Sampai Jakarta selaku tujuan tempatnya bekerja, perasaan Melati jadi tak karuan. Sebab meski tengah berada di kota sang suami berikut mertuanya tinggal, Melati tetap tidak diizinkan mengabari apalagi menampakan diri.
Tentu Ravael yang melarangnya. Pria yang telah menikahi Melati di atas kesepakatan itu masih memegang kendali aturan dalam hubungan mereka. Awal Melati jujur, bahwa dirinya akan bekerja di Jakarta pun, Ravael langsung marah-marah di telepon. Namun sambil terisak pilu, Melati mengurai alasannya kepada sang suami. Bukan hanya uang bulanan pemberian Ravael dan paling besar bernominal tiga ratus ribu, yang sama sekali tidak mencukupi. Namun karena Melati sudah telanjur tanda tangan kontrak. Melati bisa terkena denda besar, andai Melati tak lanjut kerja dan itu melanggar kontrak. Tentunya, bapak Melati juga masih butuh banyak biaya untuk berobat. Sedangkan Ravael tak mungkin memenuhinya. Karena jangankan mengurus bapak Melati yang hanya mertua, mengurus istri kedua Ravael yang terkena kanker serviks saja, Ravael berdalih kesulitan. Hanya saja karena istri kedua Ravael merupakan wanita yang sangat Ravael cintai, Melati yakin bahwa suaminya itu akan melakukan segala cara untuk kesembuhan madunya. *** “Selamat pagi, Pak Dimas. Mohon izin mengganggu waktunya. Ini karyawan barunya. Namanya Melati. Usianya dua puluh satu tahun,” ucap Susan yang pagi ini membimbing Melati. Hari ini menjadi hari pertama Melati kerja, meski gadis berstatus istri orang itu baru tiba di Jakarta subuhnya. Namun, pesona dan kecantikan Melati, sukses membuat setiap pria yang menatapnya, jatuh hati. Kenyataan pak Dimas sang atasan yang langsung bengong dan perlahan tersenyum hanya karena melihat Melati, menjadi bagian dari saksi pesona seorang Melati. Pesona yang sudah langsung Ravael tolak, meski pria itu belum pernah menyaksikannya walau sekejap. Melati bekerja di sebuah restoran dan pengunjungnya selalu ramai. Setiap bulannya sesuai di surat perjanjian, Melati bisa mendapatkan upah sebesar lima juta. Pekerjaan tersebut Melati dapatkan dari pihak sekolahnya. Sebagai murid berprestasi yang dulunya sudah akan langsung disalurkan ke tempat kerja andai tidak lanjut kuliah, Melati baru bisa memanfaatkan kesempatan tersebut karena keadaannya. Untungnya, citra baik Melati di mata semuanya, membuat gadis santun itu bisa mendapatkan lowongan pekerjaan dengan cukup mudah. Sejak mengabari sudah sampai Jakarta, Ravael sama sekali tidak mengabari Melati. Tak ada respons berarti karena pesan satu bulan yang Melati kirimkan saja, hanya Ravael baca. Karena itu juga Melati mencoba memulai komunikasi lagi. M : Assalamualaikum, Mas. Apa kabar? Istri Mas juga apa kabar? Sudah sehat, kan? “Padahal, aku juga istrinya ... hatiku terasa ngilu banget di setiap aku ingat pernikahan kami dan juga statusku. Andai mas Rava menceraikan aku saja. Sepertinya itu jauh lebih baik ketimbang seperti sekarang.” “Aku istri pertamanya, tetapi aku bukan yang utama. Karena jangankan yang utama, ... kehadiranku saja selalu ditolak.” “Jadi, buat apa pula sekarang malam-malam gini aku pakai masker. Bahkan aku juga sampai nunggu balasan WA dari beliau.” “Lagi-lagi seperti biasa, hanya dibaca, tanpa dibalas.” Walau sudah berulang kali menangis, air mata Melati tetap tidak pernah kering. Di kamar mess, Melati meringkuk di kasur dengan wajah bermasker sekali pakai. Setelah satu bulan bekerja, akhirnya hari ini Melati diberi kesempatan untuk