"Tante, sudah Tante, sudah," pintaku pada Tante Ranti yang masih terlihat emosi."Biar saja tuh orang, biar nggak diulangi lagi! Pasti dia itu suka ugal-ugalan di jalan," gerutunya."Kamu nggak apa-apa kan? Nggak di apa-apain sama laki-laki itu kan?" Aku menggeleng. Tante Ranti terlihat lega."Tante, harusnya dengerin dulu apa penjelasan dia tadi, jangan main asal tuduh begitu," ucapku."Ya, biar Dia tau rasa dan kapok nggak ugal-ugalan lagi di jalan," cetus Tante Ranti."Ya sudahlah, Nisa mau istirahat dulu ya Tan.""Ya, tidurlah, Tante jagain kamu di sini, jangan khawatir, Tante jamin laki-laki itu tak kan berani macam-macam lagi sama kamu!" Aku hanya memutar bola mata mendengar ucapan Tante Ranti. Kemudian aku pun langsung terlelap jemput mimpi.*Pagi hari Aku terbangun dan mendapati Tante Ranti tengah tertidur pulas di sofa panjang tak jauh dari ranjangku.Aku merasa lebih baik, semoga saja dokter visit pagi ini, jadi aku juga bisa segera pulang dari sini, rasanya sudah nggak b
"kondisinya sudah membaik ya Bu Anisa, luka di lengan kirinya juga jahitannya sudah bagus, tinggal nanti ganti perban sekalian kontrol tiga hari lagi kemari ya Bu," ucap dokter muda berkacamata itu, hijab yang membalut kepalanya makin menambah anggun penampilan dan keramahannya."Baik, terimakasih Dok," ucapku."Apa ada keluhan lain yang mau disampaikan?" Aku menggeleng."Oke, saya tinggal ya, nanti tinggal selesaikan semua administrasi dan tebus obatnya, setelah semua selesai bisa langsung pulang," ucap Dokter Ariani."Iya Dok, terimakasih." Dokter yang ditemani oleh perawat itu pun meninggalkan ruangan ini."Oke, aku ke bagian administrasi dulu, mengurus semua, kamu sebaiknya bersiap, oke." Raffi beranjak untuk keluar dari ruanganku, bersamaan dengan perawatan yang masuk untuk mencopot selang infus yang melekat di punggung tanganku."Sus, titip sebentar ya, saya ke bagian administrasi sebentar," ungkapnya pada perawat."Wah suaminya benar-benar suami siaga ya Mbak, udah ganteng, bai
"Vivi mana Yan?" tanya Tante Ranti seolah menyadarkan aku dan Mas Adrian, hampiri bersamaan kami bertiga celingukan mencari sosok Vivi.Akankah Vivi mencari kesempatan, kali ini dengan Raffi. Mengapa aku merasa dia selalu ingin mengambil apa yang ada di dekatku?Jika dulu Rendi sempat menyukaiku kemudian pada akhirnya Vivi lah yang berpacaran dengan Rendi. Kemudian saat aku sudah menikah dengan Mas Adrian, Vivi yang menjadi duri di rumah tangga kami. Dan sekarang ada Raffi di sini, Vivi seolah langsung pasang badan paling depan, ingin mendekati laki-laki itu.Bahkan di saat aku sendiri pun tak ada niat untuk dekat dengan laki-laki manapun, Vivi seakan tak ingin kalah cepat mengambil start.Seburuk inikah penilaianku tentang Vivi? Hanya kebetulan atau hanya pemikiranku saja yang picik terhadap sepupuku ini?Aku menoleh ke belakang ternyata benar Vivi tampak begitu ceria ngobrol dengan Raffi bahkan jaraknya dengan kami pun lumayan jauh. Meski aku bisa melihat Raffi seperti kurang nyaman
