Setelah menghabiskan waktu selama tiga hari di rumah sakit, Archer akhirnya diperbolehkan pulang ke rumah. Sedangkan Feli sebenarnya sudah tidak dirawat lagi sejak dua hari yang lalu. Dan selama dua hari itu Feli merawat Archer. Mereka menitipkan Kimberly pada Leica dan Nicko.Orang tua dan adik-adik Archer pun datang silih berganti. Gendarly-ibunya Archer, sempat menyuruh Feli pulang dan istirahat, sementara Archer ditemani olehnya. Namun, Feli tentu saja menolaknya secara halus. Feli sudah hampir mati akibat sesak napas karena memikirkan Archer yang tertimbun reruntuhan, ia mau memanfaatkan kesempatan ini untuk merawat suaminya. Selain kewajiban, ini pun sebagai tanda syukurnya Feli karena Archer selamat.Pagi ini Feli terbangun di kamarnya, di rumah mereka. Tapi ia tidak mendapati kehadiran Archer di sampingnya. Padahal semalam Feli yang tidur lebih dulu ketimbang Archer.Feli menggeliat. Ia mengusap perutnya dan mengajak janinnya mengobrol.“Tolong bawa masuk dan taruh di atas nak
“Fel…,” lirih Archer dengan napas memburu. Ia sempatkan menatap manik hazel istrinya dengan lekat, sebelum kemudian mempertemukan bibir mereka lagi dan memperdalam ciumannya.Satu lengan Archer mengeratkan pelukannya pada pinggang Feli yang duduk di sebelah. Sementara tangan yang lain mengelus rahang mungil wanitanya itu. Ciumannya semakin mendesak dan menuntut. Sesekali ia menggigit bibir bawah Feli, hingga terdengar lenguhan merdu dari mulut istrinya yang teredam gemericik air hujan.Hembusan angin lembut membuat Feli kedinginan dan semakin merapatkan tubuhnya di pelukan Archer. Di luar hujan, tapi keduanya memilih menikmati cuaca sendu siang ini di balkon lantai dua.“Sunshine,” lirih Archer lagi setelah ciumannya terlepas beberapa menit kemudian.“Apa?”Tatapan Archer turun pada bibir Feli yang membengkak. Ia mengulas senyum miring. Lalu menatap manik mata istrinya kembali. “Lanjut di kamar, ya. Cuacanya mendukung banget ini.”Feli tahu ke mana arah pembicaraan pria itu. “Sebentar
Terang saja Archer tidak setuju. Ia menggeleng keras. “Masih banyak hewan peliharaan lain yang lebih lucu. Kucing misalnya, atau hamster? Nggak harus iguana, ‘kan?”Bibir Feli langsung cemberut mendengar penolakan mentah-mentah itu. “Kamu takut iguananya nanti ganggu kamu?”“Aku nggak takut."Feli berdecak lidah. “Tenang aja, iguananya akan aku simpan jauh-jauh dari kamu kok. Nggak bakal ganggu kamu juga,” ujarnya, bersikukuh.“Apapun akan aku izinkan, asal bukan iguana. Okay?” Archer menatap Feli lurus-lurus.“Ya udah kalau nggak boleh,” imbuh Feli dengan perasaan kecewa. Ia kembali melakukan pekerjaannya dengan wajah agak masam.Archer menghela napas panjang dan mendekati sang istri. “Sunshine… kamu tahu ‘kan kalau aku nggak suka sama hewan seperti itu?”Feli tak menyahut.“Lagian kenapa pengen iguana, hem?” tanya Archer lembut. “Padahal dari dulu kamu nggak begitu suka sama hewan peliharaan.”Bibir Feli masih terkatup rapat. Enggan berbicara dengan Archer.Ia pun tak mengerti kenap
“Selamat pagi, Nyonya. Tuan Archer-nya ada?”“Oh? Hai, Andita.” Feli membalas senyuman ramahnya sekertaris Archer itu. “Ada, kok. Silahkan masuk.”“Baik. Terima kasih.”Feli sedikit bergeser untuk memberi ruang pada Andita. Aroma parfum Andita yang terkesan seksi menyapa indra penciuman Feli saat wanita itu melewatinya. Langkahnya terlihat sangat anggun.Feli memperhatikan wanita itu sampai duduk di hadapan Archer.Archer lebih sering berinteraksi dengan Andita setiap harinya, selama 8 jam sehari. Belum lagi kalau lembur. Feli mendadak gusar mengingat hal itu. Sedangkan dengannya, Archer hanya punya waktu beberapa jam saja di luar jam tidur.Feli mengusap tengkuk. Kemudian ia memilih menghampiri dapur dan meminta Bik Sumi untuk membuatkan minuman bagi Andita. Bagaimanapun juga wanita itu adalah tamu.Setelah itu Feli duduk di ruang keluarga sembari menonton televisi. Ruangan itu tidak bersekat dengan ruang tamu. Namun jaraknya cukup jauh. Sehingga Feli tidak bisa mendengar percakapan
