Akira sudah bersiap untuk membawakan bekal untuk suaminya yang bekerja sebagai sekretaris, dia tampak begitu semangat dengan tersenyum kecil menemui suaminya dan memberikan kejutan kecil di tanggal pernikahan mereka. Wanita muda itu menaiki taksi agar tidak menimbulkan kecurigaan suaminya.Sesampainya di sebuah gedung tinggi, wanita cantik itu turun dan bertanya kepada resepsionis tentang jadwal suaminya."Hari ini Pak Andre tidak banyak pekerjaan, Bu. Bu Akira bisa langsung ke ruangan Pak Andre jika ingin, sekalian membawakan makan siang untuk bapak," ucap resepsionis tersebut dengan nada ramah kepada Akira, karena perempuan itu tahu siapa Akira."Baik, terima kasih untuk informasinya," sahut Akira ke arah resepsionis, dengan senyuman indah yang tak lepas dari wajah cantiknya.Akira menaiki lift dengan beberapa karyawan yang ada di dalamnya."Bu Akira ini termasuk wanita yang sangat setia dan juga perhatian sama suami ya, sudah cantik baik dan juga sempurna," tutur wanita cantik yang
"Ini pasti bercanda 'kan, Bu?" tanya Akira dengan napas memburu, air matanya tak mampu lagi ditahan. Tangannya amat gemetar, memegang surat pernyataan cerai yang dilayangkan dari suaminya sendiri. Tak hanya itu, bahkan surat tersebut sudah ditandatangani Andre sejak dua minggu yang lalu. "Kamu bisa baca, kan? Udah, gak usah banyak tanya! Segera angkat kaki dari rumah ini!"Suara tegas itu memenuhi telinga Akira. Memang, dia benar-benar merasa sakit hati, namun, ia tak ingin berlamat-lamat dalam pengkhianatan sang suami dan juga ibu mertuanya itu.Tak lama, Akira pun segera bangkit dan mengusap air matanya dengan kasar, kemudian tersenyum penuh arti."Dasar wanita gila! Jadi janda malah senang, tapi gak masalah sih, karena kamu itu seperti sampah yang tidak bisa digunakan sama sekali!" sarkas wanita paruh baya tersebut kepada Akira.Akira hanya diam, dia menyeret kopernya dengan penuh kekecewaan, dalam hati, dirinya akan menuntut balas dendam dengan semua perlakuan yang diterima diri
"Kamu sudah siap belum, Akira!?" Teriakan dari lantai bawah membuat Akira yang sedang bersiap-siap mulai bergegas. Hari itu, ibunya mengajak dirinya untuk pergi ke mall untuk ke salon, dan juga belanja keperluan ibunya. Entahlah apa itu yang dimaksud, tapi daripada Akira harus larut dalam kesedihan pasca kejadian kemarin, Akira memutuskan untuk ikut. "Sudah, Mom, tapi apakah Mommy tidak malu jika aku berpakaian seperti ini? Habis … pakaian yang kubawa dari rumah Mas Andre semuanya sudah tak layak pakai …" tutur Akira menunjukkan pakaiannya hari itu, yang hanya sebatas celana jeans dan juga kaus sederhana. "Gak apa kok, mau pakai apapun juga, anakku tetap yang paling cantik!" puji Selena kepada putrinya dengan tulus, “Lagipula, lihat ibumu ini, ibu juga hanya memakai dress batik sederhana. Orang-orang mungkin mengira ibu pakai daster!”Ucapan dari ibunya sendiri membuat Akira tersipu, dan tertawa di saat bersamaan. Itulah yang Akira sukai dari keluarganya. Meskipun Akira tahu betap
