Kebersamaan di bangku tunggu yang ada di depan restoran, masih berlangsung hangat. Orang tua Ravael masih menatap sang menantu penuh harap.
Jejak lelah begitu kentara dari gelagat Melati. Buih keringat yang masih kerap jatuh dan sudah membuat rambut sekaligus wajah basah. Keadaan itu membuat orang tua Ravael yakin, Melati yang harusnya masih mengeyam bangku kuliah, sudah sangat bekerja keras. Hingga meski Melati tidak menyanggupi permintaan kedua mertuanya. Caranya yang santun, juga perjuangan Melati yang nyata untuk sang bapak jauh di kampung sana, membuat orang tua Ravael maklum. Terlebih, Melati berdalih akan berusaha pulang ke rumah setelah dirinya beres bekerja. Jadi, Melati tak akan tinggal di mess restoran lagi yang keberadaannya ada si lantai paling atas restoran berlantai empat di sana. “Aku kira mereka akan membahas perceraian karena kemarin, aku sudah membahasnya dengan mas Rava. Meski lagi-lagi, tidak ada balasan karena setiap pesanku memang hanya beliau baca. Namun ternyata, orang tua mas Rava ingin aku tinggal bersama mereka. Apakah ini bertanda baik?” Melati yang berbicara dalam hati, tersenyum sopan melepas kepergian orang tua suaminya. Orang tua Ravael pergi menggunakan mobil yang langsung disetir sendiri oleh papa Ravael. Sampai detik ini, Melati sungguh tidak tahu, bahwa alasan keduanya datang sekaligus menemuinya, justru karena fitnah keji dari Ravael kepadanya. Gara-gara permintaan cerai yang Melati bahas, bukannya langsung merespons apalagi menceraikan Melati. Yang ada Ravael malah memfitnah Melati selingkuh. Alasan Melati di Jakarta, dikata Ravael kepada orang tuanya karena Melati tinggal dengan selingkuhannya. Andai Melati sampai tahu, yang ada gadis desa tak berdosa itu pasti makin nelangsa. *** “Kamu hanya salah paham, Rav. Di Jakarta, Melati murni untuk bekerja karena dia enggak mau merepotkan kamu. Restoran tempatnya bekerja sangat tertib. Dia tinggal di mess yang juga ada di restoran. Semua yang dia lakukan terpantau CCTV selama 24 jam!” jelas ibu Irma ketika kabar Melati akan tinggal di sana, dan baru saja ia kabarkan, ditolak oleh Ravael. “Mama enggak mikirin perasaan Nilam! Nilam sedang sakit parah, tetapi Mama menarik Melati ke sini!” Ravael menolak mentah-mentah dan akan terus melakukannya. Ia juga sengaja melewatkan makan malam yang sudah disiapkan oleh sang mama. Hidangan lezat yang memenuhi meja makan di sana, sama sekali tidak mengundang minat Ravael. “Baru pulang dan langsung diajak makan, ujung-ujungnya masih Melati yang mereka bahas. Enggak mikir apa, di kamarku Nilam sedang kesakitan. Terapi sinar yang dia jalani, bukannya membuat Nilam membaik, justru sebaliknya!” gumam Ravael masih marah-marah. Ia yang melangkah sambil menenteng tas kerja dan jasnya, hampir menginjakkan kaki di anak tangga. Anak tangga yang akan menghubungkannya ke lantai atas selaku lantai keberadaan kamarnya. Karena emosinya dan masih Melati yang menjadi penyebabnya, Ravael sampai di lantai dua keberadaan kamarnya lebih cepat dari biasa. Baru menghela napas, rintih kesakitan Nilam, sudah terdengar. Tampaknya selain kesakitan, lagi-lagi istri kesayangannya itu mengamuk. Mungkin karena sederet pengobatan yang dijalani dan itu membuat Nilam sangat kesakitan, emosi Nilam jadi sangat tidak stabil. Tidak ada waktu Nilam yang tidak Nilam lalui dengan marah-marah. Suster atau siapa pun yang membantunya pasti akan salah di mata Nilam. Layaknya saat ini, suster yang akan membantu Nilam ganti popok, Nilam