Kicau burung yang saling bersahutan serta desir angin yang berhembus halus membangunkan Feli dari tidurnya. Saat membuka kelopak mata, pemandangan pertama yang Feli lihat adalah wajah tegas suaminya, yang dihiasi cambang di rahang, tidak lebat dan tidak tipis. Mata yang selalu menyorot teduh itu kini tampak terpejam.Feli meraba-raba ponsel di nakas, lalu menghidupkan layarnya. Seketika mata Feli membelalak melihat jam sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi.“Archer… bangun, Archer. Sudah jam sepuluh,” gumam Feli sembari menyingkap sedikit selimut yang menutupi tubuh polos mereka berdua. Ia akan duduk, tapi baru sadar kalau tubuhnya terkunci tangan dan kaki pria itu. “Astaga… Archer!”“Hmm… masih jam sepuluh, kan? Nggak apa-apa. Kita baru tidur jam lima, Sunshine.” Archer bergumam tanpa membuka kelopak matanya.Feli berdecak lidah. Ia menunduk dan tanpa sengaja melihat dadanya telah dipenuhi jejak kemerahan akibat ulah Archer semalam. “Kamu lupa hari ini hari apa?”“Hari Sabtu. Why?”“H
“Sekali lagi kamu puji aku begitu, selamat! Kamu dapat gelas cantik, Archer.” Feli menahan tawa, sudah lebih dari lima kali Archer memujinya dengan kalimat yang sama.Obrolan mereka terinterupsi oleh wartawan yang menyerbu. Namun petugas segera melindungi keluarga kecil yang malam ini menjadi sorotan itu. Berbagai pertanyaan dari wartawan terlontar dan hanya ditanggapi dengan senyuman.“Nanti ada saatnya kita sesi wawancara,” ucap Archer penuh wibawa, yang membuat para pemburu berita itu tersenyum senang dan tertib.Sore ini Tiger Corp menggelar pesta di sebuah gedung mewah. Bukan pesta resmi. Hanya pesta apresiasi, untuk mengapresiasi para klien dan karyawan. Sekaligus sebagai bentuk rasa syukur Archer atas keberhasilannya, yang mampu bertahan dalam daftar sepuluh besar pebisnis muda terbaik se-Asia, selama lima tahun terakhir.Archer menggenggam tangan Feli dan Kimberly, memasuki ballroom yang sudah dipenuhi para tamu. Hidangan tersaji di atas meja-meja panjang. Klien dan para petin
“Kenapa? Kamu nggak suka aku mengusir sekretarismu?” tanya Feli saat ia merasakan tatapan Archer terus mengarah kepadanya setelah kepergian Andita.“Kamu bilang apa barusan pada Andita?”Feli cukup terkejut mendengar pertanyaan itu. Sorot mata Feli seketika berubah mendung karena mengira suaminya tidak setuju dengan sikapnya yang mengusir Andita pergi.“Aku yakin kamu mendengarnya dengan jelas.” Feli jadi enggan menatap Archer. Matanya kini terarah pada MC yang sedang bercuap-cuap di depan.Sementara itu Kimberly lebih senang menyimak sang MC tersebut.“Bilang sekali lagi, Sunshine. Barusan nggak keburu aku rekam.”“Ngapain direkam?” Feli menatap Archer lagi, kemudian memajukan wajahnya ke dekat telinga Archer, dan berbisik dengan perasaan kesal, “Mau dijadikan bukti kalau aku ini istri yang protektif dan galak, karena mencurigai hubungan suami dan sekretarisnya?”“Bukan.” Archer tak terpancing emosi. Ia malah menarik sebelah paha Feli dan mengusapnya. “Untuk aku tunjukkan pada orang-
Archer tertegun.Hatinya seakan tercubit dan pipinya seperti tertampar mendengar jawaban Feli. Ia sudah banyak menorehkan luka di hati wanita itu, tapi malam ini, di depan banyak orang Feli masih mau membela dan melindungi nama baiknya.Archer mengeratkan genggaman tangannya saat menyadari tangan Feli terasa dingin dan berkeringat.Ia segera membawa wanita itu menjauhi awak media dan mencari tempat yang agak sepi. Lalu berhenti di taman samping ballroom.“Maafkan aku, Sunshine,” gumam Archer seraya menenggelamkan tubuh Feli ke dalam pelukannya. “Maafkan aku.”“Kenapa harus meminta maaf?” Feli menghirup dalam-dalam aroma tubuh Archer, lalu mendongak, menatap suaminya penuh tanya.“Karena kesalahanku terlalu banyak.”Feli terkekeh dan memukul punggung pria berjas hitam itu. “Kalau gitu minta maaf sama Tuhan.”“Tapi kamu sakit hati olehku.” Archer menghela napas berat seraya menumpukan dagu di puncak kepala istrinya. “Kalau kamu nggak memaafkanku, Tuhan juga nggak mungkin mengampuniku.”
