“Mami! Papi! Kenapa lama banget di dalamnya?!”Seruan melengking Kimberly yang diiringi ketukan pintu berkali-kali, membuat Archer terperanjat lalu berguling ke samping istrinya.“Shit,” umpatnya lirih sembari mengusap wajahnya dengan kasar.Feli terkekeh melihat raut muka frustrasi di wajah suaminya itu. “Kan? Apa aku bilang tadi? Kena kan sekarang?” Ia bangkit duduk sembari membetulkan kancing pakaiannya yang sudah terlepas semua. Sementara ketukan di pintu terus berulang-ulang. “Iya, sebentar, Nak! Papi sama Mami kesitu!” seru Feli.Archer mendecak kesal. Ia terpaksa bangkit duduk. Satu telapak tangannya meraih pipi sang istri dan menatapnya dengan tatapan sayu. “Kita selesaikan di rumah nanti malam."“Aku nggak punya kesempatan untuk menolak, bukan?” Feli berdecak lidah, lantas menahan tangan Archer yang akan membantu memasangkan kancing kemejanya. “Nggak usah, ini biar aku saja. Kamu temui Kimmy, kasihan dia sendirian.”Ah, Archer jadi merasa bersalah sudah mengabaikan putrinya de
Feli rasa, sudah saatnya ia jujur mengenai perasaannya yang sesungguhnya. Archer berhak tahu. Apalagi saat ia melihat sorot mata Archer yang penuh harap, Feli jadi merasa tak tega untuk terus menggantungkan perasaannya.“Hm? Kenapa nggak jawab?” gumam Archer sembari menyelipkan helaian rambut Feli ke belakang telinga. “Apa sulit bagimu untuk mencintaiku, Fel?”Feli sedikit menunduk, belum jujur saja pipinya sudah terasa panas. Ia lantas menatap Archer dengan lekat. “Em… Archer, sebenarnya—”Ucapan Feli seketika terhenti saat ponsel Archer terdengar berdering.“Sunshine, tunggu sebentar,” ucap Archer, lalu merogoh saku celana dan mengeluarkan ponsel dari sana. “Ada apa malam-malam kepala cabang telepon?”“Ada yang penting kali.” Feli ikut melihat layar ponsel sang suami. “Angkat aja. Nggak mungkin malam-malam nelepon kalau nggak ada yang penting.”Archer mengangguk, mengiakan saran istrinya. Karena di sekitar mereka berisik, Archer lantas memindahkan Kimberly ke pangkuan ibunya lalu be
Jemari Feli bergetar. Wajahnya terlihat pucat memikirkan segala kemungkinan buruk yang terjadi kepada suaminya. Di tengah kepanikannya, ia berusaha untuk tetap berpikir jernih. Kemudian menghubungi Vicky, asisten pribadi Archer yang juga ikut ke Surabaya.Feli berjalan mondar-mandir sembari menggigit bibir bawah dengan raut muka khawatir. Ia mengumpat pelan ketika panggilan Vicky pun tidak terangkat.“Sayang, ayo kita pulang. Mama nggak akan ikut acaranya sampai—Fel? Ada apa? Kenapa kamu terlihat gelisah?” Leica yang semula berjalan dengan santai dan anggun, seketika terkejut dan melangkah tergesa menghampiri putrinya yang tengah menempelkan ponsel di telinga dan tampak gelisah.“Ma, Archer… Archer nggak bisa dihubungi.” Mata Feli berkaca-kaca, dia menatap layar ponselnya dan memainkannya, lalu menempelkannya lagi di telinganya.“Sebentar, sebentar. Kamu tenang dulu, Sayang.” Leica merangkul bahu Feli dengan penuh kebingungan. “Coba ceritakan sama Mama apa yang terjadi? Bukannya Arche
“Mas, kenapa kejadian seperti ini harus menimpa anak kita?”Axl tak bisa menjawab pertanyaan istrinya yang selama dalam perjalanan tak berhenti meneteskan air mata. Tak ada yang bisa Axl lakukan selain menggenggam tangan dan memeluk Gendarly untuk memberinya ketenangan.“Kita berdo’a saja, semoga Tuhan memberikan keselamatan pada Archer,” ujar Axl seadanya, pikirannya semrawut dan kacau, sehingga tak bisa berpikir jernih untuk mencari kata-kata lain selain kalimat tersebut.“Mas pikir dari tadi aku nggak berdo’a?” Gendarly menarik tangannya dari genggaman suaminya. “Mas! Setiap menit aku selalu berdo’a di dalam hati untuk keselamatan anak kita. Memangnya seperti Mas? Dari tadi kamu terlihat tenang-tenang saja seolah-olah nggak ada yang terjadi.”Axl menghela napas panjang sembari mengelus dada. “Memangnya Mas harus gimana? Nangis-nangis seperti kamu sampai seisi pesawat tahu kalau lelaki tua ini cengeng?”“Nggak gitu juga, Mas!” Raut muka Gendarly terlihat semakin keruh. Ia memalingkan
