Akira kini berada di samping Pak Hermawan, mengangguk berwibawa kala ayahnya mengumumkan dengan nada tegasnya bahwa Akira lah yang akan menggantikan posisinya di perusahaan.
"Saya harap kalian tidak salah sangka, karena meskipun masih muda, Putri saya ini sudah belajar dengan giat dan bekerja keras selama bertahun-tahun. Jadi, Akira bukan sekedar menerima, tapi memang dia pantas untuk berada di posisi ini." tutur bangga pria paruh baya yang kini tersenyum penuh arti kepada Andre.
Akira juga tersenyum puas ketika melihat ekspresi Andre dengan mulutnya yang terbuka. Mungkin, dia tak pernah menyangka jika mantan mertuanya, adalah atasannya sendiri. Memang, ketika Andre menikahinya, kebetulan ayahnya sedang ada dinas di luar negeri, sehingga Akira harus diwakili oleh walinya.
Saat rapat dihentikan sementara untuk beristirahat, Akira bergegas menuju toilet. Namun, tiba-tiba, seseorang mencengkram pergelangan tangannya dengan kuat.
“Apa yang kamu lakukan di sini?!” tanya Andre, menatap Akira dengan manik membesar.
Akira mendengus kala mendengar pertanyaan dari Andre, “Apa kamu tuli? Kamu tak bisa mendengar apa yang tadi diucapkan oleh ayahku?”
"Sudahlah, kamu gak usah pura-pura! Kalau mau akting, jangan disini! Kamu itu cuma istri yang sudah aku ceraikan, gak usah posesif sampai harus ada dimanapun aku berada, Akira!" ejek Andre kepada Akira dengan percaya diri.
Makian dari mantan suaminya, seketika membuat Akira tertawa kecil. Bisa-bisanya Andre berpikir bahwa ini semua adalah sebuah drama yang diciptakan oleh Akira?
Akira memandang Andre dengan tatapan tajam, seakan menembus ego mantan suaminya yang begitu tinggi. Meski merasa diremehkan, Akira menahan diri untuk tidak segera merespons sindiran Andre. Baginya, tidak ada gunanya berdebat dengan seseorang yang pernah menilainya sebelah mata dan meninggalkannya begitu saja.
"Maaf, Andre. Terserah apa yang ada di pikiranmu yang ternyata dangkal itu, tapi, aku tak punya waktu untuk bicara hal tidak penting denganmu. Dan ingat, sekarang saya adalah atasan Anda, bicaralah yang sopan."
Tak ingin berlama-lama berbicara dengan sosok yang sempat membuat hatinya terluka, Akira melepaskan cengkraman tangan Andre, berusaha untuk menunjukkan ketegasannya.
Sementara itu, Andre mendengus, seolah menertawakan perubahan yang Akira pamerkan.
"Kamu pikir karena sedikit berpenampilan mewah, aku akan percaya kalau kau bisa jadi Direktur Utama? Gak usah mimpi, Akira!” Teriak Andre, sebelum Akira pergi masuk ke dalam toilet.
Setelah beberapa menit, rapat segera berlanjut dengan Pak Hermawan yang menjelaskan lebih jauh tentang rencana peralihan jabatan dan proyek-proyek yang akan dilanjutkan Akira.
Andre hanya bisa mendengarkan dengan perasaan campur aduk. Dia mulai merasa ragu, karena tidak mungkin juga jika bosnya sendiri, berakting hingga membicarakan rencana perusahaan kepada Akira.
Saat rapat usai, Akira beranjak pergi, namun Andre segera menyusulnya.
"Akira, tunggu, aku masih ingin bicara denganmu." panggil pemuda itu dengan nada lebih lembut dibanding sebelumnya.
"Apa lagi, Andre? Bukankah kita sudah tidak ada urusan lagi?" Akira berhenti, menoleh dengan ekspresi datar.
Andre menghela napas, mencoba meredam egonya.
"Aku hanya ingin tahu… bagaimana bisa kamu tiba-tiba jadi seperti ini? Kamu bukan seperti orang yang aku kenal."
