"Darimana kamu?" tanyaku pada Vivi yang baru saja memasuki rumah. Sedari tadi aku duduk terdiam di sofa ruang tamu ini, Ibu mengunci diri di dalam kamar usai pertengkaran hebat tadi. Aku yakin kini ibu sangat terpukul."Mas, kamu udah pulang? Kan baru jam segini, kok udah pulang.""Jawab pertanyaanku, kamu darimana?!" sentakku.Wanita yang kini perutnya membuncit itu pun terperangah."Tadi kamu jalan kaki? Darimana?" Aku sedikit menurunkan nada bicaraku, bagaimanapun juga Vivi sedang mengandung anakku, tidak seharusnya aku membentaknya, walau sebenarnya pikiranku sedang kacau balau, karena banyak masalah. Terkadang jika sedang kalut begini emosiku pun gampang tersulut."Ehm, aku dari rumah Mama tadi. Kamu kenapa jam segini udah pulang?" Ia balik bertanya."Tadi Ibu telepon aku suruh pulang. Jadi aku pulang cepat.""Ibu nyuruh pulang cepat? Kenapa?" Vivi mendaratkan bobotnya di sampingku."Ada dua orang laki-laki anak buah Pak Wahyu hendak menyita rumah ini."Lagi Vivi terperangah me
"Cukup! Cukup Adrian! Dania!" teriak Ibu yang secara tiba-tiba membuka pintu kamarnya dan menatap nyalang ke arah kami berdua."Ibu!" ucapku hampir bersamaan dengan Dania.Aku dan Dania menatap wajah ibu yang memucat."Apa dengan kalian bertengkar seperti ini masalahnya akan selesai!"Aku diam menunduk. Seketika merasa bersalah atas semua yang terjadi. Wajar jika Dania semarah ini padaku. Sebagai kakak bukannya memberi perlindungan, justru aku menyengsarakan."Kamu juga Adrian, Ibu nggak mau tahu, dalam waktu seminggu ini kamu harus cari uang, entah darimana kamu dapatkan uang, ibu nggak peduli! Ibu nggak mau sampai rumah ini diambil mereka. Kamu harus tanggung jawab!"tegasnya. Meski netranya masih terlihat sembab."I–Iya Bu. Iyan akan berusaha bagaimanapun caranya agar rumah ini tak sampai di sita.""Ibu! Ibu nggak apa-apa?" tanya Dania.Ibu terlihat sangat pucat."Ibu nggak apa-apa. Ibu hanya syok atas ulah kakakmu ini. Dia sama saja pencuri. Mengambil sertifikat rumah ini tanpa se
"Nggak, ini nggak mungkin, Ibu nggak mungkin meninggal." Dania terus bergumam, terduduk di lantai tak berdaya."Ibu!" teriakku kemudian melangkah cepat masuk ke dalam ruang IGD untuk memastikan. Aku yakin dokter pasti salah. Ibu pasti masih ada, ibu pasti hanya pingsan. Nggak. Nggak mungkin ibu pergi."Ibu! Bangun Bu! Ibu! Bangun! Ini Iyan Bu. Iyan minta maaf Bu! Bangun!" Aku menggoyangkan tubuh ibuku. Dua orang perawat telah selesai melepas semua selang yang tadinya menempel di tubuh ibu.Luruh sudah air mataku, memandangi wajah pucat yang kini terbujur kaku, kugenggam tangannya yang mulai terasa dingin itu. Matanya tertutup rapat. Beberapa kali aku mengecek denyut nadi di leher dan pergelangan tangannya berharap ada denyut terasa, tapi aku tak menemukannya. Aku pandang lekat wajah teduh itu, berharap netra yang tertutup itu bisa kembali terbuka dan melihatku ada disini.Namun nihil, yang ada hanya sesak yang teramat sangat menggerogoti dada ini."Ibuuu! Maafin Iyan Bu!" Kembali aku
"Gara-gara Dia, Ibu meninggal! Kau pembunuh! Pembunuh!" teriak Dania histeris."Dania sabar Nak, sabar Sayang," ucap salah seorang tetangga yang duduk di sebelah Dania. Beberapa kali tangannya mengusap bahu Dania dengan lembut. Namun Dania seperti orang kesetanan."Ikhlaskan, biar ibumu tenang, ikhlaskan Sayang." ucap yang lainnya.Bu Nyai datang menghampiri Dania dan memeluknya. Bu Nyai adalah istrinya Pak Lebe yang biasa mengurusi jenazah. "Biar kakakmu mempersiapkan untuk memandikan jenazah ibumu. Kamu sabar tabah ya Nduk," ucap Bu Nyai lembut."Apa pantas Dia disebut Kakak? Dia yang menyebabkan ibu meninggal!" Dania terus merancau dengan suara parau, bicara sambil terisak.Aku hanya bisa diam membisu."Kamu yang sabar ya Yan, ibumu orang baik, Insya Allah, beliau sudah tenang di sisi Allah. Semua perlengkapan untuk memandikan jenazah ibumu sudah siap, mari kita angkat untuk di bawa ke depan," ucap Pak Bagus, aku pun bangkit untuk mengangkat tubuh ibu. Di halaman rumah sudah dibua
