Jangan lupa tinggalkan jejak yuk.
Bab 94"Mau kemana, Ga?! Lepaskan!" Arga menarik tangan Rahma supaya masuk ke mobilnya. "Kita buntuti suamimu." "Hah." "Ayo, Mbak. Jangan lama-lama, nanti keburu Mas Sakha pergi!" "Pergi ke mana? Mas Sakha cuma ke kontrakan Ana, kok." Rahma masih heran dengan aksi Arga. "Iya, maksudnya kita lihat apa yang dilakukan Mas Sakha di sana." "Memangnya apa yang kamu ketahui, Ga?" Rahma mencoba memancing Arga. "Nggak ada. Aku cuma penasaran aja. Mas Sakha berubah. Dulu nggak suka sama Ana dan bayi itu. Sekarang tampaknya lebih peduli." "Katakan apa yang kamu tahu, Ga. Kamu pasti menyembunyikan sesuatu." "Nggak ada, Mbak. Sudah aku bilang kalau nggak tahu apa-apa." "Lalu kenapa kamu memfitnah Ana?" Bunyi mobil berdecit mengagetkan Rahma. Hampir saja dahinya terantuk dashboard karena Arga menginjak rem dadakan. "Hati-hati! Kamu mau kita celaka, huh?!" "Lagian Mbak Rahma yang ngagetin aku. Siapa juga yang memfitnah Ana," kilah Arga yang sudah kembali fokus dengan jalan di depannya.
Bab 95"Halo, Ma? Apa Ana sudah ke rumah?" "Belum. Gimana? Kamu dan Arga sekarang di mana?" "Ya sudah, Ma. Nanti Rahma hubungi lagi." Rahma tidak menjawab pertanyaan mertuanya justru menutup telponnya. "Gimana sekarang, Ga? Kalau Ana ternyata ke rumah?" "Coba hubungi nomer Ana, Mbak!" Rahma mencoba peruntungan dengan melakukan panggilan ke nomer Ana. "Tidak aktif, Ga." "Kayaknya nggak mungkin Ana ke rumah, Mbak. Mana ada ponselnya nggak aktif sejak kemarin. Jangan-jangan dia pergi." "Ishh, Arga jangan nakuti Mbak, dong. Mbak berharap Ana tidak pergi membawa Aira. Kamu tahu kan kalau Mbak dan Mas Sakha merindukan kehadiran anak." "Jangan lupa, Mbak. Selain Aira ada ibunya juga. Memangnya mau dikemanakan ibunya?" Rahma mencelos, benar saja Aira memang yang diharapkannya meramaikan rumah. Lantas ibunya Aira bagaimana, Rahma tidak berpikir akan dinomer duakan oleh suaminya. "Kita balik saja, Ga. Siapa tahu Ana ke rumah. Ayo buruan!" "Yakin?" Rahma hanya menjawab dengan sebuah
Bab 96"Sayang. Maaf, aku terjebak macet." "Mas pasti capek. Ini diminum dulu habis itu mandi." Rahma dengan telaten melayani suaminya yang baru sampai di rumah. Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Padahal biasanya Sakha sampai di rumah paling lambat menjelang Maghrib. "Terima kasih." Sakha sempat memberi kecupan singkat di kening Rahma sebelum duduk lalu menyesap jahe hangat buatan sang istri. "Mas ada tugas ke luar kota?" tanya Rahma tanpa menunjukkan sikap curiga. Sakha pun mengangguk masih dengan menyesap minuman seteguk demi seteguk melewati kerongkongannya. Terasa hangat di saat lelah dan gundah melanda. "Harus ya berangkat malam ini?" "Iya, Sayang. Pembukaan cabang baru di kota sebelah harus segera diluncurkan. Aku harus mengawasi pembangunannya. "Kok tiba-tiba?" "Iya, mumpung investor lagi semangat." Sakha merasa bersalah terhadap istrinya karena harus berbohong demi menjaga kewarasan. Ia takut istrinya kambuh dengan depresinya. Ia perlu melihat kondisi Ratih le