Aku menatap lekat Raffi yang masih mengemudikan mobilnya pelan karena sebentar lagi kami akan tiba di depan deretan rumah petak yang kutinggali."Bagaimana kau bisa tahu aku tinggal disini?" tanyaku serius."Eh, iya ehm itu, bukannya kau sendiri yang pernah bilang padaku kau tinggal di sini?" Ia menjawab dengan gelagapan.Keningku mengerenyit."Benarkah?""Ya, mungkin kamu lupa pasca kecelakaan mungkin sedikit membuatmu trauma jadi lupa kau pernah memberitahuku tempat tinggalmu sekarang."Aku mengangguk tanda mengerti. Tapi jujur di dalam hati ini mengganjal, aku memang sedikit trauma setelah kecelakaan kemarin, tapi benarkah aku pernah bicara padanya dimana aku tinggal, sejenak aku terdiam. Apa kecelakaan kemarin membuat otakku sedikit konslet dan jadi pelupa? Aku menepuk pelan keningku."Heh, ngapain getok-getok kepala begitu? Jangan begitu, tidak bagus!" seru Raffi."Sudah, sekarang sudah sampai, sebentar aku bantu kamu turun, awas tanganmu hati-hati, awas kepentok mobil," ucapnya
Dua bulan kemudian...Waktu berjalan terasa begitu cepat. Aku berdiri di sini, di balik jendela dengan tirai putih bermotif bunga. Pelan kusibakkan tirai itu hingga sinar orange sang mentari yang gagah itu menyilaukan netra ini.Mentari pagi yang mulai terasa hangat menyapa tubuh saat kubuka jendela kamar ini. Ya, kini aku tengah berada di kamar Intan sahabatku. Setelah beberapa waktu lalu aku telah melalui masa sulit yang begitu menguras waktu, tenaga, dan pikiranku.Hari ini sesuai dengan saran dari Intan aku memilih kemari dan akan pergi berlibur bersamanya.Ada rasa lega seolah aku tengah terlepas dari sangkar burung. Aku seperti kembali seperti pada masa sendiri dulu, bersama sahabatku Intan kami bisa bersama menggapai semua keceriaan masa itu.Hari ini Intan masih kerja, dan besok ia mengambil cuti untuk tiga hari kedepan. Aku sudah stay di sini, di rumahnya sejak kemarin sore.Aku lupakan sejenak semua kesibukanku berjualan kue. Aku ingin sekedar merefresh otakku sekaligus mena
"Hei Nis sudah siap, Let's go!" seru Intan ketika kami sudah siap meluncur dengan taksi online yang di pesannya. Tujuan kami ke stasiun. Ya, kita memutuskan untuk naik kereta api ke Jawa timur tepatnya kabupaten Sidoarjo."Siap dong!" seruku tak kalah lantang.Kami pun berjalan beriringan dengan menggendong tas ransel masing-masing di pundak kami."Sesuai aplikasi ya Pak, ke stasiun," ucap Intan pada Pak supir taksi."Baik Mbak."Mobil pun berjalan usai Intan memastikan pintu dan pagar rumahnya sudah terkunci.Dering ponsel kembali berbunyi. Siapa lagi kalau bukan si pengganggu Raffi."Kenapa nggak di angkat Nisa? Berisik tau!" ucap Intan yang sepertinya kesal karena ponselku kembali berbunyi setelah tadi aku matikan."Ssst! Aku angkat tapi kamu yang ngomong ya!""Eh ya enggak lah! Aku nggak ada urusan sama Dia, aku cuma kesal aja dari tadi tuh Hape kamu bunyi terus!" cetusnya.Akhirnya aku memilih untuk mematikan daya ponsel.Setelah hampir setengah jam perjalanan akhirnya kami tel
Panggilan berakhir sepihak."Hallo! Hallo Mbak Yumna!" Teriakku.Ada apalagi ini? "Ada apa sih Nis, udah malam tidur, ngapain sih masih ribut soal telpon dari Raffi lagi?" ucap Intan dengan suara berat, netranya bahkan masih terpejam, sepertinya tidurnya terganggu oleh suaraku."Ehm, maaf ya Tan, dah tidur lagi, tidur," ucapku padanya."Heemm," sahutnya kemudian ia kembali terlelap.Ting. Bunyi notifikasi pesan masuk di gawaiku.[Maaf Mbak Nisa, tadi terputus. Pokoknya kamu kalau bisa jangan pulang dulu ke kontrakan ada yang nyariin kamu, orangnya serem] Seuntai kalimat pesan dari Mbak Yumna, sontak membuat netraku membola.Apa maksudnya ini?Aku mendadak jadi sulit tidur. Duh ya Tuhan hidupku sudah susah begini, mengapa masih juga kau uji dengan keadaan yang membuatku tak tenang? Sebenarnya siapa mereka itu? Mau apa mereka? Hati ini terus bertanya.Kembali denting ponsel berbunyi tanda pesan masuk di aplikasi chat berwarna hijau.Kali ini dari Raffi.[Nis sudah tidur?]Aku hanya m
