Melati mengetik pesan-pesan untuk sang suami sambil berderai air mata. Ia duduk di tempat duduk yang disediakan di teras alfa. Sementara bukannya diminum, air mineral yang Melati beli, justru Melati pakai untuk membasuh wajah khususnya membasuh kedua matanya. Lagi-lagi kedua matanya jadi sembab hanya karena pengabaian yang selalu ia terima dari suaminya.
Seperti biasa, lagi-lagi pesan yang Melati kirimkan kepada sang suami, hanya dibaca. “Mas Rava memang menganggap aku sangat tidak penting. Atau memang ada alasan lain hingga semua pesan dariku tidak pernah dia balas? Atau memang karena mas Rava sedang sakit?” Namun, Melati memutuskan untuk mencari tahu besok. Hari besok juga, Melati akan menghubungi mama mertuanya. Di lain sisi, di tempat berbeda, pesan-pesan dari Melati membuat Ravael merenung serius. Ravael yang berdiri di ruang sebelah Nilam terbaring lemah, melongok Nilam. Nilam masih tidur, hingga Ravael kembali fokus ke ponsel. Di ponselnya masih dihiasi ruang obrolan WA dengan kontak M, dan itu kontak Melati. Sampai detik ini, meski Melati merupakan istri pertamanya, dan Melati juga merupakan menantu idaman kedua orang tuanya. Ravael tak berniat memberi nama kontak khusus, bahkan sekadar nama Melati. Bagi Ravael yang memang telanjur membenci Melati, dirinya masih sudi menyimpan nomor ponsel Melati saja, sudah untung. M : Bukankah lebih baik kita bercerai saja? Apa yang Mas harapkan dari hubungan ini? Tidak ada yang perlu dipertahankan, kan? M : Jika aku harus mengembalikan semua yang sudah Mas kasih, aku akan mulai menyicilnya, Mas. M : Supaya Mas bisa fokus hidup bahagia bersama istri Mas. M : Karena meski Mas sudah tidak akan mengirimiku uang bulanan lagi. Kesehatan istri Mas pasti akan jauh lebih terjaga, andai dia tahu, bahwa dia satu-satunya istri sekaligus wanita yang Mas cinta. “Cerai, ... ini memang yang terbaik. Namun, alasan apa yang bisa mama papa terima? Aku harus memiliki alasan kuat, agar papa dan mama mengizinkanku menceraikan Melati.” “Ah, ... iya. Aku bilang saja kalau Melati selingkuh!” Keputusan Ravael sudah bulat. Dirinya sungguh akan melakukan segala cara. Termasuk itu memfitnah Melati, asal ia bisa menceraikan wanita kampung itu. *** “Menceraikan Melati ...? Atas dasar apa?” Ibu Irma tidak bisa untuk tidak emosi pada putranya, yang tiba-tiba saja mengutarakan niat untuk menceraikan Melati. Acara sarapan mereka langsung terganggu setelah apa yang baru saja Ravael utarakan. Pria berusia tiga puluh tahun itu langsung ditatap sengit oleh kedua orang tuanya. “Kamu itu anak tunggal, Rav! Kamu bukan lagi anak kecil. Istri yang kamu gadang-gadang akan menjadi sumber kebahagiaan di keluarga ini dan memberi kami banyak cucu, terkena kanker serviks dan itu stadium tiga. Sementara istri yang kamu tolak, justru selalu menerima semua ketidak adilan yang kamu berikan!” tegas pak Bagyo, selaku papa Ravael. Pria berkepala botak itu jadi tak selera makan. Dalam diamnya Ravael berpikir, andai dirinya memberikan alasan baik-baik. Pasti sampai kapan pun dirinya tidak bisa lepas dari Melati. “Aku dapat laporan kalau Melati selingkuh, Ma ... Pa. Kabarnya sekarang dia ada di Jakarta bareng selingkuhannya!” ucap Ravael. Niatnya menceraikan Melati sudah sangat bulat. Sementara satu-satunya cara agar dirinya bisa melakukannya ialah berdusta. Ia harus membuat istri pertamanya itu buruk di mata kedua orang tuanya. Lihatlah, kedua orang tuanya langsung terlihat marah setelah apa yang ia kabarkan tentang Melati. Belum sempat mendapat hasil dari obrolan sekaligus musyawarah dadakan yang mereka lakukan. Ravael harus