“Melati, ... dengarkan aku baik-baik. Cari tempat yang banyak sinyalnya karena di kampung kamu terkenal susah sinyal!”
“Iya, Mas Rava. Ini saya sudah di depan rumah dekat sawah. Di sini banyak sinyal. Suara saya sudah jelas, kan?” “Baik, tetap di situ. Sekali lagi, dengarkan aku baik-baik.” “Iya, Mas. Baik.” “Melati, ... aku mau menerima perjodohan kita. Aku mau menikahi kamu, bahkan membiayai pengobatan bapak kamu sampai beres. Namun, kamu harus mengizinkan aku menikahi kekasihku. Bapak kamu harus segera operasi, tapi BPJS yang kalian buat belum bisa dipakai, kan?” Selain meminta Melati mengizinkannya menikahi sang kekasih. Ravael juga tak mengizinkan Melati bertemu dengannya, bahkan meski sekadar melihat pria itu. “Kamu juga harus tetap merahasiakan pernikahan kita. Selain kamu yang tidak usah ikut ke Jakarta. Kalau orang tua kita tanya alasannya, bilang saja kamu mau jaga bapak kamu, sementara aku mengizinkan kamu!” “Terus, ... sebenarnya status saya apa, Mas?” tanya Melati di tengah air matanya yang berjatuhan membasahi pipi. Hatinya terasa sangat sakit, seolah di dalam sana ada banyak benda tajam yang sibuk menyayat. “Kamu mau bapak kamu sembuh, tidak? Operasi ginjal itu taruhannya nyawa dan jangka penyembuhannya lama. Walau sudah operasi, pasti ada saja kontrol dan pengobatan lain!” Dada Melati bergemuruh hebat mendengar setiap ucapan Ravael. Mereka memang sudah dijodohkan sejak kecil, tetapi tak sekalipun mereka bertemu. Sebab selain Melati tinggal di kampung, Ravael selalu di Jakarta. Kalaupun orang tua Ravael datang berkunjung ke rumah yang ada di kampung, Ravael tak pernah ikut. Walau berat karena syarat dari Ravael terlalu merugikannya, Melati tak memiliki pilihan lain. Sebab ketimbang memikirkan jangka panjang dari pernikahannya dan Ravael, nasib sang bapak jauh harus lebih diutamakan. Setelah kesepakatan dibuat, semuanya dijalani sesuai keinginan Ravael. Ravael mentransfer sejumlah uang ke Melati. Pengobatan sekaligus operasi kepada bapak Melati sudah langsung dijadwalkan. Melati mengurus semua itu sendiri. Karena selain Melati sudah tidak memiliki ibu, Melati yang baru genap berusia delapan belas tahun juga merupakan anak semata wayang. Dua hari setelah kesepakatan, Ravael dan orang tuanya datang ke kampung Melati tinggal. Ijab kabul langsung digelar dan Melati hanya diam di kamar. Setelah ijab kabul usai, Ravael sudah langsung pamit dan berdalih ada dinas keluar kota yang tidak bisa ditunda. Sekadar menemui Melati, Ravael sama sekali tidak melakukannya. Semuanya apalagi pak Sulaiman menganggap kesibukan Ravael sebagai hal yang patut dipuji. Bagi mereka, Ravael merupakan pria yang sangat bertanggung jawab dan Melati beruntung mendapatkannya. Padahal alasan Ravael buru-buru pergi dari sana karena Ravael akan langsung ke Jakarta dan menikahi kekasihnya dengan pesta mewah. Kepergian Ravael tak sengaja melihat Melati. Melati berjalan kaki untuk membeli gula di warung dan lokasinya agak jauh dari rumahnya. Namun karena belum pernah melihat wujud Melati, Ravael tak tahu jika wanita sangat cantik berkulit putih bersih itu merupakan wanita yang baru saja ia nikahi. “Masa di kampung yang jalannya masih penuh lobang bahkan licin, ada wanita secantik bidadari? Mirip blasteran Turki. Kulitnya putih sebening itu. Bentar deh, ... di bulak sepi gini, ada wanita cantik jalan kaki. Kok malah jadi horor ngeri, ya?” Karena kecantikan