“Argh! apa perlu aku terluka dulu supaya kamu mau mengaku… Sunshine?”“Ya?!” Feli terkesiap.Tangisannya seketika terhenti lalu mengangkat kepalanya dari bantal, ia menatap Archer yang masih memejamkan mata, dengan tatapan Feli yang penuh kebingungan.“Ka-kamu… sudah sadar? Barusan kamu yang bicara?” Feli takut dirinya hanya berhalusinasi.Perlahan-lahan kelopak mata Archer terbuka, hingga Feli bisa melihat mata elangnya yang dihiasi bulu mata lentik nan tebal. Sorot mata Archer terlihat sendu. Tangannya mengelus lengan Feli yang masih melingkari perutnya.“Aku pikir aku nggak akan bisa melihatmu lagi, Fel,” lirih Archer, “aku sangat takut… takut saat di bandara itu ternyata pertemuan terakhirku denganmu dan anak kita.”Air mata Feli kembali menetes sembari menggigit bibir bawahnya yang gemetar. Ia tak sanggup berkata-kata. Melihat Archer berbicara di hadapannya saja sudah terasa seperti mimpi.Telapak tangan Archer bergerak naik dan berakhir di pipi Feli, menangkupnya, ibu jarinya me
“Aku dapat kabar kalau kakimu patah?! Kalau begitu, apa saudara kembarku ini nggak akan terlihat keren lagi?!”“Ssst! Bisa pelankan suaramu?” desis Archer dengan tatapan yang berubah tajam ketika pria berseragam pilot membuka pintu ruangan rawatnya sembari berseru.“Oops! Sorry.” Auriga membungkam mulutnya dan berjalan menghampiri ranjang pasien.Secara spontan Archer menarik selimut hingga menutupi bahu Feli yang terlelap di sebelahnya, masih dengan posisi yang sama seperti semalam; lengannya dijadikan bantal kepala sang istri.Ya, setelah Archer menceritakan apa yang terjadi kepadanya di Surabaya sampai ia dilarikan ke rumah sakit, Feli sempat menitikkan air mata. Lalu tak lama kemudian wanita ini terlelap dalam pelukannya hingga pagi ini.“Untuk istrimu.” Auriga menunjukkan paper bag kecil di tangannya, lalu menaruhnya di atas rak.Archer mengangguk. “Kamu baru datang?”“Iya.”“Kenapa nggak langsung pulang ke rumah? Memangnya nggak mengantuk setelah perjalanan jauh semalaman?”Pria
Padahal biasanya Feli tidak secengeng ini. Ia seringnya cenderung tidak peduli pada apapun yang Archer rasakan. Namun, saat barusan melihat sorot mata Archer nampak kecewa, hati Feli tiba-tiba melunak begitu saja. Ia merasa bersalah.Feli sadar, sebagai seorang istri seharusnya ia tidak mudah meminta sesuatu pada pria lain sekalipun itu iparnya. Meski sebenarnya Feli bukan meminta, tetapi hanya menitip. Dulu mungkin Archer tak akan peduli. Namun sekarang mereka sudah sama-sama berkomitmen untuk menjalani rumah tangga lebih baik daripada sebelumnya.“Please… jangan marah. Aku akan memperbaiki kesalahanku,” gumam Feli, yang membuat Archer tercenung.Suasana hening cukup lama. Dan posisi kepala Feli masih rebah di atas paha suaminya sembari memejamkan mata. Feli merasa nyaman dengan posisi seperti ini. Ia seperti mendapat perlindungan dan kenyamanan yang selama ini tidak ia dapatkan dari Archer.“Sunshine,” bisik Archer sembari mengelus puncak kepala Feli dengan penuh kelembutan. “Bangun
“Jangan berburuk sangka. Aku ketemu anakmu di luar bersama ibu mertuamu.”Archer terlihat ingin marah dan mengusir Eden, pria yang barusan berbicara, agar pergi dari hadapannya. Namun kehadiran Kimberly berhasil menahan amarah Archer.Eden mendekati ranjang pasien.“Mami, kenapa kemarin tidur lama banget? Aku khawatir sama Mami dan adik bayi,” rengek Kimberly dengan mata berkaca-kaca.Feli berjongkok, memeluk putrinya dengan erat. “Mami nggak apa-apa, Sayang. Kemarin cuma terlalu lelah jadinya Mami tidurnya lama.”“Sekarang Mami sudah sehat?”“Sudah. Adik bayinya juga kangen nih sama Kakak.”Kimberly terkikik mendengar dirinya dipanggil Kakak.Feli melihat sepasang pantofel mendekat dan berhenti di dekatnya. Ia tak perlu mendongak untuk tahu siapa pemilik kaki tersebut. Namun, Feli bisa merasakan tatapan pria itu tertuju kepadanya.“Jaga pandanganmu. Aku tidak akan segan-segan merusak indra penglihatanmu kalau masih lancang memandangi istriku,” ketus Archer dengan suara dingin, membua