“Singkirkan barang itu dan berhenti merekamku!” desis pria itu lagi dengan tajam.Tangan Dania terlihat bergetar, pecut di tangan lelaki itu membuatnya ketakutan.“Tidak!” tegas Feli dengan berani. Ia mendongak dan menatap lelaki itu dengan sama tajamnya. “Apa yang Anda lakukan pada anak laki-laki barusan akan saya laporkan pada pihak berwajib!” desisnya penuh ancaman. “Jangan mentang-mentang Anda sudah menghidupi anak itu jadi Anda bisa semena-mena memperlakukan—Akh!”“Bu Feli!” pekik Dania ketika lelaki itu menarik lengan Feli dan menyeretnya ke dalam rumah. “Tolong…! Tolong…! Akh…!”Dania juga ikut diseret yang membuat handphone-nya terjatuh entah ke mana. Lelaki itu menghempaskan tubuh Dania ke lantai dan hampir menimpa Feli yang tengah bersimpuh, kemudian lelaki itu mengunci pintu.“Tante Feli!”Seruan Malik membuat Feli menoleh ke arah ruangan lain melalui pintu yang terbuka.Ia terkejut ketika melihat banyak luka lebam di wajah dan kaki anak lelaki itu. Tak hanya Malik, beberap
“Em… maksudku, biarkan Malik tinggal bareng kita dan jadi anak angkat kita. Gimana, hem?”Mata Archer membelalak mendengarnya. Terang saja ia tidak setuju dengan keinginan tersebut. Archer lantas menggeleng dan berkata dengan tegas, “Nggak, Sunshine! Masih banyak opsi lain yang bisa kita lakukan untuk membantu anak itu. Lupakan keinginanmu barusan karena aku nggak akan setuju.”Feli menghela napas panjang, kemudian menggenggam tangan suaminya dan menariknya keluar dari ruangan. Saat itulah Feli sadar kalau buku tangan suaminya terluka akibat menghajar lelaki tua tadi.Sejak tadi mereka sibuk berurusan dengan polisi sampai-sampai Feli melupakan kondisi sang suami.“Sayang, tunggu di sini sebentar.” Feli mendudukkan Archer di salah satu kursi yang ada di dekat pintu, di luar ruangan tersebut.Refleks Archer menahan lengan sang istri. “Mau ke mana?”“Minta obat dulu sama perawat.”“Untuk?”Feli mengedikkan dagu ke arah tangan Archer yang masih menggenggam tangannya. “Tangan kamu terluka,
Feli tergelak mendengar candaan suaminya barusan. Lelaki itu bertanya pada “Siri” tentang hal yang menurut Feli sangat konyol, tapi pria itu tersenyum lebar ketika mendapatkan jawaban dari “Asisten Pribadi Pintar” tersebut.“Sunshine, aku dapat jawabannya!” tukas Archer dengan antusias.Mata Feli mengerjap. “Masa, sih?”“Ya.” Archer mengangguk. Digenggamnya tangan sang istri dengan erat. “Teknologi itu ada di Amerika. Ayo kita pergi ke sana!”Kali ini mata Feli membelalak mendengarnya. “Jadi kamu menganggap serius ucapanku tadi?”Archer mengangguk. “Kalau itu memang keinginanmu dan bisa membuat kamu berhenti marah padaku, aku akan mengabulkannya.”Detik itu juga Feli tertawa terpingkal-pingkal sembari memegangi perut. Beberapa saat kemudian tawanya kembali berhenti dan menatap Archer dengan serius. Ia geleng-geleng kepala seraya menepuk-nepuk pipi suaminya dengan gemas, “Nggak aku sangka ternyata Bapak CEO ini nggak pintar-pintar amat, ya.”“Hey! Apa kamu bilang?!” protes Archer tak t
Setibanya di mansion orang tuanya untuk menjemput Kimberly dan Ernest, Feli langsung disambut oleh ayahnya yang sedang berjalan mondar-mandir di halaman rumah. Nicko langsung mendekati mobil yang baru saja berhenti, seraya menatap Archer dengan tatapan tajam. Pria matang yang tampan itu mengetuk kaca pintu dengan keras, persis seperti polisi yang sedang melakukan razia dan menyuruh pengemudinya keluar. “O-ow!” Feli menggigit bibir bawah dan meringis menatap Archer. “Kamu sudah siap diomeli Papa?” Helaan napas Archer terdengar pasrah. Ia belum menurunkan kaca mobil, membuat tatapan Nicko kian tajam ke arahnya. Dengan dramatis Archer menggenggam tangan Feli dan berkata, “Do’akan aku semoga kali ini aku bisa selamat lagi.” Seketika tawa Feli terdengar berderai-derai. Dia memukul paha suaminya, yang membuat pria itu berdesis, “Bisa nggak jangan paha yang kamu pukul? Efeknya bisa bikin anggota tubuhku yang paling berharga tersiksa, Felicia.” “Mulai… mulai.” Mata Feli merotasi malas.
