"kondisinya sudah membaik ya Bu Anisa, luka di lengan kirinya juga jahitannya sudah bagus, tinggal nanti ganti perban sekalian kontrol tiga hari lagi kemari ya Bu," ucap dokter muda berkacamata itu, hijab yang membalut kepalanya makin menambah anggun penampilan dan keramahannya."Baik, terimakasih Dok," ucapku."Apa ada keluhan lain yang mau disampaikan?" Aku menggeleng."Oke, saya tinggal ya, nanti tinggal selesaikan semua administrasi dan tebus obatnya, setelah semua selesai bisa langsung pulang," ucap Dokter Ariani."Iya Dok, terimakasih." Dokter yang ditemani oleh perawat itu pun meninggalkan ruangan ini."Oke, aku ke bagian administrasi dulu, mengurus semua, kamu sebaiknya bersiap, oke." Raffi beranjak untuk keluar dari ruanganku, bersamaan dengan perawatan yang masuk untuk mencopot selang infus yang melekat di punggung tanganku."Sus, titip sebentar ya, saya ke bagian administrasi sebentar," ungkapnya pada perawat."Wah suaminya benar-benar suami siaga ya Mbak, udah ganteng, bai
"Vivi mana Yan?" tanya Tante Ranti seolah menyadarkan aku dan Mas Adrian, hampiri bersamaan kami bertiga celingukan mencari sosok Vivi.Akankah Vivi mencari kesempatan, kali ini dengan Raffi. Mengapa aku merasa dia selalu ingin mengambil apa yang ada di dekatku?Jika dulu Rendi sempat menyukaiku kemudian pada akhirnya Vivi lah yang berpacaran dengan Rendi. Kemudian saat aku sudah menikah dengan Mas Adrian, Vivi yang menjadi duri di rumah tangga kami. Dan sekarang ada Raffi di sini, Vivi seolah langsung pasang badan paling depan, ingin mendekati laki-laki itu.Bahkan di saat aku sendiri pun tak ada niat untuk dekat dengan laki-laki manapun, Vivi seakan tak ingin kalah cepat mengambil start.Seburuk inikah penilaianku tentang Vivi? Hanya kebetulan atau hanya pemikiranku saja yang picik terhadap sepupuku ini?Aku menoleh ke belakang ternyata benar Vivi tampak begitu ceria ngobrol dengan Raffi bahkan jaraknya dengan kami pun lumayan jauh. Meski aku bisa melihat Raffi seperti kurang nyaman
Aku menatap lekat Raffi yang masih mengemudikan mobilnya pelan karena sebentar lagi kami akan tiba di depan deretan rumah petak yang kutinggali."Bagaimana kau bisa tahu aku tinggal disini?" tanyaku serius."Eh, iya ehm itu, bukannya kau sendiri yang pernah bilang padaku kau tinggal di sini?" Ia menjawab dengan gelagapan.Keningku mengerenyit."Benarkah?""Ya, mungkin kamu lupa pasca kecelakaan mungkin sedikit membuatmu trauma jadi lupa kau pernah memberitahuku tempat tinggalmu sekarang."Aku mengangguk tanda mengerti. Tapi jujur di dalam hati ini mengganjal, aku memang sedikit trauma setelah kecelakaan kemarin, tapi benarkah aku pernah bicara padanya dimana aku tinggal, sejenak aku terdiam. Apa kecelakaan kemarin membuat otakku sedikit konslet dan jadi pelupa? Aku menepuk pelan keningku."Heh, ngapain getok-getok kepala begitu? Jangan begitu, tidak bagus!" seru Raffi."Sudah, sekarang sudah sampai, sebentar aku bantu kamu turun, awas tanganmu hati-hati, awas kepentok mobil," ucapnya
Dua bulan kemudian...Waktu berjalan terasa begitu cepat. Aku berdiri di sini, di balik jendela dengan tirai putih bermotif bunga. Pelan kusibakkan tirai itu hingga sinar orange sang mentari yang gagah itu menyilaukan netra ini.Mentari pagi yang mulai terasa hangat menyapa tubuh saat kubuka jendela kamar ini. Ya, kini aku tengah berada di kamar Intan sahabatku. Setelah beberapa waktu lalu aku telah melalui masa sulit yang begitu menguras waktu, tenaga, dan pikiranku.Hari ini sesuai dengan saran dari Intan aku memilih kemari dan akan pergi berlibur bersamanya.Ada rasa lega seolah aku tengah terlepas dari sangkar burung. Aku seperti kembali seperti pada masa sendiri dulu, bersama sahabatku Intan kami bisa bersama menggapai semua keceriaan masa itu.Hari ini Intan masih kerja, dan besok ia mengambil cuti untuk tiga hari kedepan. Aku sudah stay di sini, di rumahnya sejak kemarin sore.Aku lupakan sejenak semua kesibukanku berjualan kue. Aku ingin sekedar merefresh otakku sekaligus mena
