“Kamu kenapa?” Ravael bertanya dengan suara lembut, dan sebisa mungkin menahan emosinya. Apalagi, melihat wajah sang istri yang masih pucat dan bibir saja kerap berdarah karena terlalu kering.“Kamu kenapa perhatiin dia sampai segitunya? Dia pembantu baru kita, kan?” rengek Nilam sambil menatap sebal sang suami. Ia ngambek dan memang cemburu kepada Melati karena tadi. Nilam tak terima karena suaminya memperhatikan Melati sampai segitunya. Padahal selain di sebelah Ravael ada dirinya, status Melati tak lebih dari pelayan restoran sahabat milik Ravael.“Ya ampun ... masih bahas itu,” ucap Ravael sambil menghela napas pelan sekaligus dalam. “Kamu di sini saja. Aku mau minta maaf ke dia," sergah Ravael yang hendak minta maaf ke Melati.Ravael sudah sempat berdiri, dan nyaris saja pergi menyusul kepergian Melati dan sudah disusul Dimas. Namun, dengan cepat Nilam yang tetap dalam kondisi duduk, mendekapnya erat menggunakan kedua tangan. Tentu Ravael tak mungkin pergi bahkan sekadar berucap
Entah apa yang terjadi, tetapi insiden Nilam menyiram Melati membuat Ravael terus mengingat kejadian tersebut. Ravael merasa tersentuh sekaligus merasa bersalah kepada tanggapan Melati yang tetap tenang, meski tangan maupun kaki yang tersiram air sup, langsung berubah menjadi merah padam. Apalagi, kulit Melati putih bersih. Saat kejadian, perubahannya sangat mencolok.Saat itu, tiga hari lalu, Melati bahkan tak bersuara, bibir tipisnya tetap terkunci, dan hanya matanya saja yang basah. Apalagi ketika tatapan mereka bertemu. Sekadar melihat cara Melati melihatnya saja, hati Ravael terasa pedih. Seolah, mata sendu itu memiliki daya tarik tersendiri dan membuatnya untuk selalu peduli.“Sudah empat hari berlalu dari kejadian itu, tetapi keadaan Nilam kembali memburuk. Lebih tepatnya, sejak terapi sinar hari kemarin, alih-alih membaik, kesehatan Nilam justru jadi memburuk.“Rav ... Rav ....” Suara yang Nilam hasilkan sangatlah lemah.Kemarin, tim dokter yang menangani Nilam, sebenarnya bel
“Kalau kamu mau mati, mati saja! Jangan meminta suami orang untuk menceraikan istrinya! Cukup, Rav! Berani kamu menceraikan Melati, Mama mati!”“Lebih baik Mama mati, ketimbang punya anak, tetapi hanya diperbudak oleh wanita jahat. Sudah tahu penyakitan dan mau mati, masih saja merusak anak orang!”“Seharusnya sekarang kamu tahu, kenapa Nilam penyakitan dan keluarganya juga—”Suara ibu Irma yang amat sangat emosional mendadak tak lagi terdengar. Anggi terdiam bingung sekaligus syok menatap Melati yang tak kalah bingung. Namun dalam diamnya, baik Anggi apalagi Melati, langsung menerka-nerka.Baik Anggi apalagi Melati yakin, bahwa Ravael suami Melati, bermaksud menceraikan Melati demi wanita lain. Wanita itu bernama Nilam dan kondisinya penyakitan. Namun hanya Melati yang tahu, bahwa suaminya memang memiliki istri lain selain dirinya, dan wanita itu bernama Nilam. Selain itu, meski Melati merupakan istri pertama Ravael, Melati bukanlah istri yang Ravael cintai bahkan sekadar harapkan. Y
