Aku membuka mata ini pelan-pelan, menatap sekeliling ruangan berwarna putih, dan indera penciumanku mencium bau obat yang menyengat. Punggung tangan kananku telah terpasang selang infus. Aku menggerakkan tubuhku, namun rasanya sakit semua, ketika tersadar ternyata lengan kiriku di perban.Krieet."Selamat malam, Alhamdulillah Mbak sudah sadar," sapa seorang perawat ketika memasuki ruangan ini. Aku menarik senyum untuknya, dengan sigap ia memeriksa kondisi tubuhku kemudian melakukan pemeriksaan tekanan darah dengan tensimeter."Gimana keadaanya Mbak, sudah lebih baik?" tanyanya.Aku masih diam. Kembali wanita cantik berpakaian putih ini tersenyum."Kenapa saya bisa ada di sini Sus?" "Kemarin Mbak mengalami kecelakaan, tapi Alhamdulillah, kondisi Mbak nggak apa-apa, tak ada luka serius, hanya ada lecet di lengan kirinya Mbak," jelasnya. Aku mengangguk seraya menyentuh lengan yang terbalut perban."Tekanan darah normal ya Mbak, 100/80."Meski tak ada luka serius, tapi tetap saja seluru
"Tante, sudah Tante, sudah," pintaku pada Tante Ranti yang masih terlihat emosi."Biar saja tuh orang, biar nggak diulangi lagi! Pasti dia itu suka ugal-ugalan di jalan," gerutunya."Kamu nggak apa-apa kan? Nggak di apa-apain sama laki-laki itu kan?" Aku menggeleng. Tante Ranti terlihat lega."Tante, harusnya dengerin dulu apa penjelasan dia tadi, jangan main asal tuduh begitu," ucapku."Ya, biar Dia tau rasa dan kapok nggak ugal-ugalan lagi di jalan," cetus Tante Ranti."Ya sudahlah, Nisa mau istirahat dulu ya Tan.""Ya, tidurlah, Tante jagain kamu di sini, jangan khawatir, Tante jamin laki-laki itu tak kan berani macam-macam lagi sama kamu!" Aku hanya memutar bola mata mendengar ucapan Tante Ranti. Kemudian aku pun langsung terlelap jemput mimpi.*Pagi hari Aku terbangun dan mendapati Tante Ranti tengah tertidur pulas di sofa panjang tak jauh dari ranjangku.Aku merasa lebih baik, semoga saja dokter visit pagi ini, jadi aku juga bisa segera pulang dari sini, rasanya sudah nggak b
"kondisinya sudah membaik ya Bu Anisa, luka di lengan kirinya juga jahitannya sudah bagus, tinggal nanti ganti perban sekalian kontrol tiga hari lagi kemari ya Bu," ucap dokter muda berkacamata itu, hijab yang membalut kepalanya makin menambah anggun penampilan dan keramahannya."Baik, terimakasih Dok," ucapku."Apa ada keluhan lain yang mau disampaikan?" Aku menggeleng."Oke, saya tinggal ya, nanti tinggal selesaikan semua administrasi dan tebus obatnya, setelah semua selesai bisa langsung pulang," ucap Dokter Ariani."Iya Dok, terimakasih." Dokter yang ditemani oleh perawat itu pun meninggalkan ruangan ini."Oke, aku ke bagian administrasi dulu, mengurus semua, kamu sebaiknya bersiap, oke." Raffi beranjak untuk keluar dari ruanganku, bersamaan dengan perawatan yang masuk untuk mencopot selang infus yang melekat di punggung tanganku."Sus, titip sebentar ya, saya ke bagian administrasi sebentar," ungkapnya pada perawat."Wah suaminya benar-benar suami siaga ya Mbak, udah ganteng, bai
"Vivi mana Yan?" tanya Tante Ranti seolah menyadarkan aku dan Mas Adrian, hampiri bersamaan kami bertiga celingukan mencari sosok Vivi.Akankah Vivi mencari kesempatan, kali ini dengan Raffi. Mengapa aku merasa dia selalu ingin mengambil apa yang ada di dekatku?Jika dulu Rendi sempat menyukaiku kemudian pada akhirnya Vivi lah yang berpacaran dengan Rendi. Kemudian saat aku sudah menikah dengan Mas Adrian, Vivi yang menjadi duri di rumah tangga kami. Dan sekarang ada Raffi di sini, Vivi seolah langsung pasang badan paling depan, ingin mendekati laki-laki itu.Bahkan di saat aku sendiri pun tak ada niat untuk dekat dengan laki-laki manapun, Vivi seakan tak ingin kalah cepat mengambil start.Seburuk inikah penilaianku tentang Vivi? Hanya kebetulan atau hanya pemikiranku saja yang picik terhadap sepupuku ini?Aku menoleh ke belakang ternyata benar Vivi tampak begitu ceria ngobrol dengan Raffi bahkan jaraknya dengan kami pun lumayan jauh. Meski aku bisa melihat Raffi seperti kurang nyaman
