“Aku akan segera menyusul ke sana sebentar lagi, ini lagi di jalan dan terjebak macet.”Suara lembut Archer di seberang telepon menyapa indra pendengaran Feli. “Kamu sengaja keluar kantor di jam kerja?”“Mm-hm, aku pimpinan perusahaan dan punya hak istimewa, jadi aku bebas melakukan apapun.”Mata Feli merotasi malas. Keangkuhan suaminya sedang kambuh dan ia hanya mendengus menanggapinya. Feli melihat sebuah gang kumuh yang beberapa hari lalu sempat ia datangi, kemudian menyuruh sopir untuk berhenti.“Archer, aku sudah sampai, tutup dulu teleponnya, ya?”Tak ada jawaban, hanya terdengar suara klakson mobil dari kejauhan yang saling bersahutan di seberang telepon.“Archer, kamu dengar suaraku? Aku sudah sampai,” ujar Feli sekali lagi.Tetap tidak ada jawaban. Feli tiba-tiba khawatir lantas mengulangi kata-katanya sekali lagi.“Kamu dengar aku nggak, sih?” rengek Feli dengan gemas.“Hmmm… dengar.” Archer menggumam.“Astaga! Kenapa baru menyahut?!” Feli mendecak kesal, ia melirik ke kursi
“Singkirkan barang itu dan berhenti merekamku!” desis pria itu lagi dengan tajam.Tangan Dania terlihat bergetar, pecut di tangan lelaki itu membuatnya ketakutan.“Tidak!” tegas Feli dengan berani. Ia mendongak dan menatap lelaki itu dengan sama tajamnya. “Apa yang Anda lakukan pada anak laki-laki barusan akan saya laporkan pada pihak berwajib!” desisnya penuh ancaman. “Jangan mentang-mentang Anda sudah menghidupi anak itu jadi Anda bisa semena-mena memperlakukan—Akh!”“Bu Feli!” pekik Dania ketika lelaki itu menarik lengan Feli dan menyeretnya ke dalam rumah. “Tolong…! Tolong…! Akh…!”Dania juga ikut diseret yang membuat handphone-nya terjatuh entah ke mana. Lelaki itu menghempaskan tubuh Dania ke lantai dan hampir menimpa Feli yang tengah bersimpuh, kemudian lelaki itu mengunci pintu.“Tante Feli!”Seruan Malik membuat Feli menoleh ke arah ruangan lain melalui pintu yang terbuka.Ia terkejut ketika melihat banyak luka lebam di wajah dan kaki anak lelaki itu. Tak hanya Malik, beberap
“Em… maksudku, biarkan Malik tinggal bareng kita dan jadi anak angkat kita. Gimana, hem?”Mata Archer membelalak mendengarnya. Terang saja ia tidak setuju dengan keinginan tersebut. Archer lantas menggeleng dan berkata dengan tegas, “Nggak, Sunshine! Masih banyak opsi lain yang bisa kita lakukan untuk membantu anak itu. Lupakan keinginanmu barusan karena aku nggak akan setuju.”Feli menghela napas panjang, kemudian menggenggam tangan suaminya dan menariknya keluar dari ruangan. Saat itulah Feli sadar kalau buku tangan suaminya terluka akibat menghajar lelaki tua tadi.Sejak tadi mereka sibuk berurusan dengan polisi sampai-sampai Feli melupakan kondisi sang suami.“Sayang, tunggu di sini sebentar.” Feli mendudukkan Archer di salah satu kursi yang ada di dekat pintu, di luar ruangan tersebut.Refleks Archer menahan lengan sang istri. “Mau ke mana?”“Minta obat dulu sama perawat.”“Untuk?”Feli mengedikkan dagu ke arah tangan Archer yang masih menggenggam tangannya. “Tangan kamu terluka,
Feli tergelak mendengar candaan suaminya barusan. Lelaki itu bertanya pada “Siri” tentang hal yang menurut Feli sangat konyol, tapi pria itu tersenyum lebar ketika mendapatkan jawaban dari “Asisten Pribadi Pintar” tersebut.“Sunshine, aku dapat jawabannya!” tukas Archer dengan antusias.Mata Feli mengerjap. “Masa, sih?”“Ya.” Archer mengangguk. Digenggamnya tangan sang istri dengan erat. “Teknologi itu ada di Amerika. Ayo kita pergi ke sana!”Kali ini mata Feli membelalak mendengarnya. “Jadi kamu menganggap serius ucapanku tadi?”Archer mengangguk. “Kalau itu memang keinginanmu dan bisa membuat kamu berhenti marah padaku, aku akan mengabulkannya.”Detik itu juga Feli tertawa terpingkal-pingkal sembari memegangi perut. Beberapa saat kemudian tawanya kembali berhenti dan menatap Archer dengan serius. Ia geleng-geleng kepala seraya menepuk-nepuk pipi suaminya dengan gemas, “Nggak aku sangka ternyata Bapak CEO ini nggak pintar-pintar amat, ya.”“Hey! Apa kamu bilang?!” protes Archer tak t
Setibanya di mansion orang tuanya untuk menjemput Kimberly dan Ernest, Feli langsung disambut oleh ayahnya yang sedang berjalan mondar-mandir di halaman rumah. Nicko langsung mendekati mobil yang baru saja berhenti, seraya menatap Archer dengan tatapan tajam. Pria matang yang tampan itu mengetuk kaca pintu dengan keras, persis seperti polisi yang sedang melakukan razia dan menyuruh pengemudinya keluar. “O-ow!” Feli menggigit bibir bawah dan meringis menatap Archer. “Kamu sudah siap diomeli Papa?” Helaan napas Archer terdengar pasrah. Ia belum menurunkan kaca mobil, membuat tatapan Nicko kian tajam ke arahnya. Dengan dramatis Archer menggenggam tangan Feli dan berkata, “Do’akan aku semoga kali ini aku bisa selamat lagi.” Seketika tawa Feli terdengar berderai-derai. Dia memukul paha suaminya, yang membuat pria itu berdesis, “Bisa nggak jangan paha yang kamu pukul? Efeknya bisa bikin anggota tubuhku yang paling berharga tersiksa, Felicia.” “Mulai… mulai.” Mata Feli merotasi malas.