maki tiada henti. Nilam kesakitan, padahal suster yang mengurus sama sekali belum menyentuhnya. Ravael paham, Nilam sudah telanjur trauma. Hingga untuk sekadar membedakan mana nyata dan halusinasi, Nilam tak lagi bisa. Itu juga yang membuat Ravael makin kasihan, hingga ia juga makin peduli kepada sang istri. Iya, kepada Nilam, Ravael memang bisa sabar. Kontras ketika ia memperlakukan Melati. Setelah beres mengurus Nilam dan itu mengganti popok Nilam, Ravael berniat menghubungi Melati. Ada masalah genting yang telah wanita desa itu perbuat. Masalah genting yang mengancam hubungannya dan Nilam. Ravael tak mau, hadirnya Melati di sana, justru membuat Nilam makin sakit. Alasan Nilam dibawa pulang saja karena agar Nilam bisa istirahat dengan leluasa. Terapi sinar yang harus Nilam jalani dan tinggal lima kali lagi, sengaja ditunda agar Nilam bisa istirahat. Diharapkan, tubuh sekaligus kesehatan Nilam juga membaik bersama waktu istirahat yang diberikan. Meski Nilam sempat kecewa karena malah disuruh pulang. Nilam berdalih ingin lanjut saja, tim dokter yang menangani tetap tidak mengizinkan. Karena sekadar disentuh saja, Nilam sudah kesakitan. “Pak Rava, ... punten. Ini ...,” ucap suster yang mengurus Nilam. Karena tak bisa mengurus Nilam selama 24 jam, Ravael memang sengaja memperkerjakan seorang wanita dari yayasan penyalur. Terlebih karena Nilam bukan menantu yang orang tuanya harapkan, orang tua Ravael juga hanya bantu sebisanya. Tentunya kalian juga jangan lupa, bahwa sebelum mengurus Nilam, Ravael sekeluarga sudah habis-habisan membiayai pengobatan orang tua Nilam. Padahal ketimbang mengurus orang tua Nilam, ibu Irma dan sang suami lebih sudi berbagi kepada orang tua Melati yang teman lama mereka. “Kenapa, Sus?” tanya Ravael sambil menaruh tas kerjanya di meja kerja miliknya yang ada di dekat jendela kamar. Ia menyikapi sang suster dengan serius. Karena biasanya, wanita paruh baya itu akan mengabarkan setiap perkembangan Nilam. Sementara yang Nilam lakukan, wanita itu sudah tidur meski Ravael yang mengganti popok Nilam, belum selesai memasang popoknya. Memang separah itu keadaan Nilam yang bisa mendadak tidur bahkan tidak bisa diajak komunikasi, padahal sebelumnya baru saja menangis, teriak-teriak sangat drama. “Punten, Pak. Si Ibu sudah satu minggu belum BAB. Seharian ini, Ibu sangat kesakitan. Biasanya kan, habis suntik block saraf, Ibu bisa BAB,” jelas sang suster yang berbicara dengan logat sunda sangat khas. “Sepertinya, block saraf kali ini memang enggak ngaruh sih, Sus. Terus bagaimana?” tanggap Rafael yang makin bingung. Karena sang suster malah mengajukan cuti untuk satu minggu ke depan. Suami suster tersebut jatuh sakit, dan bahkan baru jatuh dari pohon kelapa. Hingga mau tak mau, Ravael harus memberi susternya cuti. “Bentar ... Melati kan mau ke sini.” Iya, ... Ravael sungguh baru ingat itu. Ia pastikan, ketimbang dimanja-manja oleh orang tuanya, ia akan membuat adanya Melati di sana berguna untuknya maupun untuk Nilam. *** Di mess, Melati sudah memasukkan semua pakaian maupun barang-barangnya ke ransel jinjing. Barang-barang milik Melati memang tidak banyak. Pakaian pun hanya lima setel, satu buah handuk, dan juga sebuah kain jarit untuk selimut. Sisanya hanya perlengkapan mandi dan sebuah lotion tubuh. Melati siap pergi karena ia juga sudah mengantongi izin dari bosnya. Satu hal yang sangat Melati syukuri. Karena ketika suaminya sangat sulit ia dekati dan yang ada selalu memberi