buru-buru pergi dari sana. ART yang Ravael tugaskan menjaga Nilam di rumah sakit mengabarkan, bahwa keadaan Nilam makin memburuk. Ditinggal Ravael, kebersamaan di ruang sarapan jadi makin tak bernyawa. Ibu Irma dan pak Bagyo sama-sama terpukul dengan nasib putranya. Dijodohkan dengan wanita baik-baik, Ravael justru jatuh cinta kepada wanita yang penyakitan. Mereka sudah habis-habisan membiayai pengobatan Nilam. Belum lagi satu tahun lalu, kedua orang tua Nilam juga sama saja. Keduanya meninggal dengan jenis kanker yang berbeda, dan tentunya masih mereka juga yang mengurus. Mama Nilam meninggal setelah tak kuat melawan kanker serviks, sementara papa Nilam meninggal karena kanker otak. Diam-diam, ibu Irma berinisiatif mengirimi Melati pesan singkat. Terlebih sudah sangat lama ia tak berkabar dengan menantu pilihannya itu. Alasannya tentu masih sama. Karena selain tak enak hati Melati terus Ravael tolak. Ibu Irma juga pusing sekaligus lelah jika harus mengurus Nilam secara materi sekaligus tenaga. Ibu Irma : Assalamualaikum, Mel. Gimana kabarnya? Kabarnya sekarang di Jakarta? Melati : Waalaikumsalam, Bu. Alhamdullilah kabar saya baik. Ibu dan Bapak bagaimana kabarnya? Iya, saya memang di Jakarta, Bu. Tanpa meresapi balasan WA dari Melati. Juga tanpa menanyakan alasan Melati di Jakarta, ibu Irma sudah langsung percaya kepada apa yang putranya kabarkan. Bahwa alasan Melati di Jakarta karena menantunya itu sedang bersama selingkuhan. “Pantas lah Melati selingkuh. Rava saja tidak memperhatikannya.” Pak Bagyo tak kalah putus asa. Tatapannya kosong dan ia mendadak merasa, angan-angan menghabiskan masa tua penuh bahagia bersama anak cucunya, seolah tidak akan pernah ia rasa. “Melati bilang, dia memang di Jakarta, Pa.” Ibu Irma menunduk dalam. Tiba-tiba saja, ia kehilangan semangat hidup. “Sekarang begini saja. Biar Melati tinggal di sini. Apa pun tanggapan Rava nanti, biarkan saja. Biarkan Melati dan Rava terbiasa bersama. Lagi pula, laki-laki mana yang tidak menyukai Melati?” ucap pak Bagyo. “Yang sudah ya sudah. Masalah Melati selingkuh dan sebagainya, itu karena anak kita juga tidak bisa menjadi suami yang baik buat Melati.” “Asal diarahkan, Melati pasti paham. Lagipula, Nilam juga sudah tinggal nunggu siang, malam, apa pagi. Nilam pasti sebentar lagi. Tubuhnya saja dipegang sudah sakit.” Pak Bagyo terlalu yakin, bahwa menantu yang sangat dicintai putranya, usianya tidak lama lagi. Terlebih sejauh ini, yang bisa lolos dari penyakit ganas seperti kanker memang terbilang jarang. Keputusan diambil. Kedua orang tua Ravael mengunjungi Melati ke tempat kerja Melati. Mereka yang awalnya berburuk sangka kepada Melati karena termakan omongan Ravael, akhirnya melihat sendiri. Terlebih ibu Irma yang sempat ilfil karena memang jijik kepada pelaku selingkuh. “Di sini tertib banget, Bu, Pak. Dalam satu bulan, saya hanya ada waktu libur sehari. Kerja dari pagi, sampai malam buat beres ini itunya. Sepadan dengan gaji sekaligus fasilitasnya yang memang bagus!” ucap Melati. Satu tahun tak bertemu, pak Bagyo dan ibu Irma sampai pangling kepada menantu pilihan mereka. Melati yang sekarang sungguh makin cantik. Tubuh Melati juga makin bagus, tak sekurus sebelumnya. Itu kenapa, keduanya makin mantap untuk memboyong Melati pulang. Laki-laki mana yang tidak naksir apalagi ingin memiliki Melati, jika kecantikan Melati saja, mengalahkan para artis yang akan terlihat cantik karena sederet perawatan yang dijalani? Sore hari ini menjadi saksi kebahagiaan Melati karena akhirnya ia didatangi mertuanya. Melati yang menganggap keduanya layaknya orang tua