Aku melajukan mobilku dengan kecepatan sedang menuju rumah Intan. Alunan musik dari grup band terkenal asal Jogja yang berjudul kisah klasik, mengalun merdu dengan iringan musik akustik.Hingga hampir satu jam perjalanan yang kutempuh kini aku telah sampai di depan rumah Intan. Semuanya masih sama seperti saat terakhir kali aku kesini. Hanya saja tanaman di depan rumahnya seperti tak terawat, juga sampah daun-daun kering yang berjatuhan berserakan. Ini tak seperti biasanya. Karena biasanya Bik Mirna begitu rajin membersihkan halaman rumah setiap hari.Aku mulai turun dari mobil, melangkah pelan mendekati pagar hitam itu.Terkunci. Tapi bukankah memang pagar rumah Intan selalu terkunci, meski Intan berada di dalam rumah sekalipun. Ia baru akan membukanya jika ada tamu datang, keluar masuk rumah, setelah itu dia ataupun Bik Mirna kembali menguncinya."Assalamu'alaikum Intan!" seruku seraya mengetukkan gembok yang tergantung pada tepian pagar, sehingga menimbulkan bunyi nyaring."Intan
POV Adrian."Mas Adrian," ucap perempuan itu. Ia terlihat begitu anggun dengan setelan baju berwarna ungu motif bunga-bunga kecil. Hijab pasmina instan berwarna hitam makin menambah elegan penampilannya.Anisa yang kulihat saat ini sungguh, berbeda. Cantik. Satu kata yang tepat untuk dia. Ia turun dengan anggun dari mobil, sepatu santai yang ia kenakan pun jelas terlihat berkelas, tas handbag buluk yang dulu selalu ia bawa kemana-mana saat masih bersamaku, kini telah berganti dengan tas mahal dan bermerk.Wajahnya begitu bersih, putih, terawat, bibir ranum berwarna pink, begitu membuatnya terlihat segar dan elegan. Saat tersenyum menampilkan gigi gingsulnya, senyum khasnya itu makin menambah kadar kecantikannya. Beberapa saat aku menatapnya tanpa mampu berkedip. Anisa kini benar-benar berubah, dia begitu cantik mirip seperti artis Irish Bella.Satu tahun lebih tak ada kabar beritanya, bahkan Mama Ranti sendiri tak tahu kabarnya Anisa. Sampai Mama Ranti rela mencarinya kemana-mana ta
Aku mengangguk tersenyum, masih terus menatap wanita itu melenggang masuk ke dalam minimarket.Apa mungkin selama Anisa tak kabar ia bekerja di luar negeri mengadu nasib ke negara orang, jadi TKW misalnya, hingga ia sekarang pulang kembali ke Indonesia, ia berhasil mengubah nasib. Menjadi orang kaya.Anisa.Setelah proses perceraianku dengan Anisa selesai, dari sana lah titik balik kehidupanku. Satu setengah tahun lalu.Aku terkena pemutusan hubungan kerja. Bekerja serabutan apapun itu aku lakukan selagi bisa menghasilkan uang untuk menyambung hidup. Belum lagi hutang pada Pak Wahyu makin menumpuk. Aku sudah tak tahu lagi bagaimana caranya untuk melunasi semuanya.Waktu itu aku hanya sebagai kuli bangunan, yang gaji mingguan tak lebih dari tujuh ratus ribu per Minggu.Belum lagi aku masih harus mendengar ocehan Vivi setiap hari.Hingga di hari itu puncaknya aku menyerah. Sudah hampir tiga bulan aku tak mampu membayar cicilan hutangku yang makin menggunung. Bayangkan saja, dari pinjama
"Darimana kamu?" tanyaku pada Vivi yang baru saja memasuki rumah. Sedari tadi aku duduk terdiam di sofa ruang tamu ini, Ibu mengunci diri di dalam kamar usai pertengkaran hebat tadi. Aku yakin kini ibu sangat terpukul."Mas, kamu udah pulang? Kan baru jam segini, kok udah pulang.""Jawab pertanyaanku, kamu darimana?!" sentakku.Wanita yang kini perutnya membuncit itu pun terperangah."Tadi kamu jalan kaki? Darimana?" Aku sedikit menurunkan nada bicaraku, bagaimanapun juga Vivi sedang mengandung anakku, tidak seharusnya aku membentaknya, walau sebenarnya pikiranku sedang kacau balau, karena banyak masalah. Terkadang jika sedang kalut begini emosiku pun gampang tersulut."Ehm, aku dari rumah Mama tadi. Kamu kenapa jam segini udah pulang?" Ia balik bertanya."Tadi Ibu telepon aku suruh pulang. Jadi aku pulang cepat.""Ibu nyuruh pulang cepat? Kenapa?" Vivi mendaratkan bobotnya di sampingku."Ada dua orang laki-laki anak buah Pak Wahyu hendak menyita rumah ini."Lagi Vivi terperangah me