Akira tertawa kecil. "Sudah kubilang, itu bukan urusanmu. Kita sudah tak ada hubungan lagi selain atasan dan bawahan."
Jawaban Akira membuat Andre terdiam, merasakan kekosongan yang tiba-tiba muncul dalam dirinya. Selama ini, dia mengira keputusannya menceraikan Akira adalah hal terbaik, tapi melihat mantan istrinya kini menjadi wanita yang lebih kuat, dia merasa kehilangan sesuatu yang tak pernah dia sadari penting.
"Akira… mungkin aku salah. Bisakah kita—"
"Tidak, Andre.” potong Akira tegas, sebelum melangkah pergi dengan percaya diri, meninggalkan Andre yang terpaku di tempatnya. Akira melangkah pergi dengan penuh percaya diri.
Wanita cantik itu meninggalkan Andre yang masih tidak percaya dengan semuanya, pemuda itu kini mengepalkan tangan karena marah dan kesal.
"Cih, dasar wanita sombong. Kalau begini cara mainnya, aku pastikan kamu akan menjadi milikku lagi!" gumam laki-laki itu seorang diri, maniknya menatap tajam ke arah Akira.
**
“Andre, ini ada berkas milik direktur. Kamu sebagai sekretaris mohon ingatkan untuk segera diproses ya, urgent.”
Bagaikan kesempatan dari Tuhan, Andre tersenyum kala mendapat tugas mendadak itu. Andre berpikir, ini adalah kesempatan untuknya berbicara lebih banyak dengan mantan istrinya.
Selama ini, Andre memang bekerja sebagai sekretaris dari direktur utama, Pak Hermawan. Jika posisi direktur saat ini adalah Akira, bukankah berarti otomatis Andre akan menjadi sekretaris sang mantan istrinya itu?
“Baik, akan segera saya antar.” jawabnya singkat.
Tak ingin berlama-lama, Andre pun bergegas sembari membawa beberapa map berisi berkas, menuju ruangan direktur.
Tok tok!
“Masuk,” ucap Akira.
“Pagi, Pak Hermawan, Nona Akira. Ini ada berkas yang harus ditandatangani segera.”
Melihat wajah Andre, Akira semakin muak. Sifat Andre seolah berubah 180 derajat kala mengetahui posisi Akira saat ini yang sudah di atasnya. Ingin rasanya Akira merobek senyuman yang terukir di wajah mantan suami yang beberapa hari terakhir kerap menyakitinya.
“Taruh saja di situ.” jawab Akira singkat.
Awalnya, Akira ingin meminta Andre untuk langsung meninggalkan ruangannya. Namun, Akira tiba-tiba mendapatkan sebuah ide.
“Pak Hermawan, apakah sekiranya Bapak berkenan jika saya mencari sekretaris baru untuk saya? Mengingat Andre adalah sekretaris bapak, dan bukan sekretaris saya. Saya ingin mencari sekretaris yang lebih kompeten dalam bekerja, bukan seseorang yang suka menghina orang lain di belakang.” tanya Akira kepada ayahnya.
Akira sengaja untuk tetap berbicara formal, mengingat ini adalah kantor, dan Akira tak ingin semua orang menganggapnya remeh hanya karena dia dijadikan pengganti ayahnya sendiri.
“Oh, tentu saja, Akira. Nanti biar aku carikan yang baru dan yang terbaik untuk kamu, ya!” ucap ayah Akira sembari menepuk-nepuk pundak anaknya.
Jawaban dari atasannya sendiri, membuat Andre sedikit panik. Detik itu juga, dia semakin sadar bahwa Akira jelas tidak berpura-pura. Wanita yang dia buang dan dia hina, ternyata adalah wanita kaya raya!
