"Mas, kamu kok masih di rumah, nggak jadi pergi hadiri sidang?" tanya Vivi yang mungkin merasa heran karena waktu sudah menunjukkan jam sembilan lebih tapi aku malah duduk di sofa ruang tamu rumah ini.Ibu sedang mengecek konveksi yang lokasinya sekitar sepuluh menit dari rumah ini.Aku diam tak menanggapinya. "Baguslah kalau kamu memutuskan nggak hadir, dengan begitu akan lebih cepat proses cerai kalian." Lagi Vivi berucap dengan nada girang. Aku membuang napas kasar."Kamu jangan gitu dong Sayang, aku yakin kok setelah kamu resmi cerai sama Mbak Nisa, kamu bisa fokus sama aku dan anak kita." Vivi bergelayut manja di lenganku. Aku hanya tersenyum kecut."Hah, akhirnya kita bisa hidup tenang ya Mas, tanpa bayang-bayang Mbak Nisa di rumah ini." Aku masih diam walau Vivi terus saja bicara di dekatku. Jemari lentiknya menari-nari di dada ini, membelai lembut hingga menghadirkan sensasi lain dalam diri ini."Mas, kamu kenapa? Masih kepikiran Mbak Nisa? Hem?" Kali ini tangan lembutnya men
"I–ini maksudnya apa Pak?" Aku menatap kertas yang kupegang. Sungguh aku tak percaya, ini seperti mimpi buruk."Bisa Bapak bisa baca sendiri keterangannya di surat itu Pak. Mohon maaf sekali kami tak bisa membantu banyak."Tertulis di sana aku terkena PHK karena sering kali tak masuk kerja, kinerjaku di anggap buruk di mata management perusahaan, tidak disiplin, tidak kompeten dan lain sebagainya. Tanpa sadar aku meremat kuat kertas yang ada dalam genggaman."Seperti yang Bapak tahu bulan kemarin Bapak sudah mendapatkan SP dua bukan, itu sudah merupakan warning untuk Bapak memperbaiki kinerja Bapak, bukan malah sebaliknya, saya lihat Pak Adrian ini justru santai-santai saja, masih sering tak masuk, seringkali tak ada kabar. Ingat Pak, kita kerja juga perlu etika yang baik, profesional itu sangat penting," jelas Pak Edi yang terlihat seperti menahan emosi.Sementara Mas Faris hanya diam menatapku."Ma–Mas Faris, tolong bantu saya Mas," ucapku memohon pada Mas Faris yang duduk di sampin
Siapa Dia? Kenapa aku seperti familiar dengan postur tubuhnya?Driver ojeg online yang beberapa waktu lalu pernah dipesan oleh Vivi kala motorku bocor. Apakah kali ini Vivi juga memesan ojeg online untuk mengantarnya pergi? Kalau iya, mengapa kebetulan mendapatkan driver yang sama? Dan lagi laki-laki itu kembali tak memakai jaket kebesarannya yang berwarna hijau.Jika dia driver ojol, mengapa tak menjemputnya di rumah?Kenapa Vivi harus berjalan dulu hingga ke ujung jalan? Aku tau bagaimana Vivi, ia paling tak suka di suruh jalan, apalagi sekarang cuaca tengah terik. Waktu menunjukkan pukul setengah dua belas siang.Kenapa? Kenapa? Dan kenapa? Begitu banyak pertanyaan yang mengganjal dihatiku. Aku perhatikan dengan seksama gerak gerik wanita yang perutnya terlihat membuncit ini. Vivi langsung menerima helm dari tangan laki-laki itu, senyum manis tergambar jelas di bibir keduanya. Ketika Vivi terlihat kesulitan memakai helmnya, dengan cekatan laki-laki itu membantu memakaikan helm hi
Lalu yang sedang berbalas chat denganya, Mayang yang mana?aku makin pusing dibuatnya. Tak lama semangkuk mie ayam untukku kini telah tiba di hadapanku. Aku pun langsung menyantapnya tanpa banyak bicara lagi. Ketika Pikiranku sedang kalut begini, aku kerapkali melampiaskannya dengan banyak makan."Pelan-pelan Mas makannya," ucap Vivi yang mungkin melihatku begitu lahap makan."Mas lapar," jawabku datar."Kamu udah kenal lama sama Mayang?" "Hem, Mayang? Oh, ehm, udah lama Mas, dari waktu kami dulu jadi SPG bareng.""Vivi pun melanjutkan makan mie ayamnya, dengan netra masih fokus pada layar ponselnya."Abis ini kita pulang ya," ajakku."Pulang? Nggak lah, kita belanja dulu.""Hah, belanja?" Aku sedikit syok mendengar jawabannya."Kamu kenapa sih? Biasa aja kali, nggak kayak biasanya denger aku mau belanja kek horor banget," ketus Vivi.Ya memang horor, pasalnya aku sudah tak punya uang, kerjaan pun aku sudah tak punya."Vi, kamu kan lagi hamil, mending jangan terlalu capek, kita pula