"Cukup! Cukup Adrian! Dania!" teriak Ibu yang secara tiba-tiba membuka pintu kamarnya dan menatap nyalang ke arah kami berdua."Ibu!" ucapku hampir bersamaan dengan Dania.Aku dan Dania menatap wajah ibu yang memucat."Apa dengan kalian bertengkar seperti ini masalahnya akan selesai!"Aku diam menunduk. Seketika merasa bersalah atas semua yang terjadi. Wajar jika Dania semarah ini padaku. Sebagai kakak bukannya memberi perlindungan, justru aku menyengsarakan."Kamu juga Adrian, Ibu nggak mau tahu, dalam waktu seminggu ini kamu harus cari uang, entah darimana kamu dapatkan uang, ibu nggak peduli! Ibu nggak mau sampai rumah ini diambil mereka. Kamu harus tanggung jawab!"tegasnya. Meski netranya masih terlihat sembab."I–Iya Bu. Iyan akan berusaha bagaimanapun caranya agar rumah ini tak sampai di sita.""Ibu! Ibu nggak apa-apa?" tanya Dania.Ibu terlihat sangat pucat."Ibu nggak apa-apa. Ibu hanya syok atas ulah kakakmu ini. Dia sama saja pencuri. Mengambil sertifikat rumah ini tanpa se
"Nggak, ini nggak mungkin, Ibu nggak mungkin meninggal." Dania terus bergumam, terduduk di lantai tak berdaya."Ibu!" teriakku kemudian melangkah cepat masuk ke dalam ruang IGD untuk memastikan. Aku yakin dokter pasti salah. Ibu pasti masih ada, ibu pasti hanya pingsan. Nggak. Nggak mungkin ibu pergi."Ibu! Bangun Bu! Ibu! Bangun! Ini Iyan Bu. Iyan minta maaf Bu! Bangun!" Aku menggoyangkan tubuh ibuku. Dua orang perawat telah selesai melepas semua selang yang tadinya menempel di tubuh ibu.Luruh sudah air mataku, memandangi wajah pucat yang kini terbujur kaku, kugenggam tangannya yang mulai terasa dingin itu. Matanya tertutup rapat. Beberapa kali aku mengecek denyut nadi di leher dan pergelangan tangannya berharap ada denyut terasa, tapi aku tak menemukannya. Aku pandang lekat wajah teduh itu, berharap netra yang tertutup itu bisa kembali terbuka dan melihatku ada disini.Namun nihil, yang ada hanya sesak yang teramat sangat menggerogoti dada ini."Ibuuu! Maafin Iyan Bu!" Kembali aku
"Gara-gara Dia, Ibu meninggal! Kau pembunuh! Pembunuh!" teriak Dania histeris."Dania sabar Nak, sabar Sayang," ucap salah seorang tetangga yang duduk di sebelah Dania. Beberapa kali tangannya mengusap bahu Dania dengan lembut. Namun Dania seperti orang kesetanan."Ikhlaskan, biar ibumu tenang, ikhlaskan Sayang." ucap yang lainnya.Bu Nyai datang menghampiri Dania dan memeluknya. Bu Nyai adalah istrinya Pak Lebe yang biasa mengurusi jenazah. "Biar kakakmu mempersiapkan untuk memandikan jenazah ibumu. Kamu sabar tabah ya Nduk," ucap Bu Nyai lembut."Apa pantas Dia disebut Kakak? Dia yang menyebabkan ibu meninggal!" Dania terus merancau dengan suara parau, bicara sambil terisak.Aku hanya bisa diam membisu."Kamu yang sabar ya Yan, ibumu orang baik, Insya Allah, beliau sudah tenang di sisi Allah. Semua perlengkapan untuk memandikan jenazah ibumu sudah siap, mari kita angkat untuk di bawa ke depan," ucap Pak Bagus, aku pun bangkit untuk mengangkat tubuh ibu. Di halaman rumah sudah dibua
Semua mata tertuju pada Vivi dan Mama Ranti."Dek sudah Dek, sudah cukup, kasihan Ibu." Aku berusaha menenangkannya, dengan mengelus kepalanya.Namun Dania langsung menepis kasar tanganku. "Apa kamu bilang? Kasihan sama Ibu? Selama ini kau kemana saja Mas? Tau apa kamu tentang kasihan sama Ibu? Tahu apa kamu? Kamu nggak ngerti soal kasihan atau sayang sama Ibu Mas!" sentaknya berapi-api."Dan bilang pada istrimu ini nggak perlu datang-datang lagi kesini! Muak aku lihat wajahnya itu!"Vivi hanya menunduk dalam, mendengar ucapan Dania yang sedang dikuasai emosi. "Sudah Nduk, sudah. Kasihan ibumu, pasti beliau sedih melihat kalian ribut terus-terusan," ujar Bu Helena pada Dania. Dania langsung menuruti apa kata Bu Helena.Dania memeluk erat Bu Helena dan menangis tergugu dalam pelukannya.Vivi menatap lekat ke arahku dan Dania, kemudian bersama Mama Ranti ia melangkah masuk untuk melihat jenazah ibu yang sedang dikafani.Ditemani Mama Ranti, ia menatap wajah ibu. Sedangkan Dania, ia m