Malam itu Akira kerja lembur sebagai Direktur Utama, entah sudah berapa jam dia berada di dalam kantor miliknya. Wanita muda itu mulai bergegas untuk pulang, pandangannya mulai mengabur dan berhalusinasi ada seseorang yang menolong dirinya. "Nona.. Anda tidak apa?" Suara yang asing bagi Akira, namun wanita itu belum sepenuhnya sadar "Nona, Anda sakit apa?" Pertanyaan tersebut membuat Akira sadar. "Kamu siapa? Kenapa saya ada di sini?" ujar wanita muda itu sambil melihat ruangan bercat putih yang merupakan ruangan tunggu. "Maaf, Nona, tadi saya tidak sengaja melihat Anda pingsan di dalam lift," sahut pemuda itu dengan nada lembut. "Terima kasih untuk pertolongan kamu, tapi........" Belum selesai Akira mengucapkan terima kasih, pemuda tersebut sudah pergi dari pandangan Akira. Akira yang sudah agak mendingan pun akhirnya menghubungi sopir pribadi ayahnya, wanita muda itu menceritakan kejadian yang menimpa dirinya, dan sang Ayah meminta sopir untuk menjemput putrinya di kantor.
Akira duduk di ruang kerjanya yang mewah, ditemani suara jam dinding yang berdetak lembut. Matanya tertuju pada laporan yang baru saja diberikan Hiroshi, sekretaris barunya. Wajah Hiroshi memancarkan ketenangan, sementara senyumnya yang penuh percaya diri membuat Akira semakin nyaman bekerja bersamanya. Namun, di balik ketenangan itu, ada badai yang sedang berkecamuk. Andre-mantan suami Akira, baru-baru ini memperingatkan bahwa Hiroshi adalah seorang parasit berbahaya. Akira memberikan tugas khusus kepada salah satu Intel terbaiknya, meminta untuk memberikan laporan khusus tentang, Hiroshi beberapa hari ini, wanita muda itu tetap waspada dengan orang baru dan orang lama seperti mantan suaminya. Namun, setelah menyewa detektif profesional untuk memantau aktivitas Hiroshi, Akira tidak menemukan bukti yang mendukung klaim Andre. Sebaliknya, Hiroshi tampak jujur dan loyal, sesuatu yang membuat Akira lebih percaya padanya daripada pada Andre. Andre tidak tinggal diam. Ketika dia meng
Rumah megah itu tampak sunyi, hanya suara langkah berat Andre yang terdengar saat pemuda itu memasuki ruang tamu. Wajahnya kusut, bibirnya tertutup rapat, dan kerutan di dahinya memperlihatkan betapa buruk harinya. Di ruang tengah, dirinya mendapati Siska-istri barunya, duduk santai di sofa sambil menikmati buah anggur. Pandangannya terpaku pada layar ponsel yang menayangkan film komedi.Andre menghentikan langkahnya, menatap Siska dengan tatapan tajam.“Kamu enak banget, ya. Duduk santai di sini sambil nonton film, sementara aku jungkir balik di luar,” suara Andre dingin, tetapi penuh emosi yang terpendam.Siska menoleh dengan kaget, tapi alih-alih merasa bersalah, wanita yang sedang hamil itu tersenyum kecil. “Hari yang berat, ya? Sini, duduk dulu. Aku tadi bikin jus mangga, masih ada di kulkas.”Namun, tawaran itu tidak meredakan emosi Andre. Dia berjalan ke arah meja, meletakkan tas kerjanya dengan kasar, lalu berbalik menghadap istrinya yang masih memperhatikan ponsel pintarnya..