libur. Melati mengisi hari liburnya dengan bersih-bersih sekaligus merawat diri. Sebenarnya Melati diajak jalan-jalan oleh teman kerjanya yang juga sedang dapat jatah libur. Namun, Melati yang sekadar kabar saja belum diberi oleh Ravael, tak berani pergi. “Ketimbang jalan-jalan sama teman, aku lebih ingin diajak ketemuan oleh suami sendiri. Lima menit saja. Aku ingin memakai waktu itu untuk membereskan hubungan kami. Soalnya kalau posisinya seperti sekarang ini, ... sebenarnya hang benar-benar rugi, tentu aku!” batin Melati. Malamnya, Melati sengaja keluar untuk membeli keperluan bulanan ke alfa terdekat. Ia tak sengaja berpapasan dengan pak Dimas sang bos sekaligus pemilik restoran. Seperti biasa, pria berkacamata dan kiranya berusia tiga puluh empat tahun itu menyapa Melati dengan sangat ramah. “Mau ke alfa sebelah, Pak. Mau beli keperluan,” ucap Melati sambil menunduk dalam sebagai wujud dari rasa hormatnya kepada sang bos. Senyum pak Dimas menjadi makin lebar di setiap dirinya sedang berhadapan dengan Melati. “Hari ini, kamu sudah dapat libur, kan?” “I—iya, Pak. Terima kasih banyak karena sudah memberi saya hari libur!” balas Melati yang tetap saja kaku, sekaligus tidak bisa untuk tidak takut, di setiap dirinya harus berhadapan dengan sang bos. “Harusnya memang iya ... dia ... yang di kampungnya si Melati. Ternyata dia nyata?” batin Ravael yang kali ini datang bersama pak Dimas. Kebetulan, dirinya dan pak Dimas merupakan sahabat baik. “Rasanya seperti enggak asing. Padahal jelas, kami baru saja bertemu!” batin Melati sambil mengangguk santun ketika tatapannya tak sengaja bertemu dengan tatapan Ravael. Seperti laki-laki kebanyakan yang telah melihatnya, Ravael juga Melati pergoki menatap wajahnya cukup lama. Pria yang memakai setelan jas abu-abu itu menatapnya dengan tatapan, seolah-olah, Ravael mengenalinya. Efek tak pernah bertemu bahkan mengenal meski sekadar lewat foto, saat Ravael dan Melati benar-benar bertemu, keduanya tidak saling kenal. Keduanya merasa asing, meski hati Melati seolah merasa kenal. “Jadi, gimana kabar Nilam? Kemo-nya sukses, kan?” ucap pak Dimas sambil merangkul punggung Ravael dan menuntunnya memasuki restorannya. Tanpa direncanakan, meski sudah sama-sama melangkah seperti tujuan, baik Melati maupun Ravael, kompak menoleh. Tatapan keduanya bertemu, dan di detik berikutnya, keduanya jadi agak kikuk. Ravael dan Melati juga buru-buru menyudahi temu tatapan mereka. Namun, lagi-lagi keduanya juga akan kembali menoleh kemudian menatap satu sama lain. Hingga akhirnya mereka sama-sama sampai tujuan langkah mereka. Di tengah kesibukannya memilih keperluan bulanan dan itu benar-benar hanya yang perlu saja karena sebagian besar gajinya ditransfer ke kampung. Melati sengaja mengecek ponselnya. Sekali lagi, pesannya hanya Ravael baca. Kenyataan yang membuat hati Melati teriris perih. “Kangen ke suami, tetapi sepertinya kangenku juga dosa. Kangen banget sih. Aku juga pengin ngerasain gimana rasanya diperhatikan, atau setidaknya dianggap oleh suami. Enggak apa-apa andai aku bukan yang utama. Dan aku juga akan merasa jauh lebih baik, andai suamiku menceraikan aku saja. Daripada terikat, tetapi tak dianggap.” Melati menyeka sekitar matanya yang jadi basah. Air matanya tetap tidak kering meski ia sudah terlalu sering menangisi kehidupannya khususnya hubungannya dan sang suami. Di restoran, Ravael yang tengah makan malam dengan pak Dimas, terusik oleh dering di ponselnya. Itu