Melati yang bagi Ravael tak masuk akal, pria itu berpikir bahwa Melati tidak nyata. Ravael justru yakin, Melati itu demit cantik penunggu sekitar sana. Ravael yang sempat mengemudikan mobilnya dengan pelan hanya karena kesibukannya mengawasi Melati yang membuatnya terpesona, refleks menambah kecepatan laju mobilnya. “Pyaaaarrrrrr!” Air di genangan jalan mengenai Melati. Tubuh sebelah kanan Melati kuyup oleh air bercampur lumpur. Rasa nelangsa sungguh tak kuasa Melati tepis. Terlebih Melati tahu, yang mengemudikan mobil dan sampai mengguyurnya menggunakan genangan air bercampur lumpur, suaminya sendiri. Karena meski belum bertatap muka atau sekadar melihat dari kejauhan dengan Ravael. Melati paham mobil Ravael. Mobil Lexus warna hitam yang tampak gagah sekaligus mewah itu milik pria yang menikahinya, tetapi tak sudi melihat apalagi mengenalnya. “Memangnya di matanya, aku ini hina banget, apa gimana? Dinikahi, tetapi tak diinginkan. Jangankan mengenal dan menyayangi seperti suami di luar sana. Sekadar melihatku saja, dia tidak sudi,” batin Melati. Air matanya berlinang membasahi pipi. Namun karena hampir sebagian wajahnya terkena genangan air bercampur lumpur, air mata itu tak tampak. Sore semakin gelap akibat mendung sisa hujan kemarin yang masih menguasai langit. Melati bergegas melanjutkan langkah sebab tamu di rumahnya, harus segera ia suguhi minum. *** Tiga tahun berlalu, semuanya masih seperti kemauan Ravael. Tak sekalipun Ravael datang menemui Melati. Pesan WA menjadi satu-satunya perantara komunikasi mereka. Karena sekejam-kejamnya Ravael, pria itu masih mentransfer sejumlah uang meski jumlahnya tidak seberapa. Mas Ravael : Bulan ini aku enggak bisa transfer dan entah sampai kapan. Istriku terkena kanker serviks. Sudah stadium tiga dan aku sedang butuh banyak biaya. M : Saya turut berduka, Mas. Semoga penyakit istri Mas segera diangkat, dan baik istri Mas maupun Mas sendiri diberi kekuatan untuk menjalani cobaan ini. M : Jika Mas membutuhkan bantuan, meski saya hanya bisa memberikan bantuan tenaga dan doa, jangan sungkan untuk mengabarinya. Mas Ravael : Ya. Terima kasih banyak. M : Sekalian, Mas. Mohon maaf, punten. Saya mau izin pergi kerja. Bukan ke luar negeri. Masih di dalam negeri. Mas Ravael : Terserah. M : Terima kasih banyak, Mas 🙏 “Daripada bertahan di kampung yang hasil kerjanya enggak seberapa, terus apa-apa serba jadi omongan tetangga.” Di dalam kamarnya yang sangat sederhana, Melati termenung. Apa pun keadaannya. Meski statusnya sebagai istri pertama Ravael, tak lebih mulia dari wanita simpanan. Melati masih sangat menghargai Ravael. Tak pernah sekalipun ia mengeluh, meski uang bulanan yang Ravael kirim kepadanya tidak pernah lebih dari tiga ratus ribu. Sisanya karena Melati harus tetap menanggung pengobatan sang bapak yang makin ringkih, Melati bekerja sebagai kasir di alfa yang ada di kecamatan dirinya tinggal. Sesekali jika belum jam kerja terlebih jika di hari libur, Melati juga tak segan bekerja ke sawah. Potret kehidupan yang Melati jalani masih sangat sederhana. Melati tetap tinggal di rumah semi permanen milik orang tuanya dan keadaannya tak kalah ringkih dari kesehatan sang bapak. Padahal karena dinikahi Ravael, Melati dicap sebagai simpanan pria kaya. Namun kehidupannya tak lebih miris dari warga sekitar, hingga ia yang selalu menjadi bahan gosip hangat, kerap selalu menjadi sumber canda sekaligus