Pagi itu, langit terlihat cerah, tetapi suasana di kantor justru terasa tegang. Sudah seminggu Siska mengambil cuti dengan alasan sakit, dan kehadirannya kembali ke kantor langsung mencuri perhatian banyak orang. Wanita itu melangkah masuk dengan senyum penuh percaya diri, mengenakan blazer biru yang dipadukan dengan rok pensil hitam, mencoba menampilkan citra sempurna seperti biasanya. Namun perutnya sedikit menonjol. Langkah wanita yang sedang hamil itu terhenti saat dia melihat sosok Akira keluar dari ruangan Pak Hermawan. Wajahnya langsung berubah, sorot matanya penuh kecurigaan. Siska mengangkat alisnya, berjalan mendekati Akira yang sedang membawa beberapa dokumen. “Wah, wah, wah. Jadi ini yang kamu lakukan setelah mantan suami kamu membuangmu jauh dari kehidupannya,, Akira?” Nada sarkas meluncur mulus dari bibirnya, kemudian menatap Akira dari ujung kepala hingga kaki. Akira mengerutkan dahi, bingung dengan tuduhan yang tiba-tiba muncul. “Apa maksudmu, Siska?” “Oh, jang
Andre hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini, d ia mendapati Siska terduduk lemas di lantai dengan darah mengalir di kakinya. “Siska!” serunya panik, berlutut di samping istrinya. Wajah Siska pucat, matanya terpejam dengan tubuh gemetar. Tanpa berpikir panjang, Andre menggendongnya dan melesat menuju mobil. Di sepanjang perjalanan ke rumah sakit, tangannya gemetar di setir, sementara pikirannya dipenuhi rasa bersalah.“Aku seharusnya tidak berkata kasar padanya... kenapa aku seperti ini?” gumamnya sambil sesekali melirik Siska yang tak sadarkan diri.Begitu sampai di rumah sakit, para perawat segera membawa Siska ke ruang periksa. Andre hanya bisa berdiri di luar, mondar-mandir seperti orang gila. Wajahnya basah oleh keringat meski udara dingin menusuk kulit. Laki-laki itu mengingat betapa dia sering membentak Siska beberapa hari terakhir ini karena masalah kecil. Dirinya tahu Siska lebih sensitif selama kehamilannya, tetapi amarahnya selalu lebih dulu mengambil alih
Seminggu setelah keluar dari rumah sakit, Siska mulai menjalankan rencana liciknya. Sambil beristirahat di rumah, wanita yang tengah hamil itu menghubungi beberapa rekan kerja yang dikenalnya cukup baik, termasuk Rina, untuk menyebarkan rumor yang lebih menyakitkan. Kali ini, dirinya tidak lagi berbicara tentang pekerjaan Akira, melainkan kehidupan pribadinya."Rina, kamu tahu tidak?" Siska memulai pembicaraan dengan nada lemah, seolah mencari simpati."Aku tidak ingin ngomongin ini sebenarnya, tapi... kamu tahu kenapa Andre akhirnya menikah denganku 'kan?"Rina yang sedang mendengarkan di ujung telepon terdengar bingung."Kenapa, Sis?"Siska menarik napas dalam-dalam, seperti menahan kesedihan palsu."Karena Akira tidak bisa memberikan keturunan. Aku nggak tahu harus ngomong ini ke siapa, tapi aku merasa kasihan sama Andre waktu itu. Dia butuh keluarga, dan... ya, aku ada untuk dia."Rina seakan terkejut dengan penuturan Siska, "Apa? Akira tidak bisa punya anak? Serius?"Siska pura-p
"Aku? Mas, aku tidak pernah bilang begitu. Aku hanya cerita apa yang pernah kamu katakan tentang Akira. Kalau aku tahu itu bakal jadi gosip, aku tidak akan cerita apa-apa." Siska berpura-pura kesal padahal dalam hati dia begitu senang karena gosip itu cepat menyebar, membuat Akira menjadi bahan omongan karyawan lain. Andre menghela napas berat dengan ulah istri keduanya tersebut. "Aku tidak pernah bilang Akira mandul, Siska. Aku meninggalkan dia karena hubungan kami tidak berhasil, bukan karena alasan seperti itu. Kenapa kamu membuat rumor yang tidak benar?" Air mata palsu mengalir di wajah Siska, mencoba untuk mencari perhatian suaminya. "Aku tidak bermaksud apa-apa, Mas. Aku cuma... aku merasa tertekan. Semua orang selalu membandingkan aku dengan Akira. Mereka bilang aku tidak pantas bersamamu. Aku hanya ingin mereka tahu kalau aku juga punya alasan untuk ada di sini." Andre meraih bahunya, mencoba menenangkan istrinya karena dia juga merasa bersalah sudah membuat istriny