“Astaga… apa yang sedang kalian lakukan?!”Kedua lelaki yang sama-sama memiliki rahang tegas itu tak menghiraukan seruan Feli sama sekali, seakan-akan suaranya hanya angin lalu.Feli geleng-geleng kepala, ia berdiri di samping mereka sembari berkacak pinggang.“Kalian tahu? Kami semua sudah kelaparan karena menunggu kedatangan kalian untuk makan malam, tapi apa yang kalian lakukan di sini? Astaga….”Feli mengusap wajahnya kasar, ia tak habis pikir suami dan ayahnya malah asyik bermain catur.Wajah mereka sama-sama serius, seakan-akan papan catur di hadapannya adalah draft proyek besar milik perusahaan yang mempertaruhkan hidup dan mati.“Papa! Archer! Kalian dengar aku nggak?!” Feli mulai kesal ketika dua lelaki itu tak kunjung menanggapinya.“Dengar, Sunshine.”“Dengar, Nak.”Archer dan Nicko menjawab serempak, tanpa melirik Feli barang sedetik pun.Feli mendengus. “Kalau begitu ayo kita makan. Kasihan yang lain udah pada nunggu.”“Nggak bisa!” Lagi-lagi kedua lelaki berperawakan tin
Sinar matahari yang mengintip di celah-celah tirai membuat tidur Archer terganggu. Keningnya mengernyit. Feli yang sedang tertidur nyenyak dalam pelukannya adalah pemandangan pertama yang ia lihat begitu membuka mata.Bukan di kasur mereka tidur. Melainkan di atas sofa panjang, tempat yang sempit itu membuat tubuh keduanya saling melekat erat selama tidur.Keduanya baru sama-sama terlelap pukul tiga dini hari, setelah semalaman menemani Ernest yang melek, bangun, melek lagi dan bangun lagi.Archer mengulum senyum seraya memperhatikan wajah cantik sang istri yang tampak kelelahan. Gairah yang menggebu-gebu membuat Archer tak bisa menahan diri lagi, setiap kali Ernest tidur Archer tidak membiarkan Feli menganggur. Mumpung mood wanitanya itu sedang baik, sebab jika mood-nya buruk Archer tak yakin Feli mau disentuh olehnya."Sunshine," bisik Archer seraya mengelus lembut pipi Feli.Feli tidak menjawab, dengkuran halusnya masih terdengar teratur. Karena tidak ingin mengganggu tidur sang is
“Lain kali kunci pintu dan lakukan di tempat yang jauh dari jangkauan anak-anak.”Archer terkejut kala mendengar suara sang ayah mertua, yang tiba-tiba duduk di sunbed sebelahnya.Yang membuat Archer makin terkejut adalah ucapan Nicko tersebut, seolah-olah menjurus pada satu hal yang tabu.“Maksud Papa?” tanya Archer dengan mata menyipit. “Papa sengaja masuk ke kamar Feli?”Nicko mendengus mendengarnya. “Kimmy bangun semalam, dia mencari kalian berdua lalu keluar kamar dan ketemu Papa. Papa bawa dia masuk lagi ke kamar kalian, tapi di kamar mandi berisik sekali,” sindir Nicko, yang membuat Archer seketika diserang rasa malu dan canggung.Archer mengusap tengkuk, ia seakan kehabisan stok kata-kata untuk mengelak ucapan sang ayah mertua. Telinganya memerah menahan malu.“Lain kali pastikan pintu terkunci dan jauh dari jangkauan telinga anak-anak.” Nicko merebahkan diri dan mengenakan kacamata hitam.Kali ini Archer menggaruk tengkuknya yang tak gatal sama sekali. Ia berharap bisa menghi