gelak tawa. ***Sampai Jakarta selaku tujuan tempatnya bekerja, perasaan Melati jadi tak karuan. Sebab meski tengah berada di kota sang suami berikut mertuanya tinggal, Melati tetap tidak diizinkan mengabari apalagi menampakan diri. Tentu Ravael yang melarangnya. Pria yang telah menikahi Melati di atas kesepakatan itu masih memegang kendali aturan dalam hubungan mereka. Awal Melati jujur, bahwa dirinya akan bekerja di Jakarta pun, Ravael langsung marah-marah di telepon. Namun sambil terisak pilu, Melati mengurai alasannya kepada sang suami. Bukan hanya uang bulanan pemberian Ravael dan paling besar bernominal tiga ratus ribu, yang sama sekali tidak mencukupi. Namun karena Melati sudah telanjur tanda tangan kontrak. Melati bisa terkena denda besar, andai Melati tak lanjut kerja dan itu melanggar kontrak. Tentunya, bapak Melati juga masih butuh banyak biaya untuk berobat. Sedangkan Ravael tak mungkin memenuhinya. Karena jangankan mengurus bapak Melati yang hanya mertua, mengurus istri kedua Ravael
Melati mengetik pesan-pesan untuk sang suami sambil berderai air mata. Ia duduk di tempat duduk yang disediakan di teras alfa. Sementara bukannya diminum, air mineral yang Melati beli, justru Melati pakai untuk membasuh wajah khususnya membasuh kedua matanya. Lagi-lagi kedua matanya jadi sembab hanya karena pengabaian yang selalu ia terima dari suaminya. Seperti biasa, lagi-lagi pesan yang Melati kirimkan kepada sang suami, hanya dibaca. “Mas Rava memang menganggap aku sangat tidak penting. Atau memang ada alasan lain hingga semua pesan dariku tidak pernah dia balas? Atau memang karena mas Rava sedang sakit?” Namun, Melati memutuskan untuk mencari tahu besok. Hari besok juga, Melati akan menghubungi mama mertuanya. Di lain sisi, di tempat berbeda, pesan-pesan dari Melati membuat Ravael merenung serius. Ravael yang berdiri di ruang sebelah Nilam terbaring lemah, melongok Nilam. Nilam masih tidur, hingga Ravael kembali fokus ke ponsel. Di ponselnya masih dihiasi ruang obrolan WA d
Kebersamaan di bangku tunggu yang ada di depan restoran, masih berlangsung hangat. Orang tua Ravael masih menatap sang menantu penuh harap. Jejak lelah begitu kentara dari gelagat Melati. Buih keringat yang masih kerap jatuh dan sudah membuat rambut sekaligus wajah basah. Keadaan itu membuat orang tua Ravael yakin, Melati yang harusnya masih mengeyam bangku kuliah, sudah sangat bekerja keras.Hingga meski Melati tidak menyanggupi permintaan kedua mertuanya. Caranya yang santun, juga perjuangan Melati yang nyata untuk sang bapak jauh di kampung sana, membuat orang tua Ravael maklum. Terlebih, Melati berdalih akan berusaha pulang ke rumah setelah dirinya beres bekerja. Jadi, Melati tak akan tinggal di mess restoran lagi yang keberadaannya ada si lantai paling atas restoran berlantai empat di sana.“Aku kira mereka akan membahas perceraian karena kemarin, aku sudah membahasnya dengan mas Rava. Meski lagi-lagi, tidak ada balasan karena setiap pesanku memang hanya beliau baca. Namun terny