tanda pesan masuk. Namun karena dari notifikasi terpampang kontak bernama M dan itu nama kontak Melati di ponsel Ravael, Ravael sengaja abai. Namun setelah melihat sepenggal pesan yang bisa dibaca dari kontak M, untuk pertama kalinya Ravael melongo, tak kuasa berkata-kata.Melati mengetik pesan-pesan untuk sang suami sambil berderai air mata. Ia duduk di tempat duduk yang disediakan di teras alfa. Sementara bukannya diminum, air mineral yang Melati beli, justru Melati pakai untuk membasuh wajah khususnya membasuh kedua matanya. Lagi-lagi kedua matanya jadi sembab hanya karena pengabaian yang selalu ia terima dari suaminya. Seperti biasa, lagi-lagi pesan yang Melati kirimkan kepada sang suami, hanya dibaca. “Mas Rava memang menganggap aku sangat tidak penting. Atau memang ada alasan lain hingga semua pesan dariku tidak pernah dia balas? Atau memang karena mas Rava sedang sakit?” Namun, Melati memutuskan untuk mencari tahu besok. Hari besok juga, Melati akan menghubungi mama mertuanya. Di lain sisi, di tempat berbeda, pesan-pesan dari Melati membuat Ravael merenung serius. Ravael yang berdiri di ruang sebelah Nilam terbaring lemah, melongok Nilam. Nilam masih tidur, hingga Ravael kembali fokus ke ponsel. Di ponselnya masih dihiasi ruang obrolan WA d
Kebersamaan di bangku tunggu yang ada di depan restoran, masih berlangsung hangat. Orang tua Ravael masih menatap sang menantu penuh harap. Jejak lelah begitu kentara dari gelagat Melati. Buih keringat yang masih kerap jatuh dan sudah membuat rambut sekaligus wajah basah. Keadaan itu membuat orang tua Ravael yakin, Melati yang harusnya masih mengeyam bangku kuliah, sudah sangat bekerja keras.Hingga meski Melati tidak menyanggupi permintaan kedua mertuanya. Caranya yang santun, juga perjuangan Melati yang nyata untuk sang bapak jauh di kampung sana, membuat orang tua Ravael maklum. Terlebih, Melati berdalih akan berusaha pulang ke rumah setelah dirinya beres bekerja. Jadi, Melati tak akan tinggal di mess restoran lagi yang keberadaannya ada si lantai paling atas restoran berlantai empat di sana.“Aku kira mereka akan membahas perceraian karena kemarin, aku sudah membahasnya dengan mas Rava. Meski lagi-lagi, tidak ada balasan karena setiap pesanku memang hanya beliau baca. Namun terny
Dering tanda telepon masuk di ponselnya, membuat Melati amat sangat girang. Berdebar-debar hatinya seiring senyum di wajah lelahnya yang benar-benar lepas, hanya karena telepon masuk tersebut dari Ravael. Meski biasanya alasan suaminya itu menelepon karena untuk menjabarkan semua peraturan dalam hubungan mereka, dan semuanya merupakan larangan untuk Melati. Kali ini Melati yakin, alasan sang suami menghubunginya bukan untuk itu. Melati berpikir, bisa jadi Ravael yang sudah tahu kepulangan Melati ke rumah, akan menawarkan jemputan, maupun menawarkan perhatian lainnya.Kebahagiaan Melati juga sampai dirasakan oleh pak Dimas yang kebetulan datang. Dari luar kamar mess Melati yang tak sepenuhnya tertutup, pria berkacamata itu menyaksikan wanita muda yang diam-diam mencuri perhatiannya, terlihat sangat bahagia.“Enggak biasanya Melati begitu. Melati kelihatan bahagia banget,” batin pak Dimas.“Assalamualaikum, Mas? Mas, ... malam ini juga aku akan pulang ke rumah! Aku baru beres siap-siap