jarak, bosnya justru sangat baik bahkan pengertian. Tahu akan pulang ke rumah mertua saja, Melati sampai akan diantar oleh sopir restoran agar Melati sampai tujuan dengan selamat dan tentunya aman. Padahal Ravael saja tetap belum merespon, meski Melati sudah mengabarkan malam ini juga, dirinya akan pulang ke rumah orang tua Ravael. Rumah yang juga menjadi tempat tinggal Ravael beserta Nilam. ****Dering tanda telepon masuk di ponselnya, membuat Melati amat sangat girang. Berdebar-debar hatinya seiring senyum di wajah lelahnya yang benar-benar lepas, hanya karena telepon masuk tersebut dari Ravael. Meski biasanya alasan suaminya itu menelepon karena untuk menjabarkan semua peraturan dalam hubungan mereka, dan semuanya merupakan larangan untuk Melati. Kali ini Melati yakin, alasan sang suami menghubunginya bukan untuk itu. Melati berpikir, bisa jadi Ravael yang sudah tahu kepulangan Melati ke rumah, akan menawarkan jemputan, maupun menawarkan perhatian lainnya.Kebahagiaan Melati juga sampai dirasakan oleh pak Dimas yang kebetulan datang. Dari luar kamar mess Melati yang tak sepenuhnya tertutup, pria berkacamata itu menyaksikan wanita muda yang diam-diam mencuri perhatiannya, terlihat sangat bahagia.“Enggak biasanya Melati begitu. Melati kelihatan bahagia banget,” batin pak Dimas.“Assalamualaikum, Mas? Mas, ... malam ini juga aku akan pulang ke rumah! Aku baru beres siap-siap
“Ternyata ... dia ... dia Mas Ravael? Kami pernah bertemu, ... dia ... dia temannya pak Dimas ....” Walau hanya berbicara dalam hati, pertemuannya dengan Ravael membuatnya tak kuasa melakukannya. Iya, sekadar berkata-kata dalam hati, mendadak sangat sulit Melati jalani. Lidahnya terlanjur kelu selain rasa aneh yang membuat dadanya menghangat.Gugup Melati rasakan karena ternyata, suaminya sangat tampan. Bisa Melati pastikan, tak ada wanita yang tidak terpikat kepada suaminya, terlebih jika suaminya sampai memberikan perhatian. Pantas selama ini, Ravael selalu semena-mena kepadanya. Karena Ravael pasti merasa Melati yang hanya gadis desa, tak pantas bersanding dengannya.Dunia seorang Melati seolah berputar lebih lambat dibuatnya, menjadikan Ravael sebagai porosnya. Tiga tahun lebih dinikahi, tetapi temu di antara mereka benar-benar baru terjadi. Sungguh hubungan yang sulit dimengerti, tetapi Melati berharap, temu kali ini akan menjadi awal yang baik untuk hubungan mereka.Diam-diam, s
Baru beres makan dan bibir pun masih belepotan, Nilam sudah ketiduran. Nilam tidur dalam keadaan mangap. Selain itu, Nilam juga mendengkur sangat keras dan menyita keheningan di sana.Perubahan drastis tersebut membuat Melati khawatir. Bisa Melati pastikan, bahwa madunya itu sangat tersiksa. Namun kemudian Melati ingat pesan-pesan mertuanya yang selalu mengingatkannya di setiap ia putus asa pada hubungannya dan Ravael. Kedua mertuanya itu begitu yakin, bahwa usia Nilam hanya tinggal sebentar lagi. Yang dengan kata lain, kemungkinan Ravael akan fokus ke Melati sangatlah besar.“Bukannya ingin mendahului, tetapi jika keadaannya begini, memang lebih baik diikhlaskan saja,” batin Melati yang tentu tak berani mengatakannya kepada Ravael.Belum apa-apa, Ravael sudah langsung menyuruh Melati keluar. “Jangan bikin aku marah!”“Memangnya ... aku, ... ngapain, Mas? A—aku, salah?” Suara Melati tercetak di tenggorokan. Ia sungguh bingung kenapa Ravael terlihat sangat marah kepadanya. Cara pria it