Debur ombak disertai semilir angin pantai mengibarkan hijab segi empat berwarna hitam yang aku kenakan.Sejauh mata memandang lautan biru yang luas dan birunya langit, diujung laut seperti tak berbatas.Pelan aku menapaki bibir pantai, lembutnya pasir pantai berwarna kecokelatan menyentuh lembut telapak kaki ini. Pikirku melalang jauh. Sudah lama sekali rasanya aku baru merasakan kedamaian ini.Menikmati suasana alam indah ciptaan yang maha kuasa. Begitu tentram hanya suara debur ombak dan gemerisik angin yang bertiup.Aku dan intan sama-sama diam, ia seperti memberiku waktu untuk menikmati suasana alam ini.Aku mengeratkan cardigan warna hitam yang kukenakan kala angin yang berhembus terasa dingin menyapu kulit."Pemandangannya indah banget ya Nis, di Jakarta mana ada kita jumpai seperti ini." Intan berkata dengan tatapan kami masih sama-sama menatap luasnya lautan.Aku mengangguk setuju dengan ucapan Intan. "Kenapa? Masih keinget masa lalu?" Aku sontak menoleh ke arahnya."Enak aj
Dua bulan sudah terhitung sejak Adrian mulai datang hampir setiap hari ke rumah Yulia untuk membantu segala sesuatu kebutuhan Anita.Merawat orang lumpuh ternyata tidak semudah yang ia bayangkan. Tanpa rasa sungkan Adrian membantu mengangkat tubuh Anita jika hendak ke kamar mandi. Barulah setelah di bawa ke kamar mandi urusan mandi atau buang air akan di bantu oleh Yulia atau Sumi.Adrian duduk termenung di ruang tamu menunggu Anita yang sedang dimandikan oleh Yulia di dalam.Sebenarnya ia tak masalah membantu sampai sejauh ini, Adrian ikhlas. Hanya saja kalau Anita tetap tak merestui hubungan mereka, apa semua yang sudah ia lakukan ini akan sia-sia belaka?"Kenapa? Kok ngelamun? Kamu capek? Bantu Aku dan Mama?" Adrian terkejut tiba-tiba Yulia ada di sebelahnya."Oh, nggak aku lagi menikmati pemandangan bunga-bunga di halaman aja." Adrian berkilah."Oh. Kalau di rasa sudah tak sanggup membantu, katakan saja, aku nggak apa-apa."Adrian terdiam. Baginya cinta yang sudah terlanjur tumbuh
"Selamat pagi Tante," sapa Adrian hari Minggu pagi ini ia datang ke rumah Yulia. Kini Yulia sedang membawa ibunya yang duduk di kursi roda, bermaksud untuk menjemurnya di bawah sinar matahari pagi. Sebuah rutinitas yang tak pernah terlewatkan setiap pagi, agar tubuhnya Anita lebih segar.Adrian datang dengan membawa buah dan kue red Velvet kesukaan Anita.Anita diam, dari raut wajahnya masih memperlihatkan ketidaksukaannya pada Adrian, meski ia tahu Adrian adalah orang yang menolong nyawanya ketika waktu ia butuh transfusi darah. Anita tetap keras kepala, sekali tak suka maka sampai kapanpun ia tetap tak suka.Adrian tersenyum, ia paham dirinya masih belum diterima oleh Anita."Mulai sekarang Saya akan sering datang untuk menemui Tante. Jadi kalau ada apa-apa yang dibutuhkan, jangan sungkan untuk menghubungi saya, Tante."Anita mendelik mendengar ucapan Adrian."Memangnya kamu siapa?! Nggak! Nggak perlu kamu datang kemari sering-sering! Bikin mata sepet aja!" sentak Anita.Sedangkan Y