"Lalu, kabarnya Ana dan Aira gimana, Mas?" Uhuk-uhuk. "Iya, mereka gimana, Mas? Kapan pulang dari rumah saudaranya?" Rahma menagih jawaban yang belum sempat dijelaskan oleh Sakha karena sibuk menyiapkan barang bawaan untuk ke luar kota. Sakha segera meraih segelas air putih untuk mengobati tersedaknya. "Memangnya di kota ini Ana punya saudara ya? Atau jangan-jangan dia sudah menemukan ayahnya Aira." Deg, Sakha semakin merasa Arga tengah memandangnya serius seperti ingin menguliti. Ia segera memalingkan muka ke arah istrinya. "Jangan khawatir, Sayang! Biar orang suruhanku yang mencarinya. Selagi Aku mengurus pekerjaan, kalau sudah ada kabar dari orangku tentang keberadaan Ana dan Aira, dia pasti akan mengabari." Rahma mengangguk lega, tetapi tidak dengan Arga yang sedari tadi masih menatap kakaknya. Akhirnya, Sakha berangkat menuju tempat yang menjadi tujuannya melihat keadaan Ratih. Kepergiannya membuat Rahma dan Arga terpaku di teras. "Mbak Rahma baik-baik saja?" tanya Arga
Bab 98Sakha mendekap erat tanpa minta izin. Ia ingin meluapkan rasa yang sedari tadi malam ia pendam. Namun, sosok yang berada dipelukannya hanya bergeming. Menitikkan air mata, Ratih masih setia dengan dunianya sendiri. "Ratih, aku Sakha suamimu." Beberapa detik berlalu, wanita dalam dekapan Sakha meronta dan meracau tidak jelas. Hingga mengundang penghuni yang lain untuk membuka mata dan mendekat. "Kamu siapa?!" teriak wanita yang sudah memasuki senja. Usianya tidak jauh beda dengan Mbok Darmi yang tinggal bersama Ana dan Aira saat di ibukota. Sakha tidak lupa wajah itu. Mbok Irah---Nenek Ratih yang sering ia temui kala sering bercengkerama dengan Ratih sampai hari terakhir ia kembali ke Jakarta. Mbok Irah setia merawat dua cucunya yang yatim piatu hingga tumbuh besar. "Mbok, ini Sakha." "Hah?! Sakha suami Ratih?" Mbok Irah tercengang. Ia menutup mulutnya yang menganga karena tak percaya apa yang dilihat pagi-pagi buta. Bahkan mentari belum menampakkan sinarnya, sudah ada tamu
Bab 99"Mbak Ratih, aku dan Aira pulang." Ana berucap lirih sambil duduk di samping kakaknya. Ia menggeser sedikit kaki kakaknya untuk ruangnya duduk. "Mbak, Ai baik-baik saja. Ai sudah bertemu ayahnya. Mas Sakha sudah ketemu, Mbak." Air mata semakin mengucur membuat Ana sesenggukan. Rasa sesak di dada semakin menyeruak. Keinginan sampai rumah begitu menggebu. Setelah melihat kondisi kakaknya, ia justru semakin sedih. Tidak ada pergerakan dari Ratih karena lelapnya tidur di sore hari. Mungkin Rizky baru saja mengantarnya pulang. Ana beranjak dari kursi lalu menuju kamar untuk menidurkan Aira. "Ana?!" Wanita yang wajahnya sebagian dihiasi keriput itu kaget melihat Ana. "Mbok sudah di rumah?" "Iya, barusan pulang tadi sejam yang lalu kayaknya. Trus Rizky datang mengantar pulang Ratih dari warung." Rizki memang kerap mengajak Ratih ke warung kelonton milik keluarganya. Ia berusaha membuat Ratih tidak menyendiri. "Ana nidurin Ai dulu, Mbok."Mbok Irah mengangguk, lalu bergegas ke
Bab 100"Kamu siapa?!" teriak wanita yang sudah memasuki senja. "Mbok, ini Sakha" "Hah?! Sakha suami Ratih?" Mbok Irah tercengang. Ia menutup mulutnya yang menganga karena tak percaya apa yang dilihat pagi-pagi buta. Bahkan mentari belum menampakkan sinarnya, sudah ada tamu bertandang. "Kamu..., bukankah kamu sudah menikah? Kenapa ke sini? Kamu mau menambah luka Ratih?" ungkap Mbok Irah terbata. Ia sudah tidak bisa menahan air mata yang berderai. Saat melihat Sakha, Mbok Irah kaget luar biasa. Namun, kekagetan itu terganti pandangan miris pada Ratih yang hanya bergeming. "Mbok, saya ke sini ingin melihat kondisi Ratih. Dia masih istri saya. Saya berjanji akan membuatnya sembuh. Apapun akan saya lakukan untuk membuatnya sembuh. Kita antar dia berobat rutin pada ahlinya." Sakha berucap sungguh-sungguh. Raut wajah penuh penyesalan membuat Mbok Irah terdiam tak lagi berniat mencaci dan menyalahkan suami cucunya. "Kemari Ratih!" Sakha mendudukkan Ratih yang masih asyik dengan dunianya