“Kamu nggak kerja? Tumben jam segini masak?”Feli tersenyum sembari mengecilkan api kompor, lalu memindahkan ponsel dari telinga kiri ke telinga kanan. “Aku lagi bikin makan siang buat Archer, Ma.”“Oo… diantar sama sopir?”“Nggak dong, Maa….” Feli memutar bola matanya. Kemudian mencicipi air sup menggunakan sendok kecil. “Aku sendiri yang akan datang ke kantor dia.”“Jadi kamu sengaja nggak ke butik cuma untuk buatin suami kamu makan siang?”Pertanyaan bernada menggoda itu membuat Feli meringis. “Salah satu alasannya memang itu, tapi alasan lainnya karena jadwalku cuma zoom meeting sama klien. Kan bisa dilakukan dari rumah.”Setelah dirasa supnya pas dan kematangannya sempurna, Feli pun mematikan kompor, kemudian memberi isyarat kepada Bik Sumi agar menuangkan sup itu ke dalam wadah kecil.“Oh iya, posisi Mama masih di mana? Hari ini Kimmy bubar jam dua belas, kok.” Feli melepas celemek dan menggantungnya di hanger.“Ini masih nemenin papa kamu di barber shop, Nak. Habis itu langsun
“Tidurnya pindah ke ruanganku, ya?”Bisikan lembut, yang diiringi sentuhan di pipi membuat Feli membuka mata. Ia terkejut begitu melihat Archer sudah duduk di sampingnya.“Maaf, aku ketiduran.” Feli menegakkan punggungnya lalu menarik napas panjang. “Tamunya sudah pulang?”Archer mengangguk. “Sudah, baru saja keluar. Kenapa kamu nggak bilang dari tadi ada di sini, hem?”“Aku nggak mau ganggu pekerjaan kamu.” Feli melihat penunjuk waktu di tangan kanannya, ternyata ia hanya ketiduran tidak lebih dari lima menit. Ia tertidur sesaat setelah mengirim pesan kepada Archer. “Karena sekretarismu bilang tamunya sangat penting, jadi lebih baik aku tunggu saja di sini.”“Nggak ada yang jauh lebih penting daripada istriku, Fel,” gumam Archer sembari mengambil goody bag berisi rantang makanan dari atas meja. “Kalau sejak tadi aku tahu ternyata kamu ada di sini, sudah pasti aku akan mengakhiri
“Akan aku bayar nanti di ruanganku.” Satu mata Archer mengedip nakal. Yang membuat Feli waspada menatapnya.Andita tidak ada di ruangannya saat mereka melewat. Dan ruangan Archer pun sudah dipenuhi harum aroma kopi dari pengharum ruangan. Tidak ada lagi aroma Lynda yang menyengat. Feli sangat mengapresiasi kinerja Vicky yang serba cepat.“Mau ke mana?” Satu alis Archer terangkat saat Feli meraih sling bag-nya.“Pulang. Kenapa?”Archer berdecak lidah, lalu merampas tas wanitanya itu dan menaruhnya di dalam buffet. “Temani aku kerja. Masih ada waktu satu jam setengah lagi.”“Nemenin atau nonton yang kerja?” Feli akhirnya duduk di sofa, Archer tak mungkin bisa dibantah saat ini.“Dua-duanya.” Pria itu berdiri di depan Feli, mencondongkan tubuhnya ke depan, lalu memagut bibir istrinya dengan lembut. Archer tersenyum miring saat menempelkan dahi mereka sesaat setelah men