"Hah! Apa?!"Vivi langsung menghentikan aktivitasnya menggelar beberapa baju-baju bayi."Kok bisa?!" sentaknya lagi."Ya, karena aku sering nggak masuk kerja, udah dapat surat peringatan tapi aku masih sering melakukan kesalahan yang sama jadi ya, jatuh SP 3, aku diberhentikan dengan tidak hormat," jelasku pelan. Berharap ia bisa sedikit memahami saat ini aku pun sedang kalut."Tapi uang pesangon dapatkan?" tanyanya lagi.Aku menggeleng."Apa?!""Aduh kok bisa sih Mas! Terus kita gimana dong, mana sebentar lagi aku mau lahiran, darimana kita dapat uang untuk biaya lahiranku Mas!" pekiknya."Tenang Vi, tenang, besok Mas akan cari kerja lagi, kamu doain Mas supaya cepat dapat kerja lagi ya.""Kamu pikir cari kerjaan itu gampang, Mas!" Vivi beberapakali mengerjap mungkin masih tak percaya dengan kenyataan sekarang aku adalah pengangguran.Ck, padahal aku jadi sering nggak masuk karena seringkali mengikuti keinginannya."Ya kamu juga sering kali minta ini dan itu, temenin kesana kemari ja
"Kerja apa? Sampai kotor semua begitu?" tanyanya masih dengan wajah jutek seperti tak nyaman."Kuli bangunan." "Apa?!" Vivi tersentak kaget mendengar jawabanku.Memang apa salahnya dengan pekerjaan kuli bangunan, yang penting Halal bukan.Vivi duduk di sofa tak jauh dariku. Wajahnya masih masam, tak ada senyum sedikitpun kala menyambut kepulanganku, padahal aku sedang lelah sekali, setidaknya senyuman manis darinya bisa sedikit mengobati rasa lelah ini."Kamu bikin kopi sendiri lah sana, aku males," ucapnya."Vi, aku ini suamimu, sudah sepantasnya suami pulang kerja itu di sambut dengan baik, bikinkan teh atau kopi untuk meredakan rasa lelahnya.""Stop Mas, aku lagi pusing kamu jangan tambah dengan ceramah tak penting itu!" Ia berdecak kesal kemudian berlalu masuk ke dalam kamar, mungkin karena bawaan hamil mood-nya tak stabil. Mau tak mau, aku pun melenggang ke dapur untuk membuat secangkir teh hangat.Aku panaskan air di teko siul, kemudian kutinggal mandi, usai mandi pas air itu
POV Anisa"Nisa, kamu apa kabar, Sayang?" tanya Tante Ranti yang tiba-tiba datang ke rumah kontrakanku siang ini.Aku yang tengah sibuk menguleni adonan donat kini harus berhenti sejenak demi menghormati tamu yang datang."Alhamdulillah baik Tan, ya, seperti yang Tante lihat, Nisa sehat." Aku mengulas senyum padanya.Entah mengapa sejak Vivi telah merusak rumah tanggaku, hubunganku dengan Tante Ranti pun tak sehangat dulu. Seperti ada sekat diantara kami. Bahkan sejak aku memutuskan berpisah dari Mas Adrian aku tak pernah datang ke rumah Tante Ranti. Biarlah aku menjalani hidupku sendiri, ini jalan yang kupilih. "Kamu membenci Tante, Nis?" tanyanya.Tante Ranti pun sepertinya merasa adanya jarak diantara kami.Aku tersenyum menatapnya. Aku tak membencinya. Hanya saja hati ini masih terluka mengingat Vivi yang telah tega merusak rumah tanggaku. Meski Tante Ranti tak bersalah, tapi tetap saja, tiap kali aku menatapnya aku seperti melihat bayangan Vivi di sana, ah mungkin karena garis w
Aku membuka mata ini pelan-pelan, menatap sekeliling ruangan berwarna putih, dan indera penciumanku mencium bau obat yang menyengat. Punggung tangan kananku telah terpasang selang infus. Aku menggerakkan tubuhku, namun rasanya sakit semua, ketika tersadar ternyata lengan kiriku di perban.Krieet."Selamat malam, Alhamdulillah Mbak sudah sadar," sapa seorang perawat ketika memasuki ruangan ini. Aku menarik senyum untuknya, dengan sigap ia memeriksa kondisi tubuhku kemudian melakukan pemeriksaan tekanan darah dengan tensimeter."Gimana keadaanya Mbak, sudah lebih baik?" tanyanya.Aku masih diam. Kembali wanita cantik berpakaian putih ini tersenyum."Kenapa saya bisa ada di sini Sus?" "Kemarin Mbak mengalami kecelakaan, tapi Alhamdulillah, kondisi Mbak nggak apa-apa, tak ada luka serius, hanya ada lecet di lengan kirinya Mbak," jelasnya. Aku mengangguk seraya menyentuh lengan yang terbalut perban."Tekanan darah normal ya Mbak, 100/80."Meski tak ada luka serius, tapi tetap saja seluru