Dering tanda telepon masuk di ponselnya, membuat Melati amat sangat girang. Berdebar-debar hatinya seiring senyum di wajah lelahnya yang benar-benar lepas, hanya karena telepon masuk tersebut dari Ravael. Meski biasanya alasan suaminya itu menelepon karena untuk menjabarkan semua peraturan dalam hubungan mereka, dan semuanya merupakan larangan untuk Melati. Kali ini Melati yakin, alasan sang suami menghubunginya bukan untuk itu. Melati berpikir, bisa jadi Ravael yang sudah tahu kepulangan Melati ke rumah, akan menawarkan jemputan, maupun menawarkan perhatian lainnya.Kebahagiaan Melati juga sampai dirasakan oleh pak Dimas yang kebetulan datang. Dari luar kamar mess Melati yang tak sepenuhnya tertutup, pria berkacamata itu menyaksikan wanita muda yang diam-diam mencuri perhatiannya, terlihat sangat bahagia.“Enggak biasanya Melati begitu. Melati kelihatan bahagia banget,” batin pak Dimas.“Assalamualaikum, Mas? Mas, ... malam ini juga aku akan pulang ke rumah! Aku baru beres siap-siap
“Ternyata ... dia ... dia Mas Ravael? Kami pernah bertemu, ... dia ... dia temannya pak Dimas ....” Walau hanya berbicara dalam hati, pertemuannya dengan Ravael membuatnya tak kuasa melakukannya. Iya, sekadar berkata-kata dalam hati, mendadak sangat sulit Melati jalani. Lidahnya terlanjur kelu selain rasa aneh yang membuat dadanya menghangat.Gugup Melati rasakan karena ternyata, suaminya sangat tampan. Bisa Melati pastikan, tak ada wanita yang tidak terpikat kepada suaminya, terlebih jika suaminya sampai memberikan perhatian. Pantas selama ini, Ravael selalu semena-mena kepadanya. Karena Ravael pasti merasa Melati yang hanya gadis desa, tak pantas bersanding dengannya.Dunia seorang Melati seolah berputar lebih lambat dibuatnya, menjadikan Ravael sebagai porosnya. Tiga tahun lebih dinikahi, tetapi temu di antara mereka benar-benar baru terjadi. Sungguh hubungan yang sulit dimengerti, tetapi Melati berharap, temu kali ini akan menjadi awal yang baik untuk hubungan mereka.Diam-diam, s
Baru beres makan dan bibir pun masih belepotan, Nilam sudah ketiduran. Nilam tidur dalam keadaan mangap. Selain itu, Nilam juga mendengkur sangat keras dan menyita keheningan di sana.Perubahan drastis tersebut membuat Melati khawatir. Bisa Melati pastikan, bahwa madunya itu sangat tersiksa. Namun kemudian Melati ingat pesan-pesan mertuanya yang selalu mengingatkannya di setiap ia putus asa pada hubungannya dan Ravael. Kedua mertuanya itu begitu yakin, bahwa usia Nilam hanya tinggal sebentar lagi. Yang dengan kata lain, kemungkinan Ravael akan fokus ke Melati sangatlah besar.“Bukannya ingin mendahului, tetapi jika keadaannya begini, memang lebih baik diikhlaskan saja,” batin Melati yang tentu tak berani mengatakannya kepada Ravael.Belum apa-apa, Ravael sudah langsung menyuruh Melati keluar. “Jangan bikin aku marah!”“Memangnya ... aku, ... ngapain, Mas? A—aku, salah?” Suara Melati tercetak di tenggorokan. Ia sungguh bingung kenapa Ravael terlihat sangat marah kepadanya. Cara pria it
“Pak Supri,” ucap pak Dimas buru-buru keluar dari mobilnya.Pak Supri baru turun dari mobil box. Pria berkulit kuning langsat itu refleks mencari sumber suara pria yang memanggilnya, dan ia kenali sebagai suara pak Dimas sang bos. Di depan restoran sana dan merupakan tempat parkir khusus untuk pak Dimas selaku bos sekaligus pemilik restoran, pria berkacamata itu tersenyum ramah kepadanya.Pak Dimas tampak sangat bersemangat sembari menunggu sang putri turun dari mobil juga. Pak Supri segera menghadap. Ia agak berlari menghampiri pak Dimas yang sedang bertatap penuh senyum dengan bocah perempuan sangat menggemaskan dan kiranya berusia tiga tahun.Seperti biasa, hari ini pak Dimas kembali menyetir sendiri. Sementara sang putri yang sangat aktif, duduk di sebelahnya menggunakan tempat duduk kusus.“Wah ... Non Chiki ikut! Makin gemesin saja, Masya Allah ya!” ucap pak Supri kepada bocah perempuan yang baru saja digendong oleh pak Dimas.Ketika sang papa sangat ramah dan murah senyum, boca
