"Mas, kamu bisa pulang cepat nggak hari ini?" Vivi menelponku ketika aku masih berada di pabrik. Suaranya terdengar cemas."Memangnya kenapa, Sayang? Aku nggak bisa pulang cepat, bisa kena tegur nanti." "Ya, pokoknya aku nggak suka Mas masak kamar kita begitu sih!" sungut Vivi dari seberang sana. Entah apa maksudnya."Ehm boleh nggak sih Mas kalau aku tuker kamar sama Mbak Nisa, biar Mbak Nisa aja lah yang di belakang itu!"Jelas ibu pasti tak setuju, Nisa kan menantu kesayangannya."Vi, sabar dulu ya, nanti kita bahas pas Mas udah di rumah ya. Sekarang Mas kerja dulu, nggak enak di lihat atasan."Aku pun mengakhiri panggilan telepon, yang tentunya membuat dia kesal pasti. Saat pulang kerja, aku meminta dibuatkan teh pada Anisa, entah mengapa aku rindu teh buatan tangannya. Aku rindu masakannya.Anisa memang selalu pandai meramu makanan dan minuman sehingga selalu pas di lidahku.Namun lagi dan lagi aku harus menelan kekecewaan. Anisa menolak membuatkan minuman untukku, mungkinkah i
"Vi, cepat buka pintunya!" seruku karena Vivi posisinya lebih dekat dengan pintu. Namun ia justru ketakutan sambil terus berjingkat.Akhirnya dengan cepat aku meraih daun pintu dan membukanya. Tikus itu pun langsung lari keluar kamar. "Hii! Mau sampai kapan kita tinggal di kamar ini Mas! Mbak Nisa mah enak, dia tidur di kamar yang nyaman, sementara aku?" Vivi terus saja menggerutu."Dah tidur lagi aja Vi," ajakku."Mana bisa tidur aku Mas! Kalau nanti tiba-tiba ada tikus jatuh lagi di sini gimana?""Nggak ada! Sudah tidur ini masih malam."Aku menarik sarung kembali untuk tidur."Mas, kalau tahu tinggal di rumah ibu begini, kita di kamar sempit pengap begini, mendingan kita tinggal di rumah itu lagi Mas! Aku nggak betah di sini." Vivi terus saja merengek seperti anak kecil, padahal mataku sudah sangat ngantuk.Aku hanya menghela napas."Rumah itu kan sudah di kontrakin sama Ibu Vi, mana bisa kita tinggal di sana, masih ada orang yang ngontrak.""Ya kan, bisa kita usir aja Mas orang i
"Bagaimana kondisi bayi dalam kandungan istri saya Dok?" tanyaku pada dokter muda dan juga cantik yang jadi dokter langganan Vivi periksa kandungan."Baik, sehat. Hanya saja ini kan sudah mulai menginjak trimester kedua, ada baiknya tetap hati-hati saat melakukan hubungan intim, goncangan yang terjadi di khawatirkan mengganggu kondisi janin di dalam rahim Ibu." Dokter menjelaskan.Semenjak Vivi hamil aku mulai membatasi diri untuk tidak sering-sering menyentuhnya. Jadi semua yang dokter katakan aku tidak terlalu mempermasalahkan."Tetap jaga asupan makanan, gizi seimbang agar berat janin terus meningkat dengan baik dan sehat ya, Bu. Seperti biasa nanti akan saya berikan resep vitamin dan juga suplemen untuk menunjang kebutuhan ibu dan bayi."Usai mendengarkan penjelasan dokter kami pun pamit pulang.Aku mengendarai motor melalui jalanan yang biasa kulalui.Namun tak di sangka, motorku mendadak bocor, saat kuperiksa kondisi ban, ternyata ada paku yang menancap di ban. Ah Sial."Vi, kay
"Benarkah?" tanyaku menelisik."Iyalah. Untuk apa juga aku berbohong," ketus Vivi."Ya sudah, tolong buatkan Mas teh, Mas capek sekali," titahku."Oke siap. Tunggu ya." Dengan cepat Vivi menyambar ponsel miliknya yang ada di tanganku, kemudian berlalu ke dapur membuatkan teh untukku.Tumben sekali dia langsung gerak cepat melakukan apa yang kuminta tanpa mengeluarkan seribu alasan dulu.Aku merebahkan tubuhku di atas kasur busa tipis tempat kami tidur."Mas ini tehnya." Vivi mengangsurkan secangkir teh, uap panas masih mengepul diatasnya. Aroma melati yang menguar membuatku teringat kebiasaanku dengan Anisa setiap pagi, menikmati secangkir teh berdua dengan beberapa gorengan atau dengan nasi goreng yang kerap kali dihidangkan olehnya.Nisa memang sering kali membuat nasi goreng di pagi hari. Sejak aku masih menganggur dulu, Anisa seperti terbiasa hidup hemat, hingga keterusan sering menghidangkan nasi goreng untuk sarapan kami. Tapi herannya aku tak pernah bosan dengan menu satu itu,
"Perjanjian kita telah selesai, aku putuskan untuk mundur dari pernikahan ini Mas, aku sudah muak dengan semuanya, aku berhak meraih bahagiaku meski bukan denganmu, biarkan aku pergi," Anisa berkata dengan tenang dan penuh keyakinan.Tentu aku kaget dan tak menyangka akan secepat ini ia mengambil sebuah keputusan besar ini."Apa?!"Aku menatap dalam kedua manik matanya. Netra itu telah di penuhi kaca-kaca. Aku bisa melihat adanya luka mendalam di sana. Entah mengapa hati ini begitu nyeri hanya dengan bersitatap dengan pemilik netra ini.Sejujurnya aku masih ingin merengkuhnya. Jauh di dalam lubuk hati ini, namanya masih terukir jelas di sana. Namun wanita cantik nan penurut ini telah terluka karenaku. Dan hari ini ia meminta untuk dibebaskan untuk meraih bahagianya.Lantas pantaskah aku menghalangi itu, pantaskah aku menyakitimu lebih dalam lagi? Sedang selama ini ia berusaha tegar dalam sikap tenangnya. Berusaha kuat dalam setiap detik hidupnya.Aku mengepalkan tangan ini kuat-kuat.
