“Aku dapat kabar kalau kakimu patah?! Kalau begitu, apa saudara kembarku ini nggak akan terlihat keren lagi?!”“Ssst! Bisa pelankan suaramu?” desis Archer dengan tatapan yang berubah tajam ketika pria berseragam pilot membuka pintu ruangan rawatnya sembari berseru.“Oops! Sorry.” Auriga membungkam mulutnya dan berjalan menghampiri ranjang pasien.Secara spontan Archer menarik selimut hingga menutupi bahu Feli yang terlelap di sebelahnya, masih dengan posisi yang sama seperti semalam; lengannya dijadikan bantal kepala sang istri.Ya, setelah Archer menceritakan apa yang terjadi kepadanya di Surabaya sampai ia dilarikan ke rumah sakit, Feli sempat menitikkan air mata. Lalu tak lama kemudian wanita ini terlelap dalam pelukannya hingga pagi ini.“Untuk istrimu.” Auriga menunjukkan paper bag kecil di tangannya, lalu menaruhnya di atas rak.Archer mengangguk. “Kamu baru datang?”“Iya.”“Kenapa nggak langsung pulang ke rumah? Memangnya nggak mengantuk setelah perjalanan jauh semalaman?”Pria
Padahal biasanya Feli tidak secengeng ini. Ia seringnya cenderung tidak peduli pada apapun yang Archer rasakan. Namun, saat barusan melihat sorot mata Archer nampak kecewa, hati Feli tiba-tiba melunak begitu saja. Ia merasa bersalah.Feli sadar, sebagai seorang istri seharusnya ia tidak mudah meminta sesuatu pada pria lain sekalipun itu iparnya. Meski sebenarnya Feli bukan meminta, tetapi hanya menitip. Dulu mungkin Archer tak akan peduli. Namun sekarang mereka sudah sama-sama berkomitmen untuk menjalani rumah tangga lebih baik daripada sebelumnya.“Please… jangan marah. Aku akan memperbaiki kesalahanku,” gumam Feli, yang membuat Archer tercenung.Suasana hening cukup lama. Dan posisi kepala Feli masih rebah di atas paha suaminya sembari memejamkan mata. Feli merasa nyaman dengan posisi seperti ini. Ia seperti mendapat perlindungan dan kenyamanan yang selama ini tidak ia dapatkan dari Archer.“Sunshine,” bisik Archer sembari mengelus puncak kepala Feli dengan penuh kelembutan. “Bangun
“Jangan berburuk sangka. Aku ketemu anakmu di luar bersama ibu mertuamu.”Archer terlihat ingin marah dan mengusir Eden, pria yang barusan berbicara, agar pergi dari hadapannya. Namun kehadiran Kimberly berhasil menahan amarah Archer.Eden mendekati ranjang pasien.“Mami, kenapa kemarin tidur lama banget? Aku khawatir sama Mami dan adik bayi,” rengek Kimberly dengan mata berkaca-kaca.Feli berjongkok, memeluk putrinya dengan erat. “Mami nggak apa-apa, Sayang. Kemarin cuma terlalu lelah jadinya Mami tidurnya lama.”“Sekarang Mami sudah sehat?”“Sudah. Adik bayinya juga kangen nih sama Kakak.”Kimberly terkikik mendengar dirinya dipanggil Kakak.Feli melihat sepasang pantofel mendekat dan berhenti di dekatnya. Ia tak perlu mendongak untuk tahu siapa pemilik kaki tersebut. Namun, Feli bisa merasakan tatapan pria itu tertuju kepadanya.“Jaga pandanganmu. Aku tidak akan segan-segan merusak indra penglihatanmu kalau masih lancang memandangi istriku,” ketus Archer dengan suara dingin, membua