Feli menutup pintu ruangan kerja Archer dengan perasaan kesal. Namun, sedetik kemudian ia menyesal kenapa tidak menunggu saja di dalam dan tidak menunjukkan kekesalannya pada suaminya itu?Feli berdecak lidah dan mengacak rambutnya sendiri. Kemudian menatap pintu yang sudah tertutup.Harga dirinya terlalu tinggi untuk kembali masuk ke dalam. Ia pun memutuskan meninggalkan tempat tersebut dan memilih menemani Kimberly yang baru saja pulang sekolah.Sementara itu di dalam, Archer hanya terperangah melihat Feli keluar begitu saja. Ia bisa melihat ekspresi wanita itu tampak keruh meski hanya sekilas.“Tuan, biar saya ambilkan dulu obatnya. Sebentar.” Dengan langkah anggun, Andita mengambil nampan dari atas meja sofa. Kemudian menaruhnya di meja kerja Archer yang agak jauh dari berkas-berkas penting.“Pantas saja Anda selalu suka cookies, yang membuatnya ternyata sangat cantik dengan tampilan sederhana seperti itu,” puji Andita sembari menarik selembar tisu, lalu membungkus satu cookies de
“Laki-laki yang memiliki istri lebih dari satu itu punya alasan untuk melakukannya, Kim. Sedangkan Papi nggak punya alasan. Mami kamu saja sudah cukup.”Archer menghampiri anak dan istrinya sembari mengulas senyum lebar.Feli berdecih pelan, sepelan mungkin sampai Kimberly tidak mendengar. ‘Sekarang bisa bilang begitu, lalu apa yang dia lakukan bersama Belvina di masa lalu dan sekretarisnya barusan?’ batin Feli dengan perasaan kesal yang sulit ia kendalikan.“Tapi enak loh, Pi. Kan jadi banyak yang bantuin Papi,” celetuk Kimberly lagi.Kalau yang berbicara bukan anak kecil dan bukan anaknya, sudah Feli usir jauh-jauh orang itu. Karena ini Kimberly yang belum tahu apa-apa, jadi ia bersabar mendengarkan.“Nggak, Sayang.” Archer duduk di samping Feli. “Papi nggak bisa berbagi cinta Papi ke orang lain. Soalnya cinta Papi udah dihabisin sama Mami kamu.”Feli mendelik, tapi ia tidak bisa menolak rangkulan Archer di pinggangnya. Kimberly sedang memperhatikan mereka berdua.“Memang kalau nika
Kekhawatiran Feli tergambar jelas dalam raut wajahnya. Ia meraba-raba kaki yang Archer keluhkan sakit. Merasa panik sebab tak tahu apa yang harus Feli lakukan.Namun, ketika melihat Archer mengulum senyum, raut muka Feli seketika kembali masam. “Kamu mengerjaiku?”“Kamu mengkhawatirkanku,” gumam Archer, masih tersenyum sembari mengusap tengkuk. “Aku senang karena dikhawatirkan olehmu, sampai-sampai kamu lupa dengan marahmu sendiri.”“Nggak lucu!”Feli melemparkan bantal ke wajah Archer, membuat pria itu tertawa alih-alih marah.“Kamu pikir sakitmu bisa dijadikan lelucon?! Mulai sekarang aku nggak akan percaya lagi kalau kamu mengeluh sakit!” Feli mendengus dan membaringkan tubuhnya membelakangi Archer.“Hey… jangan marah.” Archer masih berusaha meredakan tawanya. “Aku benar-benar sakit, Sunshine. Serius. Aku nggak bercanda.”Feli tidak menggubris lagi dan memilih mematikan lampu utama, yang kebetulan letak saklar lampunya ada di dekatnya. Ruangan kamar itu berubah remang-remang dari c
Dengan hati bahagia Feli mendorong pintu ruangan kerja Archer tanpa mengetuknya.Pada saat yang sama, di dalam sana Tevin akan menarik pintu. Jadilah pintu itu menabrak Tevin akibat dorongan Feli yang terlalu bersemangat.“Aargh! Shit!” umpat Tevin sembari memegangi pucuk hidungnya yang terkena daun pintu.“Astaga…! Tevin!”Feli terkejut, hingga tidak sadar hewan kecil berwarna hijau di telapak tangannya terlempar entah ke mana.“Maaf, maaf. Aku nggak sengaja, kukira nggak ada kamu di dekat pintu.” Feli menggigit bibir bawah, merasa bersalah begitu melihat pucuk hidung yang mancung itu memerah.“Oke. Nggak masalah.”“B-berdarah? Hidung kamu berdarah!” Feli semakin panik. Ia buru-buru berlari kecil menuju sofa dan menarik selembar tisu dari kotaknya, yang terletak di atas meja.“Gede banget ya, Fel, tenaga kamu. Bisa-bisanya hidung aku sampai berdarah gini.”“Aku terlalu bahagia, Tev.” Tanpa pikir panjang, Feli membantu mengelap darah yang menetes menggunakan tisu tersebut. “Pasti saki