"Hei Nis sudah siap, Let's go!" seru Intan ketika kami sudah siap meluncur dengan taksi online yang di pesannya. Tujuan kami ke stasiun. Ya, kita memutuskan untuk naik kereta api ke Jawa timur tepatnya kabupaten Sidoarjo."Siap dong!" seruku tak kalah lantang.Kami pun berjalan beriringan dengan menggendong tas ransel masing-masing di pundak kami."Sesuai aplikasi ya Pak, ke stasiun," ucap Intan pada Pak supir taksi."Baik Mbak."Mobil pun berjalan usai Intan memastikan pintu dan pagar rumahnya sudah terkunci.Dering ponsel kembali berbunyi. Siapa lagi kalau bukan si pengganggu Raffi."Kenapa nggak di angkat Nisa? Berisik tau!" ucap Intan yang sepertinya kesal karena ponselku kembali berbunyi setelah tadi aku matikan."Ssst! Aku angkat tapi kamu yang ngomong ya!""Eh ya enggak lah! Aku nggak ada urusan sama Dia, aku cuma kesal aja dari tadi tuh Hape kamu bunyi terus!" cetusnya.Akhirnya aku memilih untuk mematikan daya ponsel.Setelah hampir setengah jam perjalanan akhirnya kami tel
Panggilan berakhir sepihak."Hallo! Hallo Mbak Yumna!" Teriakku.Ada apalagi ini? "Ada apa sih Nis, udah malam tidur, ngapain sih masih ribut soal telpon dari Raffi lagi?" ucap Intan dengan suara berat, netranya bahkan masih terpejam, sepertinya tidurnya terganggu oleh suaraku."Ehm, maaf ya Tan, dah tidur lagi, tidur," ucapku padanya."Heemm," sahutnya kemudian ia kembali terlelap.Ting. Bunyi notifikasi pesan masuk di gawaiku.[Maaf Mbak Nisa, tadi terputus. Pokoknya kamu kalau bisa jangan pulang dulu ke kontrakan ada yang nyariin kamu, orangnya serem] Seuntai kalimat pesan dari Mbak Yumna, sontak membuat netraku membola.Apa maksudnya ini?Aku mendadak jadi sulit tidur. Duh ya Tuhan hidupku sudah susah begini, mengapa masih juga kau uji dengan keadaan yang membuatku tak tenang? Sebenarnya siapa mereka itu? Mau apa mereka? Hati ini terus bertanya.Kembali denting ponsel berbunyi tanda pesan masuk di aplikasi chat berwarna hijau.Kali ini dari Raffi.[Nis sudah tidur?]Aku hanya m
Debur ombak disertai semilir angin pantai mengibarkan hijab segi empat berwarna hitam yang aku kenakan.Sejauh mata memandang lautan biru yang luas dan birunya langit, diujung laut seperti tak berbatas.Pelan aku menapaki bibir pantai, lembutnya pasir pantai berwarna kecokelatan menyentuh lembut telapak kaki ini. Pikirku melalang jauh. Sudah lama sekali rasanya aku baru merasakan kedamaian ini.Menikmati suasana alam indah ciptaan yang maha kuasa. Begitu tentram hanya suara debur ombak dan gemerisik angin yang bertiup.Aku dan intan sama-sama diam, ia seperti memberiku waktu untuk menikmati suasana alam ini.Aku mengeratkan cardigan warna hitam yang kukenakan kala angin yang berhembus terasa dingin menyapu kulit."Pemandangannya indah banget ya Nis, di Jakarta mana ada kita jumpai seperti ini." Intan berkata dengan tatapan kami masih sama-sama menatap luasnya lautan.Aku mengangguk setuju dengan ucapan Intan. "Kenapa? Masih keinget masa lalu?" Aku sontak menoleh ke arahnya."Enak aj
"Terutama Nisa, siapa Nis?" Intan menatapku dan Bik Mirna bergantian.Aku memang belum menceritakan apa-apa pada Intan soal apa yang Mbak Yumna katakan juga yang Raffi katakan. Ah ya, Raffi. Aku harus segera menemuinya besok."Nis.""Eh ya, aku juga nggak tahu siapa, Tan.""Apa mungkin Adrian mantan suamimu?" tanya Intan menatap lekat ke arahku."Sepertinya bukan. Sebenarnya sejak kemarin aku sudah dengar ada yang mencariku. Mbak Yumna telepon aku malam itu."Intan menyipitkan netranya."Bik, tolong buatkan teh buatku sama Nisa ya," ucap Intan pada Buku Mirna."Baik Non." Bik Mirna langsung berlalu ke dapur."Kalau bukan Adrian lalu siapa?" Intan lanjut bertanya."Aku juga nggak tahu Tan, sepertinya ini ada kaitannya dengan kecelakaan yang menimpaku kemarin," jelasku.Jujur di lubuk hatiku pun ada rasa takut. Aku wanita biasa, bahkan aku tak punya siapa-siapa selain Tante Ranti, lalu apa yang mereka mau dariku? Siapa sebenarnya mereka? Apa yang mereka mau?"Sepertinya kamu harus teta