Setelah menghabiskan waktu selama tiga hari di rumah sakit, Archer akhirnya diperbolehkan pulang ke rumah. Sedangkan Feli sebenarnya sudah tidak dirawat lagi sejak dua hari yang lalu. Dan selama dua hari itu Feli merawat Archer. Mereka menitipkan Kimberly pada Leica dan Nicko.Orang tua dan adik-adik Archer pun datang silih berganti. Gendarly-ibunya Archer, sempat menyuruh Feli pulang dan istirahat, sementara Archer ditemani olehnya. Namun, Feli tentu saja menolaknya secara halus. Feli sudah hampir mati akibat sesak napas karena memikirkan Archer yang tertimbun reruntuhan, ia mau memanfaatkan kesempatan ini untuk merawat suaminya. Selain kewajiban, ini pun sebagai tanda syukurnya Feli karena Archer selamat.Pagi ini Feli terbangun di kamarnya, di rumah mereka. Tapi ia tidak mendapati kehadiran Archer di sampingnya. Padahal semalam Feli yang tidur lebih dulu ketimbang Archer.Feli menggeliat. Ia mengusap perutnya dan mengajak janinnya mengobrol.“Tolong bawa masuk dan taruh di atas nak
“Fel…,” lirih Archer dengan napas memburu. Ia sempatkan menatap manik hazel istrinya dengan lekat, sebelum kemudian mempertemukan bibir mereka lagi dan memperdalam ciumannya.Satu lengan Archer mengeratkan pelukannya pada pinggang Feli yang duduk di sebelah. Sementara tangan yang lain mengelus rahang mungil wanitanya itu. Ciumannya semakin mendesak dan menuntut. Sesekali ia menggigit bibir bawah Feli, hingga terdengar lenguhan merdu dari mulut istrinya yang teredam gemericik air hujan.Hembusan angin lembut membuat Feli kedinginan dan semakin merapatkan tubuhnya di pelukan Archer. Di luar hujan, tapi keduanya memilih menikmati cuaca sendu siang ini di balkon lantai dua.“Sunshine,” lirih Archer lagi setelah ciumannya terlepas beberapa menit kemudian.“Apa?”Tatapan Archer turun pada bibir Feli yang membengkak. Ia mengulas senyum miring. Lalu menatap manik mata istrinya kembali. “Lanjut di kamar, ya. Cuacanya mendukung banget ini.”Feli tahu ke mana arah pembicaraan pria itu. “Sebentar
Terang saja Archer tidak setuju. Ia menggeleng keras. “Masih banyak hewan peliharaan lain yang lebih lucu. Kucing misalnya, atau hamster? Nggak harus iguana, ‘kan?”Bibir Feli langsung cemberut mendengar penolakan mentah-mentah itu. “Kamu takut iguananya nanti ganggu kamu?”“Aku nggak takut."Feli berdecak lidah. “Tenang aja, iguananya akan aku simpan jauh-jauh dari kamu kok. Nggak bakal ganggu kamu juga,” ujarnya, bersikukuh.“Apapun akan aku izinkan, asal bukan iguana. Okay?” Archer menatap Feli lurus-lurus.“Ya udah kalau nggak boleh,” imbuh Feli dengan perasaan kecewa. Ia kembali melakukan pekerjaannya dengan wajah agak masam.Archer menghela napas panjang dan mendekati sang istri. “Sunshine… kamu tahu ‘kan kalau aku nggak suka sama hewan seperti itu?”Feli tak menyahut.“Lagian kenapa pengen iguana, hem?” tanya Archer lembut. “Padahal dari dulu kamu nggak begitu suka sama hewan peliharaan.”Bibir Feli masih terkatup rapat. Enggan berbicara dengan Archer.Ia pun tak mengerti kenap
“Selamat pagi, Nyonya. Tuan Archer-nya ada?”“Oh? Hai, Andita.” Feli membalas senyuman ramahnya sekertaris Archer itu. “Ada, kok. Silahkan masuk.”“Baik. Terima kasih.”Feli sedikit bergeser untuk memberi ruang pada Andita. Aroma parfum Andita yang terkesan seksi menyapa indra penciuman Feli saat wanita itu melewatinya. Langkahnya terlihat sangat anggun.Feli memperhatikan wanita itu sampai duduk di hadapan Archer.Archer lebih sering berinteraksi dengan Andita setiap harinya, selama 8 jam sehari. Belum lagi kalau lembur. Feli mendadak gusar mengingat hal itu. Sedangkan dengannya, Archer hanya punya waktu beberapa jam saja di luar jam tidur.Feli mengusap tengkuk. Kemudian ia memilih menghampiri dapur dan meminta Bik Sumi untuk membuatkan minuman bagi Andita. Bagaimanapun juga wanita itu adalah tamu.Setelah itu Feli duduk di ruang keluarga sembari menonton televisi. Ruangan itu tidak bersekat dengan ruang tamu. Namun jaraknya cukup jauh. Sehingga Feli tidak bisa mendengar percakapan