“Pak Supri,” ucap pak Dimas buru-buru keluar dari mobilnya.Pak Supri baru turun dari mobil box. Pria berkulit kuning langsat itu refleks mencari sumber suara pria yang memanggilnya, dan ia kenali sebagai suara pak Dimas sang bos. Di depan restoran sana dan merupakan tempat parkir khusus untuk pak Dimas selaku bos sekaligus pemilik restoran, pria berkacamata itu tersenyum ramah kepadanya.Pak Dimas tampak sangat bersemangat sembari menunggu sang putri turun dari mobil juga. Pak Supri segera menghadap. Ia agak berlari menghampiri pak Dimas yang sedang bertatap penuh senyum dengan bocah perempuan sangat menggemaskan dan kiranya berusia tiga tahun.Seperti biasa, hari ini pak Dimas kembali menyetir sendiri. Sementara sang putri yang sangat aktif, duduk di sebelahnya menggunakan tempat duduk kusus.“Wah ... Non Chiki ikut! Makin gemesin saja, Masya Allah ya!” ucap pak Supri kepada bocah perempuan yang baru saja digendong oleh pak Dimas.Ketika sang papa sangat ramah dan murah senyum, boca
Biasanya, tak ada hal yang tidak pernah Nilam dapatkan dari Ravael. Pria itu akan selalu menuruti semua kemauannya. Apa pun yang Nilam minta, Ravael selalu mewujudkannya. Namun khusus hari ini, sekadar minta dibuatkan sup bening seperti yang dibuatkan ART baru di rumah mereka, Ravael belum bisa melakukannya.Hampir seharian Nilam meraung-raung, meminta sup bening buatan Melati. Nilam menolak semua sajian yang disuguhkan. Beberapa sup yang ia dapatkan dan beberapa di antaranya merupakan buatan Ravael juga berakhir Nilam singkirkan.Bukan hanya tempat tidur Nilam saja yang basah oleh setiap sup untuknya. Sebab lantai berbahan kayu di sana juga bernasib serupa dan itu masih karena Nilam yang mengamuk. Ravael kewalahan. Ravael sangat emosi, tetapi lagi-lagi ia menyalahkan Melati. Bahkan walau yang membuatnya kewalahan memang Nilam. Bagi Ravael, tetap Melati yang harus disalahkan.“Cepat cari pembantu baru itu, Rav. Aku mau makan sup itu pake nasi.”Nilam masih meraung-raung. “Lama banget
Mas Ravael : Jangan lupa sup untuk Nilam. Aku ke restoran Happy Cooking sekarang.Pesan WA dari Ravael membuat Melati terjaga. “Heh, ini Mas Ravael mau ke sini?” lirih Melati tak percaya.Dalam sekejap, Melati sudah ada di dapur. Melati sangat bersemangat, bahkan hatinya sampai berbunga-bunga. Sampai-sampai, Melati melakukan semuanya dengan serba cepat sekaligus gesit, seolah dirinya tengah menjalani kompetisi berhadiah fantastis. Padahal, sup buatannya sangatlah sederhana. Tak butuh waktu lama untuk membuatnya. Karena cukup menyiapkan sayuran dan bumbu dapur seperti bawang merah, bawang putih, kencur, daun salam, selain garam juga sedikit gula, sup bening khas tempat tinggal Melati, sudah jadi.“Itu pesanan siapa?” tanya salah satu teman kerja Melati.Dapur memang sedang ramai-ramainya karena menjelang jadwal makan malam.“Suami minta dibuatin,” jujur Melati yang lupa untuk merahasiakan kedatangan Ravael.Pengakuan jujur Melati langsung membuat seisi dapur heboh, baper. Selain itu, s
“Mulai sekarang ada peraturan wajib. Bahwa setiap karyawan harus tinggal di mess.”Apa yang baru saja pak Dimas katakan, sukses membuat Melati berpikir keras. “Jika sampai tidak tinggal di mess dan itu sudah izin—”“Tidak ada izin jika itu bukan untuk alasan karena sakit atau malah kematian. Hari bebas meninggalkan mess hanyalah ketika jatah libur.” Pak Dimas sengaja memotong ucapan Melati, agar karyawannya itu tak asal menebak apalagi membiarkan pikirannya jauh lebih berisi banyak perandaian.Melati tertegun untuk beberapa saat. Entah mengapa, peraturan baru yang baru sang bos sampaikan, dirasanya karena apa yang sudah ia lakukan. Ia yang sebelumnya sempat izin tidak tinggal di mess, mendadak izin tinggal lagi.“Melati,” ucap pak Dimas yang jadi merasa bersalah karena Melati mendadak jadi murung. Padahal sebelumnya, keceriaan Melati sukses mengalahkan keceriaan matahari pagi, hanya karena wanita yang ia taksir itu akan bertemu sang suami.“Iya, Pak?”“Saya bikin peraturan ini, agar t