“Ternyata ... dia ... dia Mas Ravael? Kami pernah bertemu, ... dia ... dia temannya pak Dimas ....” Walau hanya berbicara dalam hati, pertemuannya dengan Ravael membuatnya tak kuasa melakukannya. Iya, sekadar berkata-kata dalam hati, mendadak sangat sulit Melati jalani. Lidahnya terlanjur kelu selain rasa aneh yang membuat dadanya menghangat.Gugup Melati rasakan karena ternyata, suaminya sangat tampan. Bisa Melati pastikan, tak ada wanita yang tidak terpikat kepada suaminya, terlebih jika suaminya sampai memberikan perhatian. Pantas selama ini, Ravael selalu semena-mena kepadanya. Karena Ravael pasti merasa Melati yang hanya gadis desa, tak pantas bersanding dengannya.Dunia seorang Melati seolah berputar lebih lambat dibuatnya, menjadikan Ravael sebagai porosnya. Tiga tahun lebih dinikahi, tetapi temu di antara mereka benar-benar baru terjadi. Sungguh hubungan yang sulit dimengerti, tetapi Melati berharap, temu kali ini akan menjadi awal yang baik untuk hubungan mereka.Diam-diam, s
Baru beres makan dan bibir pun masih belepotan, Nilam sudah ketiduran. Nilam tidur dalam keadaan mangap. Selain itu, Nilam juga mendengkur sangat keras dan menyita keheningan di sana.Perubahan drastis tersebut membuat Melati khawatir. Bisa Melati pastikan, bahwa madunya itu sangat tersiksa. Namun kemudian Melati ingat pesan-pesan mertuanya yang selalu mengingatkannya di setiap ia putus asa pada hubungannya dan Ravael. Kedua mertuanya itu begitu yakin, bahwa usia Nilam hanya tinggal sebentar lagi. Yang dengan kata lain, kemungkinan Ravael akan fokus ke Melati sangatlah besar.“Bukannya ingin mendahului, tetapi jika keadaannya begini, memang lebih baik diikhlaskan saja,” batin Melati yang tentu tak berani mengatakannya kepada Ravael.Belum apa-apa, Ravael sudah langsung menyuruh Melati keluar. “Jangan bikin aku marah!”“Memangnya ... aku, ... ngapain, Mas? A—aku, salah?” Suara Melati tercetak di tenggorokan. Ia sungguh bingung kenapa Ravael terlihat sangat marah kepadanya. Cara pria it
“Pak Supri,” ucap pak Dimas buru-buru keluar dari mobilnya.Pak Supri baru turun dari mobil box. Pria berkulit kuning langsat itu refleks mencari sumber suara pria yang memanggilnya, dan ia kenali sebagai suara pak Dimas sang bos. Di depan restoran sana dan merupakan tempat parkir khusus untuk pak Dimas selaku bos sekaligus pemilik restoran, pria berkacamata itu tersenyum ramah kepadanya.Pak Dimas tampak sangat bersemangat sembari menunggu sang putri turun dari mobil juga. Pak Supri segera menghadap. Ia agak berlari menghampiri pak Dimas yang sedang bertatap penuh senyum dengan bocah perempuan sangat menggemaskan dan kiranya berusia tiga tahun.Seperti biasa, hari ini pak Dimas kembali menyetir sendiri. Sementara sang putri yang sangat aktif, duduk di sebelahnya menggunakan tempat duduk kusus.“Wah ... Non Chiki ikut! Makin gemesin saja, Masya Allah ya!” ucap pak Supri kepada bocah perempuan yang baru saja digendong oleh pak Dimas.Ketika sang papa sangat ramah dan murah senyum, boca
Biasanya, tak ada hal yang tidak pernah Nilam dapatkan dari Ravael. Pria itu akan selalu menuruti semua kemauannya. Apa pun yang Nilam minta, Ravael selalu mewujudkannya. Namun khusus hari ini, sekadar minta dibuatkan sup bening seperti yang dibuatkan ART baru di rumah mereka, Ravael belum bisa melakukannya.Hampir seharian Nilam meraung-raung, meminta sup bening buatan Melati. Nilam menolak semua sajian yang disuguhkan. Beberapa sup yang ia dapatkan dan beberapa di antaranya merupakan buatan Ravael juga berakhir Nilam singkirkan.Bukan hanya tempat tidur Nilam saja yang basah oleh setiap sup untuknya. Sebab lantai berbahan kayu di sana juga bernasib serupa dan itu masih karena Nilam yang mengamuk. Ravael kewalahan. Ravael sangat emosi, tetapi lagi-lagi ia menyalahkan Melati. Bahkan walau yang membuatnya kewalahan memang Nilam. Bagi Ravael, tetap Melati yang harus disalahkan.“Cepat cari pembantu baru itu, Rav. Aku mau makan sup itu pake nasi.”Nilam masih meraung-raung. “Lama banget