“Rav, ... yang sabar. Aku turut berduka cita!” ucap pak Dimas yang menyusul ke tempat pemakaman umum Nilam dimakamkan. Acara pemakaman sudah selesai. Pusara selaku peristirahatan terakhir untuk Nilam, sudah dipenuhi kelopak bunga mawar merah. Bingkai berisi foto Nilam yang masih sangat cantik juga ada di sebelah nisan. Awalnya sebelum pak Dimas datang, Ravael masih jongkok sambil meratapi foto sang istri.Pak Dimas tak segan merangkul, menguatkan Ravael yang terlihat sangat hancur. Saking hancurnya, sekadar membalas pak Dimas saja, Ravael tak melakukannya. Hanya saja, kemarahan Ravael langsung mencuat ketika tak sengaja memergoki kehadiran Melati. Di belakang sana, wanita bergamis hitam sekaligus bercadar yang tengah ditangisi sambil dipeluk erat oleh ibu Irma, Ravael kenali sebagai Melati.“Ngapain tuh orang ikut-ikutan ke sini? Setelah bikin mama benci banget ke Nilam, dan mereka jadi sering ribut gara-gara mama selalu bela Melati, dia tanpa dosa ke sini?” pikir Ravael. Tentu Rava
“Kok aku takut, malah memang dia, ya?”“Ih ... apaan, sih? Kok aku jadi parno gini?”“Nilam baru meninggal. Enggak selayaknya aku langsung mikirin wanita lain.”“Meski sebelum aku menikahi Nilam, ... aku memang sudah diam-diam menyukai wanita itu. Wanita itu sangat cantik. Dari paras dan matanya yang teduh, sepertinya dia juga dipenuhi kelembutan,” batin Ravael yang jadi kepikiran sendiri.Ravael melepas kepergian Melati yang dituntun dengan sangat hati-hati oleh pak Dimas. “Papa baru tahu kalau ternyata, Melati kerja di tempatnya Dimas teman kamu.” Ucapan pak Bagyo tersebut membuyarkan renungan Ravael. Ravael ketar ketir karena lagi-lagi takut, bahwa apa yang ia duga, yaitu Melati dan wanita yang ia suka masih orang yang sama, benar adanya.“Jadi, restoran happy cooking punya Dimas? Papa baru tahu ternyata itu punya Dimas, dan Melati malah kerja di sana. Kok kelihatannya si Dimas suka Melati, ya?” lirih pak Bagyo sengaja mengetes perasaan Ravael kepada Melati.Dari ekspresi Ravael
“Kamu pantas bahagia. Yang semangat, ya! Sudah, jangan pernah memikirkan ... mantan suamimu lagi.” Pak Dimas merasa canggung sekaligus gugup hanya karena mengatakannya kepada Melati. Mungkin karena belum terbiasa, ditambah lagi, Melati juga justru terlihat takut pada perhatiannya yang memang sudah melewati batas.“P—Pak, ... ini?” lirih Melati. Yang ia permasalahkan, tentu genggaman tangan pak Dimas. Namun, alih-alih mengakhiri, pak Dimas justru dengan sadar sekaligus sengaja membuat jemari mereka mengisi satu sama lain.“Mulai sekarang ... izinkan saya membahagiakan kamu.” Sampai detik ini, pak Dimas tetap belum bisa menghilangkan rasa canggungnya. Sampai-sampai, berbicara saja ia jadi tidak lancar. Padahal yang ia hadapi karyawannya sendiri. Namun karena Melati merupakan wanita yang ia cintai, selalu ingin tampil sempurna.“Izinkan saya menghapus setiap lukamu, kemudian menggantinya dengan kebahagiaan yang akan membuatmu merasakan kedamaian.” Pak Dimas memelas, ia mengangguk—menunt
Ravael sedang duduk di sebelah pak Dimas. Pria yang sudah menjadi temannya sejak duduk di bangku SMA itu tengah senyum-senyum sendiri memandangi layar ponsel. Malam ini, pak Dimas yang juga sebaya dengan Ravael memang menepati janjinya untuk turut serta tahlilan sekaligus yasinan kematian Nilam. Biasanya, yang membuat Dimas senyum-senyum sendiri ialah foto maupun video Chika sang putri. Namun kini, Ravael memergoki pemandangan berbeda. Di layar ponsel Dimas, bukan dihiasi foto maupun video Chiki. Melainkan foto sosok yang menutupi wajah menggunakan buket mawar merah berukuran sedang dan sampai dihiasi tiga cokelat batang berukuran sedang. Dari yang Ravael awasi, harusnya sosok tersebut merupakan wanita berkulit putih bersih. Namun yang mencuri perhatian Ravael, selain punggung tangan kiri sosok di foto masih dihiasi bekas perban, punggung tangan kanannya pun juga dihiasi bekas lupa mirip luka karena melepuh atau tersiram cairan panas.“Rasanya, aku enggak asing sama tangan itu,” pik