Andita menggigit bibir bawah, wajahnya tampak gelisah. Sudah pukul empat sore, di mana seharusnya bosnya sudah keluar dari ruangannya. Namun sampai saat ini Archer dan istrinya tak kunjung keluar.Andita penasaran apa yang dilakukan sepasang suami istri itu di dalam sana? Ia tahu, seharusnya ia tak memiliki perasaan ini. Akan tetapi Andita sudah memendam rasa cinta pada bosnya sejak lama. Sejak ia diterima bekerja sebagai sekretaris Archer.Andita jatuh cinta pada pandangan pertama. Sulit sekali untuk tidak jatuh cinta kepada pria tampan nan mapan seperti bosnya itu.Rasa cintanya semakin menggebu ketika ia tahu bahwa hubungan Archer dan Feli tidak baik, bahkan Archer memiliki kekasih gelap bernama Belvina.Itu membuat Andita merasa yakin akan mendapat kesempatan untuk dekat dengan Archer. Jika saat itu saja Archer selingkuh dengan wanita lain, maka Andita pikir pria itu akan mudah menjalin hubunga
Setelah hampir empat jam mengasuh putra dan putrinya, Malik akhirnya bisa bernapas lega saat bertemu lagi dengan Kimberly. Raut muka istrinya itu tampak lebih cerah dan ceria. Sepertinya Kimberly sudah tidak badmood lagi gara-gara Malik berfoto dengan Yoana tadi.“Gimana anak-anak? Mereka rewel nggak?” Kimberly mengambil alih anak perempuan berpipi chubby dari pangkuan Malik.“Rewel sih nggak, tapi yah… cukup membuatku berkeringat.” Malik tersenyum dan mengedikkan bahu.Kimberly mengamati suaminya sesaat, lalu tertawa karena penampilan pria itu tampak acak-acakan. Ia mengecup pipi Malik dan berkata, “Terima kasih udah kasih aku waktu buat me time.”Malik mengerjap dan memegangi pipinya sambil bergumam, “Kita harus pulang sekarang, Sayang.”“Kenapa? Kan belum beli susu buat Timur di supermarket.”“Malam ini kita titipin anak-anak di Mami sama Papi aja, ya? Besok kita ambil lagi mereka pagi sebelum aku—Oke oke! Nggak jadi, aku cuma bercanda,” ralat Malik dengan cepat saat Kimberly mencub
Empat tahun kemudian.“Eh? Bukannya dia mantan pembalap itu, ‘kan?”“Iya, Jeng, yang kemarin ramai dibahas sama hampir semua orang tua murid itu, Jeng.”“Anaknya beneran sekolah di sini?”“Iya.”“Yang bener? OMG! Kita bakalan ketemu dia terus dong! Ganteng banget ya Tuhan.”“Itu kalau setiap hari dia antar jemput anaknya.”“Eh! Emang setiap hari tauk! Kalian berdua aja yang baru lihat. Pagi dan siang dia selalu antar jemput.”“Duh, suami idaman banget sih…. Beruntung banget yang jadi istri dia. Udah ganteng, kaya, perhatian sama anak, lagi. Ya Tuhan, mau yang begini satu aja, please.”Malik menghela napas berat. Ia tidak bermaksud menguping pembicaraan tiga atau empat wanita—entah yang pastinya berapa orang karena Malik tidak begitu memperhatikan—yang sedang membicarakan dirinya, tapi suara mereka terlalu jelas di telinga Malik, sehingga mau tidak mau ia harus mendengarkan dirinya menjadi bahan gosip ibu-ibu.Sudah satu minggu Timur masuk sekolah ke playgroup. Setiap hari Malik selalu
“Sayang! Gimana kondisi kamu? Apanya yang sakit?!” tanya Malik dengan raut muka menegang sambil berlari menghampiri ranjang yang ditempati Kimberly. “Perut aku sakit… pinggang aku juga panas.” Kimberly meringis kesakitan. Namun ada yang berubah dalam sorot matanya, ia seolah-olah merasa lega dan aman setelah melihat kedatangan suaminya. Malik merundukan badan, memeluk Kimberly dan mengecup keningnya berkali-kali. Ia berbisik, “Sabar, ya. Maaf aku terlambat.” “Bau!” Malik terkejut saat Kimberly mendorong dadanya. “Eh? Kenapa? Siapa yang bau?” “Kamu,” jawab Kimberly seraya menggigit bibir bawah, menahan rasa sakit yang kembali menyerang dan rasanya tak tertahankan. “Kamu bau debu.” “Ah, ini….” Malik menggaruk tengkuk dan menghidu tubuhnya sendiri. “Barusan aku naik motor, Sayang. Soalnya di jalan macet banget, nggak mungkin bisa sampai dengan cepat kalau aku tetap pakai mobil,” jelasnya sambil menggenggam tangan sang istri. “Apa perlu aku ganti baju dulu? Tapi aku nggak bawa baju c