Biasanya, tak ada hal yang tidak pernah Nilam dapatkan dari Ravael. Pria itu akan selalu menuruti semua kemauannya. Apa pun yang Nilam minta, Ravael selalu mewujudkannya. Namun khusus hari ini, sekadar minta dibuatkan sup bening seperti yang dibuatkan ART baru di rumah mereka, Ravael belum bisa melakukannya.Hampir seharian Nilam meraung-raung, meminta sup bening buatan Melati. Nilam menolak semua sajian yang disuguhkan. Beberapa sup yang ia dapatkan dan beberapa di antaranya merupakan buatan Ravael juga berakhir Nilam singkirkan.Bukan hanya tempat tidur Nilam saja yang basah oleh setiap sup untuknya. Sebab lantai berbahan kayu di sana juga bernasib serupa dan itu masih karena Nilam yang mengamuk. Ravael kewalahan. Ravael sangat emosi, tetapi lagi-lagi ia menyalahkan Melati. Bahkan walau yang membuatnya kewalahan memang Nilam. Bagi Ravael, tetap Melati yang harus disalahkan.“Cepat cari pembantu baru itu, Rav. Aku mau makan sup itu pake nasi.”Nilam masih meraung-raung. “Lama banget
“Aku lupa nama buahnya—” Melati menatap putus asa wajah suaminya. Bibirnya mengerucut manja atas kesedihan yang tengah ia rasa. Kepada Dimas, Melati memang sangat bebas. Marah, manja, cemburu, bersedih, Melati tuangkan tanpa ada yang ditutup-tutupi. Di hadapannya, Dimas yang berlutut jadi tertawa pasrah.“Aduh Sayang, ... suamimu enggak bisa baca pikiran kamu. Buah apa, ya? Sayang pengin buah apa? Coba dikatakan ciri-cirinya, nanti aku usahakan. Mana tahu, setelah makan buah itu, si Adik lahir,” lembut Dimas masih menyikapi istrinya penuh senyuman.Dimas sama sekali tidak marah pada serangkaian drama mengidam dari Melati. Di pangkuan Melati, kedua tangan mereka masih saling genggam. Sementara tatapan Dimas kepada Melati, amat sengat perhatian. Tatapan sekaligus perlakuan yang amat sangat membuat Melati nyaman. Hingga bersama Dimas, Melati juga merasa sangat bebas dalam berekspresi.Kebersamaan Dimas dan Melati berlangsung di halaman rumah Dimas. Keduanya sedang berjemur, memanfaatkan
“Coba Sayang dekati Ravael, bilangin dia jangan begitu. A—aku ... aku beneran bingung, Sayang!” ucap Dimas kepada Melati yang ia harapkan bisa memberi Ravael arahan.Bagi Dimas, sudah selayaknya dirinya yang diberi kemudahan dalam segala hal, merangkul sesama bahkan itu sahabatnya, untuk menjadi sosok yang lebih baik. Dimas percaya, hal semacam itu mampu membuat hidupnya jauh lebih berguna. Yang mana setiap hal yang ia lakukan, juga akan berdampak pada orang-orang di sekitarnya, tanpa terkecuali, orang-orang yang ia sayangi.“Dim, ... si Ravael cinta banget ke Melati. Mama bahkan yakin, alasan Ravael terpuruk begitu karena penyesalan yang amat sangat dalam, setelah dia menyia-nyiakan dan berakhir kehilangan Melati. Lah kok, ... kamu justru minta istrimu menemui Ravael? Berasa sengaja nyerahin istri ke kandang buaya. Ya ... ya pokoknya itu, lah. Kamu sudah menciptakan kesempatan buat Ravael mendekati Melati!” nyonya Filma berucap lirih dan merasa sangat geregetan kepada putranya. Bisa-