Feli menutup pintu ruangan kerja Archer dengan perasaan kesal. Namun, sedetik kemudian ia menyesal kenapa tidak menunggu saja di dalam dan tidak menunjukkan kekesalannya pada suaminya itu?Feli berdecak lidah dan mengacak rambutnya sendiri. Kemudian menatap pintu yang sudah tertutup.Harga dirinya terlalu tinggi untuk kembali masuk ke dalam. Ia pun memutuskan meninggalkan tempat tersebut dan memilih menemani Kimberly yang baru saja pulang sekolah.Sementara itu di dalam, Archer hanya terperangah melihat Feli keluar begitu saja. Ia bisa melihat ekspresi wanita itu tampak keruh meski hanya sekilas.“Tuan, biar saya ambilkan dulu obatnya. Sebentar.” Dengan langkah anggun, Andita mengambil nampan dari atas meja sofa. Kemudian menaruhnya di meja kerja Archer yang agak jauh dari berkas-berkas penting.“Pantas saja Anda selalu suka cookies, yang membuatnya ternyata sangat cantik dengan tampilan sederhana seperti itu,” puji Andita sembari menarik selembar tisu, lalu membungkus satu cookies de
Setelah hampir empat jam mengasuh putra dan putrinya, Malik akhirnya bisa bernapas lega saat bertemu lagi dengan Kimberly. Raut muka istrinya itu tampak lebih cerah dan ceria. Sepertinya Kimberly sudah tidak badmood lagi gara-gara Malik berfoto dengan Yoana tadi.“Gimana anak-anak? Mereka rewel nggak?” Kimberly mengambil alih anak perempuan berpipi chubby dari pangkuan Malik.“Rewel sih nggak, tapi yah… cukup membuatku berkeringat.” Malik tersenyum dan mengedikkan bahu.Kimberly mengamati suaminya sesaat, lalu tertawa karena penampilan pria itu tampak acak-acakan. Ia mengecup pipi Malik dan berkata, “Terima kasih udah kasih aku waktu buat me time.”Malik mengerjap dan memegangi pipinya sambil bergumam, “Kita harus pulang sekarang, Sayang.”“Kenapa? Kan belum beli susu buat Timur di supermarket.”“Malam ini kita titipin anak-anak di Mami sama Papi aja, ya? Besok kita ambil lagi mereka pagi sebelum aku—Oke oke! Nggak jadi, aku cuma bercanda,” ralat Malik dengan cepat saat Kimberly mencub
Empat tahun kemudian.“Eh? Bukannya dia mantan pembalap itu, ‘kan?”“Iya, Jeng, yang kemarin ramai dibahas sama hampir semua orang tua murid itu, Jeng.”“Anaknya beneran sekolah di sini?”“Iya.”“Yang bener? OMG! Kita bakalan ketemu dia terus dong! Ganteng banget ya Tuhan.”“Itu kalau setiap hari dia antar jemput anaknya.”“Eh! Emang setiap hari tauk! Kalian berdua aja yang baru lihat. Pagi dan siang dia selalu antar jemput.”“Duh, suami idaman banget sih…. Beruntung banget yang jadi istri dia. Udah ganteng, kaya, perhatian sama anak, lagi. Ya Tuhan, mau yang begini satu aja, please.”Malik menghela napas berat. Ia tidak bermaksud menguping pembicaraan tiga atau empat wanita—entah yang pastinya berapa orang karena Malik tidak begitu memperhatikan—yang sedang membicarakan dirinya, tapi suara mereka terlalu jelas di telinga Malik, sehingga mau tidak mau ia harus mendengarkan dirinya menjadi bahan gosip ibu-ibu.Sudah satu minggu Timur masuk sekolah ke playgroup. Setiap hari Malik selalu