"Dia mengira kalau aku takut dengan gertakan kosong Akira, tidak sama sekali, dia hanya karyawan biasa seperti aku 'kan?""Jangan melihat seseorang dari sampulnya, besok kita lihat saja, kamu akan menyesal atau masih terlalu sombong pada Akira.""Maksud kamu apa, Mas!"Andre tidak menjawab, dia meninggalkan Siska yang kesal dengan sikap suaminya.Akira yang berjalan meninggalkan kediaman mantan suaminya tersebut segera mengendarai roda empat menuju sebuah taman kota yang lumayan lenggang malam itu, wanita muda itu menghembuskan napas lelah mengingat bagaimana Siska memperlakukan dirinya. Angannya melayang di saat dia masih kuliah.Siska adalah gadis yang ceria dan selalu berhasil membuat suasana menjadi hidup. Akira, yang saat itu pendiam dan cenderung fokus pada akademik, menemukan kenyamanan dalam persahabatan dengan Siska. Mereka berdua selalu bersama, menghabiskan waktu di perpustakaan, belajar bersama, bahkan berbagi mimpi tentang masa depan.Namun, di balik tawa itu, ada perbeda
Pagi itu, langit Jakarta mendung. Kabut tipis menyelimuti gedung-gedung pencakar langit, termasuk markas Phoenix of Gold, perusahaan yang tengah menjadi sorotan di jagat bisnis global. Noah berdiri di depan jendela besar ruang CEO, mengenakan setelan hitam yang tegas. Wajahnya serius, matanya tajam menatap awan abu-abu yang bergulung. Rapatan alisnya tak semata karena ancaman terhadap bisnis, tapi juga karena keluarganya kini ikut menjadi sasaran. Akira, istrinya, belum tidur semalaman, menyusun rencana darurat. Dan anak-anak mereka—Arka dan Eiden—tak tahu apa-apa. Mereka terlalu kecil untuk mengerti betapa dunia orang dewasa bisa sekejam ini. Pintu ruangannya diketuk. “Masuk,” kata Noah. Revan masuk dengan raut tegang. “Kita dapat pesan lagi dari kelompok tak dikenal. Mereka mengaku sebagai ‘Sons of Black Shadow’.” Noah mendengus. “Bayangan masa lalu yang ingin bangkit. Siapa pemimpinnya?” “Masih belum diketahui pasti. Tapi dari pola komunikasi dan sandi-sandi yang mereka pakai
Matahari sore mulai tenggelam, memancarkan warna oranye keemasan di balik jendela besar ruang keluarga rumah keluarga Mahendra. Di tengah suasana yang hangat, Akira duduk di sofa sambil menyuapi Eiden—bayi lucu berusia tujuh bulan yang menjadi pusat perhatian keluarga akhir-akhir ini.Namun dari sudut ruangan, Arka—anak pertama Noah dan Akira—memperhatikan semua itu dengan tatapan tidak biasa. Bocah berusia lima tahun itu menggenggam boneka beruang kesayangannya erat-erat, matanya tak lepas dari ibunya yang tampak sangat fokus pada Eiden."Noah, lihat deh. Eiden sekarang sudah mulai bisa duduk sendiri," ujar Akira dengan suara riang.Noah yang baru pulang dari kantor, ikut mendekat. Ia mencium kening Akira dan mengelus kepala Eiden."Anak jagoan Ayah," katanya sambil tersenyum, tak menyadari sorot mata Arka yang mulai meredup.Tak ada yang menyadari bahwa sejak kelahiran Eiden, hati kecil Arka merasa terusik. Ia yang dulu menjadi pusat perhatian kini merasa terpinggirkan. Tak ada yang