Dimas tidak bisa untuk tidak terkejut. Di malam pertamanya dan Melati, ia mendapatkan fakta yang amat sangat mencengangkan. Ia jadi tak hentinya merinding. Selain, Dimas yang jadi sangat bingung. Otak Dimas mendadak tidak bisa bekerja. Bagaimana mungkin, Melati yang sebelumnya pernah menikah dengan Ravael, dan statusnya merupakan janda dari sahabatnya. Yang mana, pernikahan Melati dan Ravael berlangsung lebih dari tiga tahun, justru masih suci?Sungguh, Dimas menjadi orang pertama ‘yang melakukannya’ kepada Melati. Di bawahnya, Melati masih sesenggukan tanpa keluhan berarti. Tadi, saat awal-awal Dimas nyaris menerobos ‘kesucian' Melati, Melati memang sempat merintih kesakitan. Namun setelahnya, Melati buru-buru menggunakan kedua tangannya untuk membekap wajahnya erat. Selain isak tangis lirih Melati tak lagi terdengar, Dimas juga tak lagi bisa melihat wajah kesakitan Melati dan sempat Dimas pergoki berlinang air mata.“Jika kondisinya begini ... harusnya aku bahagia, tetapi aku just
Melati dan Dimas akhirnya resmi menikah secara agama. Sementara untuk urusan pernikahan secara hukum, juga langsung diurus. Iya, Dimas tak hanya menikahi Melati secara agama, layaknya pernikahan yang sebelumnya Melati dapatkan dari Ravael.Beres ijab kabul, Dimas langsung meminta bantuan pak RT untuk mengurusnya. Karena pernikahan beda wilayah bahkan sekadar beda kecamatan, tetap harus diurus khususnya perihal domisili KK hasil pernikahan akan dibuat. Terlebih nantinya, baik Melati maupun pak Sulaiman akan diboyong ke Jakarta.Berbeda dari pernikahan lain, pernikahan Melati dan Dimas justru terus diwarnai gunjingan. Padahal, keduanya bukan pasangan selingkuh, atau pasangan yang terpaksa dinikahkan. Hanya karena usia Melati yang masih muda, tetapi sudah menikah dua kali padahal belum lama menjadi janda. Juga, kenyataan Dimas yang tak lebih tampan dari Ravael. Tetangga terus saja menggunjing sekaligus menertawakan keduanya.“Ya Allah ... jalan ke dapur, tahu-tahu tetangga yang masih di
Dimas terus saja dibanding-bandingkan dengan Ravael, mantan Melati dan bagi semuanya, jauh lebih good looking ketimbang Dimas. Setelah tetangga tak segan mengatakan, bahwa Melati yang masih muda sekaligus sangat cantik, bisa mendapatkan yang lebih dari Dimas. Pak Sulaiman juga terang-terangan meminta Dimas untuk segera menceraikan Melati, setelah keduanya resmi menikah. Hal tersebut harus Dimas lakukan agar Ravael bisa kembali menikahi Melati.Niat baik Dimas dan nyonya Filma, berikut bawaan keduanya yang sangat banyak, tak mampu menyentuh hati pak Sulaiman. Sebagai anak, Melati jadi malu sendiri.“Aku benar-benar minta maaf, Mas. Ma.” Melati bahkan terlalu bingung harus memulai dari mana.Melati berdiri di samping meja kayu berbentuk persegi panjang yang menghiasi ruang tamu. Di ruangan yang juga merangkap menjadi ruang keluarga tersebut, obrolan berlangsung. Bawaan dari Dimas dan jumlahnya banyak, memenuhi lantai keramik putih di sana.“Aku ... aku bahkan terlalu bingung harus mula
“Aku benar-benar minta maaf, Mel! Selama ini aku enggak tahu wujud kamu—”“Bagaimana mungkin Mas bisa tahu, kalau melihatku saja, Mas jijik?” Melati berucap tegas. Ia melongok dari balik punggung calon suaminya hanya untuk menatap mantan suaminya. Di hadapannya dan masih memohon kepadanya, Ravael juga tetap berlutut. “Iya, ... aku tak memungkirinya. Bahwa aku sudah berulang kali menegaskan kepadamu, bahwa aku jijik kepadamu,” ucap Ravael.“Aku jijik kepadamu yang mau-mau saja dijodohkan denganku. Padahal selain kamu baru lulus SMA, kita sama sekali tidak saling mengenal. Kita bahkan belum pernah bertemu.”“Hingga karena itu juga, aku yakin, hanya wanita murahan, dan juga menjijikan yang mau-maunya dijodohkan dengan orang asing. Tentu karena kamu mau, ... kamu juga masuk ke dalam golongan yang aku maksud!”Ravael masih menatap saksama kedua mata mantan istrinya. Di balik punggung Dimas, Melati balas menatapnya.“Namun perlu kamu tahu, ... aku sudah langsung jatuh cinta kepadamu, sejak