“Sayang! Gimana kondisi kamu? Apanya yang sakit?!” tanya Malik dengan raut muka menegang sambil berlari menghampiri ranjang yang ditempati Kimberly. “Perut aku sakit… pinggang aku juga panas.” Kimberly meringis kesakitan. Namun ada yang berubah dalam sorot matanya, ia seolah-olah merasa lega dan aman setelah melihat kedatangan suaminya. Malik merundukan badan, memeluk Kimberly dan mengecup keningnya berkali-kali. Ia berbisik, “Sabar, ya. Maaf aku terlambat.” “Bau!” Malik terkejut saat Kimberly mendorong dadanya. “Eh? Kenapa? Siapa yang bau?” “Kamu,” jawab Kimberly seraya menggigit bibir bawah, menahan rasa sakit yang kembali menyerang dan rasanya tak tertahankan. “Kamu bau debu.” “Ah, ini….” Malik menggaruk tengkuk dan menghidu tubuhnya sendiri. “Barusan aku naik motor, Sayang. Soalnya di jalan macet banget, nggak mungkin bisa sampai dengan cepat kalau aku tetap pakai mobil,” jelasnya sambil menggenggam tangan sang istri. “Apa perlu aku ganti baju dulu? Tapi aku nggak bawa baju c
7 bulan kemudian.“Kakak, jangan lupakan aku. Aku juga adik kamu, adik yang paling ganteng!”“Diam!” Kimberly menjauhkan wajah Ernest dari hadapannya. “Kamu ngehalangin pemandangan aku tahu nggak?”Ernest cemberut.Kemudian Kimberly tersenyum lebar pada bayi berusia 4 bulan yang baru saja membuka mata, di atas kasur yang ia dan Ernest duduki.“Selamat siang Cheryl! Adiknya Kakak yang paling cantik! Nyenyak banget tidurnya ya?” goda Kimberly dengan nada bicara khas anak-anak.Cheryl tersenyum. Dia berguling sendiri hingga tengkurap.“Ugh! Jangan percaya sama kelembutan kakak kita, Dek, aslinya dia itu cerewet dan galak. Kamu kalau sudah besar nanti pasti jadi bahan omelan dia—auwh!” Ernest tiba-tiba mengaduh saat Kimberly menjewer telinganya.“Diam,” bisik Kimberly dengan kesal. “Jangan meracuni otak bayi dengan omongan kamu yang negatif itu ya!”“Aku ‘kan bicara apa adanya,” gumam Ernest sembari mengusap-usap telinga.Kimberly mendelik pada Ernest, lalu kembali tersenyum lebar pada Ch
“Gimana perasaan kamu?” bisik Malik seraya mengelus pipi Kimberly dengan lembut.Kimberly terdiam. Harusnya ia yang bertanya seperti itu kepada Malik.Detik berikutnya, Kimberly tersenyum lebar, tangannya mengusap-usap perut dan berseru riang, “Anak kita sepertinya senang banget, Babe! Dia bikin perasaan aku jadi makin bahagia setelah lihat kamu ngendarain motor balap barusan!”“Benarkah?” Malik ikut tersenyum lebar.Kimberly mengangguk cepat. Ia langsung melompat ke pelukan Malik, melingkarkan tangan di leher pria yang masih memakai baju balapan yang dulu sering dia pakai. Malik terlihat tampan sekali dengan baju itu, mengingatkan Kimberly akan kebersamaan mereka sebelum menikah.“Terima kasih, ya! Aku jadi rindu nonton kamu balapan.” Kimberly terkekeh, suaranya terdengar teredam karena bibirnya terbenang di pundak Malik. “Kalau kamu? Gimana perasaan kamu sekarang?”“Perasaanku?” ulang Malik.“Hm-hm. Apa barusan bisa mengobati kerinduan kamu sama balapan?”“Iya.” Malik bergumam dan m
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 23.25 waktu Andorra. Kimberly merebahkan tubuhnya di kasur berseprai abu tua. Matanya menatap plafon putih dengan penerangan lampu warm white.Mereka baru saja tiba di Andorra pukul 18.30 waktu setempat. Perjalanan ini atas inisiatif Kimberly yang mengidam ingin tidur di kamar Malik, di rumahnya yang ada di Andorra. Setelah mendengar keinginan istrinya, Malik langsung memesan tiket pesawat.“Ternyata begini rasanya ada di kamar kamu.” Kimberly terkekeh dan melirik Malik yang baru saja selesai memindahkan semua pakaian mereka dari koper ke dalam lemari.Tadi Kimberly berniat membantu, tapi Malik melarangnya dan malah menyuruhnya untuk istirahat.“Gimana rasanya? Aneh?” Malik melepas kaos putihnya dan menghampiri ranjang.“Nyaman banget!” Kimberly meringis, ia mengangkat kedua tangan ke atas untuk menyambut Malik yang baru saja menaiki ranjang dan memeluknya. Tangan Kimberly mengalung di leher Malik.Ia sempat menahan napas dengan jantung berdebar-deb