sendiri seolah mendapatkan angin segar detik itu juga. Namun, fakta keduanya yang mengajaknya pulang dan tinggal bersama membuat Melati dilema. Melati sangat butuh uang. Kerja di sana membuatnya bisa menutup kebutuhan pengobatan sang bapak. Melati juga cukup bekerja tanpa harus menunggu belas kasih jatah bulanan dari Ravael yang jumlahnya tidak seberapa. Lagi pula, Ravael sendiri yang memutus hubungan mereka secara halus. Tentunya Melati juga tak lupa bahwa suaminya itu sudah tidak akan memberinya jatah bulanan karena sekarang, Ravael harus fokus membiayai pengobatan istri keduanya. Di tempat berbeda, Ravael tengah merasa sangat putus asa. Sang istri yang sangat ia perjuangkan, keadaannya makin menurun. Wajah yang dulu cantik serta tubuh yang sangat segar, kini sangat tua dan tubuh juga hanya tinggal tulang. Sementara akibat serangkaian pengobatan yang dijalani, kepala Nilam yang dulunya dihiasi rambut panjang bergelombang hitam, kini botak tanpa sedikit pun keindahan.Kebersamaan di bangku tunggu yang ada di depan restoran, masih berlangsung hangat. Orang tua Ravael masih menatap sang menantu penuh harap. Jejak lelah begitu kentara dari gelagat Melati. Buih keringat yang masih kerap jatuh dan sudah membuat rambut sekaligus wajah basah. Keadaan itu membuat orang tua Ravael yakin, Melati yang harusnya masih mengeyam bangku kuliah, sudah sangat bekerja keras.Hingga meski Melati tidak menyanggupi permintaan kedua mertuanya. Caranya yang santun, juga perjuangan Melati yang nyata untuk sang bapak jauh di kampung sana, membuat orang tua Ravael maklum. Terlebih, Melati berdalih akan berusaha pulang ke rumah setelah dirinya beres bekerja. Jadi, Melati tak akan tinggal di mess restoran lagi yang keberadaannya ada si lantai paling atas restoran berlantai empat di sana.“Aku kira mereka akan membahas perceraian karena kemarin, aku sudah membahasnya dengan mas Rava. Meski lagi-lagi, tidak ada balasan karena setiap pesanku memang hanya beliau baca. Namun terny
Dering tanda telepon masuk di ponselnya, membuat Melati amat sangat girang. Berdebar-debar hatinya seiring senyum di wajah lelahnya yang benar-benar lepas, hanya karena telepon masuk tersebut dari Ravael. Meski biasanya alasan suaminya itu menelepon karena untuk menjabarkan semua peraturan dalam hubungan mereka, dan semuanya merupakan larangan untuk Melati. Kali ini Melati yakin, alasan sang suami menghubunginya bukan untuk itu. Melati berpikir, bisa jadi Ravael yang sudah tahu kepulangan Melati ke rumah, akan menawarkan jemputan, maupun menawarkan perhatian lainnya.Kebahagiaan Melati juga sampai dirasakan oleh pak Dimas yang kebetulan datang. Dari luar kamar mess Melati yang tak sepenuhnya tertutup, pria berkacamata itu menyaksikan wanita muda yang diam-diam mencuri perhatiannya, terlihat sangat bahagia.“Enggak biasanya Melati begitu. Melati kelihatan bahagia banget,” batin pak Dimas.“Assalamualaikum, Mas? Mas, ... malam ini juga aku akan pulang ke rumah! Aku baru beres siap-siap
“Ternyata ... dia ... dia Mas Ravael? Kami pernah bertemu, ... dia ... dia temannya pak Dimas ....” Walau hanya berbicara dalam hati, pertemuannya dengan Ravael membuatnya tak kuasa melakukannya. Iya, sekadar berkata-kata dalam hati, mendadak sangat sulit Melati jalani. Lidahnya terlanjur kelu selain rasa aneh yang membuat dadanya menghangat.Gugup Melati rasakan karena ternyata, suaminya sangat tampan. Bisa Melati pastikan, tak ada wanita yang tidak terpikat kepada suaminya, terlebih jika suaminya sampai memberikan perhatian. Pantas selama ini, Ravael selalu semena-mena kepadanya. Karena Ravael pasti merasa Melati yang hanya gadis desa, tak pantas bersanding dengannya.Dunia seorang Melati seolah berputar lebih lambat dibuatnya, menjadikan Ravael sebagai porosnya. Tiga tahun lebih dinikahi, tetapi temu di antara mereka benar-benar baru terjadi. Sungguh hubungan yang sulit dimengerti, tetapi Melati berharap, temu kali ini akan menjadi awal yang baik untuk hubungan mereka.Diam-diam, s
