihat kedua majikannya sedang berciuman di tangga. Spontan ia membalikkan tubuh dan menutupi mata dengan telapak tangan.“Ada apa, Ijah? Ngapain berhenti di sini?”“Ssstt!” Bik Ijah menempelkan ibu jari di mulut satpam yang akan mengantarkan barang belanjaan ke dapur. “Jangan berisik! Sana keluar lagi. Simpan aja belanjaannya di situ!” tunjuknya ke arah dekat pintu.“Lah, tadi nyuruh saya bawa ini. Katanya capek dan barangnya berat, sekarang malah ngusir. Gimana, sih?”“Sudah sana! Jangan berisik. Nanti kamu dipecat sama Tuan. Mau?”Pria berkumis itu garuk-garuk kepala. “Saya nggak punya salah, ngapain dipecat?”“Pokoknya pergi dari sini sekarang. Nurut aja sama aku.”Bik Ijah berdecak lidah. Dia membalikkan tubuh satpam itu dan mendorongnya keluar sekuat tenaga.Setelah kepergian satpam, sudu