Pagi itu, suasana rumah keluarga Mahendra tampak hangat seperti biasa. Aroma roti panggang dan kopi memenuhi dapur besar bernuansa kayu hangat. Akira tengah menyuapi Eiden, bayi mungil mereka yang baru berusia satu tahun. Sementara Noah duduk di seberang meja, membuka laporan keuangan dari Phoenix of Gold—perusahaan baru mereka yang tengah jadi perbincangan media nasional dan internasional.Namun, di sudut tangga, Arka berdiri memeluk boneka dinosaurus favoritnya. Bocah berusia lima tahun itu menatap ke arah ibunya dan adiknya dengan ekspresi campur aduk—mata bulatnya menyiratkan rasa kehilangan yang tidak bisa ia pahami sendiri.Ia berjalan pelan menuju meja makan, tanpa sepatah kata pun.“Selamat pagi, Kakak Arka,” sapa Akira hangat. “Mau roti sama telur hari ini?”Arka tidak menjawab. Ia menarik kursinya dengan sedikit kasar lalu duduk dan menunduk. Noah menurunkan kertas di tangannya dan memperhatikan anak laki-lakinya itu.“Arka, kamu kenapa?” tanya Noah lembut.Arka menggeleng p
Hujan deras mengguyur langit Hong Kong malam itu. Di sebuah ruang bawah tanah tak berlampu, layar holografik biru menyala. Seorang pria dengan wajah disamarkan duduk dikelilingi data dan foto-foto, Akira, Noah, dan logo Phoenix of Gold.“Waktu kalian telah tiba…” gumamnya dalam bahasa Rusia, lalu menekan tombol bertuliskan ‘Activate Protocol Leviathan’.Noah baru saja kembali dari Tokyo bersama Akira. Kandungan Akira memasuki bulan ketiga, dan dokter mengatakan kondisi mereka sangat baik. Noah semakin protektif, bahkan meminta Revan menambah lapisan pengamanan digital dan fisik untuk seluruh properti dan data Phoenix.Namun satu hal membuatnya gelisah—email yang muncul tiba-tiba itu. Pengirimnya anonim, tak bisa dilacak, tapi punya akses masuk ke dalam sistem private yang hanya bisa disentuh oleh AI level tinggi seperti SIBYL.“Siapa Leviathan?” tanya Akira saat mereka duduk di rooftop, menikmati malam dengan teh chamomile hangat.Noah memandangi langit, lalu menjawab lirih, “Bayangan
Pagi itu, seluruh dunia gempar. “Phoenix of Gold Mengalahkan Dragon dan Monster dalam Valuasi Mingguan!” “Akira Mahendra, Dari Gadis Biasa Menjadi Wanita Paling Berpengaruh di Asia!” “Noah, Sang CEO Bayangan yang Menantang Tata Dunia Bisnis Global.” Hanya dalam waktu singkat, perusahaan yang dulu bernama Mahendra Corp itu melonjak drastis ke puncak perhatian dunia. Dan nama Akira—dengan segala pengorbanan, kejernihan visi, dan karismanya—mulai menghiasi majalah TIME, Forbes, bahkan Vogue. Media sosial tak kalah heboh. Tagar #PhoenixQueen, #NoahTheShadowCEO, dan #RebornFromAshes menjadi viral di berbagai platform. Netizen menganggap mereka power couple abad ini. “Citra kita terlalu tinggi untuk ukuran keamanan,” kata Revan sambil menunjukkan grafik pertumbuhan engagement online. “Saat orang mulai menaruh ekspektasi berlebihan, satu kesalahan kecil bisa jadi kehancuran besar.” Akira mengangguk. Ia tak terlalu suka tampil, tapi sebagai Ketua Dewan Asia dan wajah publik Phoenix of
Sudah tiga bulan berlalu sejak Akira dan Noah menumpas jaringan terakhir Black Shadow. Dunia mulai melupakan ketakutan lama, dan media kini menyebut Akira sebagai “Perisai Cahaya Asia”, sementara Noah tetap menjadi CEO misterius yang menolak tampil ke publik. Sebuah konferensi pers besar digelar di gedung tertinggi Jakarta, di mana Hydra Star Corp telah lama berkuasa. Para jurnalis dari seluruh dunia berkumpul, penasaran dengan undangan yang hanya berjudul,“Rebirth.”Lalu muncullah Akira di atas panggung megah, didampingi oleh Revan dan beberapa direksi muda berbakat.“Perusahaan yang sudah lama menjadi simbol kekuatan ekonomi di Asia,” kata Akira dengan lantang. “Tapi dunia berubah. Maka, hari ini, kami mempersembahkan kelahiran baru dari perusahaan ini…”Layar raksasa menyala, menampilkan logo baru: seekor burung Phoenix berwarna emas, sayapnya membentang mengelilingi bola dunia.PHOENIX OF GOLD Rise with Integrity, Reign with PurposeAkira tersenyum, lalu melangkah ke belakang ket
