Kekhawatiran Feli tergambar jelas dalam raut wajahnya. Ia meraba-raba kaki yang Archer keluhkan sakit. Merasa panik sebab tak tahu apa yang harus Feli lakukan.Namun, ketika melihat Archer mengulum senyum, raut muka Feli seketika kembali masam. “Kamu mengerjaiku?”“Kamu mengkhawatirkanku,” gumam Archer, masih tersenyum sembari mengusap tengkuk. “Aku senang karena dikhawatirkan olehmu, sampai-sampai kamu lupa dengan marahmu sendiri.”“Nggak lucu!”Feli melemparkan bantal ke wajah Archer, membuat pria itu tertawa alih-alih marah.“Kamu pikir sakitmu bisa dijadikan lelucon?! Mulai sekarang aku nggak akan percaya lagi kalau kamu mengeluh sakit!” Feli mendengus dan membaringkan tubuhnya membelakangi Archer.“Hey… jangan marah.” Archer masih berusaha meredakan tawanya. “Aku benar-benar sakit, Sunshine. Serius. Aku nggak bercanda.”Feli tidak menggubris lagi dan memilih mematikan lampu utama, yang kebetulan letak saklar lampunya ada di dekatnya. Ruangan kamar itu berubah remang-remang dari c
Dengan hati bahagia Feli mendorong pintu ruangan kerja Archer tanpa mengetuknya.Pada saat yang sama, di dalam sana Tevin akan menarik pintu. Jadilah pintu itu menabrak Tevin akibat dorongan Feli yang terlalu bersemangat.“Aargh! Shit!” umpat Tevin sembari memegangi pucuk hidungnya yang terkena daun pintu.“Astaga…! Tevin!”Feli terkejut, hingga tidak sadar hewan kecil berwarna hijau di telapak tangannya terlempar entah ke mana.“Maaf, maaf. Aku nggak sengaja, kukira nggak ada kamu di dekat pintu.” Feli menggigit bibir bawah, merasa bersalah begitu melihat pucuk hidung yang mancung itu memerah.“Oke. Nggak masalah.”“B-berdarah? Hidung kamu berdarah!” Feli semakin panik. Ia buru-buru berlari kecil menuju sofa dan menarik selembar tisu dari kotaknya, yang terletak di atas meja.“Gede banget ya, Fel, tenaga kamu. Bisa-bisanya hidung aku sampai berdarah gini.”“Aku terlalu bahagia, Tev.” Tanpa pikir panjang, Feli membantu mengelap darah yang menetes menggunakan tisu tersebut. “Pasti saki
Kicau burung yang saling bersahutan serta desir angin yang berhembus halus membangunkan Feli dari tidurnya. Saat membuka kelopak mata, pemandangan pertama yang Feli lihat adalah wajah tegas suaminya, yang dihiasi cambang di rahang, tidak lebat dan tidak tipis. Mata yang selalu menyorot teduh itu kini tampak terpejam.Feli meraba-raba ponsel di nakas, lalu menghidupkan layarnya. Seketika mata Feli membelalak melihat jam sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi.“Archer… bangun, Archer. Sudah jam sepuluh,” gumam Feli sembari menyingkap sedikit selimut yang menutupi tubuh polos mereka berdua. Ia akan duduk, tapi baru sadar kalau tubuhnya terkunci tangan dan kaki pria itu. “Astaga… Archer!”“Hmm… masih jam sepuluh, kan? Nggak apa-apa. Kita baru tidur jam lima, Sunshine.” Archer bergumam tanpa membuka kelopak matanya.Feli berdecak lidah. Ia menunduk dan tanpa sengaja melihat dadanya telah dipenuhi jejak kemerahan akibat ulah Archer semalam. “Kamu lupa hari ini hari apa?”“Hari Sabtu. Why?”“H
“Sekali lagi kamu puji aku begitu, selamat! Kamu dapat gelas cantik, Archer.” Feli menahan tawa, sudah lebih dari lima kali Archer memujinya dengan kalimat yang sama.Obrolan mereka terinterupsi oleh wartawan yang menyerbu. Namun petugas segera melindungi keluarga kecil yang malam ini menjadi sorotan itu. Berbagai pertanyaan dari wartawan terlontar dan hanya ditanggapi dengan senyuman.“Nanti ada saatnya kita sesi wawancara,” ucap Archer penuh wibawa, yang membuat para pemburu berita itu tersenyum senang dan tertib.Sore ini Tiger Corp menggelar pesta di sebuah gedung mewah. Bukan pesta resmi. Hanya pesta apresiasi, untuk mengapresiasi para klien dan karyawan. Sekaligus sebagai bentuk rasa syukur Archer atas keberhasilannya, yang mampu bertahan dalam daftar sepuluh besar pebisnis muda terbaik se-Asia, selama lima tahun terakhir.Archer menggenggam tangan Feli dan Kimberly, memasuki ballroom yang sudah dipenuhi para tamu. Hidangan tersaji di atas meja-meja panjang. Klien dan para petin