Sampai detik ini, hati berikut pikiran Melati masih bertanya-tanya. Temannya yang mana yang Ravael maksud, dan ingin Ravael beri ucapan terima kasih? Sebab pesan darinya yang menanyakan perkara tersebut, sama sekali belum Ravael baca. Padahal sudah tiga hari berlalu, tetapi pesan darinya tetap belum dibaca.Melati sangat khawatir, takut telah terjadi hal fatal kepada Ravael hingga pria itu makin tidak ada waktu untuknya. Apalagi terakhir kali berkomunikasi saja, Ravael harus hujan-hujanan ketika mengambil sup untuk Nilam. “Efek aku yang terlalu baper. Atau karena aku yang telanjur jatuh cinta kepada suamiku sendiri? Bukankah masih menjadi hal yang normal, ketika seorang istri mengkhawatirkan suaminya sendiri, meski istri itu bukan wanita yang suaminya cintai?” Akan tetapi tiba-tiba Melati takut, bahwa cintanya kepada Ravael justru menjadi hal yang tak seharusnya Melati biarkan tumbuh apalagi makin berkembang. Karena walau Ravael merupakan suaminya dan Melati merupakan istri pertaman
Pak Dimas : Tolong jangan dijadikan beban. Jalani saja, pelan-pelan sambil tunggu kamu beres masa idah. Pak Dimas : Aku sayang banget ke kamu. Makasih banyak juga karena sudah jadi mama pilihan Chiki.Pak Dimas : Janji ya, jangan jadikan hubungan kita beban. Soalnya kamu punya tipes, dan sekadar kepikiran saja bisa jadi alasan tipes kamu kambuh. Aku enggak mau kamu sakit lagi. Aku juga enggak mau kamu sedih-sedih lagi. Yang aku mau, kamu bahagia ❤️Tiga kali sudah Melati membaca pesan dari sang bos yang tampaknya memang sudah alih profesi menjadi kekasihnya. Manis, menenangkan, atau karena Melati tak pernah mendapatkan sebelumnya. Hingga lagi-lagi, Melati merasa dihargai. Sikap manis nan hangat pak Dimas menegaskan, bahwa bagi pria itu, Melati memang berharga.Pak Dimas : Dari tadi cuma di—read. Sudah ngantuk belum? Aku baru pulang dari rumah Ravael. Habis tahlilan sekaligus yasinan kematian istrinya. Kamu sudah makan belum? Aku mau nyetir, kalau kamu belum ngantuk, boleh banget teme
Ravael sedang duduk di sebelah pak Dimas. Pria yang sudah menjadi temannya sejak duduk di bangku SMA itu tengah senyum-senyum sendiri memandangi layar ponsel. Malam ini, pak Dimas yang juga sebaya dengan Ravael memang menepati janjinya untuk turut serta tahlilan sekaligus yasinan kematian Nilam. Biasanya, yang membuat Dimas senyum-senyum sendiri ialah foto maupun video Chika sang putri. Namun kini, Ravael memergoki pemandangan berbeda. Di layar ponsel Dimas, bukan dihiasi foto maupun video Chiki. Melainkan foto sosok yang menutupi wajah menggunakan buket mawar merah berukuran sedang dan sampai dihiasi tiga cokelat batang berukuran sedang. Dari yang Ravael awasi, harusnya sosok tersebut merupakan wanita berkulit putih bersih. Namun yang mencuri perhatian Ravael, selain punggung tangan kiri sosok di foto masih dihiasi bekas perban, punggung tangan kanannya pun juga dihiasi bekas lupa mirip luka karena melepuh atau tersiram cairan panas.“Rasanya, aku enggak asing sama tangan itu,” pik