“Astaga… apa yang sedang kalian lakukan?!”Kedua lelaki yang sama-sama memiliki rahang tegas itu tak menghiraukan seruan Feli sama sekali, seakan-akan suaranya hanya angin lalu.Feli geleng-geleng kepala, ia berdiri di samping mereka sembari berkacak pinggang.“Kalian tahu? Kami semua sudah kelaparan karena menunggu kedatangan kalian untuk makan malam, tapi apa yang kalian lakukan di sini? Astaga….”Feli mengusap wajahnya kasar, ia tak habis pikir suami dan ayahnya malah asyik bermain catur.Wajah mereka sama-sama serius, seakan-akan papan catur di hadapannya adalah draft proyek besar milik perusahaan yang mempertaruhkan hidup dan mati.“Papa! Archer! Kalian dengar aku nggak?!” Feli mulai kesal ketika dua lelaki itu tak kunjung menanggapinya.“Dengar, Sunshine.”“Dengar, Nak.”Archer dan Nicko menjawab serempak, tanpa melirik Feli barang sedetik pun.Feli mendengus. “Kalau begitu ayo kita makan. Kasihan yang lain udah pada nunggu.”“Nggak bisa!” Lagi-lagi kedua lelaki berperawakan tin
Sinar matahari yang mengintip di celah-celah tirai membuat tidur Archer terganggu. Keningnya mengernyit. Feli yang sedang tertidur nyenyak dalam pelukannya adalah pemandangan pertama yang ia lihat begitu membuka mata.Bukan di kasur mereka tidur. Melainkan di atas sofa panjang, tempat yang sempit itu membuat tubuh keduanya saling melekat erat selama tidur.Keduanya baru sama-sama terlelap pukul tiga dini hari, setelah semalaman menemani Ernest yang melek, bangun, melek lagi dan bangun lagi.Archer mengulum senyum seraya memperhatikan wajah cantik sang istri yang tampak kelelahan. Gairah yang menggebu-gebu membuat Archer tak bisa menahan diri lagi, setiap kali Ernest tidur Archer tidak membiarkan Feli menganggur. Mumpung mood wanitanya itu sedang baik, sebab jika mood-nya buruk Archer tak yakin Feli mau disentuh olehnya."Sunshine," bisik Archer seraya mengelus lembut pipi Feli.Feli tidak menjawab, dengkuran halusnya masih terdengar teratur. Karena tidak ingin mengganggu tidur sang is
“Lain kali kunci pintu dan lakukan di tempat yang jauh dari jangkauan anak-anak.”Archer terkejut kala mendengar suara sang ayah mertua, yang tiba-tiba duduk di sunbed sebelahnya.Yang membuat Archer makin terkejut adalah ucapan Nicko tersebut, seolah-olah menjurus pada satu hal yang tabu.“Maksud Papa?” tanya Archer dengan mata menyipit. “Papa sengaja masuk ke kamar Feli?”Nicko mendengus mendengarnya. “Kimmy bangun semalam, dia mencari kalian berdua lalu keluar kamar dan ketemu Papa. Papa bawa dia masuk lagi ke kamar kalian, tapi di kamar mandi berisik sekali,” sindir Nicko, yang membuat Archer seketika diserang rasa malu dan canggung.Archer mengusap tengkuk, ia seakan kehabisan stok kata-kata untuk mengelak ucapan sang ayah mertua. Telinganya memerah menahan malu.“Lain kali pastikan pintu terkunci dan jauh dari jangkauan telinga anak-anak.” Nicko merebahkan diri dan mengenakan kacamata hitam.Kali ini Archer menggaruk tengkuknya yang tak gatal sama sekali. Ia berharap bisa menghi