Semua mata tertuju pada Vivi dan Mama Ranti."Dek sudah Dek, sudah cukup, kasihan Ibu." Aku berusaha menenangkannya, dengan mengelus kepalanya.Namun Dania langsung menepis kasar tanganku. "Apa kamu bilang? Kasihan sama Ibu? Selama ini kau kemana saja Mas? Tau apa kamu tentang kasihan sama Ibu? Tahu apa kamu? Kamu nggak ngerti soal kasihan atau sayang sama Ibu Mas!" sentaknya berapi-api."Dan bilang pada istrimu ini nggak perlu datang-datang lagi kesini! Muak aku lihat wajahnya itu!"Vivi hanya menunduk dalam, mendengar ucapan Dania yang sedang dikuasai emosi. "Sudah Nduk, sudah. Kasihan ibumu, pasti beliau sedih melihat kalian ribut terus-terusan," ujar Bu Helena pada Dania. Dania langsung menuruti apa kata Bu Helena.Dania memeluk erat Bu Helena dan menangis tergugu dalam pelukannya.Vivi menatap lekat ke arahku dan Dania, kemudian bersama Mama Ranti ia melangkah masuk untuk melihat jenazah ibu yang sedang dikafani.Ditemani Mama Ranti, ia menatap wajah ibu. Sedangkan Dania, ia m
Bu Helena mulai membisikkan sesuatu dekat telingaku. Aku tercengang, beberapa saat terdiam mencerna semua kalimat ya beliau utarakan. Kemudian sekali lagi aku menoleh ke arahnya. Beliau mengangguk tersenyum.Akhirnya aku pun mengangguk menyetujui syarat yang beliau ajukan."Oke. Besok kau bisa datang ke rumah, untuk mengambil uang itu, dan segera lunasi hutangmu di Pak Wahyu.""Terimakasih, Bu," ucapku. Aku sangat berterimakasih, karena berkat beliau rumah ini tak jadi diambil oleh Pak Wahyu.Acara tahlil malam ini berjalan lancar, beberapa tetangga berkumpul di rumah ini, bersama-sama mengirim doa untuk ibu. Dania sudah tak lagi histeris, hanya sesekali air matanya mengalir saat mengaji Yasin.Selesai acara tahlilan, rumah terasa begitu sunyi. Seperti ada yang hilang. Aku kehilangan sosok yang selalu menghangatkan suasana setiap saat. Aku kehilangan sosok yang selalu berusaha memberi apapun yang kubutuhkan. Pelan kumenoleh ke arah kamar ibu, ada Dania di dalam, ia duduk termenung mem
"Vivi kenapa Bu?" tanyaku panik dengan menatap lekat Mama Ranti. "Vivi masih belum sadar, kritis di dalam," sahut Mama Ranti yang juga terlihat cemas."Anakku? Gimana keadaan bayiku Ma?""Anakmu masuk inkubator karena belum cukup bulan, berat bada bayi juga kurang."Aku menarik napas panjang. Miris, entah berapa banyak sudah dosa yang sudah kuperbuat, sudah berapa banyak aku melukai hati ibu, melukai hati Anisa, kini Tuhan seperti menghukumku dengan berbagai cobaan."Sebenarnya kalian kenapa Yan? Kenapa Vivi pulang ke rumah Mama, apa kalian bertengkar?" tanya Mama Ranti memindai wajahku."Memangnya Vivi belum cerita?"Beliau menggeleng."Kami nggak apa-apa Ma, mungkin Vivi lagi ingin tinggal di rumah Mama.""Kamu nggak bohong? Saya turut berdukacita atas kepergian ibumu Yan, bagaimanapun juga Bu Mita itu baik, hanya saja mungkin karena beliau terlalu sayang dengan Nisa, beliau jadi kurang suka dengan Vivi. Dan saya sadar kehadiran Vivi dalam rumah itu bukan keinginannya. Mungkin kare
Aku membuang napas kasar dan meraup wajahku yang kini sudah penuh dengan keringat di pelipisku. Teringat Vivi di dalam masih berjuang di ruang ICU, aku kembali melangkah ke masuk ke dalam rumah sakit."Bagaimana Ma, sudah ada perubahan?" Mama Ranti menggeleng."Yan, kamu bisa ke ruangan bayi, dan adzani anakmu." Aku mengangguk kemudian melenggang ke arah ruangan bayi.Berjejer bayi di sana, aku dengan di temani perawat yang berjaga, menuju ke box bayi paling ujung, di dalam inkubator seorang bayi mungil berjenis kelamin laki-laki itu tengah tertidur dengan selang menempel di tubuhnya.Aku menatap hari bayi merah itu, tanpa sadar air mataku menetes. Aku telah menjadi seorang ayah, bisikku lirih."Silakan di adzani Pak," ucap perawat perempuan yang mendampingiku. Aku hanya mengadzani dari lubang berbentuk yang ada samping.Tanpa sadar aku mengumandangkan adzan dengan berderai air mata. Di saat aku kehilangan ibu, sosok malaikat yang teramat mulia, Allah kini hadirkan malaikat kecil in