Akira berakhir naik taksi dan pulang terlebih dahulu, meninggalkan mamanya. Akira merasa bersalah, namun di saat bersamaan, Akira tak mau bertemu mantan suaminya yang telah menyakitinya lebih lama lagi. Air mata yang terus mengalir membuat pandangannya buram. Hinaan dan ejekan yang baru saja diterimanya dari Siska dan Andre masih terngiang di telinganya, menusuk hati seperti belati tajam. Dia merasa terpojok, tidak berdaya, dan marah pada dirinya sendiri karena tidak mampu membalas.“Akira!” Mendengar teriakan mamanya dari bawah, Akira bergegas menghapus air matanya, merasa malu karena terus menangisi Andre di depan mamanya sendiri yang jelas-jelas membenci mantan suaminya. “Akira, maafkan mama ya, karena mama kamu harus menghadapi orang-orang hina itu lagi.”Di luar dugaan Akira, Selena justru meminta maaf. Berarti, mamanya telah bertemu dengan Andre dan juga Siska setelah Akira pergi. Tak ingin kembali menangis, Akira hanya mengangguk pelan.“Kamu tidur aja sekarang, karena mula
Akira kini berada di samping Pak Hermawan, mengangguk berwibawa kala ayahnya mengumumkan dengan nada tegasnya bahwa Akira lah yang akan menggantikan posisinya di perusahaan. "Saya harap kalian tidak salah sangka, karena meskipun masih muda, Putri saya ini sudah belajar dengan giat dan bekerja keras selama bertahun-tahun. Jadi, Akira bukan sekedar menerima, tapi memang dia pantas untuk berada di posisi ini." tutur bangga pria paruh baya yang kini tersenyum penuh arti kepada Andre. Akira juga tersenyum puas ketika melihat ekspresi Andre dengan mulutnya yang terbuka. Mungkin, dia tak pernah menyangka jika mantan mertuanya, adalah atasannya sendiri. Memang, ketika Andre menikahinya, kebetulan ayahnya sedang ada dinas di luar negeri, sehingga Akira harus diwakili oleh walinya.Saat rapat dihentikan sementara untuk beristirahat, Akira bergegas menuju toilet. Namun, tiba-tiba, seseorang mencengkram pergelangan tangannya dengan kuat.“Apa yang kamu lakukan di sini?!” tanya Andre, menatap A
Malam itu Akira kerja lembur sebagai Direktur Utama, entah sudah berapa jam dia berada di dalam kantor miliknya. Wanita muda itu mulai bergegas untuk pulang, pandangannya mulai mengabur dan berhalusinasi ada seseorang yang menolong dirinya. "Nona.. Anda tidak apa?" Suara yang asing bagi Akira, namun wanita itu belum sepenuhnya sadar "Nona, Anda sakit apa?" Pertanyaan tersebut membuat Akira sadar. "Kamu siapa? Kenapa saya ada di sini?" ujar wanita muda itu sambil melihat ruangan bercat putih yang merupakan ruangan tunggu. "Maaf, Nona, tadi saya tidak sengaja melihat Anda pingsan di dalam lift," sahut pemuda itu dengan nada lembut. "Terima kasih untuk pertolongan kamu, tapi........" Belum selesai Akira mengucapkan terima kasih, pemuda tersebut sudah pergi dari pandangan Akira. Akira yang sudah agak mendingan pun akhirnya menghubungi sopir pribadi ayahnya, wanita muda itu menceritakan kejadian yang menimpa dirinya, dan sang Ayah meminta sopir untuk menjemput putrinya di kantor.
