“Mas, kenapa kejadian seperti ini harus menimpa anak kita?”Axl tak bisa menjawab pertanyaan istrinya yang selama dalam perjalanan tak berhenti meneteskan air mata. Tak ada yang bisa Axl lakukan selain menggenggam tangan dan memeluk Gendarly untuk memberinya ketenangan.“Kita berdo’a saja, semoga Tuhan memberikan keselamatan pada Archer,” ujar Axl seadanya, pikirannya semrawut dan kacau, sehingga tak bisa berpikir jernih untuk mencari kata-kata lain selain kalimat tersebut.“Mas pikir dari tadi aku nggak berdo’a?” Gendarly menarik tangannya dari genggaman suaminya. “Mas! Setiap menit aku selalu berdo’a di dalam hati untuk keselamatan anak kita. Memangnya seperti Mas? Dari tadi kamu terlihat tenang-tenang saja seolah-olah nggak ada yang terjadi.”Axl menghela napas panjang sembari mengelus dada. “Memangnya Mas harus gimana? Nangis-nangis seperti kamu sampai seisi pesawat tahu kalau lelaki tua ini cengeng?”“Nggak gitu juga, Mas!” Raut muka Gendarly terlihat semakin keruh. Ia memalingkan
“Argh! apa perlu aku terluka dulu supaya kamu mau mengaku… Sunshine?”“Ya?!” Feli terkesiap.Tangisannya seketika terhenti lalu mengangkat kepalanya dari bantal, ia menatap Archer yang masih memejamkan mata, dengan tatapan Feli yang penuh kebingungan.“Ka-kamu… sudah sadar? Barusan kamu yang bicara?” Feli takut dirinya hanya berhalusinasi.Perlahan-lahan kelopak mata Archer terbuka, hingga Feli bisa melihat mata elangnya yang dihiasi bulu mata lentik nan tebal. Sorot mata Archer terlihat sendu. Tangannya mengelus lengan Feli yang masih melingkari perutnya.“Aku pikir aku nggak akan bisa melihatmu lagi, Fel,” lirih Archer, “aku sangat takut… takut saat di bandara itu ternyata pertemuan terakhirku denganmu dan anak kita.”Air mata Feli kembali menetes sembari menggigit bibir bawahnya yang gemetar. Ia tak sanggup berkata-kata. Melihat Archer berbicara di hadapannya saja sudah terasa seperti mimpi.Telapak tangan Archer bergerak naik dan berakhir di pipi Feli, menangkupnya, ibu jarinya me
“Aku dapat kabar kalau kakimu patah?! Kalau begitu, apa saudara kembarku ini nggak akan terlihat keren lagi?!”“Ssst! Bisa pelankan suaramu?” desis Archer dengan tatapan yang berubah tajam ketika pria berseragam pilot membuka pintu ruangan rawatnya sembari berseru.“Oops! Sorry.” Auriga membungkam mulutnya dan berjalan menghampiri ranjang pasien.Secara spontan Archer menarik selimut hingga menutupi bahu Feli yang terlelap di sebelahnya, masih dengan posisi yang sama seperti semalam; lengannya dijadikan bantal kepala sang istri.Ya, setelah Archer menceritakan apa yang terjadi kepadanya di Surabaya sampai ia dilarikan ke rumah sakit, Feli sempat menitikkan air mata. Lalu tak lama kemudian wanita ini terlelap dalam pelukannya hingga pagi ini.“Untuk istrimu.” Auriga menunjukkan paper bag kecil di tangannya, lalu menaruhnya di atas rak.Archer mengangguk. “Kamu baru datang?”“Iya.”“Kenapa nggak langsung pulang ke rumah? Memangnya nggak mengantuk setelah perjalanan jauh semalaman?”Pria
Padahal biasanya Feli tidak secengeng ini. Ia seringnya cenderung tidak peduli pada apapun yang Archer rasakan. Namun, saat barusan melihat sorot mata Archer nampak kecewa, hati Feli tiba-tiba melunak begitu saja. Ia merasa bersalah.Feli sadar, sebagai seorang istri seharusnya ia tidak mudah meminta sesuatu pada pria lain sekalipun itu iparnya. Meski sebenarnya Feli bukan meminta, tetapi hanya menitip. Dulu mungkin Archer tak akan peduli. Namun sekarang mereka sudah sama-sama berkomitmen untuk menjalani rumah tangga lebih baik daripada sebelumnya.“Please… jangan marah. Aku akan memperbaiki kesalahanku,” gumam Feli, yang membuat Archer tercenung.Suasana hening cukup lama. Dan posisi kepala Feli masih rebah di atas paha suaminya sembari memejamkan mata. Feli merasa nyaman dengan posisi seperti ini. Ia seperti mendapat perlindungan dan kenyamanan yang selama ini tidak ia dapatkan dari Archer.“Sunshine,” bisik Archer sembari mengelus puncak kepala Feli dengan penuh kelembutan. “Bangun