Baru beres makan dan bibir pun masih belepotan, Nilam sudah ketiduran. Nilam tidur dalam keadaan mangap. Selain itu, Nilam juga mendengkur sangat keras dan menyita keheningan di sana.Perubahan drastis tersebut membuat Melati khawatir. Bisa Melati pastikan, bahwa madunya itu sangat tersiksa. Namun kemudian Melati ingat pesan-pesan mertuanya yang selalu mengingatkannya di setiap ia putus asa pada hubungannya dan Ravael. Kedua mertuanya itu begitu yakin, bahwa usia Nilam hanya tinggal sebentar lagi. Yang dengan kata lain, kemungkinan Ravael akan fokus ke Melati sangatlah besar.“Bukannya ingin mendahului, tetapi jika keadaannya begini, memang lebih baik diikhlaskan saja,” batin Melati yang tentu tak berani mengatakannya kepada Ravael.Belum apa-apa, Ravael sudah langsung menyuruh Melati keluar. “Jangan bikin aku marah!”“Memangnya ... aku, ... ngapain, Mas? A—aku, salah?” Suara Melati tercetak di tenggorokan. Ia sungguh bingung kenapa Ravael terlihat sangat marah kepadanya. Cara pria it
“Pak Supri,” ucap pak Dimas buru-buru keluar dari mobilnya.Pak Supri baru turun dari mobil box. Pria berkulit kuning langsat itu refleks mencari sumber suara pria yang memanggilnya, dan ia kenali sebagai suara pak Dimas sang bos. Di depan restoran sana dan merupakan tempat parkir khusus untuk pak Dimas selaku bos sekaligus pemilik restoran, pria berkacamata itu tersenyum ramah kepadanya.Pak Dimas tampak sangat bersemangat sembari menunggu sang putri turun dari mobil juga. Pak Supri segera menghadap. Ia agak berlari menghampiri pak Dimas yang sedang bertatap penuh senyum dengan bocah perempuan sangat menggemaskan dan kiranya berusia tiga tahun.Seperti biasa, hari ini pak Dimas kembali menyetir sendiri. Sementara sang putri yang sangat aktif, duduk di sebelahnya menggunakan tempat duduk kusus.“Wah ... Non Chiki ikut! Makin gemesin saja, Masya Allah ya!” ucap pak Supri kepada bocah perempuan yang baru saja digendong oleh pak Dimas.Ketika sang papa sangat ramah dan murah senyum, boca
Biasanya, tak ada hal yang tidak pernah Nilam dapatkan dari Ravael. Pria itu akan selalu menuruti semua kemauannya. Apa pun yang Nilam minta, Ravael selalu mewujudkannya. Namun khusus hari ini, sekadar minta dibuatkan sup bening seperti yang dibuatkan ART baru di rumah mereka, Ravael belum bisa melakukannya.Hampir seharian Nilam meraung-raung, meminta sup bening buatan Melati. Nilam menolak semua sajian yang disuguhkan. Beberapa sup yang ia dapatkan dan beberapa di antaranya merupakan buatan Ravael juga berakhir Nilam singkirkan.Bukan hanya tempat tidur Nilam saja yang basah oleh setiap sup untuknya. Sebab lantai berbahan kayu di sana juga bernasib serupa dan itu masih karena Nilam yang mengamuk. Ravael kewalahan. Ravael sangat emosi, tetapi lagi-lagi ia menyalahkan Melati. Bahkan walau yang membuatnya kewalahan memang Nilam. Bagi Ravael, tetap Melati yang harus disalahkan.“Cepat cari pembantu baru itu, Rav. Aku mau makan sup itu pake nasi.”Nilam masih meraung-raung. “Lama banget
