Sampai Feli selesai menjemput Kimberly, ia masih menimbang-nimbang apakah harus membaca surat itu atau tidak. Feli masih ragu dan takut. Takut jika apa yang ia baca nanti akan melukai hatinya.Namun, rasa penasaran Feli semakin tak terbendung lagi. Ia pun memberanikan diri membuka laci dan mengeluarkan sepucuk surat yang tadi ia taruh di sana.Feli sempat melihat Kimberly yang asyik menggambar di sofa, sebelum akhirnya membuka lipatan surat tersebut yang ia keluarkan dari amplop putih.Feli menghela napas panjang, kemudian larut membaca tulisan tangan Belvina yang sedikit tidak rapi. Mungkin wanita itu menulisnya dalam kondisi tangan tremor.*Teruntuk kamu, yang pernah menjadi matahariku. Archer.Matahari? Apa aku terlalu berlebihan ya? Ah, tapi menurutku sama sekali tidak. Kehadiranmu dalam hidupku memang sepenting itu. Duniaku menjadi berwarna dan hangat saat kamu hadir di sisiku, tapi menjadi gelap dan dingin ketika kamu menghilang.Sayang sekali aku hanya memiliki matahari, sehin
Archer sengaja pulang lebih awal sore ini. Rasanya ia tak dapat menahan rasa rindunya lagi untuk dua wanita yang paling ia cintai dalam hidupnya.Setibanya di lobi Blossom Boutique, ia bergegas menaiki tangga sebab jika dia menunggu lift terlalu lama. Archer tidak melihat Dania di meja kerjanya. Ia pun membuka pintu ruangan Feli yang kebetulan tidak terkunci.Namun, apa yang Archer lihat saat pintu terbuka membuat darahnya seketika mendidih. Rahang Archer mendadak berubah mengeras. “Apa-apaan ini? Lepaskan istriku!”Suaranya yang lantang dan berat itu sontak membuat Feli menjauhkan diri dari Rafi. Kimberly yang sedang menyusun peralatan masak di kitchen set miliknya pun langsung menoleh pada sang ayah.“Papi!” seru anak itu sambil berlari menghampiri Archer.Raut muka Archer yang tegang pun seketika mencair, dia tersenyum pada Kimberly, memeluknya, menggendongnya lalu memberikan kecupan di kening dan pipi putrinya itu.“Papi, aku punya mainan baru dari Om Rafi. Bagus nggak?”Dada Arch
“Mami! Papi! Kenapa lama banget di dalamnya?!”Seruan melengking Kimberly yang diiringi ketukan pintu berkali-kali, membuat Archer terperanjat lalu berguling ke samping istrinya.“Shit,” umpatnya lirih sembari mengusap wajahnya dengan kasar.Feli terkekeh melihat raut muka frustrasi di wajah suaminya itu. “Kan? Apa aku bilang tadi? Kena kan sekarang?” Ia bangkit duduk sembari membetulkan kancing pakaiannya yang sudah terlepas semua. Sementara ketukan di pintu terus berulang-ulang. “Iya, sebentar, Nak! Papi sama Mami kesitu!” seru Feli.Archer mendecak kesal. Ia terpaksa bangkit duduk. Satu telapak tangannya meraih pipi sang istri dan menatapnya dengan tatapan sayu. “Kita selesaikan di rumah nanti malam."“Aku nggak punya kesempatan untuk menolak, bukan?” Feli berdecak lidah, lantas menahan tangan Archer yang akan membantu memasangkan kancing kemejanya. “Nggak usah, ini biar aku saja. Kamu temui Kimmy, kasihan dia sendirian.”Ah, Archer jadi merasa bersalah sudah mengabaikan putrinya de
Feli rasa, sudah saatnya ia jujur mengenai perasaannya yang sesungguhnya. Archer berhak tahu. Apalagi saat ia melihat sorot mata Archer yang penuh harap, Feli jadi merasa tak tega untuk terus menggantungkan perasaannya.“Hm? Kenapa nggak jawab?” gumam Archer sembari menyelipkan helaian rambut Feli ke belakang telinga. “Apa sulit bagimu untuk mencintaiku, Fel?”Feli sedikit menunduk, belum jujur saja pipinya sudah terasa panas. Ia lantas menatap Archer dengan lekat. “Em… Archer, sebenarnya—”Ucapan Feli seketika terhenti saat ponsel Archer terdengar berdering.“Sunshine, tunggu sebentar,” ucap Archer, lalu merogoh saku celana dan mengeluarkan ponsel dari sana. “Ada apa malam-malam kepala cabang telepon?”“Ada yang penting kali.” Feli ikut melihat layar ponsel sang suami. “Angkat aja. Nggak mungkin malam-malam nelepon kalau nggak ada yang penting.”Archer mengangguk, mengiakan saran istrinya. Karena di sekitar mereka berisik, Archer lantas memindahkan Kimberly ke pangkuan ibunya lalu be