Langit Tokyo sore itu diliputi awan kelabu. Di tengah keramaian kota, satu mobil hitam berhenti di depan sebuah rumah tradisional Jepang yang tampak sudah lama tak berpenghuni. Dari dalam mobil, Akira turun dengan langkah pelan, diikuti Noah dan dua pengawal yang berjaga ketat.“Ini rumah tempat aku lahir,” bisik Akira, menyentuh pagar kayu yang sudah lapuk.Noah mengangguk pelan. “Kita di sini bukan hanya untuk melihat masa lalu. Tapi untuk menghancurkan akar dari semua ini.”Informasi dari Revan mengarah ke sebuah nama yang selama ini disembunyikan dalam catatan keluarga Nakamura, Kaede Nakamura — adik dari kakek Akira yang dikabarkan masih hidup dan menjadi salah satu pendiri awal Black Shadow, sebelum memilih menghilang.Dan semua jejak itu mengarah ke Tokyo.Setelah berhasil membuka kunci ruang bawah tanah rumah itu, Akira dan Noah menuruni tangga kayu menuju lorong gelap yang dipenuhi debu. Di ujung lorong, mereka menemukan sebuah ruangan tersembunyi dengan lukisan tua, surat ka
Tiga hari setelah insiden di galeri seni, markas pusat Hydra Star Corp di Jakarta menjadi benteng yang nyaris tak bisa ditembus. Semua akses masuk dijaga ketat, dan intelijen siber Revan terus menyaring lalu lintas data dari seluruh dunia. Namun, meski keamanan telah diperketat, rasa tidak tenang masih menyelimuti Noah.Ia berdiri di depan jendela kaca besar lantai 30, menatap langit yang kelabu."Rio tidak akan menyerang lagi dengan cara frontal," gumamnya. "Dia akan menyusup... masuk lewat celah yang kita anggap aman."Akira mendekat, menyentuh lengan Noah. "Kita sudah siaga. Kita tidak akan kalah."Noah menatap istrinya dalam-dalam. “Kecuali… jika pengkhianat itu ada di dalam.”Akira terdiam.Beberapa jam kemudian, Revan memanggil Noah dan Akira ke ruang kendali utama.“Ada sesuatu yang tidak masuk akal. Tiga hari lalu kita berhasil menembus sebagian data enkripsi Black Shadow, dan menemukan lokasi persembunyian mereka di Sumatera Barat. Tapi begitu kita kirim pasukan ke sana… mark
Dua minggu setelah pemecatan Vicky, suasana di Hydra Star Corp perlahan kembali normal. Noah dan Akira kembali bekerja berdampingan, berusaha memperbaiki sistem internal yang sempat diganggu oleh transaksi gelap. Namun, ketenangan itu hanyalah badai yang menunggu waktu untuk meledak.Malam itu, Noah sedang berada di ruang kerjanya, menatap layar komputer penuh grafik keuangan. Akira yang baru saja menyelesaikan laporan bulanan, masuk dengan membawa dua cangkir teh hangat.“Aku tahu kamu belum makan malam,” katanya lembut sambil menyerahkan secangkir.Noah tersenyum dan menarik istrinya duduk di pangkuannya. “Kamu selalu tahu apa yang kubutuhkan, sayang.”Namun, momen itu buyar ketika ponsel Noah berdering. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal."Kami kembali. Black Shadow tidak pernah mati. Dan Akira adalah kunci dari semuanya."Wajah Noah langsung berubah tegang. Ia bangkit dan segera membuka sistem keamanan rumah, lalu menghubungi divisi intel Mahendra Corp. “Perkuat perimeter.