Mas Ravael : Jangan lupa sup untuk Nilam. Aku ke restoran Happy Cooking sekarang.Pesan WA dari Ravael membuat Melati terjaga. “Heh, ini Mas Ravael mau ke sini?” lirih Melati tak percaya.Dalam sekejap, Melati sudah ada di dapur. Melati sangat bersemangat, bahkan hatinya sampai berbunga-bunga. Sampai-sampai, Melati melakukan semuanya dengan serba cepat sekaligus gesit, seolah dirinya tengah menjalani kompetisi berhadiah fantastis. Padahal, sup buatannya sangatlah sederhana. Tak butuh waktu lama untuk membuatnya. Karena cukup menyiapkan sayuran dan bumbu dapur seperti bawang merah, bawang putih, kencur, daun salam, selain garam juga sedikit gula, sup bening khas tempat tinggal Melati, sudah jadi.“Itu pesanan siapa?” tanya salah satu teman kerja Melati.Dapur memang sedang ramai-ramainya karena menjelang jadwal makan malam.“Suami minta dibuatin,” jujur Melati yang lupa untuk merahasiakan kedatangan Ravael.Pengakuan jujur Melati langsung membuat seisi dapur heboh, baper. Selain itu, s
“Mulai sekarang ada peraturan wajib. Bahwa setiap karyawan harus tinggal di mess.”Apa yang baru saja pak Dimas katakan, sukses membuat Melati berpikir keras. “Jika sampai tidak tinggal di mess dan itu sudah izin—”“Tidak ada izin jika itu bukan untuk alasan karena sakit atau malah kematian. Hari bebas meninggalkan mess hanyalah ketika jatah libur.” Pak Dimas sengaja memotong ucapan Melati, agar karyawannya itu tak asal menebak apalagi membiarkan pikirannya jauh lebih berisi banyak perandaian.Melati tertegun untuk beberapa saat. Entah mengapa, peraturan baru yang baru sang bos sampaikan, dirasanya karena apa yang sudah ia lakukan. Ia yang sebelumnya sempat izin tidak tinggal di mess, mendadak izin tinggal lagi.“Melati,” ucap pak Dimas yang jadi merasa bersalah karena Melati mendadak jadi murung. Padahal sebelumnya, keceriaan Melati sukses mengalahkan keceriaan matahari pagi, hanya karena wanita yang ia taksir itu akan bertemu sang suami.“Iya, Pak?”“Saya bikin peraturan ini, agar t
“Aku lupa nama buahnya—” Melati menatap putus asa wajah suaminya. Bibirnya mengerucut manja atas kesedihan yang tengah ia rasa. Kepada Dimas, Melati memang sangat bebas. Marah, manja, cemburu, bersedih, Melati tuangkan tanpa ada yang ditutup-tutupi. Di hadapannya, Dimas yang berlutut jadi tertawa pasrah.“Aduh Sayang, ... suamimu enggak bisa baca pikiran kamu. Buah apa, ya? Sayang pengin buah apa? Coba dikatakan ciri-cirinya, nanti aku usahakan. Mana tahu, setelah makan buah itu, si Adik lahir,” lembut Dimas masih menyikapi istrinya penuh senyuman.Dimas sama sekali tidak marah pada serangkaian drama mengidam dari Melati. Di pangkuan Melati, kedua tangan mereka masih saling genggam. Sementara tatapan Dimas kepada Melati, amat sengat perhatian. Tatapan sekaligus perlakuan yang amat sangat membuat Melati nyaman. Hingga bersama Dimas, Melati juga merasa sangat bebas dalam berekspresi.Kebersamaan Dimas dan Melati berlangsung di halaman rumah Dimas. Keduanya sedang berjemur, memanfaatkan
“Coba Sayang dekati Ravael, bilangin dia jangan begitu. A—aku ... aku beneran bingung, Sayang!” ucap Dimas kepada Melati yang ia harapkan bisa memberi Ravael arahan.Bagi Dimas, sudah selayaknya dirinya yang diberi kemudahan dalam segala hal, merangkul sesama bahkan itu sahabatnya, untuk menjadi sosok yang lebih baik. Dimas percaya, hal semacam itu mampu membuat hidupnya jauh lebih berguna. Yang mana setiap hal yang ia lakukan, juga akan berdampak pada orang-orang di sekitarnya, tanpa terkecuali, orang-orang yang ia sayangi.“Dim, ... si Ravael cinta banget ke Melati. Mama bahkan yakin, alasan Ravael terpuruk begitu karena penyesalan yang amat sangat dalam, setelah dia menyia-nyiakan dan berakhir kehilangan Melati. Lah kok, ... kamu justru minta istrimu menemui Ravael? Berasa sengaja nyerahin istri ke kandang buaya. Ya ... ya pokoknya itu, lah. Kamu sudah menciptakan kesempatan buat Ravael mendekati Melati!” nyonya Filma berucap lirih dan merasa sangat geregetan kepada putranya. Bisa-