Pak Dimas : Tolong jangan dijadikan beban. Jalani saja, pelan-pelan sambil tunggu kamu beres masa idah. Pak Dimas : Aku sayang banget ke kamu. Makasih banyak juga karena sudah jadi mama pilihan Chiki.Pak Dimas : Janji ya, jangan jadikan hubungan kita beban. Soalnya kamu punya tipes, dan sekadar kepikiran saja bisa jadi alasan tipes kamu kambuh. Aku enggak mau kamu sakit lagi. Aku juga enggak mau kamu sedih-sedih lagi. Yang aku mau, kamu bahagia ❤️Tiga kali sudah Melati membaca pesan dari sang bos yang tampaknya memang sudah alih profesi menjadi kekasihnya. Manis, menenangkan, atau karena Melati tak pernah mendapatkan sebelumnya. Hingga lagi-lagi, Melati merasa dihargai. Sikap manis nan hangat pak Dimas menegaskan, bahwa bagi pria itu, Melati memang berharga.Pak Dimas : Dari tadi cuma di—read. Sudah ngantuk belum? Aku baru pulang dari rumah Ravael. Habis tahlilan sekaligus yasinan kematian istrinya. Kamu sudah makan belum? Aku mau nyetir, kalau kamu belum ngantuk, boleh banget teme
Pak Dimas : Tolong jangan dijadikan beban. Jalani saja, pelan-pelan sambil tunggu kamu beres masa idah. Pak Dimas : Aku sayang banget ke kamu. Makasih banyak juga karena sudah jadi mama pilihan Chiki.Pak Dimas : Janji ya, jangan jadikan hubungan kita beban. Soalnya kamu punya tipes, dan sekadar kepikiran saja bisa jadi alasan tipes kamu kambuh. Aku enggak mau kamu sakit lagi. Aku juga enggak mau kamu sedih-sedih lagi. Yang aku mau, kamu bahagia ❤️Tiga kali sudah Melati membaca pesan dari sang bos yang tampaknya memang sudah alih profesi menjadi kekasihnya. Manis, menenangkan, atau karena Melati tak pernah mendapatkan sebelumnya. Hingga lagi-lagi, Melati merasa dihargai. Sikap manis nan hangat pak Dimas menegaskan, bahwa bagi pria itu, Melati memang berharga.Pak Dimas : Dari tadi cuma di—read. Sudah ngantuk belum? Aku baru pulang dari rumah Ravael. Habis tahlilan sekaligus yasinan kematian istrinya. Kamu sudah makan belum? Aku mau nyetir, kalau kamu belum ngantuk, boleh banget teme
Ravael sedang duduk di sebelah pak Dimas. Pria yang sudah menjadi temannya sejak duduk di bangku SMA itu tengah senyum-senyum sendiri memandangi layar ponsel. Malam ini, pak Dimas yang juga sebaya dengan Ravael memang menepati janjinya untuk turut serta tahlilan sekaligus yasinan kematian Nilam. Biasanya, yang membuat Dimas senyum-senyum sendiri ialah foto maupun video Chika sang putri. Namun kini, Ravael memergoki pemandangan berbeda. Di layar ponsel Dimas, bukan dihiasi foto maupun video Chiki. Melainkan foto sosok yang menutupi wajah menggunakan buket mawar merah berukuran sedang dan sampai dihiasi tiga cokelat batang berukuran sedang. Dari yang Ravael awasi, harusnya sosok tersebut merupakan wanita berkulit putih bersih. Namun yang mencuri perhatian Ravael, selain punggung tangan kiri sosok di foto masih dihiasi bekas perban, punggung tangan kanannya pun juga dihiasi bekas lupa mirip luka karena melepuh atau tersiram cairan panas.“Rasanya, aku enggak asing sama tangan itu,” pik