7 bulan kemudian.“Kakak, jangan lupakan aku. Aku juga adik kamu, adik yang paling ganteng!”“Diam!” Kimberly menjauhkan wajah Ernest dari hadapannya. “Kamu ngehalangin pemandangan aku tahu nggak?”Ernest cemberut.Kemudian Kimberly tersenyum lebar pada bayi berusia 4 bulan yang baru saja membuka mata, di atas kasur yang ia dan Ernest duduki.“Selamat siang Cheryl! Adiknya Kakak yang paling cantik! Nyenyak banget tidurnya ya?” goda Kimberly dengan nada bicara khas anak-anak.Cheryl tersenyum. Dia berguling sendiri hingga tengkurap.“Ugh! Jangan percaya sama kelembutan kakak kita, Dek, aslinya dia itu cerewet dan galak. Kamu kalau sudah besar nanti pasti jadi bahan omelan dia—auwh!” Ernest tiba-tiba mengaduh saat Kimberly menjewer telinganya.“Diam,” bisik Kimberly dengan kesal. “Jangan meracuni otak bayi dengan omongan kamu yang negatif itu ya!”“Aku ‘kan bicara apa adanya,” gumam Ernest sembari mengusap-usap telinga.Kimberly mendelik pada Ernest, lalu kembali tersenyum lebar pada Ch
“Gimana perasaan kamu?” bisik Malik seraya mengelus pipi Kimberly dengan lembut.Kimberly terdiam. Harusnya ia yang bertanya seperti itu kepada Malik.Detik berikutnya, Kimberly tersenyum lebar, tangannya mengusap-usap perut dan berseru riang, “Anak kita sepertinya senang banget, Babe! Dia bikin perasaan aku jadi makin bahagia setelah lihat kamu ngendarain motor balap barusan!”“Benarkah?” Malik ikut tersenyum lebar.Kimberly mengangguk cepat. Ia langsung melompat ke pelukan Malik, melingkarkan tangan di leher pria yang masih memakai baju balapan yang dulu sering dia pakai. Malik terlihat tampan sekali dengan baju itu, mengingatkan Kimberly akan kebersamaan mereka sebelum menikah.“Terima kasih, ya! Aku jadi rindu nonton kamu balapan.” Kimberly terkekeh, suaranya terdengar teredam karena bibirnya terbenang di pundak Malik. “Kalau kamu? Gimana perasaan kamu sekarang?”“Perasaanku?” ulang Malik.“Hm-hm. Apa barusan bisa mengobati kerinduan kamu sama balapan?”“Iya.” Malik bergumam dan m
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 23.25 waktu Andorra. Kimberly merebahkan tubuhnya di kasur berseprai abu tua. Matanya menatap plafon putih dengan penerangan lampu warm white.Mereka baru saja tiba di Andorra pukul 18.30 waktu setempat. Perjalanan ini atas inisiatif Kimberly yang mengidam ingin tidur di kamar Malik, di rumahnya yang ada di Andorra. Setelah mendengar keinginan istrinya, Malik langsung memesan tiket pesawat.“Ternyata begini rasanya ada di kamar kamu.” Kimberly terkekeh dan melirik Malik yang baru saja selesai memindahkan semua pakaian mereka dari koper ke dalam lemari.Tadi Kimberly berniat membantu, tapi Malik melarangnya dan malah menyuruhnya untuk istirahat.“Gimana rasanya? Aneh?” Malik melepas kaos putihnya dan menghampiri ranjang.“Nyaman banget!” Kimberly meringis, ia mengangkat kedua tangan ke atas untuk menyambut Malik yang baru saja menaiki ranjang dan memeluknya. Tangan Kimberly mengalung di leher Malik.Ia sempat menahan napas dengan jantung berdebar-deb