"Damn! Apa yang sedang anak itu lakukan?!” desis Archer dengan mata membulat tajam.Seketika Feli menoleh ke arahnya dengan penuh tanya. “Kenapa sih, Yang?”“Aku harus memberitahu anak itu supaya jangan mendekati Kimmy.”Feli mengikuti arah pandang sang suami. Barulah saat itu ia mengerti apa yang membuat Archer belingsatan. Ada anak laki-laki yang tengah memberikan permen lolipop kepada Kimberly. Kedua anak itu mengobrol sampai tertawa-tawa. Kemudian saling kejar mengejar.Dengan sigap Feli menahan dada Archer agar mengurungkan niatnya untuk melangkah. “Mau ngapain?”“Ngajak Kimmy pulang.”“Biarin aja sebentar lagi, biar dia main dulu, Sayang.”“Main sama laki-laki?” Mata Archer memicing ke arah Feli.“Anak laki-laki,” ralat Feli seraya memutar bola matanya malas. “Lagian kenapa kamu harus marah, hem? Mereka lagi main.”“Memberi hadiah dan berjalan sambil pegangan tangan. Apa itu main yang diwajarkan?” ujar Archer dengan tatapan tak suka saat melirik anak laki-laki yang sekarang seda
Setelah hampir empat jam mengasuh putra dan putrinya, Malik akhirnya bisa bernapas lega saat bertemu lagi dengan Kimberly. Raut muka istrinya itu tampak lebih cerah dan ceria. Sepertinya Kimberly sudah tidak badmood lagi gara-gara Malik berfoto dengan Yoana tadi.“Gimana anak-anak? Mereka rewel nggak?” Kimberly mengambil alih anak perempuan berpipi chubby dari pangkuan Malik.“Rewel sih nggak, tapi yah… cukup membuatku berkeringat.” Malik tersenyum dan mengedikkan bahu.Kimberly mengamati suaminya sesaat, lalu tertawa karena penampilan pria itu tampak acak-acakan. Ia mengecup pipi Malik dan berkata, “Terima kasih udah kasih aku waktu buat me time.”Malik mengerjap dan memegangi pipinya sambil bergumam, “Kita harus pulang sekarang, Sayang.”“Kenapa? Kan belum beli susu buat Timur di supermarket.”“Malam ini kita titipin anak-anak di Mami sama Papi aja, ya? Besok kita ambil lagi mereka pagi sebelum aku—Oke oke! Nggak jadi, aku cuma bercanda,” ralat Malik dengan cepat saat Kimberly mencub
Empat tahun kemudian.“Eh? Bukannya dia mantan pembalap itu, ‘kan?”“Iya, Jeng, yang kemarin ramai dibahas sama hampir semua orang tua murid itu, Jeng.”“Anaknya beneran sekolah di sini?”“Iya.”“Yang bener? OMG! Kita bakalan ketemu dia terus dong! Ganteng banget ya Tuhan.”“Itu kalau setiap hari dia antar jemput anaknya.”“Eh! Emang setiap hari tauk! Kalian berdua aja yang baru lihat. Pagi dan siang dia selalu antar jemput.”“Duh, suami idaman banget sih…. Beruntung banget yang jadi istri dia. Udah ganteng, kaya, perhatian sama anak, lagi. Ya Tuhan, mau yang begini satu aja, please.”Malik menghela napas berat. Ia tidak bermaksud menguping pembicaraan tiga atau empat wanita—entah yang pastinya berapa orang karena Malik tidak begitu memperhatikan—yang sedang membicarakan dirinya, tapi suara mereka terlalu jelas di telinga Malik, sehingga mau tidak mau ia harus mendengarkan dirinya menjadi bahan gosip ibu-ibu.Sudah satu minggu Timur masuk sekolah ke playgroup. Setiap hari Malik selalu
“Sayang! Gimana kondisi kamu? Apanya yang sakit?!” tanya Malik dengan raut muka menegang sambil berlari menghampiri ranjang yang ditempati Kimberly. “Perut aku sakit… pinggang aku juga panas.” Kimberly meringis kesakitan. Namun ada yang berubah dalam sorot matanya, ia seolah-olah merasa lega dan aman setelah melihat kedatangan suaminya. Malik merundukan badan, memeluk Kimberly dan mengecup keningnya berkali-kali. Ia berbisik, “Sabar, ya. Maaf aku terlambat.” “Bau!” Malik terkejut saat Kimberly mendorong