“Kamu pantas bahagia. Yang semangat, ya! Sudah, jangan pernah memikirkan ... mantan suamimu lagi.” Pak Dimas merasa canggung sekaligus gugup hanya karena mengatakannya kepada Melati. Mungkin karena belum terbiasa, ditambah lagi, Melati juga justru terlihat takut pada perhatiannya yang memang sudah melewati batas.“P—Pak, ... ini?” lirih Melati. Yang ia permasalahkan, tentu genggaman tangan pak Dimas. Namun, alih-alih mengakhiri, pak Dimas justru dengan sadar sekaligus sengaja membuat jemari mereka mengisi satu sama lain.“Mulai sekarang ... izinkan saya membahagiakan kamu.” Sampai detik ini, pak Dimas tetap belum bisa menghilangkan rasa canggungnya. Sampai-sampai, berbicara saja ia jadi tidak lancar. Padahal yang ia hadapi karyawannya sendiri. Namun karena Melati merupakan wanita yang ia cintai, selalu ingin tampil sempurna.“Izinkan saya menghapus setiap lukamu, kemudian menggantinya dengan kebahagiaan yang akan membuatmu merasakan kedamaian.” Pak Dimas memelas, ia mengangguk—menunt
“Kok aku takut, malah memang dia, ya?”“Ih ... apaan, sih? Kok aku jadi parno gini?”“Nilam baru meninggal. Enggak selayaknya aku langsung mikirin wanita lain.”“Meski sebelum aku menikahi Nilam, ... aku memang sudah diam-diam menyukai wanita itu. Wanita itu sangat cantik. Dari paras dan matanya yang teduh, sepertinya dia juga dipenuhi kelembutan,” batin Ravael yang jadi kepikiran sendiri.Ravael melepas kepergian Melati yang dituntun dengan sangat hati-hati oleh pak Dimas. “Papa baru tahu kalau ternyata, Melati kerja di tempatnya Dimas teman kamu.” Ucapan pak Bagyo tersebut membuyarkan renungan Ravael. Ravael ketar ketir karena lagi-lagi takut, bahwa apa yang ia duga, yaitu Melati dan wanita yang ia suka masih orang yang sama, benar adanya.“Jadi, restoran happy cooking punya Dimas? Papa baru tahu ternyata itu punya Dimas, dan Melati malah kerja di sana. Kok kelihatannya si Dimas suka Melati, ya?” lirih pak Bagyo sengaja mengetes perasaan Ravael kepada Melati.Dari ekspresi Ravael
“Rav, ... yang sabar. Aku turut berduka cita!” ucap pak Dimas yang menyusul ke tempat pemakaman umum Nilam dimakamkan. Acara pemakaman sudah selesai. Pusara selaku peristirahatan terakhir untuk Nilam, sudah dipenuhi kelopak bunga mawar merah. Bingkai berisi foto Nilam yang masih sangat cantik juga ada di sebelah nisan. Awalnya sebelum pak Dimas datang, Ravael masih jongkok sambil meratapi foto sang istri.Pak Dimas tak segan merangkul, menguatkan Ravael yang terlihat sangat hancur. Saking hancurnya, sekadar membalas pak Dimas saja, Ravael tak melakukannya. Hanya saja, kemarahan Ravael langsung mencuat ketika tak sengaja memergoki kehadiran Melati. Di belakang sana, wanita bergamis hitam sekaligus bercadar yang tengah ditangisi sambil dipeluk erat oleh ibu Irma, Ravael kenali sebagai Melati.“Ngapain tuh orang ikut-ikutan ke sini? Setelah bikin mama benci banget ke Nilam, dan mereka jadi sering ribut gara-gara mama selalu bela Melati, dia tanpa dosa ke sini?” pikir Ravael. Tentu Rava
“Kalau kamu mau mati, mati saja! Jangan meminta suami orang untuk menceraikan istrinya! Cukup, Rav! Berani kamu menceraikan Melati, Mama mati!”“Lebih baik Mama mati, ketimbang punya anak, tetapi hanya diperbudak oleh wanita jahat. Sudah tahu penyakitan dan mau mati, masih saja merusak anak orang!”“Seharusnya sekarang kamu tahu, kenapa Nilam penyakitan dan keluarganya juga—”Suara ibu Irma yang amat sangat emosional mendadak tak lagi terdengar. Anggi terdiam bingung sekaligus syok menatap Melati yang tak kalah bingung. Namun dalam diamnya, baik Anggi apalagi Melati, langsung menerka-nerka.Baik Anggi apalagi Melati yakin, bahwa Ravael suami Melati, bermaksud menceraikan Melati demi wanita lain. Wanita itu bernama Nilam dan kondisinya penyakitan. Namun hanya Melati yang tahu, bahwa suaminya memang memiliki istri lain selain dirinya, dan wanita itu bernama Nilam. Selain itu, meski Melati merupakan istri pertama Ravael, Melati bukanlah istri yang Ravael cintai bahkan sekadar harapkan. Y