“Kamu pantas bahagia. Yang semangat, ya! Sudah, jangan pernah memikirkan ... mantan suamimu lagi.” Pak Dimas merasa canggung sekaligus gugup hanya karena mengatakannya kepada Melati. Mungkin karena belum terbiasa, ditambah lagi, Melati juga justru terlihat takut pada perhatiannya yang memang sudah melewati batas.“P—Pak, ... ini?” lirih Melati. Yang ia permasalahkan, tentu genggaman tangan pak Dimas. Namun, alih-alih mengakhiri, pak Dimas justru dengan sadar sekaligus sengaja membuat jemari mereka mengisi satu sama lain.“Mulai sekarang ... izinkan saya membahagiakan kamu.” Sampai detik ini, pak Dimas tetap belum bisa menghilangkan rasa canggungnya. Sampai-sampai, berbicara saja ia jadi tidak lancar. Padahal yang ia hadapi karyawannya sendiri. Namun karena Melati merupakan wanita yang ia cintai, selalu ingin tampil sempurna.“Izinkan saya menghapus setiap lukamu, kemudian menggantinya dengan kebahagiaan yang akan membuatmu merasakan kedamaian.” Pak Dimas memelas, ia mengangguk—menunt
“Kok aku takut, malah memang dia, ya?”“Ih ... apaan, sih? Kok aku jadi parno gini?”“Nilam baru meninggal. Enggak selayaknya aku langsung mikirin wanita lain.”“Meski sebelum aku menikahi Nilam, ... aku memang sudah diam-diam menyukai wanita itu. Wanita itu sangat cantik. Dari paras dan matanya yang teduh, sepertinya dia juga dipenuhi kelembutan,” batin Ravael yang jadi kepikiran sendiri.Ravael melepas kepergian Melati yang dituntun dengan sangat hati-hati oleh pak Dimas. “Papa baru tahu kalau ternyata, Melati kerja di tempatnya Dimas teman kamu.” Ucapan pak Bagyo tersebut membuyarkan renungan Ravael. Ravael ketar ketir karena lagi-lagi takut, bahwa apa yang ia duga, yaitu Melati dan wanita yang ia suka masih orang yang sama, benar adanya.“Jadi, restoran happy cooking punya Dimas? Papa baru tahu ternyata itu punya Dimas, dan Melati malah kerja di sana. Kok kelihatannya si Dimas suka Melati, ya?” lirih pak Bagyo sengaja mengetes perasaan Ravael kepada Melati.Dari ekspresi Ravael
“Rav, ... yang sabar. Aku turut berduka cita!” ucap pak Dimas yang menyusul ke tempat pemakaman umum Nilam dimakamkan. Acara pemakaman sudah selesai. Pusara selaku peristirahatan terakhir untuk Nilam, sudah dipenuhi kelopak bunga mawar merah. Bingkai berisi foto Nilam yang masih sangat cantik juga ada di sebelah nisan. Awalnya sebelum pak Dimas datang, Ravael masih jongkok sambil meratapi foto sang istri.Pak Dimas tak segan merangkul, menguatkan Ravael yang terlihat sangat hancur. Saking hancurnya, sekadar membalas pak Dimas saja, Ravael tak melakukannya. Hanya saja, kemarahan Ravael langsung mencuat ketika tak sengaja memergoki kehadiran Melati. Di belakang sana, wanita bergamis hitam sekaligus bercadar yang tengah ditangisi sambil dipeluk erat oleh ibu Irma, Ravael kenali sebagai Melati.“Ngapain tuh orang ikut-ikutan ke sini? Setelah bikin mama benci banget ke Nilam, dan mereka jadi sering ribut gara-gara mama selalu bela Melati, dia tanpa dosa ke sini?” pikir Ravael. Tentu Rava
“Kalau kamu mau mati, mati saja! Jangan meminta suami orang untuk menceraikan istrinya! Cukup, Rav! Berani kamu menceraikan Melati, Mama mati!”“Lebih baik Mama mati, ketimbang punya anak, tetapi hanya diperbudak oleh wanita jahat. Sudah tahu penyakitan dan mau mati, masih saja merusak anak orang!”“Seharusnya sekarang kamu tahu, kenapa Nilam penyakitan dan keluarganya juga—”Suara ibu Irma yang amat sangat emosional mendadak tak lagi terdengar. Anggi terdiam bingung sekaligus syok menatap Melati yang tak kalah bingung. Namun dalam diamnya, baik Anggi apalagi Melati, langsung menerka-nerka.Baik Anggi apalagi Melati yakin, bahwa Ravael suami Melati, bermaksud menceraikan Melati demi wanita lain. Wanita itu bernama Nilam dan kondisinya penyakitan. Namun hanya Melati yang tahu, bahwa suaminya memang memiliki istri lain selain dirinya, dan wanita itu bernama Nilam. Selain itu, meski Melati merupakan istri pertama Ravael, Melati bukanlah istri yang Ravael cintai bahkan sekadar harapkan. Y