Aku menatap lekat Raffi yang masih mengemudikan mobilnya pelan karena sebentar lagi kami akan tiba di depan deretan rumah petak yang kutinggali."Bagaimana kau bisa tahu aku tinggal disini?" tanyaku serius."Eh, iya ehm itu, bukannya kau sendiri yang pernah bilang padaku kau tinggal di sini?" Ia menjawab dengan gelagapan.Keningku mengerenyit."Benarkah?""Ya, mungkin kamu lupa pasca kecelakaan mungkin sedikit membuatmu trauma jadi lupa kau pernah memberitahuku tempat tinggalmu sekarang."Aku mengangguk tanda mengerti. Tapi jujur di dalam hati ini mengganjal, aku memang sedikit trauma setelah kecelakaan kemarin, tapi benarkah aku pernah bicara padanya dimana aku tinggal, sejenak aku terdiam. Apa kecelakaan kemarin membuat otakku sedikit konslet dan jadi pelupa? Aku menepuk pelan keningku."Heh, ngapain getok-getok kepala begitu? Jangan begitu, tidak bagus!" seru Raffi."Sudah, sekarang sudah sampai, sebentar aku bantu kamu turun, awas tanganmu hati-hati, awas kepentok mobil," ucapnya
Dua bulan kemudian...Waktu berjalan terasa begitu cepat. Aku berdiri di sini, di balik jendela dengan tirai putih bermotif bunga. Pelan kusibakkan tirai itu hingga sinar orange sang mentari yang gagah itu menyilaukan netra ini.Mentari pagi yang mulai terasa hangat menyapa tubuh saat kubuka jendela kamar ini. Ya, kini aku tengah berada di kamar Intan sahabatku. Setelah beberapa waktu lalu aku telah melalui masa sulit yang begitu menguras waktu, tenaga, dan pikiranku.Hari ini sesuai dengan saran dari Intan aku memilih kemari dan akan pergi berlibur bersamanya.Ada rasa lega seolah aku tengah terlepas dari sangkar burung. Aku seperti kembali seperti pada masa sendiri dulu, bersama sahabatku Intan kami bisa bersama menggapai semua keceriaan masa itu.Hari ini Intan masih kerja, dan besok ia mengambil cuti untuk tiga hari kedepan. Aku sudah stay di sini, di rumahnya sejak kemarin sore.Aku lupakan sejenak semua kesibukanku berjualan kue. Aku ingin sekedar merefresh otakku sekaligus mena
"Hei Nis sudah siap, Let's go!" seru Intan ketika kami sudah siap meluncur dengan taksi online yang di pesannya. Tujuan kami ke stasiun. Ya, kita memutuskan untuk naik kereta api ke Jawa timur tepatnya kabupaten Sidoarjo."Siap dong!" seruku tak kalah lantang.Kami pun berjalan beriringan dengan menggendong tas ransel masing-masing di pundak kami."Sesuai aplikasi ya Pak, ke stasiun," ucap Intan pada Pak supir taksi."Baik Mbak."Mobil pun berjalan usai Intan memastikan pintu dan pagar rumahnya sudah terkunci.Dering ponsel kembali berbunyi. Siapa lagi kalau bukan si pengganggu Raffi."Kenapa nggak di angkat Nisa? Berisik tau!" ucap Intan yang sepertinya kesal karena ponselku kembali berbunyi setelah tadi aku matikan."Ssst! Aku angkat tapi kamu yang ngomong ya!""Eh ya enggak lah! Aku nggak ada urusan sama Dia, aku cuma kesal aja dari tadi tuh Hape kamu bunyi terus!" cetusnya.Akhirnya aku memilih untuk mematikan daya ponsel.Setelah hampir setengah jam perjalanan akhirnya kami tel
Panggilan berakhir sepihak."Hallo! Hallo Mbak Yumna!" Teriakku.Ada apalagi ini? "Ada apa sih Nis, udah malam tidur, ngapain sih masih ribut soal telpon dari Raffi lagi?" ucap Intan dengan suara berat, netranya bahkan masih terpejam, sepertinya tidurnya terganggu oleh suaraku."Ehm, maaf ya Tan, dah tidur lagi, tidur," ucapku padanya."Heemm," sahutnya kemudian ia kembali terlelap.Ting. Bunyi notifikasi pesan masuk di gawaiku.[Maaf Mbak Nisa, tadi terputus. Pokoknya kamu kalau bisa jangan pulang dulu ke kontrakan ada yang nyariin kamu, orangnya serem] Seuntai kalimat pesan dari Mbak Yumna, sontak membuat netraku membola.Apa maksudnya ini?Aku mendadak jadi sulit tidur. Duh ya Tuhan hidupku sudah susah begini, mengapa masih juga kau uji dengan keadaan yang membuatku tak tenang? Sebenarnya siapa mereka itu? Mau apa mereka? Hati ini terus bertanya.Kembali denting ponsel berbunyi tanda pesan masuk di aplikasi chat berwarna hijau.Kali ini dari Raffi.[Nis sudah tidur?]Aku hanya m