Mas Ravael : Jangan lupa sup untuk Nilam. Aku ke restoran Happy Cooking sekarang.Pesan WA dari Ravael membuat Melati terjaga. “Heh, ini Mas Ravael mau ke sini?” lirih Melati tak percaya.Dalam sekejap, Melati sudah ada di dapur. Melati sangat bersemangat, bahkan hatinya sampai berbunga-bunga. Sampai-sampai, Melati melakukan semuanya dengan serba cepat sekaligus gesit, seolah dirinya tengah menjalani kompetisi berhadiah fantastis. Padahal, sup buatannya sangatlah sederhana. Tak butuh waktu lama untuk membuatnya. Karena cukup menyiapkan sayuran dan bumbu dapur seperti bawang merah, bawang putih, kencur, daun salam, selain garam juga sedikit gula, sup bening khas tempat tinggal Melati, sudah jadi.“Itu pesanan siapa?” tanya salah satu teman kerja Melati.Dapur memang sedang ramai-ramainya karena menjelang jadwal makan malam.“Suami minta dibuatin,” jujur Melati yang lupa untuk merahasiakan kedatangan Ravael.Pengakuan jujur Melati langsung membuat seisi dapur heboh, baper. Selain itu, s
Pak Dimas : Tolong jangan dijadikan beban. Jalani saja, pelan-pelan sambil tunggu kamu beres masa idah. Pak Dimas : Aku sayang banget ke kamu. Makasih banyak juga karena sudah jadi mama pilihan Chiki.Pak Dimas : Janji ya, jangan jadikan hubungan kita beban. Soalnya kamu punya tipes, dan sekadar kepikiran saja bisa jadi alasan tipes kamu kambuh. Aku enggak mau kamu sakit lagi. Aku juga enggak mau kamu sedih-sedih lagi. Yang aku mau, kamu bahagia ❤️Tiga kali sudah Melati membaca pesan dari sang bos yang tampaknya memang sudah alih profesi menjadi kekasihnya. Manis, menenangkan, atau karena Melati tak pernah mendapatkan sebelumnya. Hingga lagi-lagi, Melati merasa dihargai. Sikap manis nan hangat pak Dimas menegaskan, bahwa bagi pria itu, Melati memang berharga.Pak Dimas : Dari tadi cuma di—read. Sudah ngantuk belum? Aku baru pulang dari rumah Ravael. Habis tahlilan sekaligus yasinan kematian istrinya. Kamu sudah makan belum? Aku mau nyetir, kalau kamu belum ngantuk, boleh banget teme
Ravael sedang duduk di sebelah pak Dimas. Pria yang sudah menjadi temannya sejak duduk di bangku SMA itu tengah senyum-senyum sendiri memandangi layar ponsel. Malam ini, pak Dimas yang juga sebaya dengan Ravael memang menepati janjinya untuk turut serta tahlilan sekaligus yasinan kematian Nilam. Biasanya, yang membuat Dimas senyum-senyum sendiri ialah foto maupun video Chika sang putri. Namun kini, Ravael memergoki pemandangan berbeda. Di layar ponsel Dimas, bukan dihiasi foto maupun video Chiki. Melainkan foto sosok yang menutupi wajah menggunakan buket mawar merah berukuran sedang dan sampai dihiasi tiga cokelat batang berukuran sedang. Dari yang Ravael awasi, harusnya sosok tersebut merupakan wanita berkulit putih bersih. Namun yang mencuri perhatian Ravael, selain punggung tangan kiri sosok di foto masih dihiasi bekas perban, punggung tangan kanannya pun juga dihiasi bekas lupa mirip luka karena melepuh atau tersiram cairan panas.“Rasanya, aku enggak asing sama tangan itu,” pik