Jemari Feli bergetar. Wajahnya terlihat pucat memikirkan segala kemungkinan buruk yang terjadi kepada suaminya. Di tengah kepanikannya, ia berusaha untuk tetap berpikir jernih. Kemudian menghubungi Vicky, asisten pribadi Archer yang juga ikut ke Surabaya.Feli berjalan mondar-mandir sembari menggigit bibir bawah dengan raut muka khawatir. Ia mengumpat pelan ketika panggilan Vicky pun tidak terangkat.“Sayang, ayo kita pulang. Mama nggak akan ikut acaranya sampai—Fel? Ada apa? Kenapa kamu terlihat gelisah?” Leica yang semula berjalan dengan santai dan anggun, seketika terkejut dan melangkah tergesa menghampiri putrinya yang tengah menempelkan ponsel di telinga dan tampak gelisah.“Ma, Archer… Archer nggak bisa dihubungi.” Mata Feli berkaca-kaca, dia menatap layar ponselnya dan memainkannya, lalu menempelkannya lagi di telinganya.“Sebentar, sebentar. Kamu tenang dulu, Sayang.” Leica merangkul bahu Feli dengan penuh kebingungan. “Coba ceritakan sama Mama apa yang terjadi? Bukannya Arche
“Mas, kenapa kejadian seperti ini harus menimpa anak kita?”Axl tak bisa menjawab pertanyaan istrinya yang selama dalam perjalanan tak berhenti meneteskan air mata. Tak ada yang bisa Axl lakukan selain menggenggam tangan dan memeluk Gendarly untuk memberinya ketenangan.“Kita berdo’a saja, semoga Tuhan memberikan keselamatan pada Archer,” ujar Axl seadanya, pikirannya semrawut dan kacau, sehingga tak bisa berpikir jernih untuk mencari kata-kata lain selain kalimat tersebut.“Mas pikir dari tadi aku nggak berdo’a?” Gendarly menarik tangannya dari genggaman suaminya. “Mas! Setiap menit aku selalu berdo’a di dalam hati untuk keselamatan anak kita. Memangnya seperti Mas? Dari tadi kamu terlihat tenang-tenang saja seolah-olah nggak ada yang terjadi.”Axl menghela napas panjang sembari mengelus dada. “Memangnya Mas harus gimana? Nangis-nangis seperti kamu sampai seisi pesawat tahu kalau lelaki tua ini cengeng?”“Nggak gitu juga, Mas!” Raut muka Gendarly terlihat semakin keruh. Ia memalingkan
“Argh! apa perlu aku terluka dulu supaya kamu mau mengaku… Sunshine?”“Ya?!” Feli terkesiap.Tangisannya seketika terhenti lalu mengangkat kepalanya dari bantal, ia menatap Archer yang masih memejamkan mata, dengan tatapan Feli yang penuh kebingungan.“Ka-kamu… sudah sadar? Barusan kamu yang bicara?” Feli takut dirinya hanya berhalusinasi.Perlahan-lahan kelopak mata Archer terbuka, hingga Feli bisa melihat mata elangnya yang dihiasi bulu mata lentik nan tebal. Sorot mata Archer terlihat sendu. Tangannya mengelus lengan Feli yang masih melingkari perutnya.“Aku pikir aku nggak akan bisa melihatmu lagi, Fel,” lirih Archer, “aku sangat takut… takut saat di bandara itu ternyata pertemuan terakhirku denganmu dan anak kita.”Air mata Feli kembali menetes sembari menggigit bibir bawahnya yang gemetar. Ia tak sanggup berkata-kata. Melihat Archer berbicara di hadapannya saja sudah terasa seperti mimpi.Telapak tangan Archer bergerak naik dan berakhir di pipi Feli, menangkupnya, ibu jarinya me
“Aku dapat kabar kalau kakimu patah?! Kalau begitu, apa saudara kembarku ini nggak akan terlihat keren lagi?!”“Ssst! Bisa pelankan suaramu?” desis Archer dengan tatapan yang berubah tajam ketika pria berseragam pilot membuka pintu ruangan rawatnya sembari berseru.“Oops! Sorry.” Auriga membungkam mulutnya dan berjalan menghampiri ranjang pasien.Secara spontan Archer menarik selimut hingga menutupi bahu Feli yang terlelap di sebelahnya, masih dengan posisi yang sama seperti semalam; lengannya dijadikan bantal kepala sang istri.Ya, setelah Archer menceritakan apa yang terjadi kepadanya di Surabaya sampai ia dilarikan ke rumah sakit, Feli sempat menitikkan air mata. Lalu tak lama kemudian wanita ini terlelap dalam pelukannya hingga pagi ini.“Untuk istrimu.” Auriga menunjukkan paper bag kecil di tangannya, lalu menaruhnya di atas rak.Archer mengangguk. “Kamu baru datang?”“Iya.”“Kenapa nggak langsung pulang ke rumah? Memangnya nggak mengantuk setelah perjalanan jauh semalaman?”Pria