“Jangan berburuk sangka. Aku ketemu anakmu di luar bersama ibu mertuamu.”Archer terlihat ingin marah dan mengusir Eden, pria yang barusan berbicara, agar pergi dari hadapannya. Namun kehadiran Kimberly berhasil menahan amarah Archer.Eden mendekati ranjang pasien.“Mami, kenapa kemarin tidur lama banget? Aku khawatir sama Mami dan adik bayi,” rengek Kimberly dengan mata berkaca-kaca.Feli berjongkok, memeluk putrinya dengan erat. “Mami nggak apa-apa, Sayang. Kemarin cuma terlalu lelah jadinya Mami tidurnya lama.”“Sekarang Mami sudah sehat?”“Sudah. Adik bayinya juga kangen nih sama Kakak.”Kimberly terkikik mendengar dirinya dipanggil Kakak.Feli melihat sepasang pantofel mendekat dan berhenti di dekatnya. Ia tak perlu mendongak untuk tahu siapa pemilik kaki tersebut. Namun, Feli bisa merasakan tatapan pria itu tertuju kepadanya.“Jaga pandanganmu. Aku tidak akan segan-segan merusak indra penglihatanmu kalau masih lancang memandangi istriku,” ketus Archer dengan suara dingin, membua
Setelah menghabiskan waktu selama tiga hari di rumah sakit, Archer akhirnya diperbolehkan pulang ke rumah. Sedangkan Feli sebenarnya sudah tidak dirawat lagi sejak dua hari yang lalu. Dan selama dua hari itu Feli merawat Archer. Mereka menitipkan Kimberly pada Leica dan Nicko.Orang tua dan adik-adik Archer pun datang silih berganti. Gendarly-ibunya Archer, sempat menyuruh Feli pulang dan istirahat, sementara Archer ditemani olehnya. Namun, Feli tentu saja menolaknya secara halus. Feli sudah hampir mati akibat sesak napas karena memikirkan Archer yang tertimbun reruntuhan, ia mau memanfaatkan kesempatan ini untuk merawat suaminya. Selain kewajiban, ini pun sebagai tanda syukurnya Feli karena Archer selamat.Pagi ini Feli terbangun di kamarnya, di rumah mereka. Tapi ia tidak mendapati kehadiran Archer di sampingnya. Padahal semalam Feli yang tidur lebih dulu ketimbang Archer.Feli menggeliat. Ia mengusap perutnya dan mengajak janinnya mengobrol.“Tolong bawa masuk dan taruh di atas nak
“Fel…,” lirih Archer dengan napas memburu. Ia sempatkan menatap manik hazel istrinya dengan lekat, sebelum kemudian mempertemukan bibir mereka lagi dan memperdalam ciumannya.Satu lengan Archer mengeratkan pelukannya pada pinggang Feli yang duduk di sebelah. Sementara tangan yang lain mengelus rahang mungil wanitanya itu. Ciumannya semakin mendesak dan menuntut. Sesekali ia menggigit bibir bawah Feli, hingga terdengar lenguhan merdu dari mulut istrinya yang teredam gemericik air hujan.Hembusan angin lembut membuat Feli kedinginan dan semakin merapatkan tubuhnya di pelukan Archer. Di luar hujan, tapi keduanya memilih menikmati cuaca sendu siang ini di balkon lantai dua.“Sunshine,” lirih Archer lagi setelah ciumannya terlepas beberapa menit kemudian.“Apa?”Tatapan Archer turun pada bibir Feli yang membengkak. Ia mengulas senyum miring. Lalu menatap manik mata istrinya kembali. “Lanjut di kamar, ya. Cuacanya mendukung banget ini.”Feli tahu ke mana arah pembicaraan pria itu. “Sebentar
Terang saja Archer tidak setuju. Ia menggeleng keras. “Masih banyak hewan peliharaan lain yang lebih lucu. Kucing misalnya, atau hamster? Nggak harus iguana, ‘kan?”Bibir Feli langsung cemberut mendengar penolakan mentah-mentah itu. “Kamu takut iguananya nanti ganggu kamu?”“Aku nggak takut."Feli berdecak lidah. “Tenang aja, iguananya akan aku simpan jauh-jauh dari kamu kok. Nggak bakal ganggu kamu juga,” ujarnya, bersikukuh.“Apapun akan aku izinkan, asal bukan iguana. Okay?” Archer menatap Feli lurus-lurus.“Ya udah kalau nggak boleh,” imbuh Feli dengan perasaan kecewa. Ia kembali melakukan pekerjaannya dengan wajah agak masam.Archer menghela napas panjang dan mendekati sang istri. “Sunshine… kamu tahu ‘kan kalau aku nggak suka sama hewan seperti itu?”Feli tak menyahut.“Lagian kenapa pengen iguana, hem?” tanya Archer lembut. “Padahal dari dulu kamu nggak begitu suka sama hewan peliharaan.”Bibir Feli masih terkatup rapat. Enggan berbicara dengan Archer.Ia pun tak mengerti kenap