“Kamu pantas bahagia. Yang semangat, ya! Sudah, jangan pernah memikirkan ... mantan suamimu lagi.” Pak Dimas merasa canggung sekaligus gugup hanya karena mengatakannya kepada Melati. Mungkin karena belum terbiasa, ditambah lagi, Melati juga justru terlihat takut pada perhatiannya yang memang sudah melewati batas.“P—Pak, ... ini?” lirih Melati. Yang ia permasalahkan, tentu genggaman tangan pak Dimas. Namun, alih-alih mengakhiri, pak Dimas justru dengan sadar sekaligus sengaja membuat jemari mereka mengisi satu sama lain.“Mulai sekarang ... izinkan saya membahagiakan kamu.” Sampai detik ini, pak Dimas tetap belum bisa menghilangkan rasa canggungnya. Sampai-sampai, berbicara saja ia jadi tidak lancar. Padahal yang ia hadapi karyawannya sendiri. Namun karena Melati merupakan wanita yang ia cintai, selalu ingin tampil sempurna.“Izinkan saya menghapus setiap lukamu, kemudian menggantinya dengan kebahagiaan yang akan membuatmu merasakan kedamaian.” Pak Dimas memelas, ia mengangguk—menunt
“Kok aku takut, malah memang dia, ya?”“Ih ... apaan, sih? Kok aku jadi parno gini?”“Nilam baru meninggal. Enggak selayaknya aku langsung mikirin wanita lain.”“Meski sebelum aku menikahi Nilam, ... aku memang sudah diam-diam menyukai wanita itu. Wanita itu sangat cantik. Dari paras dan matanya yang teduh, sepertinya dia juga dipenuhi kelembutan,” batin Ravael yang jadi kepikiran sendiri.Ravael melepas kepergian Melati yang dituntun dengan sangat hati-hati oleh pak Dimas. “Papa baru tahu kalau ternyata, Melati kerja di tempatnya Dimas teman kamu.” Ucapan pak Bagyo tersebut membuyarkan renungan Ravael. Ravael ketar ketir karena lagi-lagi takut, bahwa apa yang ia duga, yaitu Melati dan wanita yang ia suka masih orang yang sama, benar adanya.“Jadi, restoran happy cooking punya Dimas? Papa baru tahu ternyata itu punya Dimas, dan Melati malah kerja di sana. Kok kelihatannya si Dimas suka Melati, ya?” lirih pak Bagyo sengaja mengetes perasaan Ravael kepada Melati.Dari ekspresi Ravael
“Rav, ... yang sabar. Aku turut berduka cita!” ucap pak Dimas yang menyusul ke tempat pemakaman umum Nilam dimakamkan. Acara pemakaman sudah selesai. Pusara selaku peristirahatan terakhir untuk Nilam, sudah dipenuhi kelopak bunga mawar merah. Bingkai berisi foto Nilam yang masih sangat cantik juga ada di sebelah nisan. Awalnya sebelum pak Dimas datang, Ravael masih jongkok sambil meratapi foto sang istri.Pak Dimas tak segan merangkul, menguatkan Ravael yang terlihat sangat hancur. Saking hancurnya, sekadar membalas pak Dimas saja, Ravael tak melakukannya. Hanya saja, kemarahan Ravael langsung mencuat ketika tak sengaja memergoki kehadiran Melati. Di belakang sana, wanita bergamis hitam sekaligus bercadar yang tengah ditangisi sambil dipeluk erat oleh ibu Irma, Ravael kenali sebagai Melati.“Ngapain tuh orang ikut-ikutan ke sini? Setelah bikin mama benci banget ke Nilam, dan mereka jadi sering ribut gara-gara mama selalu bela Melati, dia tanpa dosa ke sini?” pikir Ravael. Tentu Rava
“Kalau kamu mau mati, mati saja! Jangan meminta suami orang untuk menceraikan istrinya! Cukup, Rav! Berani kamu menceraikan Melati, Mama mati!”“Lebih baik Mama mati, ketimbang punya anak, tetapi hanya diperbudak oleh wanita jahat. Sudah tahu penyakitan dan mau mati, masih saja merusak anak orang!”“Seharusnya sekarang kamu tahu, kenapa Nilam penyakitan dan keluarganya juga—”Suara ibu Irma yang amat sangat emosional mendadak tak lagi terdengar. Anggi terdiam bingung sekaligus syok menatap Melati yang tak kalah bingung. Namun dalam diamnya, baik Anggi apalagi Melati, langsung menerka-nerka.Baik Anggi apalagi Melati yakin, bahwa Ravael suami Melati, bermaksud menceraikan Melati demi wanita lain. Wanita itu bernama Nilam dan kondisinya penyakitan. Namun hanya Melati yang tahu, bahwa suaminya memang memiliki istri lain selain dirinya, dan wanita itu bernama Nilam. Selain itu, meski Melati merupakan istri pertama Ravael, Melati bukanlah istri yang Ravael cintai bahkan sekadar harapkan. Y