“Tunggu! tunggu! Mami nggak salah dengar, ‘kan? Kamu… hamil?”Kimberly mengangguk cepat berkali-kali sembari tersenyum lebar.Feli tercengang. Ia dan Archer saling tatap satu sama lain dengan tatapan terkejut. Lalu detik berikutnya keduanya sama-sama menghela napas lega dan tertawa.“Ya Tuhan, terima kasih… Mami senang sekali dengarnya, Sayang!” ucap Feli dengan mata berbinar-binar dan memeluk Kimberly. “Pantas saja akhir-akhir ini Mami ngerasa ada yang berbeda sama kamu.”“Oh ya? Mami bisa ngelihat perubahan aku? Kok aku nggak?”“Mami ini ibu kamu, Kim. Selama dua puluh satu tahun tinggal bareng-bareng, masa Mami nggak bisa menyadari sesuatu yang berbeda sama kamu?” Feli terkekeh kecil, tangannya menepuk-nepuk punggung Kimberly. Ekspresi wajahnya terlihat cerah, secerah langit siang ini di luar sana. Walau air matanya tampak menggenang, tapi itu adalah tangis kebahagiaan.“Mami kok nangis?” tanya Kimberly sesaat setelah pelukannya terlepas. Ia cemberut seraya menangkup pipi sang ibu.
Gimana kalau sekarang Malik sedang mencari kesenangan di luar karena keadaan di rumah tidak membuatnya nyaman?Satu pertanyaan itu tiba-tiba membuat Kimberly menegakkan punggung. Wajahnya menegang. Air matanya seakan tak ingin berhenti mengalir saat membayangkan Malik melampiaskan kekesalannya dengan menghabiskan waktu bersama wanita lain.“Kamu jahat!” Kimberly menangis sambil membenamkan wajah di atas lutut. “Kamu main pergi begitu aja tanpa memikirkan perasaanku!”Setelah cukup lama menangis sendirian hingga ruangan kamarnya berubah gelap karena sudah memasuki malam, Kimberly akhirnya mandi supaya pikirannya lebih jernih.Dua puluh menit kemudian, ia sudah berganti pakaian dan tubuhnya terasa segar, tapi pikirannya tetap saja kacau. Kimberly mencoba menghubungi Malik lagi, tapi berakhir sia-sia.“Non Kimmy, mau makan malam, Non? Makanannya sudah siap di meja,” ujar Bik Nining yang menghampiri kamar Kimberly.Kimberly menggeleng lesu. “Aku nggak lapar, Bik. Nanti saja makannya.”“No
“Sayang, aku pulang!”Mendengar seruan Malik, secara spontan Kimberly terbangun dan menaruh remote di meja. Lalu ia bergegas menyongsong Malik ke pintu utama dengan langkah-langkah cepat.“Kamu bawa nasi lemaknya?” tanya Kimberly dengan mata berbinar-binar.“Bawa dong. Nih!”Kimberly tersenyum lebar saat Malik menunjukkan bingkisan di tangannya. Ia langsung merebut bingkisan tersebut. “Terima kasih!” serunya, ceria.Tepat saat Malik akan mengecup bibir Kimberly—sesuatu yang selalu Malik lakukan setiap kali pulang ke rumah, Kimberly tiba-tiba melesat pergi, membuat bibir Malik tidak punya tempat untuk berlabuh.“Hey! Kenapa pergi begitu aja?” protes Malik, yang tak ditanggapi Kimberly. Malik hanya menghela napas pasrah, lalu melangkah masuk mengikuti sang istri.Kimberly terlihat sedang menghidu aroma nasi lemak yang masih terbungkus. Malik tersenyum, lalu mengambil piring bersih dan menaruhnya di meja.“Ini pasti kerjaan kamu nih, Mama kamu senang banget cuma dapat nasi lemak doang,”