Semenjak hari itu Yulia benar-benar sulit ditemui, bahkan di kantornya, Adrian tak dapat menemuinya. Gadis itu benar-benar serius dengan ucapannya, yaitu ingin instrospeksi diri juga berpikir lebih jernih mengenai hubungan mereka ke depan.Jangan tanya bagaimana suasana hati Adrian. Tidak bisa mendengar suara Yulia, tak bisa melihat senyumannya, tentu rasanya sangat menyiksa.Ternyata sesakit diabaikan. Apa kabar dengan hati Yulia yang menunggu selama berbulan-bulan, menyembunyikan perasaannya sampai pada akhirnya Adrian menyambut cinta itu.Adrian tak pernah menyerah, ia kembali mencoba menghubungi Yulia melalui sambungan telepon.Namun tetap sama, tidak diangkat.Hingga lebih dari dua minggu kondisi ini berlalu. Adrian menyerah tak lagi mengubungi gadisnya. Ia sudah pasrah. Jika memang mereka ditakdirkan bersama maka insya Allah nanti mereka akan bersama-sama. Tapi jika memang takdir tak menyatukan mereka maka Adrian akan berusaha ikhlas.Ikhlas adalah titik terdalam sebuah perasaa
Mendadak wajah Adrian pucat, ia terlihat gugup menatap Yulia yang menatapnya tajam."Ehm, Li, aku akan jelasin ke kamu semuanya, dan kamu jangan dulu salah paham, oke." Yulia masih terdiam menunggu penjelasan seperti apa yang akan Adrian katakan.Setelah keduanya sama-sama diam untuk beberapa saat, Adrian meneguk jus alpukat miliknya."Aku khilaf telah bermain api di belakang Anisa," ucap Adrian jujur. Sebenarnya ia tak tahu lagi dari mana ia harus memulai bercerita, kata-kata seperti apa yang harus ia rangkai dan ia katakan pada Yulia.Ia tak ingin Yulia jadi salah tangkap dan jadi membencinya, Adrian tak sanggup jika harus kehilangan Yulia. Baginya Anisa sudah menjadi masa lalu, dan sekarang ia ingin menggapai masa depan bersama gadis manis yang tengah merajuk ini."Khilaf sampai berselingkuh dengan sepupunya istrimu, Yan?!" Yulia menggeleng tak percaya.Adrian tercekat, ia tak mampu membantah karena memang itu faktanya."Aku nggak nyangka kamu ternyata setega itu Yan. Apa kehadiran
"Aku pamit pulang ya Kak, kasihan Mama, pasti sudah menungguku pulang." Jari sudah hampir gelap, Yulia pun pamit untuk pulang.Putri mengantar Yulia hingga ke depan pintu gerbang, saat sebuah taksi mobil yang dipesan Yulia tiba di depan rumah Putri, Yulia langsung naik dan berlalu pulang ke rumahnya.Sepanjang perjalanan, perasaan Yulia gampang, antara tetap melanjutkan atau memilih mundur pada hubungannya dengan Adrian. Sesungguhnya jauh di lubuk hatinya, Yulia sangat mencintai laki-laki itu, sejauh ini, walaupun mamanya menentang keras hubungan mereka, selama ini ia tetap berdiri tegak, teguh pada pendiriannya, yaitu memperjuangkan cinta.Tapi menilik akan kisah masa lalunya Adrian, apakah laki-laki itu benar-benar bisa tulus mencintainya sepanjang hidup mereka? Seperti cintanya pada Adrian.Bagaimana kalau tiba-tiba Adrian mengulangi kesalahan yang pernah ia lakukan pada Anisa? Tentu saja hati Yulia akan hancur.Orang bilang sekali saja laki-laki berselingkuh maka tak menutup kemu
Mendadak raut wajah Putri berubah. Ia merasa kurang nyaman membahas lagi tentang masa lalunya."Ehm maaf Kak, maaf banget. Aku bukan bermaksud untuk mengingatkan Kak Putri tentang masa lalu Kakak, tapi aku sangat butuh informasi tentang Adrian." Yulia berkata dengan sungguh-sungguh.Ia tak ada maksud apapun, ia hanya ingin tahu tentang Adrian. Ia tak ingin salah dalam melangkah.Putri menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Kemudian ia meraih cangkir teh-nya, menyesapnya pelan, berharap ia bisa merasa lebih rileks sebelum memulai bercerita tentang mantan suaminya."Ehm, memangnya Yulia kenal Adrian dimana?" tanyanya yang merasa heran bagaimana bisa sosok Yulia yang terlahir dari keluarga terhormat, tumbuh menjadi gadis cantik, berpendidikan tinggi, dan kini memiliki karir yang bagus di perusahaan tempatnya bekerja, tiba-tiba saja kenal dengan Adrian yang notabenenya hanya laki-laki biasa.Yulia tersenyum kecil."Mas Adrian ... Dia calon suami Yulia Kak," jawabnya.Seketi