Entah apa yang terjadi, tetapi insiden Nilam menyiram Melati membuat Ravael terus mengingat kejadian tersebut. Ravael merasa tersentuh sekaligus merasa bersalah kepada tanggapan Melati yang tetap tenang, meski tangan maupun kaki yang tersiram air sup, langsung berubah menjadi merah padam. Apalagi, kulit Melati putih bersih. Saat kejadian, perubahannya sangat mencolok.Saat itu, tiga hari lalu, Melati bahkan tak bersuara, bibir tipisnya tetap terkunci, dan hanya matanya saja yang basah. Apalagi ketika tatapan mereka bertemu. Sekadar melihat cara Melati melihatnya saja, hati Ravael terasa pedih. Seolah, mata sendu itu memiliki daya tarik tersendiri dan membuatnya untuk selalu peduli.“Sudah empat hari berlalu dari kejadian itu, tetapi keadaan Nilam kembali memburuk. Lebih tepatnya, sejak terapi sinar hari kemarin, alih-alih membaik, kesehatan Nilam justru jadi memburuk.“Rav ... Rav ....” Suara yang Nilam hasilkan sangatlah lemah.Kemarin, tim dokter yang menangani Nilam, sebenarnya bel
“Kamu kenapa?” Ravael bertanya dengan suara lembut, dan sebisa mungkin menahan emosinya. Apalagi, melihat wajah sang istri yang masih pucat dan bibir saja kerap berdarah karena terlalu kering.“Kamu kenapa perhatiin dia sampai segitunya? Dia pembantu baru kita, kan?” rengek Nilam sambil menatap sebal sang suami. Ia ngambek dan memang cemburu kepada Melati karena tadi. Nilam tak terima karena suaminya memperhatikan Melati sampai segitunya. Padahal selain di sebelah Ravael ada dirinya, status Melati tak lebih dari pelayan restoran sahabat milik Ravael.“Ya ampun ... masih bahas itu,” ucap Ravael sambil menghela napas pelan sekaligus dalam. “Kamu di sini saja. Aku mau minta maaf ke dia," sergah Ravael yang hendak minta maaf ke Melati.Ravael sudah sempat berdiri, dan nyaris saja pergi menyusul kepergian Melati dan sudah disusul Dimas. Namun, dengan cepat Nilam yang tetap dalam kondisi duduk, mendekapnya erat menggunakan kedua tangan. Tentu Ravael tak mungkin pergi bahkan sekadar berucap
Sampai detik ini, hati berikut pikiran Melati masih bertanya-tanya. Temannya yang mana yang Ravael maksud, dan ingin Ravael beri ucapan terima kasih? Sebab pesan darinya yang menanyakan perkara tersebut, sama sekali belum Ravael baca. Padahal sudah tiga hari berlalu, tetapi pesan darinya tetap belum dibaca.Melati sangat khawatir, takut telah terjadi hal fatal kepada Ravael hingga pria itu makin tidak ada waktu untuknya. Apalagi terakhir kali berkomunikasi saja, Ravael harus hujan-hujanan ketika mengambil sup untuk Nilam. “Efek aku yang terlalu baper. Atau karena aku yang telanjur jatuh cinta kepada suamiku sendiri? Bukankah masih menjadi hal yang normal, ketika seorang istri mengkhawatirkan suaminya sendiri, meski istri itu bukan wanita yang suaminya cintai?” Akan tetapi tiba-tiba Melati takut, bahwa cintanya kepada Ravael justru menjadi hal yang tak seharusnya Melati biarkan tumbuh apalagi makin berkembang. Karena walau Ravael merupakan suaminya dan Melati merupakan istri pertaman