Bab 101"Mas, ini tehnya diminum mumpung masih panas." "Iya, makasih." Sakha duduk lalu menyesap secangkir teh panas yang dibawa Ana dari dapur. "Bagaimana Mas Sakha bisa sampai sini?"tanya Ana heran. "Kamu mau kabur? Nggak ingat kalau Rahma sangat menyayangi Aira, Na?" Sakha tidak menjawab justru gantian bertanya pada Ana yang terkesiap. "Maaf, Mas. Aku nggak mau mengganggu hubungan Mas sama Mbak Rahma. Dia sangat baik padaku dan Aira." "Tapi dengan kamu kabur justru Rahma menjadi panik dan khawatir. Kami harus mencarimu kemana-mana sampai ketemu. Dia pernah sakit seperti Ratih." "Astaghfirullah. Lalu gimana Mas kalau Mbak Rahma tahu Mas Sakha ke sini?" Sakha menguap, ia meliukkan badannya yang pegal karena perjalanan dari Jakarta menyetir sendiri. "Aku pamit ke luar kota karena pekerjaan." "Jadi, Mbak Rahma belum tahu apa-apa tentang Mbak Ratih?" Raut wajah Ana justru semakin memperlihatkan kekhawatiran. Sakha pun menggeleng. "Aku akan mengatakan semuanya perihal Ratih da
Bab 137 EndingSakha sudah seperti buka puasa. Sekian purnama tidak menyentuh istrinya, kerinduan pun berada di puncaknya. "Wajah Mas masih sakit, ini. Aku obatin, ya?""Nggak perlu, Rahma. Aku butuh obat rindu.""Mas!"Rahma sudah tidak bisa mengelak, ia pun merasakan rindu yang menggebu. Keduanya melewati malam panjang ditemani rembulan yang sinarnya menyusup dari celah gorden. Sentuhan lembut Sakha menyapa Rahma membuat hati wanita itu mengembang. Seulas senyum terukir di bibir merahnya."Tenang, Nak, Abi mau mengunjungimu."Sakha memperlakukan istrinya dengan lembut walau di dalam sana sudah menahan gair*h yang memuncak. Ia tidak ingin membuat trauma istrinya yang sedang hamil besar.Satu jam berbagi peluh membuat keduanya kelelahan. Sakha memberikan kecupan hangat di kening Rahma. Hingga wanita itu memejamkan mata menikmati ketulusan suaminya."Terima kasih, Sayang.""Terima kasih juga, Mas."Waktu kian berlalu, detik tergerus oleh menit hingga menit berganti menjadi jam. Purnama
Bab 136 Rindu "Percuma, Arga. Kakakmu dari dulu sudah begitu," imbuh Pak Ardi ketus."Ya Allah, Pa, Arga. Ini salah paham," lirih Sakha yang merasakan tubuhnya sudah lunglai."Apa?! Astaghfirullah, ini pasti salah paham.""Pa, Arga, tunggu!" teriakan Sakha tidak digubris dua lelaki beda generasi itu. Pak Ardi dan Arga sudah masuk mobil meninggalkan kediaman untuk menemui Rahma yang terbaring di rumah sakit."Astaga, Mas Sakha kenapa?" Dari dalam rumah keluar satpam yang sedari tadi dicari Sakha."Bapak kemana saja? Muka saya sudah babak belur kayak maling, nih," dengkus Sakha sambil menahan nyeri akbitan tamparan papanya dan juga pukulan Sakha."Ayo, Pak. Kita ke dalam dulu. Bi, Bibi. Tolong ambilkan air kompres untuk Pak Sakha!" "Hah, Mas Sakha kenapa?""Jangan banyak omong, cepat ambilkan."Bibi ART pun mengangguk. Gegas ia ke dapur mengambil air kompres."Maaf, Mas. Tadi saya membereskan kamar Mbak Rahma sama bibi." Satpam mengucap dengan sedikit takut membuat Sakha penasaran."Me