Entah apa yang terjadi, tetapi insiden Nilam menyiram Melati membuat Ravael terus mengingat kejadian tersebut. Ravael merasa tersentuh sekaligus merasa bersalah kepada tanggapan Melati yang tetap tenang, meski tangan maupun kaki yang tersiram air sup, langsung berubah menjadi merah padam. Apalagi, kulit Melati putih bersih. Saat kejadian, perubahannya sangat mencolok.Saat itu, tiga hari lalu, Melati bahkan tak bersuara, bibir tipisnya tetap terkunci, dan hanya matanya saja yang basah. Apalagi ketika tatapan mereka bertemu. Sekadar melihat cara Melati melihatnya saja, hati Ravael terasa pedih. Seolah, mata sendu itu memiliki daya tarik tersendiri dan membuatnya untuk selalu peduli.“Sudah empat hari berlalu dari kejadian itu, tetapi keadaan Nilam kembali memburuk. Lebih tepatnya, sejak terapi sinar hari kemarin, alih-alih membaik, kesehatan Nilam justru jadi memburuk.“Rav ... Rav ....” Suara yang Nilam hasilkan sangatlah lemah.Kemarin, tim dokter yang menangani Nilam, sebenarnya bel
“Kamu kenapa?” Ravael bertanya dengan suara lembut, dan sebisa mungkin menahan emosinya. Apalagi, melihat wajah sang istri yang masih pucat dan bibir saja kerap berdarah karena terlalu kering.“Kamu kenapa perhatiin dia sampai segitunya? Dia pembantu baru kita, kan?” rengek Nilam sambil menatap sebal sang suami. Ia ngambek dan memang cemburu kepada Melati karena tadi. Nilam tak terima karena suaminya memperhatikan Melati sampai segitunya. Padahal selain di sebelah Ravael ada dirinya, status Melati tak lebih dari pelayan restoran sahabat milik Ravael.“Ya ampun ... masih bahas itu,” ucap Ravael sambil menghela napas pelan sekaligus dalam. “Kamu di sini saja. Aku mau minta maaf ke dia," sergah Ravael yang hendak minta maaf ke Melati.Ravael sudah sempat berdiri, dan nyaris saja pergi menyusul kepergian Melati dan sudah disusul Dimas. Namun, dengan cepat Nilam yang tetap dalam kondisi duduk, mendekapnya erat menggunakan kedua tangan. Tentu Ravael tak mungkin pergi bahkan sekadar berucap
Sampai detik ini, hati berikut pikiran Melati masih bertanya-tanya. Temannya yang mana yang Ravael maksud, dan ingin Ravael beri ucapan terima kasih? Sebab pesan darinya yang menanyakan perkara tersebut, sama sekali belum Ravael baca. Padahal sudah tiga hari berlalu, tetapi pesan darinya tetap belum dibaca.Melati sangat khawatir, takut telah terjadi hal fatal kepada Ravael hingga pria itu makin tidak ada waktu untuknya. Apalagi terakhir kali berkomunikasi saja, Ravael harus hujan-hujanan ketika mengambil sup untuk Nilam. “Efek aku yang terlalu baper. Atau karena aku yang telanjur jatuh cinta kepada suamiku sendiri? Bukankah masih menjadi hal yang normal, ketika seorang istri mengkhawatirkan suaminya sendiri, meski istri itu bukan wanita yang suaminya cintai?” Akan tetapi tiba-tiba Melati takut, bahwa cintanya kepada Ravael justru menjadi hal yang tak seharusnya Melati biarkan tumbuh apalagi makin berkembang. Karena walau Ravael merupakan suaminya dan Melati merupakan istri pertaman