dadanya. “Eh? Kenapa? Siapa yang bau?” “Kamu,” jawab Kimberly seraya menggigit bibir bawah, menahan rasa sakit yang kembali menyerang dan rasanya tak tertahankan. “Kamu bau debu.” “Ah, ini….” Malik menggaruk tengkuk dan menghidu tubuhnya sendiri. “Barusan aku naik motor, Sayang. Soalnya di jalan macet banget, nggak mungkin bisa sampai dengan cepat kalau aku tetap pakai mobil,” jelasnya sambil menggenggam tangan sang istri. “Apa perlu aku ganti baju dulu? Tapi aku nggak bawa baju c
7 bulan kemudian.“Kakak, jangan lupakan aku. Aku juga adik kamu, adik yang paling ganteng!”“Diam!” Kimberly menjauhkan wajah Ernest dari hadapannya. “Kamu ngehalangin pemandangan aku tahu nggak?”Ernest cemberut.Kemudian Kimberly tersenyum lebar pada bayi berusia 4 bulan yang baru saja membuka mata, di atas kasur yang ia dan Ernest duduki.“Selamat siang Cheryl! Adiknya Kakak yang paling cantik! Nyenyak banget tidurnya ya?” goda Kimberly dengan nada bicara khas anak-anak.Cheryl tersenyum. Dia berguling sendiri hingga tengkurap.“Ugh! Jangan percaya sama kelembutan kakak kita, Dek, aslinya dia itu cerewet dan galak. Kamu kalau sudah besar nanti pasti jadi bahan omelan dia—auwh!” Ernest tiba-tiba mengaduh saat Kimberly menjewer telinganya.“Diam,” bisik Kimberly dengan kesal. “Jangan meracuni otak bayi dengan omongan kamu yang negatif itu ya!”“Aku ‘kan bicara apa adanya,” gumam Ernest sembari mengusap-usap telinga.Kimberly mendelik pada Ernest, lalu kembali tersenyum lebar pada Ch
“Gimana perasaan kamu?” bisik Malik seraya mengelus pipi Kimberly dengan lembut.Kimberly terdiam. Harusnya ia yang bertanya seperti itu kepada Malik.Detik berikutnya, Kimberly tersenyum lebar, tangannya mengusap-usap perut dan berseru riang, “Anak kita sepertinya senang banget, Babe! Dia bikin perasaan aku jadi makin bahagia setelah lihat kamu ngendarain motor balap barusan!”“Benarkah?” Malik ikut tersenyum lebar.Kimberly mengangguk cepat. Ia langsung melompat ke pelukan Malik, melingkarkan tangan di leher pria yang masih memakai baju balapan yang dulu sering dia pakai. Malik terlihat tampan sekali dengan baju itu, mengingatkan Kimberly akan kebersamaan mereka sebelum menikah.“Terima kasih, ya! Aku jadi rindu nonton kamu balapan.” Kimberly terkekeh, suaranya terdengar teredam karena bibirnya terbenang di pundak Malik. “Kalau kamu? Gimana perasaan kamu sekarang?”“Perasaanku?” ulang Malik.“Hm-hm. Apa barusan bisa mengobati kerinduan kamu sama balapan?”“Iya.” Malik bergumam dan m
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 23.25 waktu Andorra. Kimberly merebahkan tubuhnya di kasur berseprai abu tua. Matanya menatap plafon putih dengan penerangan lampu warm white.Mereka baru saja tiba di Andorra pukul 18.30 waktu setempat. Perjalanan ini atas inisiatif Kimberly yang mengidam ingin tidur di kamar Malik, di rumahnya yang ada di Andorra. Setelah mendengar keinginan istrinya, Malik langsung memesan tiket pesawat.“Ternyata begini rasanya ada di kamar kamu.” Kimberly terkekeh dan melirik Malik yang baru saja selesai memindahkan semua pakaian mereka dari koper ke dalam lemari.Tadi Kimberly berniat membantu, tapi Malik melarangnya dan malah menyuruhnya untuk istirahat.“Gimana rasanya? Aneh?” Malik melepas kaos putihnya dan menghampiri ranjang.“Nyaman banget!” Kimberly meringis, ia mengangkat kedua tangan ke atas untuk menyambut Malik yang baru saja menaiki ranjang dan memeluknya. Tangan Kimberly mengalung di leher Malik.Ia sempat menahan napas dengan jantung berdebar-deb