Dunia orang tua Ravael seolah menjadi berputar lebih lambat dan bahkan nyaris berhenti berputar. Kedua mata mereka langsung mengenali Melati. Alasan tersebut pula yang membuat keduanya refleks berdiri, meninggalkan kursi yang awalnya mereka duduki.Hati pak Bagyo maupun sang istri seketika teriris pedih. Terlebih, perubahan Melati justru dibarengi dengan mantan menantunya itu yang mau-mau saja digandeng mesra oleh Dimas. Iya, Dimas, sahabat Ravael—anak mereka. Padahal, baik ibu Irma maupun pak Bagyo pikir, Melati akan memperbaiki pernikahan dengan Ravael. Namun kini, wanita yang tengah mereka nantikan kabarnya itu justru menjadi bagian dari Dimas. Padahal, mereka berpikir bahwa wanita yang Dimas gandeng, merupakan wanita paling beruntung. Mereka sungguh baru memuji-muji, dan sampai memanjatkan doa terbaik.Kedua orang tua Ravael merasa sangat kecewa kepada Melati. Fitnah perselingkuhan yang sebelumnya sempat Ravael sampaikan kepada keduanya, seketika menjadi keyakinan di pikiran mere
“Melati memang kerja, apa kamu larang-larang ke sini sih, Rav?” Ibu Irma menatap curiga sang putra. Seperti tiga hari terakhir setelah kedatangan Melati, putranya itu masih saja gelisah. Selain itu, ibu Irma juga merasa bahwa Ravael jadi makin kurus. Pipinya sangat tirus.Di sebelah sang istri, Pak Bagyo yang selalu sigap menjaga, juga tak kalah curiga. Terlebih sejak kedatangan terakhir tiga hari lalu, jangankan datang, mengabari lewat WA saja, Melati tak melakukannya. Termasuk juga pesan dan telepon mereka, sudah tidak ada yang direspons. Karena sepertinya, Melati sampai ganti nomor ponsel. Nomor ponsel Melati sudah tidak aktif.“Ya sudah, nanti kita langsung mampir ke restoran Dimas saja,” ucap pak Bagyo yang tak menerima pembelaan dari Ravael. Ia tetap akan membawa sang istri mampir ke restoran Dimas selaku tempat kerja Melati, meski Ravael melarangnya.“Aku pun enggak tahu kabar Melati lagi. Namun Dimas bilang, mereka akan langsung menikah. Dan, ... alasan nomor hape Melati tak
“Kamu enggak tidur?” Dimas membawa nampan berisi roti lapis dan dua susu yang mengepulkan asap tipis.Melati menatap kedatangan Dimas dengan tatapan sebal. Pria itu datang dengan kepala yang masih agak basah. Aroma segar dari shampo maupun sabun, berbaur menjadi satu dengan aroma parfumnya. Jika melihat dari pakaiannya, yaitu kemeja lengan panjang slim fit warna merah dipadukan dengan celana panjang warna hitam, tampaknya Dimas sudah akan berangkat kerja.“Aku kan sudah bilang, ... jangan terlalu dipikirkan. Kalau begitu kamu mandi, terus kita sarapan, habis itu baru, aku bawa kamu ketemu mamaku. Mamaku pasti setuju, Mel. Mamaku sudah ingin lihat aku nikah lagi.”“Mamaku belum sepuh-sepuh banget. Beliau masih aktif dan masih bisa bantu urus Chiki. Aku punya adik, tapi adikku juga sudah nikah. Sekarang adikku tinggal di Ausi bareng suami dan anaknya. Jadi, aku berharap kamu sama Mama bisa jadi teman.”“Mamaku bukan yang rese, bukan. Malahan mama bilang, nanti dia yang urus Chiki biar k