Dimas tidak bisa untuk tidak terkejut. Di malam pertamanya dan Melati, ia mendapatkan fakta yang amat sangat mencengangkan. Ia jadi tak hentinya merinding. Selain, Dimas yang jadi sangat bingung. Otak Dimas mendadak tidak bisa bekerja. Bagaimana mungkin, Melati yang sebelumnya pernah menikah dengan Ravael, dan statusnya merupakan janda dari sahabatnya. Yang mana, pernikahan Melati dan Ravael berlangsung lebih dari tiga tahun, justru masih suci?Sungguh, Dimas menjadi orang pertama ‘yang melakukannya’ kepada Melati. Di bawahnya, Melati masih sesenggukan tanpa keluhan berarti. Tadi, saat awal-awal Dimas nyaris menerobos ‘kesucian' Melati, Melati memang sempat merintih kesakitan. Namun setelahnya, Melati buru-buru menggunakan kedua tangannya untuk membekap wajahnya erat. Selain isak tangis lirih Melati tak lagi terdengar, Dimas juga tak lagi bisa melihat wajah kesakitan Melati dan sempat Dimas pergoki berlinang air mata.“Jika kondisinya begini ... harusnya aku bahagia, tetapi aku just
Melati dan Dimas akhirnya resmi menikah secara agama. Sementara untuk urusan pernikahan secara hukum, juga langsung diurus. Iya, Dimas tak hanya menikahi Melati secara agama, layaknya pernikahan yang sebelumnya Melati dapatkan dari Ravael.Beres ijab kabul, Dimas langsung meminta bantuan pak RT untuk mengurusnya. Karena pernikahan beda wilayah bahkan sekadar beda kecamatan, tetap harus diurus khususnya perihal domisili KK hasil pernikahan akan dibuat. Terlebih nantinya, baik Melati maupun pak Sulaiman akan diboyong ke Jakarta.Berbeda dari pernikahan lain, pernikahan Melati dan Dimas justru terus diwarnai gunjingan. Padahal, keduanya bukan pasangan selingkuh, atau pasangan yang terpaksa dinikahkan. Hanya karena usia Melati yang masih muda, tetapi sudah menikah dua kali padahal belum lama menjadi janda. Juga, kenyataan Dimas yang tak lebih tampan dari Ravael. Tetangga terus saja menggunjing sekaligus menertawakan keduanya.“Ya Allah ... jalan ke dapur, tahu-tahu tetangga yang masih di
Dimas terus saja dibanding-bandingkan dengan Ravael, mantan Melati dan bagi semuanya, jauh lebih good looking ketimbang Dimas. Setelah tetangga tak segan mengatakan, bahwa Melati yang masih muda sekaligus sangat cantik, bisa mendapatkan yang lebih dari Dimas. Pak Sulaiman juga terang-terangan meminta Dimas untuk segera menceraikan Melati, setelah keduanya resmi menikah. Hal tersebut harus Dimas lakukan agar Ravael bisa kembali menikahi Melati.Niat baik Dimas dan nyonya Filma, berikut bawaan keduanya yang sangat banyak, tak mampu menyentuh hati pak Sulaiman. Sebagai anak, Melati jadi malu sendiri.“Aku benar-benar minta maaf, Mas. Ma.” Melati bahkan terlalu bingung harus memulai dari mana.Melati berdiri di samping meja kayu berbentuk persegi panjang yang menghiasi ruang tamu. Di ruangan yang juga merangkap menjadi ruang keluarga tersebut, obrolan berlangsung. Bawaan dari Dimas dan jumlahnya banyak, memenuhi lantai keramik putih di sana.“Aku ... aku bahkan terlalu bingung harus mula