Akira duduk di ruang kerjanya yang mewah, ditemani suara jam dinding yang berdetak lembut. Matanya tertuju pada laporan yang baru saja diberikan Hiroshi, sekretaris barunya. Wajah Hiroshi memancarkan ketenangan, sementara senyumnya yang penuh percaya diri membuat Akira semakin nyaman bekerja bersamanya. Namun, di balik ketenangan itu, ada badai yang sedang berkecamuk. Andre-mantan suami Akira, baru-baru ini memperingatkan bahwa Hiroshi adalah seorang parasit berbahaya. Akira memberikan tugas khusus kepada salah satu Intel terbaiknya, meminta untuk memberikan laporan khusus tentang, Hiroshi beberapa hari ini, wanita muda itu tetap waspada dengan orang baru dan orang lama seperti mantan suaminya. Namun, setelah menyewa detektif profesional untuk memantau aktivitas Hiroshi, Akira tidak menemukan bukti yang mendukung klaim Andre. Sebaliknya, Hiroshi tampak jujur dan loyal, sesuatu yang membuat Akira lebih percaya padanya daripada pada Andre. Andre tidak tinggal diam. Ketika dia meng
Rumah megah itu tampak sunyi, hanya suara langkah berat Andre yang terdengar saat pemuda itu memasuki ruang tamu. Wajahnya kusut, bibirnya tertutup rapat, dan kerutan di dahinya memperlihatkan betapa buruk harinya. Di ruang tengah, dirinya mendapati Siska-istri barunya, duduk santai di sofa sambil menikmati buah anggur. Pandangannya terpaku pada layar ponsel yang menayangkan film komedi.Andre menghentikan langkahnya, menatap Siska dengan tatapan tajam.“Kamu enak banget, ya. Duduk santai di sini sambil nonton film, sementara aku jungkir balik di luar,” suara Andre dingin, tetapi penuh emosi yang terpendam.Siska menoleh dengan kaget, tapi alih-alih merasa bersalah, wanita yang sedang hamil itu tersenyum kecil. “Hari yang berat, ya? Sini, duduk dulu. Aku tadi bikin jus mangga, masih ada di kulkas.”Namun, tawaran itu tidak meredakan emosi Andre. Dia berjalan ke arah meja, meletakkan tas kerjanya dengan kasar, lalu berbalik menghadap istrinya yang masih memperhatikan ponsel pintarnya..
Seminggu telah berlalu sejak penyelamatan Talia. Meskipun luka-lukanya mulai membaik, trauma yang ditinggalkan oleh para penculik masih melekat. Akira memutuskan untuk memberinya waktu istirahat penuh, menghindarkannya dari segala rapat strategis.Namun di balik dinding kaca Phoenix Headquarters, badai tengah mengumpul.Sejumlah negara, dipimpin oleh Eropa Timur dan beberapa pihak dari Asia Tengah, membentuk koalisi darurat—menuntut audit terbuka terhadap teknologi Phoenix of Gold. Mereka menganggap perusahaan yang dulunya adalah Mahendra Corp itu telah berubah menjadi kekuatan supranasional yang tak bisa diawasi.“Kita menjadi trending topic bukan karena pujian saja,” kata Noah dalam rapat utama. “Tapi juga karena rasa takut. Dunia melihat kita sebagai ancaman baru.”Arka duduk tak jauh dari ayahnya, ekspresinya kaku. Ia telah mempelajari reaksi publik, membaca lebih dari dua ratus artikel opini dalam empat hari terakhir. Kesimpulannya hanya satu—Phoenix mulai kehilangan kendali atas
Senja menyelimuti markas utama Phoenix of Gold. Gedung kaca yang menjulang tinggi itu memantulkan warna jingga dari matahari yang perlahan tenggelam. Di dalam ruang observasi, Arka duduk diam menatap layar hologram, meninjau ulang data-data yang berhasil direbut dari Leo.Di sampingnya, Vanya membungkuk memeriksa pola-pola anomali dalam algoritma yang digunakan Leo untuk menyalin blueprint milik Hydra Star Corp.“Leo bekerja sendiri?” tanya Vanya, masih menatap layar.Arka menggeleng pelan. “Enggak. Pola enkripsinya bukan gaya Leo. Ini lebih kompleks. Lebih... khas Dragunov.”Vanya menegakkan tubuh. “Tapi Dragunov udah dihancurkan, Ka. Kita sendiri yang mengakhiri jaringan mereka.”Arka mengangguk. “Iya. Tapi sisa-sisanya masih berkeliaran. Dan aku curiga... mereka tidak pernah benar-benar hancur. Hanya bersembunyi.”Belum sempat Vanya menjawab, pintu ruang observasi terbuka cepat. Gabriel masuk dengan ekspresi tegang.“Kalian harus lihat ini.”Mereka mengikuti Gabriel menuju ruang ko
Tiga minggu telah berlalu sejak insiden pelabuhan. Dunia mulai menaruh perhatian besar pada dua sosok remaja jenius, Arka Mahendra dan Vanya Laurent. Tak hanya karena keberanian mereka melawan jaringan Black Shadow, tetapi karena simbol baru yang mereka wakili—harapan generasi masa depan.Media internasional menjuluki mereka sebagai Phoenix Twins, mengacu pada nama perusahaan keluarga Arka, Phoenix of Gold, dan kebangkitan mereka dari ancaman masa lalu. Namun, bagi Arka, popularitas bukanlah sesuatu yang ia nikmati. Ia lebih memilih duduk di ruang riset, berkutat dengan sistem keamanan, memantau jejak sisa kelompok Rio yang kini menghilang dari radar.Sementara itu, Vanya, yang mulai tinggal di markas Phoenix sebagai bagian dari program rehabilitasi dan perlindungan, tak kunjung merasa nyaman. Meskipun Arka membelanya di depan seluruh dewan direksi Phoenix, beberapa anggota senior perusahaan—terutama dari pihak investor lama Mahendra Corp—masih mencurigainya.