“Tunggu! tunggu! Mami nggak salah dengar, ‘kan? Kamu… hamil?”Kimberly mengangguk cepat berkali-kali sembari tersenyum lebar.Feli tercengang. Ia dan Archer saling tatap satu sama lain dengan tatapan terkejut. Lalu detik berikutnya keduanya sama-sama menghela napas lega dan tertawa.“Ya Tuhan, terima kasih… Mami senang sekali dengarnya, Sayang!” ucap Feli dengan mata berbinar-binar dan memeluk Kimberly. “Pantas saja akhir-akhir ini Mami ngerasa ada yang berbeda sama kamu.”“Oh ya? Mami bisa ngelihat perubahan aku? Kok aku nggak?”“Mami ini ibu kamu, Kim. Selama dua puluh satu tahun tinggal bareng-bareng, masa Mami nggak bisa menyadari sesuatu yang berbeda sama kamu?” Feli terkekeh kecil, tangannya menepuk-nepuk punggung Kimberly. Ekspresi wajahnya terlihat cerah, secerah langit siang ini di luar sana. Walau air matanya tampak menggenang, tapi itu adalah tangis kebahagiaan.“Mami kok nangis?” tanya Kimberly sesaat setelah pelukannya terlepas. Ia cemberut seraya menangkup pipi sang ibu.
Gimana kalau sekarang Malik sedang mencari kesenangan di luar karena keadaan di rumah tidak membuatnya nyaman?Satu pertanyaan itu tiba-tiba membuat Kimberly menegakkan punggung. Wajahnya menegang. Air matanya seakan tak ingin berhenti mengalir saat membayangkan Malik melampiaskan kekesalannya dengan menghabiskan waktu bersama wanita lain.“Kamu jahat!” Kimberly menangis sambil membenamkan wajah di atas lutut. “Kamu main pergi begitu aja tanpa memikirkan perasaanku!”Setelah cukup lama menangis sendirian hingga ruangan kamarnya berubah gelap karena sudah memasuki malam, Kimberly akhirnya mandi supaya pikirannya lebih jernih.Dua puluh menit kemudian, ia sudah berganti pakaian dan tubuhnya terasa segar, tapi pikirannya tetap saja kacau. Kimberly mencoba menghubungi Malik lagi, tapi berakhir sia-sia.“Non Kimmy, mau makan malam, Non? Makanannya sudah siap di meja,” ujar Bik Nining yang menghampiri kamar Kimberly.Kimberly menggeleng lesu. “Aku nggak lapar, Bik. Nanti saja makannya.”“No
“Sayang, aku pulang!”Mendengar seruan Malik, secara spontan Kimberly terbangun dan menaruh remote di meja. Lalu ia bergegas menyongsong Malik ke pintu utama dengan langkah-langkah cepat.“Kamu bawa nasi lemaknya?” tanya Kimberly dengan mata berbinar-binar.“Bawa dong. Nih!”Kimberly tersenyum lebar saat Malik menunjukkan bingkisan di tangannya. Ia langsung merebut bingkisan tersebut. “Terima kasih!” serunya, ceria.Tepat saat Malik akan mengecup bibir Kimberly—sesuatu yang selalu Malik lakukan setiap kali pulang ke rumah, Kimberly tiba-tiba melesat pergi, membuat bibir Malik tidak punya tempat untuk berlabuh.“Hey! Kenapa pergi begitu aja?” protes Malik, yang tak ditanggapi Kimberly. Malik hanya menghela napas pasrah, lalu melangkah masuk mengikuti sang istri.Kimberly terlihat sedang menghidu aroma nasi lemak yang masih terbungkus. Malik tersenyum, lalu mengambil piring bersih dan menaruhnya di meja.“Ini pasti kerjaan kamu nih, Mama kamu senang banget cuma dapat nasi lemak doang,”