“Aku benar-benar minta maaf, Mel! Selama ini aku enggak tahu wujud kamu—”“Bagaimana mungkin Mas bisa tahu, kalau melihatku saja, Mas jijik?” Melati berucap tegas. Ia melongok dari balik punggung calon suaminya hanya untuk menatap mantan suaminya. Di hadapannya dan masih memohon kepadanya, Ravael juga tetap berlutut. “Iya, ... aku tak memungkirinya. Bahwa aku sudah berulang kali menegaskan kepadamu, bahwa aku jijik kepadamu,” ucap Ravael.“Aku jijik kepadamu yang mau-mau saja dijodohkan denganku. Padahal selain kamu baru lulus SMA, kita sama sekali tidak saling mengenal. Kita bahkan belum pernah bertemu.”“Hingga karena itu juga, aku yakin, hanya wanita murahan, dan juga menjijikan yang mau-maunya dijodohkan dengan orang asing. Tentu karena kamu mau, ... kamu juga masuk ke dalam golongan yang aku maksud!”Ravael masih menatap saksama kedua mata mantan istrinya. Di balik punggung Dimas, Melati balas menatapnya.“Namun perlu kamu tahu, ... aku sudah langsung jatuh cinta kepadamu, sejak
Dunia orang tua Ravael seolah menjadi berputar lebih lambat dan bahkan nyaris berhenti berputar. Kedua mata mereka langsung mengenali Melati. Alasan tersebut pula yang membuat keduanya refleks berdiri, meninggalkan kursi yang awalnya mereka duduki.Hati pak Bagyo maupun sang istri seketika teriris pedih. Terlebih, perubahan Melati justru dibarengi dengan mantan menantunya itu yang mau-mau saja digandeng mesra oleh Dimas. Iya, Dimas, sahabat Ravael—anak mereka. Padahal, baik ibu Irma maupun pak Bagyo pikir, Melati akan memperbaiki pernikahan dengan Ravael. Namun kini, wanita yang tengah mereka nantikan kabarnya itu justru menjadi bagian dari Dimas. Padahal, mereka berpikir bahwa wanita yang Dimas gandeng, merupakan wanita paling beruntung. Mereka sungguh baru memuji-muji, dan sampai memanjatkan doa terbaik.Kedua orang tua Ravael merasa sangat kecewa kepada Melati. Fitnah perselingkuhan yang sebelumnya sempat Ravael sampaikan kepada keduanya, seketika menjadi keyakinan di pikiran mere
“Melati memang kerja, apa kamu larang-larang ke sini sih, Rav?” Ibu Irma menatap curiga sang putra. Seperti tiga hari terakhir setelah kedatangan Melati, putranya itu masih saja gelisah. Selain itu, ibu Irma juga merasa bahwa Ravael jadi makin kurus. Pipinya sangat tirus.Di sebelah sang istri, Pak Bagyo yang selalu sigap menjaga, juga tak kalah curiga. Terlebih sejak kedatangan terakhir tiga hari lalu, jangankan datang, mengabari lewat WA saja, Melati tak melakukannya. Termasuk juga pesan dan telepon mereka, sudah tidak ada yang direspons. Karena sepertinya, Melati sampai ganti nomor ponsel. Nomor ponsel Melati sudah tidak aktif.“Ya sudah, nanti kita langsung mampir ke restoran Dimas saja,” ucap pak Bagyo yang tak menerima pembelaan dari Ravael. Ia tetap akan membawa sang istri mampir ke restoran Dimas selaku tempat kerja Melati, meski Ravael melarangnya.“Aku pun enggak tahu kabar Melati lagi. Namun Dimas bilang, mereka akan langsung menikah. Dan, ... alasan nomor hape Melati tak
“Kamu enggak tidur?” Dimas membawa nampan berisi roti lapis dan dua susu yang mengepulkan asap tipis.Melati menatap kedatangan Dimas dengan tatapan sebal. Pria itu datang dengan kepala yang masih agak basah. Aroma segar dari shampo maupun sabun, berbaur menjadi satu dengan aroma parfumnya. Jika melihat dari pakaiannya, yaitu kemeja lengan panjang slim fit warna merah dipadukan dengan celana panjang warna hitam, tampaknya Dimas sudah akan berangkat kerja.“Aku kan sudah bilang, ... jangan terlalu dipikirkan. Kalau begitu kamu mandi, terus kita sarapan, habis itu baru, aku bawa kamu ketemu mamaku. Mamaku pasti setuju, Mel. Mamaku sudah ingin lihat aku nikah lagi.”“Mamaku belum sepuh-sepuh banget. Beliau masih aktif dan masih bisa bantu urus Chiki. Aku punya adik, tapi adikku juga sudah nikah. Sekarang adikku tinggal di Ausi bareng suami dan anaknya. Jadi, aku berharap kamu sama Mama bisa jadi teman.”“Mamaku bukan yang rese, bukan. Malahan mama bilang, nanti dia yang urus Chiki biar k