“Kenapa? Kamu nggak suka aku mengusir sekretarismu?” tanya Feli saat ia merasakan tatapan Archer terus mengarah kepadanya setelah kepergian Andita.“Kamu bilang apa barusan pada Andita?”Feli cukup terkejut mendengar pertanyaan itu. Sorot mata Feli seketika berubah mendung karena mengira suaminya tidak setuju dengan sikapnya yang mengusir Andita pergi.“Aku yakin kamu mendengarnya dengan jelas.” Feli jadi enggan menatap Archer. Matanya kini terarah pada MC yang sedang bercuap-cuap di depan.Sementara itu Kimberly lebih senang menyimak sang MC tersebut.“Bilang sekali lagi, Sunshine. Barusan nggak keburu aku rekam.”“Ngapain direkam?” Feli menatap Archer lagi, kemudian memajukan wajahnya ke dekat telinga Archer, dan berbisik dengan perasaan kesal, “Mau dijadikan bukti kalau aku ini istri yang protektif dan galak, karena mencurigai hubungan suami dan sekretarisnya?”“Bukan.” Archer tak terpancing emosi. Ia malah menarik sebelah paha Feli dan mengusapnya. “Untuk aku tunjukkan pada orang-
Archer tertegun.Hatinya seakan tercubit dan pipinya seperti tertampar mendengar jawaban Feli. Ia sudah banyak menorehkan luka di hati wanita itu, tapi malam ini, di depan banyak orang Feli masih mau membela dan melindungi nama baiknya.Archer mengeratkan genggaman tangannya saat menyadari tangan Feli terasa dingin dan berkeringat.Ia segera membawa wanita itu menjauhi awak media dan mencari tempat yang agak sepi. Lalu berhenti di taman samping ballroom.“Maafkan aku, Sunshine,” gumam Archer seraya menenggelamkan tubuh Feli ke dalam pelukannya. “Maafkan aku.”“Kenapa harus meminta maaf?” Feli menghirup dalam-dalam aroma tubuh Archer, lalu mendongak, menatap suaminya penuh tanya.“Karena kesalahanku terlalu banyak.”Feli terkekeh dan memukul punggung pria berjas hitam itu. “Kalau gitu minta maaf sama Tuhan.”“Tapi kamu sakit hati olehku.” Archer menghela napas berat seraya menumpukan dagu di puncak kepala istrinya. “Kalau kamu nggak memaafkanku, Tuhan juga nggak mungkin mengampuniku.”
“Kamu nggak kerja? Tumben jam segini masak?”Feli tersenyum sembari mengecilkan api kompor, lalu memindahkan ponsel dari telinga kiri ke telinga kanan. “Aku lagi bikin makan siang buat Archer, Ma.”“Oo… diantar sama sopir?”“Nggak dong, Maa….” Feli memutar bola matanya. Kemudian mencicipi air sup menggunakan sendok kecil. “Aku sendiri yang akan datang ke kantor dia.”“Jadi kamu sengaja nggak ke butik cuma untuk buatin suami kamu makan siang?”Pertanyaan bernada menggoda itu membuat Feli meringis. “Salah satu alasannya memang itu, tapi alasan lainnya karena jadwalku cuma zoom meeting sama klien. Kan bisa dilakukan dari rumah.”Setelah dirasa supnya pas dan kematangannya sempurna, Feli pun mematikan kompor, kemudian memberi isyarat kepada Bik Sumi agar menuangkan sup itu ke dalam wadah kecil.“Oh iya, posisi Mama masih di mana? Hari ini Kimmy bubar jam dua belas, kok.” Feli melepas celemek dan menggantungnya di hanger.“Ini masih nemenin papa kamu di barber shop, Nak. Habis itu langsun
“Tidurnya pindah ke ruanganku, ya?”Bisikan lembut, yang diiringi sentuhan di pipi membuat Feli membuka mata. Ia terkejut begitu melihat Archer sudah duduk di sampingnya.“Maaf, aku ketiduran.” Feli menegakkan punggungnya lalu menarik napas panjang. “Tamunya sudah pulang?”Archer mengangguk. “Sudah, baru saja keluar. Kenapa kamu nggak bilang dari tadi ada di sini, hem?”“Aku nggak mau ganggu pekerjaan kamu.” Feli melihat penunjuk waktu di tangan kanannya, ternyata ia hanya ketiduran tidak lebih dari lima menit. Ia tertidur sesaat setelah mengirim pesan kepada Archer. “Karena sekretarismu bilang tamunya sangat penting, jadi lebih baik aku tunggu saja di sini.”“Nggak ada yang jauh lebih penting daripada istriku, Fel,” gumam Archer sembari mengambil goody bag berisi rantang makanan dari atas meja. “Kalau sejak tadi aku tahu ternyata kamu ada di sini, sudah pasti aku akan mengakhiri