Bab 135 PulangPenerbangan Padang-Jakarta akhirnya pesawat mendarat di bandara Soekarno Hatta. Sakha memang sengaja belum mengabari orang rumah tepat hari apa pulangnya. Ia harus menyiapkan keperluan Cantika dan neneknya di rumah sakit ternama di Jakarta. Setelahnya, Toni yang akan menemani Cantika untuk proses operasi mata neneknya."Pak Toni tolong Cantika ditemani sampai keperluannya tidak kurang satupun," ucao Sakha sambil menyenderkan punggung di sofa tunggu bandara. Mereka masih menunggu bagasi."Siap, Pak. Oya, Pak Sakha yakin tidak perlu ditemani pulang sampau rumah terlebih dulu?" tanya Toni basa-basi."Ckkk, bukankah Pak Toni senang langsung bisa menemani Cantika?" Sakha justru balik bertanya membuat Toni terkesiap."Nanti kalau Cantika bingung di kota ini, Pak Toni yang repot, kan? Gadis itu nggak ada duanya,"ucap Sakha terkekeh."Dia gadis yang pintar, Pak. Nggak mungkin nyasar di kota ini," balas Toni sambil tersenyum."Pak Toni nggak takut Cantika nyasar, tapi takut dia k
Bab 134 Tuntas"Terima kasih atas kerja samanya, Pak Sakha."Seorang pimpinan petugas kepolisian menjabat tangan serta mengucap terima kasih pada Sakha di ruang kerjanya. Sebab Sakha telah membantu petugas kepolisian untuk menegakkan keadilan. Tuntas sudah tugas Sakha di kota ini."Kalau begitu, saya pamit dulu, Pak. Saya harus menemui warga untuk m3nyampaikan hak-haknya,"ucap Sakha yang diangguki petugas. Sakha kembali menaiki mobilnya yang disopiri Toni menuju kediaman Pak Cokro. Di rumah orang terhormat di kampungnya itu telah berkumpul banyak warga. Ada juga karyawan Sakha yang sudah lebih dulu sampai di sana. Sementara itu, Cantika absen karena harus menemani neneknya melakukan diagnosis oleh dokter di rumah sakit."Kita sudah sampai, Pak." Toni menoleh lalu menggelengkan kepalanya. Ia tahu betul Sakha dangat kelelahan beberapa hari terakhir. Sebab anak bosnya itu kejar target melumpuhkan musuh ayahnya. Beruntung Cantika bisa diajak kerja sama, pun Pak Cokro dengan senang hati mem
Bab 133 Tertangkap TanganSenja menampakkan warna jingga yang indah di cakrawala. Cantika segera pulang ke rumahnya karena sang nenek pasti lama menunggu. Seharusnya, ia pulang siang hari, tetapi demi membantu pihak keamanan untuk menggrebek Robert, kepulangannya molor."Nek, nek." Cantika mendapati neneknya tiduran di kamar. Gadis itu mendekat lalu mengusap lembut wajah sang nenek. Setitik bulir bening menetes membasahi pipi mulusnya. wanita ini telah merawatnya sejak kecil. Cantika yatim piatu, entah di mana orang tuanya kini iapun tidak tahu. Kata Sang nenek orang tuanya telah meninggal. Tapi sunggu misterius baginya."Ika. Kamu sudah pulang?""Iya, Nek. Ika mau siapin baju buat kita ke rumah sakit. Nenek akan diobati dokter di sana biar bisa melihat lagi."Ucapan Cantika tersendat karena isakan kecil menyusul."Bukannya tadi siang kamu sudah pulang?""Hah, enggak. Ika barusan pulang dari bekerja."Cantika sedikit heran, apa ada yang datang ke rumah. Kenapa neneknya merasa ia sudah
Bab 132 Mencuri barangSakha merencanakan strategi untuk menangkap Robert beserta anak buahnya. Dia telah mengumpulkan bukti-bukti dibantu oleh Pak Cokro dan Cantika. Bekerja sama dengan pihak berwajib, Sakha ingin pekerjaan di proyek pembangunan jalan tol berjalan lancar. Ia ingin segera pulang sebelum istrinya melahirkan. Janji di awal hanya pergi satu dua bulan. Hingga kini kehamilan Rahma terhitung masuk trimester tiga.Semalam ia menelpon istrinya."Sayang, maafkan aku baru sempat menelpon. Pekerjaan di sini sungguh menyita waktu. Sinyal juga susah karena lokasi di tengah hutan.""Ia Mas. Aku tahu, yang penting kamu sehat dan baik-baik saja di sana. Aku percaya Mas melakukan kerja keras di sana. Ada Pak Toni yang menemani, aku pun lega.""Iya, Sayang. Selesai proyek di sini, aku segera kembali ke Jakarta. Doakan tidak sampai melewatkan kelahiran anak kita, ya.""Iya, Mas.""Jam segini kok belum tidur, Sayang?""Hmm, akhir-akhir ini aku susah tidur, Mas. Nggak tahu, pikiran selalu