Pagi itu, langit kota London terlihat kelabu. Kabut menyelimuti kaca-kaca pencakar langit, seolah menyembunyikan sesuatu yang lebih besar dari sekadar perubahan cuaca. Di salah satu ruangan paling aman di markas Phoenix of Gold, Arka sedang bersiap untuk melakukan sesuatu yang belum pernah ia lakukan sebelumnya—keluar dari perlindungan ayahnya.Ia telah meretas jalur khusus di dalam sistem bawah tanah milik Phoenix. Jalur itu dulunya hanya diketahui oleh Noah dan Gabriel, namun kini Arka telah berhasil menciptakan duplikat pintu masuk virtualnya sendiri. Ia tahu, jika ia ingin menyelamatkan Vanya dan menghentikan Rio, ia harus melangkah seorang diri.Dengan mengenakan pakaian khusus berteknologi ringan dan chip identifikasi palsu, Arka menyelinap keluar melalui lorong belakang, diiringi suara langkah robot pengawas yang nyaris tak terdengar. Ia tidak meninggalkan pesan, kecuali surat di bawah bantalnya yang bertuliskan satu kalimat,"Jangan cari aku. Aku akan kembali saat sudah bisa m
Pagi di kediaman keluarga Mahendra begitu tenang, nyaris terlalu tenang jika dibandingkan dengan malam sebelumnya. Burung-burung berkicau seperti tak tahu bahwa dunia di luar pagar besar itu tengah bersiap meledak dalam badai yang lebih besar dari sebelumnya.Di dalam ruang latihan rahasia, Arka yang kini berusia tujuh tahun, mengenakan seragam khusus dengan lambang Phoenix kecil di dadanya. Di depan layar kaca transparan, ia mempelajari ulang taktik bertahan, membaca kode sinyal, dan membedakan pola gerakan drone musuh. Noah berdiri tak jauh darinya, mengamati.“Kamu sudah makin cepat, Arka. Tapi ingat, bukan soal kecepatan. Ini tentang ketepatan dan niat.”Arka menoleh, berkeringat namun penuh semangat. “Papa, kenapa mereka mau menyakiti kita? Padahal kita tidak pernah mengganggu mereka.”Noah menarik napas. Ia tahu, anaknya terlalu cerdas untuk dibohongi, tapi juga terlalu muda untuk menanggung semua kebenaran.“Karena mereka takut. Karena kita punya sesuatu yang tidak bisa mereka
Malam itu langit Jakarta berwarna gelap pekat. Awan hitam menggulung seakan menyembunyikan badai yang akan datang. Di ruang observasi Phoenix of Gold, cahaya layar komputer menyala redup. Noah berdiri di tengah ruangan seperti bayangan diam yang sedang menyatu dengan gelap. Di hadapannya, lusinan monitor menampilkan gambar-gambar: aktivitas Black Shadow, pergerakan logistik Rio, dan pesan-pesan terenkripsi yang telah berhasil dibuka oleh sistem keamanan rahasia mereka.“Aku akan turun langsung,” gumam Noah.Akira yang berdiri di belakangnya mengernyit. “Maksudmu ke Montenegro? Noah, kamu baru saja menarik perhatian dunia. Kamu akan menjadi target utama jika kembali menyamar.”Noah memalingkan wajahnya. “Bukan menyamar. Aku akan kembali menjadi diriku yang dulu. Phantom. Hanya itu cara untuk menuntaskan semuanya.”Akira menatapnya dalam-dalam. “Kalau kamu masuk terlalu dalam… bagaimana caranya kamu kembali ke kami?”Noah melangkah pelan mendekati istrinya, menangkup wajahnya dengan ked