"Yulia, boleh Tante ngobrol sebentar?" tanya Maya setelah Adrian pamit pulang."Ada apa Tante?" Yulia mendaratkan bobotnya di sebelah Maya.Maya mengulas senyum lembut pada gadis disebelahnya. Yulia memang cantik, dia juga sangat penurut."Gimana kerjaan kamu? Lancar?" tanya Maya sekedar basa-basi."Alhamdulillah lancar Tante." Yulia menatap lekat wajah Maya, ia seakan bisa membaca gurat ekspresi tantenya yang terlihat sepertinya ada yang ingin beliau sampaikan."Ada apa Tante? Ada yang ingin Tante katakan sama Yulia?" tanya Yulia langsung pada intinya. Maya pun kembali mengulas senyum."Iya ada sedikit yang ingin Tante tanyakan." Yulia menegakkan tubuhnya seakan ia telah siap untuk mendengarkan apa yang hendak Maya tanyakan."Kamu serius sama laki-laki itu? Siapa itu tadi namanya, ehm ....""Adrian Tante.""Ah ya, Adrian. Apa kamu benar-benar serius dengan hubungan kalian?" "Iya Tante. Yulia sama dia sih serius, tapi masalahnya ada sama Mama, Mama nggak merestui hubungan kami, padaha
Semenjak hari itu Anita lebih banyak diam, tak lagi membahas tentang perjodohan pada Yulia.Sampai pada hari ini rumah Anita kedatangan sepupunya, yang tak lain adalah Maya–ibunya Raffi.Beberapa kali Maya datang ke rumah, dan dua kali menjenguk di rumah sakit. Melihat kondisi sepupunya yang kini terbaring di tempat tidur membuat Maya sedih, karena biasanya saat ada acara kumpul keluarga, Anita selalu menyempatkan diri untuk hadir di tengah-tengah mereka. Tapi kini semenjak ia mengalami kecelakaan, Anita seakan tersisih dari keluarga besarnya."Gimana keadaan kamu sekarang Mbak?" tanya Maya. Ia datang sendiri dengan di temani supir."Ya beginilah May, tak ada perubahan apapun, aku cuma wanita tua yang lumpuh, dan merepotkan," ketus Anita.Maya yang memang sudah sangat mengerti karakter Anita pun biasa saja."Sabar Mbak, namanya juga ujian. Alhamdulillah Yulia gadis yang baik, aku lihat dia merawatmu dengan baik."Anita hanya menghela napas. Putrinya memang gadis yang baik, cantik, ta
"Makan dulu Ma." Yulia menyuapi bubur untuk Anita. Namun Anita masih diam tak bergeming."Ma, makanlah sedikit," pinta Yulia lagi, pasalnya semenjak sadar dari komanya mamanya lebih banyak diam, tak mau makan.Akibat kecelakaan yang menimpanya dan masalah pada saraf otaknya, menyebabkan kedua kaki Anita tak bisa digerakkan. Lumpuh.Segala sesuatunya harus di bantu. Yulia jadi sering ijin tak masuk kantor, untungnya pihak kantor berbaik hati memberikan dispensasi karena selama mengabdi pada perusahaan kinerja Yulia bagus."Kamu nggak masuk kerja lagi?" tanya Anita.Beruntung meski kakinya lumpuh, dalam berbicara Anita masih lancar, tak ada masalah."Nggak usah pikirkan tentang kerjaanku Ma, yang penting sekarang Mama harus makan biar cepat sembuh," sahut Yulia."Assalamualaikum, selamat pagi." Tiba-tiba pintu ruang rawat Anita terbuka, menampakkan sosok Adrian.Melihat kehadiran Adrian, Anita langsung membuang muka."Ini aku bawakan buah-buahan dan brownies untuk Tante Anita." Adrian m