Esok hari Anisa sudah berkemas untuk pindah dari rumah ini. Semua baju dan barang-barang miliknya sudah ia kemas rapi."Yan," panggil Ibu."Ibu sudah tak tau lagi untuk menahan Anisa di sini," ucap Ibu pelan dengan tatapan nanar.Aku hanya meneguk ludah mendengarnya. Hari ini hari Minggu jadi aku bisa beristirahat di rumah."Ini adalah kesalahan terbesar kamu Yan, kamu menyia-nyiakan Anisa. Kamu tega menyakiti Ibu, Yan," ucap Ibu dengan suara parau."Maafkan Iyan Bu, Iyan menyesal.""Terlambat Yan, menyesal di saat Anisa sudah menyerah menjadi istrimu itu semua tak ada gunanya. Kamu yang memilih jalan ini, kamu lebih memilih Vivi perempuan murahan yang tak tau sopan santun itu daripada Anisa yang lembut dan penurut. Ibu nggak habis pikir Yan!"Aku ternganga mendengar ucapan ibu, meski ucapan itu sudah berulang kali ini ucapkan padaku, tetap saja menyentil perasaanku. Tapi aku tak marah itu sudah biasa karena ibu sangat menyayangi Anisa.Sebuah mobil pick up telah berhenti di halaman r
"Mas, kamu kok masih di rumah, nggak jadi pergi hadiri sidang?" tanya Vivi yang mungkin merasa heran karena waktu sudah menunjukkan jam sembilan lebih tapi aku malah duduk di sofa ruang tamu rumah ini.Ibu sedang mengecek konveksi yang lokasinya sekitar sepuluh menit dari rumah ini.Aku diam tak menanggapinya. "Baguslah kalau kamu memutuskan nggak hadir, dengan begitu akan lebih cepat proses cerai kalian." Lagi Vivi berucap dengan nada girang. Aku membuang napas kasar."Kamu jangan gitu dong Sayang, aku yakin kok setelah kamu resmi cerai sama Mbak Nisa, kamu bisa fokus sama aku dan anak kita." Vivi bergelayut manja di lenganku. Aku hanya tersenyum kecut."Hah, akhirnya kita bisa hidup tenang ya Mas, tanpa bayang-bayang Mbak Nisa di rumah ini." Aku masih diam walau Vivi terus saja bicara di dekatku. Jemari lentiknya menari-nari di dada ini, membelai lembut hingga menghadirkan sensasi lain dalam diri ini."Mas, kamu kenapa? Masih kepikiran Mbak Nisa? Hem?" Kali ini tangan lembutnya men
"I–ini maksudnya apa Pak?" Aku menatap kertas yang kupegang. Sungguh aku tak percaya, ini seperti mimpi buruk."Bisa Bapak bisa baca sendiri keterangannya di surat itu Pak. Mohon maaf sekali kami tak bisa membantu banyak."Tertulis di sana aku terkena PHK karena sering kali tak masuk kerja, kinerjaku di anggap buruk di mata management perusahaan, tidak disiplin, tidak kompeten dan lain sebagainya. Tanpa sadar aku meremat kuat kertas yang ada dalam genggaman."Seperti yang Bapak tahu bulan kemarin Bapak sudah mendapatkan SP dua bukan, itu sudah merupakan warning untuk Bapak memperbaiki kinerja Bapak, bukan malah sebaliknya, saya lihat Pak Adrian ini justru santai-santai saja, masih sering tak masuk, seringkali tak ada kabar. Ingat Pak, kita kerja juga perlu etika yang baik, profesional itu sangat penting," jelas Pak Edi yang terlihat seperti menahan emosi.Sementara Mas Faris hanya diam menatapku."Ma–Mas Faris, tolong bantu saya Mas," ucapku memohon pada Mas Faris yang duduk di sampin