“Tunggu! tunggu! Mami nggak salah dengar, ‘kan? Kamu… hamil?”Kimberly mengangguk cepat berkali-kali sembari tersenyum lebar.Feli tercengang. Ia dan Archer saling tatap satu sama lain dengan tatapan terkejut. Lalu detik berikutnya keduanya sama-sama menghela napas lega dan tertawa.“Ya Tuhan, terima kasih… Mami senang sekali dengarnya, Sayang!” ucap Feli dengan mata berbinar-binar dan memeluk Kimberly. “Pantas saja akhir-akhir ini Mami ngerasa ada yang berbeda sama kamu.”“Oh ya? Mami bisa ngelihat perubahan aku? Kok aku nggak?”“Mami ini ibu kamu, Kim. Selama dua puluh satu tahun tinggal bareng-bareng, masa Mami nggak bisa menyadari sesuatu yang berbeda sama kamu?” Feli terkekeh kecil, tangannya menepuk-nepuk punggung Kimberly. Ekspresi wajahnya terlihat cerah, secerah langit siang ini di luar sana. Walau air matanya tampak menggenang, tapi itu adalah tangis kebahagiaan.“Mami kok nangis?” tanya Kimberly sesaat setelah pelukannya terlepas. Ia cemberut seraya menangkup pipi sang ibu.
Gimana kalau sekarang Malik sedang mencari kesenangan di luar karena keadaan di rumah tidak membuatnya nyaman?Satu pertanyaan itu tiba-tiba membuat Kimberly menegakkan punggung. Wajahnya menegang. Air matanya seakan tak ingin berhenti mengalir saat membayangkan Malik melampiaskan kekesalannya dengan menghabiskan waktu bersama wanita lain.“Kamu jahat!” Kimberly menangis sambil membenamkan wajah di atas lutut. “Kamu main pergi begitu aja tanpa memikirkan perasaanku!”Setelah cukup lama menangis sendirian hingga ruangan kamarnya berubah gelap karena sudah memasuki malam, Kimberly akhirnya mandi supaya pikirannya lebih jernih.Dua puluh menit kemudian, ia sudah berganti pakaian dan tubuhnya terasa segar, tapi pikirannya tetap saja kacau. Kimberly mencoba menghubungi Malik lagi, tapi berakhir sia-sia.“Non Kimmy, mau makan malam, Non? Makanannya sudah siap di meja,” ujar Bik Nining yang menghampiri kamar Kimberly.Kimberly menggeleng lesu. “Aku nggak lapar, Bik. Nanti saja makannya.”“No
“Sayang, aku pulang!”Mendengar seruan Malik, secara spontan Kimberly terbangun dan menaruh remote di meja. Lalu ia bergegas menyongsong Malik ke pintu utama dengan langkah-langkah cepat.“Kamu bawa nasi lemaknya?” tanya Kimberly dengan mata berbinar-binar.“Bawa dong. Nih!”Kimberly tersenyum lebar saat Malik menunjukkan bingkisan di tangannya. Ia langsung merebut bingkisan tersebut. “Terima kasih!” serunya, ceria.Tepat saat Malik akan mengecup bibir Kimberly—sesuatu yang selalu Malik lakukan setiap kali pulang ke rumah, Kimberly tiba-tiba melesat pergi, membuat bibir Malik tidak punya tempat untuk berlabuh.“Hey! Kenapa pergi begitu aja?” protes Malik, yang tak ditanggapi Kimberly. Malik hanya menghela napas pasrah, lalu melangkah masuk mengikuti sang istri.Kimberly terlihat sedang menghidu aroma nasi lemak yang masih terbungkus. Malik tersenyum, lalu mengambil piring bersih dan menaruhnya di meja.“Ini pasti kerjaan kamu nih, Mama kamu senang banget cuma dapat nasi lemak doang,”