Bab 131 TipuanHari berganti hari hingga menjadi minggu, Cantika berperan dengan tipuannya sebagai wanita penggoda Sakha. Dia bersikap manja saat bersama laki-laki itu. Sesekali meluncurkan rayuan saat di depan Robert. Toni sampai harus menahan diri untuk tidak tertawa saat melihat aksi mesra keduanya. Akting Sakha dan Cantika layak diberi apresiasi seperti bintang sinetron"Gimana, Sayang. Kita ambil saja proyek dengan Pak Robert. Track recordnya sudah tidak diragukan lagi. Bagi hasil keuntungannya juga besar. Ayolah, nanti setelah proyek selesai, kita bisa liburan ke pulau yang indah berdua," ungkap Cantika dengan gaya centilnya.Robert yang melihat dari balik meja kerjanya tersenyum menyeringai. Dia memang memerintahkan Cantika untuk merayu Sakha supaya bisa diajak kerja sama. Dengan nama perusahan Sakha, kerja ilegal Robert bisa disamarkan."Baiklah, saya perlu membaca surat kerjasamanya terlebih dulu Pak Robert. Paling lama tiga hari, saya akan memberi kabar hasilnya.""Jangan lam
Bab 130 SepakatSetengah jam, Sakha dan Toni duduk di luar kamar yang dimasuki Cantika dan wanita yang sudah renta tadi. "Pak, gimana? Kenapa gadis itu belum keluar juga?"Sakha hanya mengedikkan bahu. Ia lalu beranjak dari duduk dan mendekati kamar. Berhenti sejenak di depan pintu yang sedikit terbuka. Tampak di sana Cantika sedang membenarkan posisi yang nyaman untuk wanita tua tadi."Nek, istirahat saja. Ika baik-baik saja, kok.""Jadi gadis itu biasa dipanggil Ika. Pantas tidak ada yang kenal Cantika."Sakha mengembuskan napasnya kasar. Ia baru sadar kalau Cantika bekerja untuk menghidupi wanita tua yang pantas jadi neneknya itu.Beberapa menit kemudian, Cantika sudah turun dari ranjang dan berniat keluar. Sakha segera kembali ke kursi duduk bersama Toni."Gimana, Pak?" tanya Toni penasaran.Sakha hanya memajukan dagu ke arah pintu kamar di mana Cantika keluar dari sana."Kenapa kalian masih ada di sini? Sana pergi, jangan ganggu aku!"Cantika melenggang masuk ke sebuah ruangan ke
Bab 129B Ancaman"Berhenti! Atau kalian babak belur keluar dari sini.""Ups, sial. Gadis ini kuat juga, Bos.""Awas!" pekik Sakha saat bogeman Cantika mengenai Rahang kiri Toni.Tidak keras tetapi mampu membuat nyeri di pipi Toni."Astaga, perempuan ini ganas sekali."Sakha jengkel sekaligus menahan tawa. Bisa-bisanya ia dan Toni dikalahkan perempuan."Oke,oke. Kami mundur. Sekarang katakan. Apa tujuanmu berbuat licik padaku, hah?"Sakha mencoba bernegosiasi. Ia tidak ingin salah melangkah dan akhirnya usahanya membela hak warga gagal."Aku jelas butuh uang. Jadi kalian pergi saja. Karena kedatangan kalian ke sini hanya akan membuat masalah bagiku.""Oke, berapa uang yang kamu butuhkan? Aku bisa mencukupi lebih banyak dari yang diberikan Robert. Kamu tahu dia bukan siapa-siapa. Dia mantan napi karena sudah menipu ayahku. Sekarang katakan butuh uang berapa kamu? 100juta, 200juta, setengah milyar?"Cantika terkesiap mendengar uang yang besarnya menggoda."Pak. Jangan gila! Pak Ardi tidak