Entah apa yang terjadi, tetapi insiden Nilam menyiram Melati membuat Ravael terus mengingat kejadian tersebut. Ravael merasa tersentuh sekaligus merasa bersalah kepada tanggapan Melati yang tetap tenang, meski tangan maupun kaki yang tersiram air sup, langsung berubah menjadi merah padam. Apalagi, kulit Melati putih bersih. Saat kejadian, perubahannya sangat mencolok.Saat itu, tiga hari lalu, Melati bahkan tak bersuara, bibir tipisnya tetap terkunci, dan hanya matanya saja yang basah. Apalagi ketika tatapan mereka bertemu. Sekadar melihat cara Melati melihatnya saja, hati Ravael terasa pedih. Seolah, mata sendu itu memiliki daya tarik tersendiri dan membuatnya untuk selalu peduli.“Sudah empat hari berlalu dari kejadian itu, tetapi keadaan Nilam kembali memburuk. Lebih tepatnya, sejak terapi sinar hari kemarin, alih-alih membaik, kesehatan Nilam justru jadi memburuk.“Rav ... Rav ....” Suara yang Nilam hasilkan sangatlah lemah.Kemarin, tim dokter yang menangani Nilam, sebenarnya bel
“Kamu kenapa?” Ravael bertanya dengan suara lembut, dan sebisa mungkin menahan emosinya. Apalagi, melihat wajah sang istri yang masih pucat dan bibir saja kerap berdarah karena terlalu kering.“Kamu kenapa perhatiin dia sampai segitunya? Dia pembantu baru kita, kan?” rengek Nilam sambil menatap sebal sang suami. Ia ngambek dan memang cemburu kepada Melati karena tadi. Nilam tak terima karena suaminya memperhatikan Melati sampai segitunya. Padahal selain di sebelah Ravael ada dirinya, status Melati tak lebih dari pelayan restoran sahabat milik Ravael.“Ya ampun ... masih bahas itu,” ucap Ravael sambil menghela napas pelan sekaligus dalam. “Kamu di sini saja. Aku mau minta maaf ke dia," sergah Ravael yang hendak minta maaf ke Melati.Ravael sudah sempat berdiri, dan nyaris saja pergi menyusul kepergian Melati dan sudah disusul Dimas. Namun, dengan cepat Nilam yang tetap dalam kondisi duduk, mendekapnya erat menggunakan kedua tangan. Tentu Ravael tak mungkin pergi bahkan sekadar berucap
Sampai detik ini, hati berikut pikiran Melati masih bertanya-tanya. Temannya yang mana yang Ravael maksud, dan ingin Ravael beri ucapan terima kasih? Sebab pesan darinya yang menanyakan perkara tersebut, sama sekali belum Ravael baca. Padahal sudah tiga hari berlalu, tetapi pesan darinya tetap belum dibaca.Melati sangat khawatir, takut telah terjadi hal fatal kepada Ravael hingga pria itu makin tidak ada waktu untuknya. Apalagi terakhir kali berkomunikasi saja, Ravael harus hujan-hujanan ketika mengambil sup untuk Nilam. “Efek aku yang terlalu baper. Atau karena aku yang telanjur jatuh cinta kepada suamiku sendiri? Bukankah masih menjadi hal yang normal, ketika seorang istri mengkhawatirkan suaminya sendiri, meski istri itu bukan wanita yang suaminya cintai?” Akan tetapi tiba-tiba Melati takut, bahwa cintanya kepada Ravael justru menjadi hal yang tak seharusnya Melati biarkan tumbuh apalagi makin berkembang. Karena walau Ravael merupakan suaminya dan Melati merupakan istri pertaman