Phoenix of Gold kini menjadi sorotan dunia. Media internasional menyoroti perusahaan yang tak hanya bergerak di bidang energi hijau, tetapi juga menjadi simbol ketahanan keluarga di tengah ancaman global. Akira dan Noah menjadi pasangan fenomenal yang disegani—bukan karena kekayaan mereka, tapi karena integritas dan keberanian mereka mempertahankan nilai.Namun di balik sorotan itu, ada ketegangan yang terus menguat. Noah kini tidur hanya dua hingga tiga jam sehari. Sisanya ia habiskan untuk memperkuat keamanan digital, memperluas jaringan intelijen, dan yang paling penting: menyusun serangan balik terhadap Rio Vasilyev.Di ruang bawah tanah Phoenix of Gold—ruang yang tak diketahui siapa pun kecuali Akira dan beberapa orang kepercayaannya—Noah berdiri di hadapan layar besar yang menampilkan peta dunia.“Operasi Valkyrie akan dimulai dalam empat puluh delapan jam,” ucap Raka sambil menunjukkan serangkaian data. “Kami sudah menanam orang dalam di markas Rio di Montenegro. Namun mereka m
Pagi itu, langit Jakarta tampak kelabu, mendung menggantung berat seolah memantulkan perasaan yang memenuhi hati Akira. Ia berdiri di balkon rumahnya, menatap taman tempat anak-anak biasanya bermain. Namun hari ini, taman itu kosong. Arka sedang di kamar bersama tutor privatnya, sementara Eiden masih tidur dalam pelukan pengasuhnya.Akira baru saja menerima laporan bahwa kantor pusat Phoenix of Gold kembali diserang secara digital. Sistem keamanan mereka diretas, dan beberapa dokumen rahasia hampir bocor ke publik jika tim IT tidak sigap memblokir akses asing yang berasal dari luar negeri.“Noah, ini bukan cuma tentang bisnis lagi. Mereka sudah menjadikan Phoenix of Gold sebagai simbol. Dan kita adalah target berikutnya,” ucap Akira dengan nada serius saat Noah masuk ke balkon membawakan secangkir teh hangat untuknya.Noah meletakkan cangkir itu di meja kecil. “Aku tahu. Rio ingin menjatuhkan semua yang pernah kita bangun. Dia tak hanya menyasar bisnis kita, tapi juga keluarga kita.”
Matahari sore menyelinap di balik jendela besar kamar keluarga Noah dan Akira. Di ruang bermain yang hangat dengan karpet berbentuk awan, Eiden tertawa ceria saat Akira menyuapi potongan buah kecil ke mulutnya. Sementara itu, Arka duduk di pojok ruangan, menggambar dengan pensil warna yang ditekan kuat-kuat ke kertas.“Nooo! Itu apelku, Mama!” Arka tiba-tiba berseru, melihat potongan buah yang diberikan ke adiknya.Akira menoleh, sedikit kaget. “Sayang, kamu 'kan tadi sudah makan dua potong. Ini buat Eiden.”“Tapi aku mau sekarang juga!” Arka bangkit dan berjalan cepat, hampir mendorong Eiden yang sedang duduk di kursi bayi.“Arka!” Akira memanggil tegas. “Kamu tidak boleh dorong adikmu seperti itu.”Anak laki-laki berusia lima tahun itu memelototi adiknya. “Kenapa sih semuanya selalu tentang Eiden! Dia selalu dapat pelukan, buah, bahkan mainan baru. Aku ini anak pertama, kan?”Akira menelan ludah, hatinya perih. Ia tahu kecemburuan ini bukan muncul tiba-tiba, tapi sudah ia lihat seja